Rabu, 08 Oktober 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (6)

Bila seekor anak Gajah nantangin Banteng, itu bukan duel gaya-gayaan, tapi adu keras kepala level dewa. Gajah yang masih bocah sok jagoan, ngegas pake badan gede, nyeruduk kayak lagi main GTA. Tapi Banteng? Doski bakalan kagak mau mundur. Doski nunduk, pasang kuda-kuda, dan siap nahan. Benturannya gak cantik—cuma debu, otot, dan ego. Di situ, Gajah bakal belajar: badan gede doang kagak cukup, kalau nggak bisa ngontrol, malah jadi bahaya buat diri sendiri. Banteng menang bukan karena lebih kuat, tapi doski menang karena tahu cara bertahan. Pelajaran buat sang anak Gajah? Kedewasaan itu bukan soal ukuran, tapi soal timing dan ketangguhan.

Andai sang anak Gajah nekat nantang sang Elang, itu bukan duel seimbang, tapi clash dua vibe. Gajah yang masih belajar cara jalan udah sok ngegas, hentakin bumi kayak mau bikin gempa. Tapi Elang? Doski kagak bakalan turun. Doski terbang makin tinggi, ngintip dari atas, nungguin momen pas buat nyerang. Elang menang bukan karena kuat, tapi karena cerdik. Doski bikin sang anak Gajah capek sendiri, terus nyentil pas si Gajah lengah. So, pelajaran buat sang Gajah: tenaga doang kagak cukup, kalau kagak dibarengin otak, loe cuma rame doang.

Nah, kalau sang anak Gajah yang masih labil itu ngotot mau ngalahin para Elang dan sang Banteng, skenarionya kudu bikin doi kapok bukan karena dihajar, tapi karena malu sendiri. Para Elang sih kagak nyerang, cukup terbang bareng, muter-muter di atas kepala sang Gajah sambil gaya. Banteng kagak perlu nyeruduk, cukup berdiri tegak, jadi cermin keras kepala. Gajah yang sok jago itu bakalan bingung, capek sendiri, dan akhirnya nyadar: doski kagak bisa nguasain langit, enggak bisa naklukin daratan, dan yang paling parah—gak ada yang mau ikutan ama doski. Kekalahan paling pedih itu bukan karena ditampar, tapi oleh gema kesepian saat ditinggalin.

Kembali ke pembahasan buku kita.

Claudia Sanchez Bajo dan Bruno Roelants mengenalkan ide bahwa koperasi—baik yang berbasis pekerja, konsumen, maupun produsen—menekankan kepemilikan bersama, tatakelola demokratis, dan keberlanjutan jangka panjang, yang sangat berbeda dengan kapitalisme konvensional yang serba spekulatif dan mementingkan untung cepat.
Mereka menekankan bahwa koperasi bukan sekadar eksperimen idealis atau ceruk kecil, tapi sudah terbukti tahan banting di dunia nyata saat krisis ekonomi. Dengan memperkenalkan contoh-contoh ini, para penulis ingin menunjukkan bagaimana koperasi bisa menyeimbangkan kelayakan finansial dengan tujuan sosial, melindungi anggota dari dampak terburuk krisis utang, dan menawarkan jalur alternatif supaya ekonomi bisa tumbuh lebih berkelanjutan dan manusiawi.

Para penulis menekankan peran penting koperasi baik secara ekonomi maupun sosial di seluruh dunia. Mereka bilang, koperasi bukan pemain pinggiran atau eksklusif, tapi justru kontributor besar bagi pekerjaan, penciptaan kekayaan, dan kohesi sosial di banyak negara. Secara ekonomi, koperasi menghasilkan pendapatan signifikan, menstabilkan ekonomi lokal, dan menyediakan barang/jasa yang mungkin diabaikan perusahaan profit-driven. Mereka sering aktif di sektor pertanian, perbankan, perumahan, dan ritel, melayani populasi besar dengan cara yang efisien dan adil.
Secara sosial, para penulis menekankan bahwa koperasi mendorong partisipasi demokratis, pengambilan keputusan kolektif, dan tanggungjawab bersama. Anggota sekaligus pemilik dan partisipan, sehingga tercipta pemikiran jangka panjang, praktik etis, dan solidaritas sosial. Koperasi juga cenderung lebih tahan banting saat krisis ekonomi, karena struktur tatakelola dan misi yang berfokus pada anggota mengurangi tekanan untuk keuntungan spekulatif jangka pendek. Dengan menggabungkan efisiensi ekonomi dan tujuan sosial, koperasi menunjukkan bahwa profitabilitas bisa dicapai tanpa mengorbankan kesejahteraan komunitas atau standar etika. Subbab ini memposisikan koperasi sebagai alternatif praktis dan skalabel dibanding praktik kapitalisme berbasis utang yang tak berkelanjutan.

