Hakim Abdel-Qadir Oudeh, dalam karyanya "Islam Between the Ignorance of Its Followers and the Incompetence of Its Scholars" (diterjemahkan ke dalam English oleh Khaled Farag), membahas secara mendalam prinsip-prinsip Syariah Islam, kelengkapannya, kekekalannya, hubungannya dengan hukum-hukum syariat, dan tanggungjawab berbagai kelompok Muslim, termasuk masyarakat umum, pemerintahan Islam, dan para ulama. Karya ini secara kritis mengkaji ketidaktahuan tentang hukum Islam di kalangan para penganutnya dan tantangan yang ditimbulkan oleh penerapan hukum-hukum Eropa di negara-negara Islam, dengan menekankan perlunya kembali kepada pengetahuan dan penerapan Syariah yang sejati. Karya ini mencakup bab-bab yang membahas apa yang hendaknya diketahui umat Islam, sejauh mana pengetahuan mereka tentang Syariah, dan tanggungjawab atas situasi terkini di dunia Islam.Penulis menyebutkan bahwa umat Islam sering digambarkan "bodoh" karena banyak dari mereka yang tak memiliki pemahaman yang benar dan lengkap tentang ajaran agamanya. Banyak Muslim, meskipun mengaku sebagai pengikut Islam, tak memahami makna dan prinsip sejati yang terkandung dalam Qur’an dan Sunnah, seringkali disebabkan oleh kurangnya pendidikan atau kelalaian disengaja. Kebodohan ini menciptakan jurang antara keimanan yang mereka yakini dan praktik nyata, yang kemudian menyebabkan kesalahpahaman, penyimpangan, dan ketidakmampuan mereka menjalankan tanggungjawab agama secara penuh. Penulis mengkritik keadaan ini sebagai penghambat besar bagi kebangkitan praktik Islam yang otentik dan memperingatkan bahwa jika tidak diatasi, kebodohan ini dapat menyebabkan kemunduran umat.Dan alasan mengapa para ulama Islam disebut "tidak punya kompetensi" adalah karena kegagalan mereka menjalankan tugas dengan efektif dalam membimbing umat Islam, menafsirkan ajaran Islam dengan benar, dan melawan kebodohan. Ketidakkompetenan ini terlihat pada ulama yang kurang mendalam ilmunya, tak sanggup menangani masalah kontemporer dengan tepat, atau menyesatkan publik dengan pemahaman Islam yang keliru atau dangkal. Penulis mengkritik para ulama tersebut karena tidak serius menghadapi kompleksitas jurisprudensi Islam dan gagal memberikan pendidikan maupun kepemimpinan yang relevan, yang mengakibatkan kemunduran praktik Islam yang sejati dan meningkatnya kebingungan di dunia Muslim. Ketidakkompetenan ini, bersama dengan kebodohan yang melanda umat, telah melemahkan kemampuan umat Islam berkembang, serta menjalankan kewajiban agama dan sosialnya.Menurut penulis, hukum-hukum Islam merupakan prinsip dan teori yang diwahyukan dalam Al-Qur’an dan disampaikan oleh Rasulullah (ﷺ), yang secara keseluruhan membentuk Syariah Islam. Hukum-hukum ini mencakup masalah tauhid, keimanan, ibadah, urusan pribadi, hukum pidana, pemerintahan, dan politik, serta aspek-aspek lainnya. Komponen paling penting dari Islam adalah pelaksanaan hukum-hukum tersebut, karena Islam didirikan agar hukum dan ritual itu dikenal dan dijalankan. Mengabaikan atau menghalangi Syariah sama artinya dengan mengabaikan Islam itu sendiri.
