Selasa, 07 Oktober 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (4)

Memang agak bener sih kalo kebijakan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, sering kena kritik dan jadi kontroversi sampai dianggap sering blunder. Ada beberapa bukti kuat yang nunjukin ini.
Contoh paling nyata itu waktu doski ngatasin distribusi gas elpiji 3 kg subsidi, yang bikin langka di banyak daerah dan bikin masyarakat protes. Presiden Prabowo akhirnya turun tangan karena keributan ini. Kejadian ini disorot sebagai blunder karena ngeganggu akses energi rumah tangga dan bikin bingung konsumen.
Kebijakan lain yang jadi sorotan adalah wajib kasih label efisiensi energi di dispenser air minum, yang dianggap dadakan dan nggak siap, bikin biaya naik dan bikin masyarakat bingung tanpa edukasi yang cukup.
Ada juga soal isu akademik yang sempat bikin heboh soal gelar dan kasus etik sang Menteri, bikin citranya dipertanyakan, soal profesionalisme dan keputusan yang diambil. Meski begitu, pemerintah tetep ngasih doi Bintang Mahaputera sebagai penghargaan, yang nunjukkin ada apresiasi resmi atas kontribusinya walau banyak kritik publik.

Kelangkaan BBM di SPBU Swasta emang ada hubungannya sama kebijakan dari Kementerian ESDM. Salah satu faktor utamanya adalah perubahan aturan izin impor yang dari sebelumnya izin tahunan, sekarang jadi cuma berlaku enam bulan dan dievaluasi tiap tiga bulan. Pengaturan ketat ini bikin fleksibilitas impor turun dan kuota impor buat pengelola swasta efektifnya berkurang hampir 50%, bikin mereka kesulitan nyediain stok BBM yang cukup.
Kritik juga muncul karena pengelola SPBU swasta sekarang harus beli BBM cuma lewat Pertamina. Padahal dulu mereka bisa impor dari beberapa negara atau sumber lain yang biasanya bisa dapat harga lebih murah. Kebijakan ini bikin suplai BBM swasta jadi tergantung sama harga dan ketersediaan dari Pertamina, jadi ada bottleneck dan akhirnya langka di banyak tempat.
Regulasi ketat, proses tender yang molor, dan kendala logistik ikut bikin kondisi makin rumit, bikin pengisian stok susah. Walau pemerintah sudah nambah kuota impor buat swasta sekitar 10% di 2025, masalah pelaksanaan dan izin impor yang ketat masih jadi penghambat utama. Banyak ahli dan anggota DPR bilang kalau kebijakan ini malah bikin kelangkaan makin parah.

Kelangkaan tersebut, dari awal tahun sampai sekarang ini, dipicu oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dan bikin krisis yang cukup rumit. Mulai awal 2025, masalahnya muncul karena konsumen makin banyak yang beralih dari BBM subsidi Pertamina gara-gara khawatir sama kualitas BBM-nya dan aturan yang makin ketat untuk dapetin Pertalite bersubsidi lewat sistem registrasi baru. Hal ini bikin permintaan BBM non-subsidi kayak RON 92 dan yang lebih tinggi melonjak drastis, yang mana produk ini kebanyakan dijual sama SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo Energy.
Bersamaan dengan itu, Kementerian ESDM ngeluarin regulasi yang cukup ketat soal impor BBM non-subsidi, ngubah izin impor dari setahun sekali jadi enam bulan sekali dengan review berkala. Selain itu, pihak SPBU swasta diwajibkan buat beli BBM impor mereka lewat kuota impor Pertamina, yang seharusnya buat sentralisasi kontrol tapi kenyataannya malah bikin bottleneck dan ngurangin fleksibilitas operator swasta. Masalah kapasitas Pertamina sendiri ditambah skandal-skandal soal kualitas BBM di masa lalu makin ngerusak kepercayaan publik sama pasokan BBM negara.
Lonjakan permintaan BBM non-subsidi akibat perubahan kebijakan ini, ditambah regulasi impor yang makin ketat, bikin SPBU swasta kesulitan maintain stok yang cukup. Beberapa perusahaan swasta struggle buat nyepakatin syarat pembelian sama Pertamina untuk impor BBM dasar, terutama karena beda pendapat soal spesifikasi produk, seperti variasi kandungan etanol. Keterlambatan dan hambatan birokrasi dalam pengadaan makin nambah parah gangguan pasokan.
Sepanjang pertengahan 2025 sampai September, kelangkaan BBM makin parah, banyak laporan pompa bensin kosong di SPBU swasta di daerah urban penting kayak Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Yang cukup heboh, Shell Indonesia ngalamin hampir total kehabisan stok bensin di seluruh stasiun mereka, dan BP juga laporan stok terbatas untuk beberapa produk. Pemerintah merespons dengan naikin kuota impor BBM untuk SPBU swasta sekitar 10%, tapi tantangan logistik dan regulasi masih tetep ada. Masalah ini makin diperparah sama skandal korupsi yang melibatkan Pertamina Patra Niaga, yang makin ngerusak kepercayaan konsumen dan bikin lebih banyak pelanggan pindah ke SPBU swasta, yang makin nambah tekanan permintaan.
Sampai Oktober 2025, upaya koordinasi antara pemerintah, Pertamina, dan SPBU swasta terus dilakukan buat ngatasin kelangkaan ini. Alokasi volume BBM dasar dari Pertamina ke operator swasta udah mulai, tapi prosesnya lambat, sebagian karena kekhawatiran soal perbedaan kualitas produk dan harga. Proses perizinan impor tetep rumit dan ketat, bikin banyak SPBU swasta masih struggle dengan konsistensi stok.
Kelangkaan BBM di SPBU swasta ini adalah akibat dari perpindahan permintaan dari BBM subsidi negara, regulasi impor pemerintah yang ketat, kapasitas impor BBM yang terbatas lewat jalur Pertamina, komplikasi logistik, dan hilangnya kepercayaan konsumen sama BBM negara. Krisis berlapis ini nunjukin betapa challenging-nya ngurusin pasar BBM yang diregulasi di tengah perubahan kebijakan, sentimen publik, dan realitas supply chain.