Para penulis menekankan bahwa koperasi adalah pemain ekonomi besar di dunia. Mereka bilang koperasi menghasilkan pendapatan signifikan, menjaga stabilitas ekonomi lokal dan nasional, serta menyediakan barang dan jasa di sektor-sektor yang sering dihindari perusahaan profit-oriented. Koperasi aktif di bidang pertanian, perbankan, ritel, perumahan, dan energi, menciptakan pasar yang sebaliknya bakal kosong. Model ini bikin kekayaan tetap berputar di komunitas, nggak lari jauh-jauh ke pemegang saham. Dengan begitu, koperasi gak cuma nambah GDP, tapi juga bikin ekonomi lebih tahan banting, jauh dari siklus boom-and-bust ala kapitalisme berbasis utang.

Para penulis menyoroti bahwa koperasi punya dimensi sosial yang kuat. Mereka menciptakan lapangan kerja yang lebih stabil dan inklusif dibanding perusahaan biasa, dengan gaji adil, fasilitas, dan tatakelola partisipatif. Anggota yang ikut langsung dalam pengambilan keputusan juga belajar skill baru, merasa lebih berdaya, dan bikin komunitas lebih solid. Selain pekerjaan, koperasi membangun social capital: mendorong kerjasama, keterlibatan komunitas, dan tanggungjawab etis. Model ini mengurangi ketimpangan, memberi suara pada kelompok terpinggirkan, dan memperkuat tatanan sosial, sehingga komunitas lebih tahan banting saat krisis.

Sanchez Bajo dan Roelants bilang, banyak manfaat koperasi yang nggak bisa diukur pakai metode ekonomi biasa seperti GDP atau margin keuntungan. Misalnya: rasa percaya, solidaritas, kohesi sosial, praktik bisnis etis, dan pemberdayaan anggota. Koperasi sering menangani kebutuhan sosial yang penting tapi nggak menguntungkan secara finansial—contohnya, menyediakan perumahan terjangkau, perbankan lokal, atau layanan komunitas. Mereka juga tetep mempertahankan pekerjaan saat perusahaan biasa lagi krisis dan PHK besar-besaran. Kontribusi ini bikin kualitas hidup lebih baik, mengurangi ketegangan sosial, dan menciptakan masyarakat yang lebih stabil dan tahan banting, tapi hampir nggak terlihat di statistik ekonomi konvensional.

Para penulis bilang kalau koperasi terbukti lebih tahan banting dibanding perusahaan kapitalis biasa saat krisis ekonomi. Mereka menjelaskan bahwa struktur koperasi—d mana anggota sekaligus pemilik dan ikut mengelola—bikin keputusan ekonomi lebih fokus pada keberlanjutan jangka panjang daripada untung cepat. Struktur ini juga mengurangi risiko dari praktik finansial spekulatif dan mendorong pengelolaan utang serta sumber daya dengan hati-hati.
Mereka memberikan contoh bahwa saat krisis finansial, koperasi tetap selalu mempertahankan pekerjaan, menyediakan barang/jasa penting, dan menjaga kekayaan komunitas. Tatakelola demokratis dan misi yang berfokus pada anggota bikin keputusan prioritaskan kesejahteraan bersama, bukan spekulasi berisiko tinggi, sehingga lebih kebal terhadap gejolak pasar. Bagian ini menekankan bahwa ketahanan koperasi bukan kebetulan, tapi fitur struktural dari modelnya, menunjukkan bahwa usaha ekonomi bisa tetap stabil sekaligus bertanggungjawab secara sosial.