Hukum-hukum Islam memiliki dua tujuan utama: pertama, menegakkan agama melalui keyakinan dan ibadah; kedua, mengatur kehidupan duniawi, termasuk pemerintahan, transaksi, hubungan sosial, hukuman, konstitusi, dan urusan internasional. Islam mempersatukan agama dan kehidupan sehari-hari, menjadikan ibadah dan kepemimpinan tak terpisahkan. Syariah bersifat tidak terpisah dan dirancang untuk membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat. Setiap hukum membawa konsekuensi di dunia dan akhirat—ketaatan membawa pahala, sedangkan pelanggaran mendatangkan hukuman di dunia dan akhirat.Karya ini menekankan bahwa mengabaikan Syariah atau menggantikannya dengan hukum sekuler asing mengakibatkan kemunduran dan kehinaan masyarakat Muslim. Berbeda dengan hukum dunia, hukum Islam menggabungkan kewajiban legal dengan amal ibadah, yang mendorong ketaatan yang tulus serta menciptakan harmoni sosial dan kepenuhan spiritual.Hukum-hukum Islam yang diterapkan untuk agama dan dunia ini terbagi dalam dua kategori utama. Kategori pertama meliputi hukum yang bertujuan menegakkan dan memperkuat agama itu sendiri, yang mencakup keyakinan dan praktik ibadah. Kategori kedua terdiri dari hukum yang dirancang untuk mengatur negara dan kelompok sosial, serta mengatur hubungan antara individu dan komunitas. Ini meliputi urusan seperti transaksi, hukuman, urusan pribadi, hukum konstitusional, dan hubungan internasional. Islam secara inheren menggabungkan aspek spiritual agama dengan realitas praktis kehidupan sehari-hari, mencakup ibadah dan pemerintahan. Oleh karenanya, hukum-hukum tersebut dimaksudkan agar berfungsi sebagai sistem yang terpadu dan tidak terpisahkan, yang bertujuan memastikan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Syari’ah mensyaratkan agar semua hukum-hukumnya diterima dan diamalkan sebagai sebuah sistem yang utuh dan terpadu. Hukum-hukum Syari’ah tak dapat dipisahkan karena teks-teks Syari’ah tidak membolehkan seseorang hanya melaksanakan sebagian hukum saja dan mengabaikan sebagian lainnya. Memisahkan atau membagi Syari’ah bertentangan dengan tujuannya karena hukum ini dirancang sebagai satu kesatuan yang mengatur baik aspek agama maupun aspek duniawi. Orang yang hanya meyakini sebagian Syari’ah tetapi mengingkari sebagian lainnya, menurut penulis buku ini, mendapat peringatan dari Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, dimana perilaku seperti ini akan mendatangkan kehinaan di dunia dan hukuman berat di akhirat. Menyembunyikan atau mengabaikan bagian-bagian Syari’ah, atau memilih-milih teksnya, dianggap sebagai tindakan yang merusak kesatuan dan integritas legislasi ilahi. Penerimaan dan pelaksanaan keseluruhan hukum Syari’ah sangat penting untuk menjaga keharmonisan agama dan sosial.
Penulis berargumen bahwa Syariah itu merupakan Syari’ah Global Ilahi karena ia hukum universal yang diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah (ﷺ) untuk membimbing seluruh umat manusia, tanpa memandang perbedaan etnis, budaya, atau geografisnya. Syariah ini ditujukan agar setiap keluarga, suku, kelompok, dan negara, sehingga membentuk sistem legislasi global yang melampaui batas-batas lokal atau nasional. Karya ini menekankan bahwa prinsip dan hukum Syariah Islam adalah komprehensif, permanen, dan berlaku untuk semua waktu dan tempat sampai akhir dunia. Karya ini juga menyoroti keyakinan bahwa Syariah diturunkan sebagai agama yang lengkap dan sempurna, yang dimaksudkan agar tetap tidak berubah dan sesuai untuk mengatur semua urusan manusia, baik spiritual maupun temporal. Universalitas dan asal ilahiah inilah yang membedakan Syariah Islam dari sistem hukum lain yang biasanya dibatasi oleh waktu, budaya, atau legislasi manusia.Asal-usul Syari’ah Islam adalah wahyu ilahi dari Allah yang disampaikan melalui Rasulullah (ﷺ), sehingga Syari’ah merupakan hukum yang mutlak dan tak dapat diubah. Syari’ah memuat kebenaran dan petunjuk yang abadi, mencakup kewajiban agama maupun urusan duniawi. Sebaliknya, hukum positif merupakan sistem buatan manusia yang berasal dari pembuat undang-undang manusia, seringkali dipengaruhi oleh konteks sejarah, budaya, dan politik. Hukum positif biasanya bersifat dapat diubah dan dapat sangat berbeda antara negara dan waktu. Karya ini menekankan bahwa meskipun hukum positif berfungsi untuk tujuan sementara dan lokal, Syari’ah dimaksudkan sebagai hukum yang universal, lengkap, dan permanen, yang mengatur segala aspek kehidupan tanpa pertentangan atau pemisahan. Perbedaan mendasar ini menegaskan