Video Bahlil nyolek Rosan pas Presiden Prabowo lagi pidato soal tambang ilegal dan kerugian negara Rp 300 T langsung jadi bahan gosip digital. Netizen auto zoom-in ke momen itu: Prabowo lagi serius banget, Bahlil malah nyolek kayak bilang “Bro, chill aja.” Kontrasnya vibes itu bikin netizen bingung antara ngakak atau ngelus dada.
Komentar publik pun pecah dua: ada yang bilang itu kode persahabatan ala pejabat, ada juga yang nyinyir, “Lah, negara rugi segitu, kok bisa-bisanya nyolek-nyolek?” Meme pun bermunculan, dari “300T? Santuy bro…” sampai “Nyolek diplomatik.” Karena nggak ada klarifikasi resmi, publik bebas berimajinasi—dan internet pun jadi panggung satire politik dadakan.

Balik lagi ke topik utama kita.

Koperasi itu punya banyak keunggulan yang bikin doi beda kelas ama bisnis konvensional. Koperasi tuh bukan tempat orang nyari untung gede buat satu dua orang aja—tapi ruang bareng-bareng dimana semua anggota punya saham dan suara. Model ini kayak band indie yang semua personelnya ikutan bikin lagu dan ambil keputusan bareng, jadi lebih solid dan saling percaya. Mereka juga lebih tahan banting saat krisis ekonomi, soalnya orientasinya jangka panjang dan fokusnya pada kebutuhan lokal, bukan ikut-ikutan main saham atau ngejar hype pasar. Untungnya pun bukan buat beli mobil sport, tapi dipakai buat pendidikan, kesehatan, atau bangun fasilitas umum. Jadi ya, koperasi itu kayak versi upgrade dari ekonomi gotong royong.

Ketika baru dirintis, koperasi biasanya lahir dari sekumpulan orang yang punya kebutuhan sama, entah itu akses pinjaman, barang murah, atau wadah buat jualan produk mereka. Mereka ngumpul bukan sekadar jadi pembeli, tapi anggota aktif yang patungan modal dan bikin aturan bareng-bareng. Prinsip dasarnya, semua anggota punya hak yang sama, gak peduli modalnya gede atau kecil, dan keputusan diambil lewat rapat serta voting.
Begitu resmi berdiri, koperasi didaftarkan biar punya badan hukum, jadi bisa jalan kayak bisnis pada umumnya. Anggotanya urunan modal, entah lewat iuran keanggotaan atau simpanan saham, yang jadi modal awal buat jalanin usaha. Dari dana itu, koperasi bisa beli alat, stok barang, atau ngasih pinjaman, tergantung jenisnya. Dari situ koperasi udah mulai ngegas sebagai usaha yang dimiliki dan dikelola langsung sama anggotanya.
Saat udah beroperasi, koperasi ngejalanin usaha bukan buat ngumpulin cuan segede-gedenya bagi investor luar, tapi buat memenuhi kebutuhan anggotanya. Misalnya koperasi konsumsi beli barang banyak sekaligus biar murah lalu dijual dengan harga wajar ke anggota, atau koperasi kredit ngasih pinjaman yang bunganya nggak bikin nangis. Laba yang dihasilkan nggak disikat segelintir orang, tapi dibagi adil. Biasanya ada tiga jalurnya: sebagian dibalikin ke anggota sesuai transaksi mereka, sebagian diputer lagi buat bikin koperasi makin kuat, dan sebagian lagi bisa dipakai buat kepentingan sosial.