Para penulis membahas bagaimana koperasi punya logika unik yang membedakannya dari perusahaan kapitalis biasa. Mereka bilang, supaya ngerti kenapa koperasi tahan banting dan efektif, kita kudu ngelihat standar internasional dan prinsip operasionalnya, yang bersama-sama membentuk apa yang disebut “rasionalitas koperasi.”
Pertama, standar koperasi internasional memberikan kerangka kerja yang mendefinisikan apa itu koperasi dan memastikan koperasi tetap memegang prinsip kepemilikan anggota, tatakelola demokratis, dan tanggungjawab sosial. Standar ini jadi referensi global, bikin koperasi tetap punya identitas meski beroperasi di berbagai konteks ekonomi dan budaya.
Lapisan pertama dari rasionalitas koperasi: definisi internasional menekankan pengakuan hukum dan konseptual koperasi. Dijelaskan bahwa koperasi adalah perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan oleh anggotanya, yang berbagi manfaat sekaligus tanggungjawab. Definisi ini menegaskan komitmen koperasi terhadap kesejahteraan bersama, pengambilan keputusan partisipatif, dan kebutuhan anggota diutamakan daripada maksimalisasi laba.
Lapisan kedua dari rasionalitas koperasi: prinsip operasional fokus pada bagaimana koperasi berjalan sehari-hari. Prinsip-prinsip ini—seperti keanggotaan sukarela, kontrol demokratis anggota, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan independensi, pendidikan dan pelatihan, kerja sama antar koperasi, serta kepedulian terhadap komunitas—jadi panduan keputusan harian dan strategi jangka panjang. Prinsip-prinsip ini memastikan koperasi tetap berfokus pada misi, berkelanjutan, dan bertanggung jawab sosial, bahkan saat tekanan ekonomi tinggi. Kedua lapisan ini bersama-sama menunjukkan kenapa koperasi bisa tahan banting dan adil, karena rasionalitas mereka bukan cuma soal finansial, tapi juga sosial dan demokratis.

Para penulis secara eksplisit mendefinisikan nilai-nilai koperasi dan menyebutkan prinsip-prinsip utama yang mendasarinya. Mereka mendefinisikan nilai koperasi sebagai keyakinan etis dan moral inti yang memandu operasi koperasi dan interaksi antar anggota. Nilai-nilai ini menjadi fondasi tatakelola, pengambilan keputusan, dan tanggungjawab sosial koperasi, yang membedakannya dari perusahaan biasa yang cuma mementingkan untung.

Para penulis menyebutkan nilai-nilai utama koperasi sebagai:

  1. Self-help (saling bantu)–anggota berinisiatif memperbaiki kesejahteraan diri dan bersama.
  2. Self-responsibility (tanggung jawab)–anggota bertanggungjawab atas tindakan mereka di koperasi.
  3. Democracy (demokrasi)–setiap anggota punya suara dalam pengambilan keputusan
  4. Equality (kesetaraan)–semua anggota diperlakukan adil dan punya kesempatan yang sama.
  5. Equity (keadilan)–manfaat dan tanggungjawab dibagi secara adil antar anggota.
  6. Solidarity (solidaritas)–anggota saling mendukung dan menjaga kohesi sosial.
Mereka menjelaskan bahwa nilai-nilai ini bukan sekadar ideal abstrak; nilai-nilai ini nyata memengaruhi perilaku, tata kelola, dan hasil koperasi. Nilai-nilai ini jadi tulang punggung etis yang memungkinkan koperasi mengejar tujuan ekonomi sekaligus memajukan kesejahteraan sosial, membangun kepercayaan, dan menjaga ketahanan jangka panjang.
Mereka menekankan bahwa nilai-nilai koperasi adalah fondasi moral dan etis yang bikin koperasi berbeda dari perusahaan kapitalis biasa. Mereka bilang, nilai-nilai seperti saling bantu (self-help), tanggungjawab (self-responsibility), demokrasi, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas nggak cuma memandu tatakelola koperasi, tapi juga perilaku anggota sehari-hari. Nilai-nilai ini bikin keputusan diambil untuk kepentingan bersama, bukan cuma buat pemegang saham eksternal atau untung cepat.
Para penulis menekankan bahwa nilai koperasi bukan sekadar simbol atau slogan. Nilai solidaritas bikin anggota saling dukung saat ada kesulitan, demokrasi memastikan semua suara terdengar dan manajemen bertanggung jawab. Keadilan dan equity mengurangi ketimpangan internal dan membangun kepercayaan, yang bikin koperasi lebih tahan banting. Dengan menanamkan nilai-nilai ini, koperasi bisa menyelaraskan aktivitas ekonomi dengan tujuan sosial, membuktikan bahwa sukses bisnis bisa jalan bareng tanggungjawab etis dan kesejahteraan komunitas.