keyakinan akan asal usul Keilahian Syari’ah sebagai sistem komprehensif bagi seluruh umat manusia, sedangkan hukum positif terbatas pada otoritas manusia dan yurisdiksi terbatas.Sifat Syari’ah Islam, menurut penulis, berbeda secara mendasar dengan hukum positif karena Syari’ah berasal dari wahyu ilahi, diturunkan oleh Allah melalui Al-Qur’an dan Sunnah, dan dipandang tak dapat diubah serta komprehensif. Syari’ah mencakup tak semata peraturan hukum, melainkan pula dimensi etika, spiritual, dan sosial, mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta. Sebaliknya, hukum positif merupakan konstruksi manusia yang dibuat oleh pembuat undang-undang, dapat berubah, terbatas pada aspek perilaku luar dan keteraturan sosial, serta umumnya terpisah dari niat batin atau etika pribadi. Syari’ah mengintegrasikan hukum dengan maksud moral dan spiritual, sehingga keabsahan suatu tindakan bergantung pada niat pelakunya, sedangkan hukum positif fokus pada tindakan lahir tanpa memperhatikan niat batin. Sifat Syari’ah yang komprehensif dan ilahi bertujuan mengatur setiap aspek kehidupan secara permanen dan universal, berbeda dengan hukum positif yang menyesuaikan dengan perubahan masyarakat dan konteks lokal. Oleh karenanya, Syari’ah bukan sekadar kode hukum tetapi cara hidup holistik dengan petunjuk universal dan abadi bagi umat manusia.Perbedaan utama antara Syari’ah dan hukum positif terletak pada asal, sifat, dan cakupannya. Syari’ah adalah sistem hukum ilahi yang diturunkan oleh Allah melalui Rasulullah (ﷺ), sehingga bersifat tetap, lengkap, dan universal. Syari’ah mengatur tak semata masalah hukum, tetapi juga aspek etika, spiritual, sosial, dan pribadi kehidupan, mengintegrasikan ibadah dan pemerintahan secara tak terpisahkan. Sebaliknya, hukum positif merupakan buatan manusia, dibuat oleh pembuat undang-undang, dan dapat berubah mengikuti kebutuhan masyarakat, konteks budaya, serta pengaruh politik. Hukum positif biasanya hanya mengatur perilaku lahiriah dan ketertiban sosial tanpa menggabungkan dimensi spiritual atau moral. Syari’ah bersifat permanen dan dimaksudkan membimbing umat manusia secara universal, sedangkan hukum positif bersifat sementara, lokal, dan dapat disesuaikan dengan perubahan keadaan. Perbedaan mendasar ini berarti Syari’ah menggabungkan aturan hukum dengan kewajiban moral dan agama, sementara hukum positif bersifat sekuler dan terbatas pada pemerintahan praktis.Penulis berargumen bahwa hak penguasa untuk membuat undang-undang tidaklah mutlak, melainkan dibatasi pada pembuatan legislasi yang sesuai dengan prinsip dan semangat Syari’ah Islam. Syari’ah memberikan kewenangan kepada penguasa untuk membuat peraturan eksekutif dan regulasi guna melaksanakan dan melindungi hukum Islam, tetapi hanya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Syari’ah. Jika penguasa membuat undang-undang atau peraturan yang bertentangan dengan Syari’ah, keputusan tersebut dianggap tidak sah dan ketidaktaatan terhadapnya diperbolehkan. Prinsip ini didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an untuk menaati Allah, Rasul-Nya, dan para pemegang wewenang hanya sejauh mereka menjalankan hukum yang Allah wahyukan. Keabsahan legislasi sepenuhnya bergantung pada kesesuaian dengan hukum ilahi, dan hanya Allah yang memegang kedaulatan legislatif tertinggi. Oleh karenanya, penguasa tak punya kewenangan legislatif bebas tetapi harus membuat undang-undang dalam batas-batas Syari’ah.Sejauh mana umat Islam mengenal Syari’ah sangat bervariasi di antara kelompok-kelompok yang berbeda. Beberapa Muslim punya pengetahuan yang sedikit atau bahkan tidak sama sekali tentang Syari’ah dan digambarkan sebagai kelompok yang kurang berbudaya, tidak menyadari prinsip dan hukum-hukumnya. Kelompok lain terdiri dari Muslim yang dididik dalam sistem Eropa atau sekuler dan cenderung memandang Syari’ah sebagai sesuatu yang tak terkait dengan pemerintahan modern atau tidak cocok bagi masyarakat kontemporer. Kelompok ini seringkali memiliki kesalahpahaman, semisal mempercayai bahwa beberapa ketentuan dalam Syari’ah bersifat sementara atau tidak dapat diterapkan. Terakhir, ada kelompok yang berbudaya Islam yang berpemahaman mendalam tentang Syari’ah dan memahami penerapannya dalam urusan keagamaan maupun duniawi. Penulis menyoroti ketidaktahuan dan kesalahpahaman yang meluas di antara banyak Muslim sebagai penyebab utama kemunduran sosial dan politik mereka, menekankan bahwa pengetahuan dan pelaksanaan Syari’ah yang tepat sangat penting bagi well-being komunitas Muslim.