Tapi, kayak band indie yang belum dapet label besar, koperasi juga punya tantangan berat. Kalau anggotanya males ikut rapat atau ngilang kayak ghosting di chat grup, ya programnya bisa mandek. Modal juga jadi PR besar karena mereka ogah kerjasama ama investor yang cuma ngejar profit dan bisa ngerusak prinsip koperasi. Ditambah lagi, sistem hukum dan birokrasi kita masih lebih ramah buat perusahaan gede, bukan buat gerakan kolektif kayak koperasi. Demokratis sih, tapi kadang keputusan bisa lama karena semua harus dirundingin. Dan di tengah dunia bisnis yang penuh iklan bombastis dan influencer bersponsor, koperasi sering susah tampil di panggung utama. Tapi meski banyak rintangan, koperasi tetap jalan terus—karena mereka digerakkan bukan cuma oleh uang, tapi oleh solidaritas, kepercayaan, dan semangat buat bikin hidup bareng lebih adil.

Prinsip pembiayaan koperasi itu ibarat nge-band bareng teman: semua urunan tenaga, urunan dana, dan urun rembug. Nggak ada tuh ceritanya satu orang yang punya modal gede terus jadi bos sendirian—di koperasi, semua anggota punya hak bicara yang sama, kayak sistem voting di grup WhatsApp keluarga. Modalnya bukan ngandelin investor luar yang cuma mikirin cuan, tapi dari iuran dan simpanan anggota sendiri yang emang percaya dan mau jalan bareng. Untungnya pun nggak dibagi berdasarkan siapa yang keluarin duit paling banyak, tapi berdasar seberapa aktif loe ikut andil. Jadi kalo loe sering belanja di koperasi, ya loe juga yang dapet kembalian lebih. Transparan, demokratis, dan fokusnya jangka panjang—koperasi tuh lebih mirip komunitas fans yang loyal, bukan perusahaan yang cuma ngejar trending sesaat.

Pembiayaan koperasi itu beda jauh ama cara mainnya para pebisnis kapitalis yang demennya cari investor gede atau ngejar profit lewat utang bank gede-gedean. Koperasi tuh mainnya kolektif, kayak band indie yang ngumpulin dana dari para fans sejati—yaitu anggotanya sendiri. Anggota gak cuma nabung atau nyetor modal, tapi juga punya rasa kepemilikan dan tanggungjawab, karena mereka bukan penonton, tapi bagian dari panggung.
Akses ke dana di koperasi gak ditentukan seberapa tebal dompet loe, tapi seberapa niat loe buat ngejalanin visi bareng. Kalau butuh pinjaman, misalnya, koperasi gak nanya “Berapa keuntungan yang bisa kita dapet?” tapi lebih ke “Seberapa besar dampaknya buat hidup anggota dan komunitas?” Bunganya pun bersahabat, kayak temen yang ngerti kondisi loe, karena tujuannya bukan buat ngeruk untung, tapi biar koperasinya tetap hidup dan sehat.
Keunntungan yang didapat—yang lebih pas disebut “sisa hasil usaha”—gak dibagi berdasarkan siapa yang paling banyak nanem duit, tapi berdasar seberapa aktif kontribusi loe. Yang rajin pakai jasa koperasi, ya doski jugalah yang kecipratan hasilnya. Semua keputusannya diambil rame-rame, terbuka, dan dilandasi kesadaran bareng: bahwa duit itu bukan cuma buat memperkaya segelintir orang, tapi buat memperkuat bareng-bareng. Jadi, pembiayaan koperasi tuh kayak energi gotong royong: bukan soal nambahin saldo doang, tapi nambahin makna dan keberdayaan hidup.

Peran negara terhadap koperasi tuh kayak peran mentor bijak di film coming-of-age: gak ngatur hidup anak muda itu, tapi ngasih ruang, arahan, dan bekal supaya bisa berkembang. Pemerintah mestinya bikin suasana yang kondusif biar koperasi bisa tumbuh dan bersaing sehat, bukan malah dibikin ribet sama aturan yang copy-paste dari model korporasi. Kayak bikin panggung festival musik khusus band indie—aturan mainnya beda dong dari konser label gede.
Dalam hal pembiayaan, negara bisa kasih bantuan modal kayak pinjaman bunga rendah, hibah, atau jaminan kredit—semacam subsidi buat anak-anak kreatif yang lagi ngerintis usaha kolektif. Ada juga bank milik negara atau dana khusus pengembangan koperasi yang tujuannya bukan buat nyetir koperasi, tapi buat bantu mereka tetap mandiri dan nggak kehabisan bensin di tengah jalan.