Para penulis menjelaskan bahwa mutuals adalah semacam organisasi ekonomi yang punya “jiwa kembar” dengan koperasi, tapi sedikit berbeda dalam bentuk dan tujuannya. Kalau koperasi itu bisa terjun ke banyak bidang produksi dan perdagangan, mutuals biasanya fokus pada layanan tertentu seperti asuransi, keuangan, atau kesehatan—semuanya untuk kepentingan para anggotanya sendiri.
Menurut para penulis, mutuals dimiliki dan dijalankan oleh para anggotanya, yang sekaligus menjadi pengguna jasa tersebut. Tujuan utamanya bukan cari untung besar, tapi memberikan perlindungan dan kesejahteraan timbal balik bagi sesama anggota. Dalam model ini, kepercayaan dan tanggung jawab bersama jadi pondasi utama, bukan kompetisi dan kerakusan seperti dalam logika kapitalisme murni.
Bajo dan Roelants juga menegaskan bahwa mutuals, sama seperti koperasi, menghadirkan model ekonomi yang lebih manusiawi. Mereka menunjukkan bahwa mutuals lebih tahan banting saat krisis finansial global karena mereka tidak ikut-ikutan main spekulasi, melainkan fokus menjaga stabilitas dan keamanan anggota. Jadi, mutuals bisa dibilang bukti nyata bahwa ekonomi berkelanjutan bisa tumbuh dari gotong royong, bukan dari kerakusan pasar.

Para penulis menegaskan bahwa koperasi bukan sekadar badan usaha, tapi juga aktor sosial dan politik yang hidup di tengah pusaran kapitalisme. Mereka berargumen bahwa koperasi lahir bukan cuma untuk bersaing di pasar, tapi untuk menantang logika ekonomi dominan—sistem yang menuhankan laba, memuja akumulasi, dan lupa pada manusia.
Menurut mereka, koperasi punya “dua wajah”: satu sisi harus tetap beroperasi dalam sistem pasar yang keras, menghadapi harga, persaingan, dan tekanan finansial; tapi di sisi lain, koperasi tetap memegang teguh nilai-nilai seperti demokrasi, solidaritas, dan kepemilikan bersama, yang menentang egoisme dan hirarki khas kapitalisme. Jadi, koperasi itu seperti “anak baik” yang terjebak di rumah penuh kapitalis, tapi diam-diam sedang belajar mengganti aturan mainnya.
Para penulis juga menyoroti bahwa dari kacamata ekonomi politik, koperasi adalah bentuk nyata dari redistribusi kekuasaan ekonomi. Dengan memberikan kendali kepada para anggota dan pekerja atas keputusan serta hasil usaha, koperasi mendemokratisasi kehidupan ekonomi, dan menawarkan model tatakelola alternatif—yang kalau dikembangkan serius, bisa menyeimbangkan kembali relasi antara modal, tenaga kerja, dan masyarakat. 