Menurut penulis, bahwa ada umat Islam yang, karena ketidaktahuan mereka terhadap Al-Qur’an, menolak dua hukum paling nyata dalam Al-Qur’an. Yang pertama: Islam memadukan agama dan negara. Islam memadukan agama dan negara dengan menganggap keduanya sebagai aspek kehidupan yang tak terpisahkan dan saling memperkuat. Islam tidak memisahkan ibadah dan kepemimpinan, mengakui bahwa pemerintahan merupakan bagian penting dari agama itu sendiri. Agama merupakan satu bagian dari Islam, dan pemerintahan adalah bagian kedua, yang mungkin paling krusial, karena menjamin pelaksanaan dan perlindungan prinsip-prinsip agama dalam masyarakat. Penulis mengutip Utsman bin Affan yang mengatakan bahwa Allah mencegah dengan otoritas penguasa apa yang tak bisa dicegah oleh Al-Qur’an saja. Integrasi ini berarti agama dan negara bekerja bersama dalam membawa kebahagiaan dan keteraturan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, memerintah menurut prinsip-prinsip Islam bukan hanya politik, tetapi juga kewajiban agama dan bentuk ibadah.Yang kedua: Sunnah murni menjadi dalil yang mendukung dan menentang setiap muslim dan muslimah, sebagaimana Al-Qur’an menjadi dalil yang mendukung dan menentang setiap muslim dan muslimah. Penolakan ini berasal dari kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna dan petunjuk sebenarnya dalam Al-Qur’an. Penulis menyatakan bahwa ketidaktahuan seperti ini berkontribusi besar pada kesesatan dan kesalahpahaman di kalangan Muslim, karena menolak hukum yang jelas ini menyebabkan kebingungan dan melemahkan ketaatan terhadap Islam. Penulis mengisyaratkan bahwa ketidaktahuan ini bukan sekadar kurangnya pengetahuan, tetapi juga kegagalan untuk mencari dan mengakui kebenaran, yang memiliki konsekuensi serius secara spiritual dan sosial bagi individu dan komunitas.Penulis berpendapat bahwa seluruh Muslim bertanggungjawab atas situasi saat ini dan negara Islam saat ini; namun, tanggungjawab beberapa orang mungkin berbeda dari tanggungjawab yang lain, tanggungjawab satu kelompok mungkin berkurang dan tanggungjawab kelompok lain meningkat, tetapi mereka semua bertanggungjawab atas ketidaktahuan, amoralitas dan kekafiran mereka, dan atas perpecahan, kelemahan dan kehinaan mereka, dan apa yang mereka derita dari kemiskinan dan eksploitasi, dan juga apa yang mereka tanggung dari penindasan kolonialisme dan kesulitan pendudukan.
Tanggungjawab umat Islam adalah menuntut ilmu dengan tekun dan memahami sepenuhnya kewajiban agama mereka sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat. Mereka diharapkan agar secara aktif menjalankan kewajiban-kewajiban ini dalam kehidupan sehari-hari, menegakkan prinsip-prinsip Islam, dan mendukung pemerintahan yang adil dan selaras dengan ajaran Islam. Penulis menekankan bahwa ketidaktahuan dan kelalaian umat berkontribusi pada kemunduran masyarakat dan melemahkan kekuatan kolektif umat Islam. Oleh karenanya, umat hendaknya terdidik, sadar spiritual, dan berkomitmen mengamalkan hukum-hukum Islam demi menjamin kesejahteraan dan kemajuan umat secara keseluruhan.