Para penulis menyoroti Koperasi Penyelam dan Nelayan Pulau Natividad sebagai contoh menarik bagaimana koperasi kecil yang digerakkan oleh komunitas dapat mengelola sumber daya alam untuk menghasilkan kekayaan secara berkelanjutan. Terletak di lepas pantai Baja California, Meksiko, Pulau Natividad adalah pulau kecil yang tandus dengan sekitar 400 penduduk, sebagian besar bergantung pada perikanan tradisional untuk mata pencaharian mereka. Koperasi ini, yang secara resmi dikenal sebagai Sociedad Cooperativa de Producción Pesquera Buzos y Pescadores de Baja California, memegang konsesi dari pemerintah yang memberi mereka hak eksklusif untuk mengeksploitasi area laut di sekitarnya.
Kegiatan utama koperasi ini melibatkan penangkapan abalon, kerang langka dan bernilai tinggi. Penyelam menggunakan sistem hookah, menghabiskan empat hingga lima jam setiap hari di bawah air, dibantu oleh rekan-rekan mereka di perahu kecil. Metode ini memungkinkan penyelam memperoleh penghasilan yang substansial, dengan beberapa di antaranya menghasilkan hingga US$10.000 per bulan, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional. Keberhasilan koperasi ini disebabkan oleh pemerintahan demokratis, kepemilikan kolektif, dan komitmen kuat terhadap praktik perikanan berkelanjutan.
Model ekonomi koperasi disini menekankan distribusi keuntungan yang adil di antara anggota, mendorong rasa kebersamaan dan tanggungjawab bersama. Dengan mengendalikan seluruh rantai produksi—dari penangkapan hingga pemasaran—koperasi memastikan bahwa manfaat dari usaha mereka tetap berada dalam komunitas. Pendekatan ini tak hanya meningkatkan stabilitas ekonomi tetapi juga memperkuat kohesi sosial, karena anggota bekerja sama untuk memelihara dan meningkatkan sumber daya bersama mereka.
Menyadari kerentanannya terhadap ekosistem laut, koperasi telah menerapkan langkah-langkah untuk memastikan kelangsungan jangka panjang area penangkapan mereka. Mereka telah mendirikan cagar laut dan melakukan pemantauan rutin untuk menilai kesehatan kehidupan laut. Inisiatif ini didukung oleh organisasi ilmiah seperti Comunidad y Biodiversidad A.C. (COBI) dan Reef Check Foundation, yang menyediakan pelatihan dan sumber daya untuk pengumpulan dan analisis data. Pendekatan proaktif terhadap pengelolaan lingkungan ini telah berkontribusi pada ketahanan operasi koperasi, bahkan di tengah tantangan seperti perubahan iklim dan penangkapan ikan berlebihan.
Meskipun telah mencapai banyak keberhasilan, koperasi ini menghadapi tantangan yang terus-menerus, termasuk dampak perubahan iklim, fluktuasi permintaan pasar, dan kebutuhan untuk investasi berkelanjutan dalam praktik yang ramah lingkungan. Koperasi telah beradaptasi dengan mendiversifikasi aktivitas mereka, mengeksplorasi spesies alternatif untuk budidaya, dan terlibat dalam upaya konservasi berbasis komunitas. Strategi-strategi ini tidak hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan kapasitas koperasi untuk merespons perubahan lingkungan dan ekonomi.
Koperasi Penyelam dan Nelayan Pulau Natividad menunjukkan bagaimana organisasi berbasis komunitas skala kecil dapat mengelola sumber daya alam secara efektif untuk menghasilkan kekayaan dan menggalakkan kesejahteraan sosial. Melalui struktur tatakelola yang demokratis, praktik berkelanjutan, dan rasa kebersamaan yang kuat, koperasi ini telah menciptakan model yang menyeimbangkan kesuksesan ekonomi dengan tanggungjawab lingkungan dan sosial. Pengalaman mereka menawarkan wawasan berharga bagi komunitas lain yang ingin mengembangkan mata pencaharian berkelanjutan sambil melestarikan warisan alam mereka. [Agar lebih memahami tantangan dan solusi yang dihadapi oleh komunitas ini, dikau dapat menonton video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=t4zJKKca5Dc]

Akhirnya, para penulis mengirim pesan utama: bisnis bisa sukses tanpa harus mengorbankan tanggungjawab sosial, tatakelola demokratis, atau pelestarian lingkungan. Mereka bilang, krisis finansial global membongkar kelemahan perusahaan kapitalis biasa yang cuma ngejar untung cepat dan spekulasi, tapi lupa soal keberlanjutan jangka panjang dan kesejahteraan masyarakat. Lewat studi kasus koperasi, termasuk Koperasi Penyelam dan Nelayan Pulau Natividad, mereka menunjukkan bahwa model ekonomi alternatif—berbasis kepemilikan kolektif, partisipasi anggota, dan nilai etis—bisa menghasilkan uang sambil tetap melindungi orang dan alam.

Pesan besar buku ini: koperasi itu bukan sekadar hal minor atau lucu-lucuan, tapi alternatif nyata dan bisa dikembangkan yang nunjukin kalau pasar bisa jalan seirama dengan masyarakat. Dengan menyoroti ketahanan koperasi, kerangka etisnya, dan komitmen terhadap keberlanjutan, penulis menantang anggapan bahwa laba harus selalu mengorbankan kebaikan sosial. Pada akhirnya, mereka mendorong paradigma ekonomi dimana tanggungjawab bersama, pengambilan keputusan demokratis, dan pemikiran jangka panjang jadi panduan bisnis, membuktikan bahwa ekonomi yang berpusat pada manusia bukan cuma mungkin, tapi penting banget di dunia modern.

[Bagian 7]
[Bagian 5]