Tanggungjawab pemerintahan Islam adalah memerintah dengan keadilan dan memastikan pelaksanaan prinsip-prinsip Syari’ah dalam masyarakat. Pemerintahan Islam hendaknya melindungi hak-hak rakyat, menegakkan nilai moral dan sosial, serta menjaga ketertiban dan keamanan. Para penguasa bertugas menerapkan hukum Islam melalui legislasi yang sesuai dengan prinsip ilahi sambil mengelola urusan publik dengan adil dan penuh kasih sayang. Selain itu, mereka bertanggungjawab menyediakan kebutuhan dan memastikan kesejahteraan masyarakat. Penulis menekankan bahwa kegagalan dalam menjalankan tanggungjawab ini, berkontribusi pada kemunduran dan masalah yang dihadapi umat Islam, sehingga tatakelola yang baik sangat penting bagi kemakmuran dan keharmonisan umat.
Tanggungjawab kepala negara dalam kerangka Islam sangat luas dan multifaset. Mereka bertanggungjawab menjaga pemerintahan Islam dengan menerapkan keadilan dan memastikan penerapan prinsip-prinsip Syari’ah di seluruh administrasi mereka. Ini termasuk menjaga ketertiban sosial, melindungi hak dan kesejahteraan rakyat, serta mengelola urusan domestik dan internasional negara sesuai ajaran Islam. Kepala negara juga hendaknya menunjuk pejabat yang dapat dipercaya dan kompeten dalam membantu pemerintahan, mengawasi pengelolaan aset publik, dan memerintah tanpa pilih-kasih atau favoritisme maupun korupsi. Penulis menekankan bahwa para pemimpin ini akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan dan keputusan mereka, dan otoritas mereka tidak membebaskan mereka dari mengikuti hukum Allah. Mereka hendaknya memimpin dengan keadilan, integritas, dan ketekunan untuk memastikan kemakmuran dan persatuan umat Islam.
Tanggungjawab para ulama Islam sangat penting dalam menjaga dan menafsirkan ajaran Islam dengan benar. Mereka bertugas mendidik umat, menjelaskan hukum-hukum agama, dan membimbing ummah agar mengikuti Shari’ah dengan tepat. Sebagai penerus para Nabi, para ulama hendaknya menyebarkan ilmu sejati tentang Islam, melawan ketidaktahuan dan kesalahpahaman, serta memastikan prinsip-prinsip Islam diterapkan dalam kehidupan pribadi maupun publik. Peran mereka termasuk memberi nasihat kepada penguasa dan masyarakat, menjamin keadilan, dan membina masyarakat yang mematuhi hukum moral dan agama. Penulis menekankan bahwa kegagalan para ulama melaksanakan tanggung jawab ini telah berkontribusi pada kemunduran komunitas Muslim, sehingga partisipasi aktif dan berpengetahuan mereka sangat penting untuk kebangkitan dan kesejahteraan Islam.
Dalam penutup bukunya, penulis menyerukan kebangkitan umat Islam dari keadaan kebodohan dan kemalasan yang melanda saat ini. Penulis menegaskan bahwa kebangkitan Islam sangat bergantung pada pendidikan, pengamalan agama yang tulus, dan pemulihan kepakaran ulama Islam yang kompeten dan beretika. Tanpa mengatasi masalah inti ini, masyarakat Muslim akan terus mengalami kemunduran spiritual, sosial, dan politik.
Lebih jauh, penulis menekankan tanggungjawab kolektif seluruh anggota komunitas Muslim—mulai dari umat biasa, ulama, hingga penguasa—agar aktif terlibat dalam mengembalikan nilai-nilai dan tatakelola Islam yang sejati. Kegagalan masing-masing kelompok dalam melaksanakan tugas mereka telah menyumbang pada tantangan yang dihadapi saat ini, sehingga reformasi melalui kebangkitan ilmu dan pelaksanaan Syari’ah yang tulus menjadi sangat mendesak.
Pada akhirnya, buku ini tak hanya berupa kritik, melainkan pula peta jalan bagi pembaruan Islam, mengajak umat Islam agar menilai secara kritis peran dan tanggungjawabnya. Karya ini menyerukan upaya bersama untuk mengatasi kebodohan dan ketidakmampuan demi membangun umat Islam yang adil, berpengetahuan, dan berkembang, yang mampu menjalankan misi ilahinya di dunia modern. Wallahu a'lam.