Pembiayaan koperasi itu punya gaya sendiri—gak ikut arus dunia bisnis yang doyan banget cari investor gede atau pinjam ke bank konvensional. Koperasi itu modalnya dari orang-orangnya sendiri, kayak komunitas yang patungan buat bikin proyek bareng. Mulai dari iuran anggota, simpanan rutin, sampai sisa hasil usaha yang nggak langsung dihabisin, tapi disimpen buat muter lagi. Jadi, koperasi tuh kayak band indie yang rekam albumnya dari hasil nabung bareng, bukan dari sponsor rokok atau brand besar.
Biasanya pas gabung koperasi, anggota bakal beli saham koperasi—kayak beli tiket buat jadi bagian dari panggung. Terus tiap bulan, ada simpanan atau kontribusi yang masuk, bikin “kas koperasi” makin kuat. Kalau butuh dana tambahan, koperasi bisa pinjam ke bank koperasi, lembaga keuangan milik negara, atau dana penjamin kolektif—semacam “teman lama” yang ngerti cara mainnya koperasi. Dan yang paling keren, keuntungan yang didapet nggak langsung dibagi-bagi kayak bonus akhir tahun, tapi banyak yang ditahan buat diputar lagi, biar koperasi makin mandiri dan berkembang.
Tapi cara ini butuh kepercayaan yang kuat, transparansi keuangan yang jelas, dan keterlibatan aktif dari seluruh anggota. Duit di koperasi tuh bukan buat kaya sendiri, tapi buat naik bareng. Setiap rupiah dianggap bukan sebagai "punya gue", tapi “alat bareng” buat ngerakit masa depan yang lebih solid. Jadi, modal di koperasi itu bukan cuma angka di laporan keuangan, tapi juga bukti kepercayaan dan semangat bareng yang dikonversi jadi aksi nyata.

Soal pembinaan, peran negara tuh mestinya kayak kakak pembina yang ngerti medan, bukan yang cuma doyan nyuruh. Kasih pelatihan, pendampingan, akses edukasi terus-menerus, tapi jangan ngatur-ngatur seenaknya. Koperasi kan lahir dari semangat akar rumput—jadi pemerintah jangan main atas-bawah, tapi jalan bareng, dengerin kebutuhan mereka, dan support supaya koperasi bisa terus relevan. Kalau dibina bener, koperasi bisa jadi pahlawan lokal: ngurangin kesenjangan, ngasih lapangan kerja, dan bikin ekonomi kerasa lebih manusiawi.

Sepanjang sejarahnya, kegagalan koperasi itu biasanya bukan karena idenya jelek, tapi karena cara ngejalaninnya yang melenceng, pemimpinnya gak becus, atau tekanan dari luar yang berat banget. Salah satu penyebab paling umum adalah kepemimpinan internal yang lemah—kalau yang megang koperasi cuma modal niat tapi gak punya visi, skill, apalagi integritas, ya tinggal tunggu waktu aja buat ambrol. Belum lagi kalau anggotanya mulai pasif, gak pernah datang rapat, atau cuma numpang nama—sistem demokratisnya bisa ambyar, dan tanggung jawab kolektif jadi sekadar formalitas.
Masalah duit juga sering jadi biang kerok. Banyak koperasi yang ambruk gara-gara pengurusnya kagak ngarti cara ngatur keuangan, atau lebih parah: ngerasa koperasi itu ATM pribadi. Di beberapa kasus, ada juga yang udah kena virus korupsi dan nepotisme—yang harusnya tempat gotong-royong malah jadi panggung bagi-bagi jabatan buat kroni.
Dari luar, banyak koperasi juga kesulitan karena pemerintah kurang ngedukung, persaingan gak adil dari korporasi besar, atau aturan birokrasi yang kaku banget dan gak ngerti cara main koperasi. Banyak koperasi dipaksa jalan di lintasan yang sebenernya didesain buat perusahaan kapitalis, bukan buat gerakan kolektif yang mikirin kesejahteraan bareng.
Yang bikin koperasi itu gagal bukan karena koperasi itu ide basi—tapi karena kehilangan kepercayaan, gak transparan, minim edukasi, dan lupa ama nilai-nilai awalnya. Begitu koperasi mulai bergaya korporat dan lupa sama akar gotong-royongnya, biasanya mereka malah kehilangan daya tahan dan tujuan aslinya.

Nilai-nilai dan tujuan koperasi itu dasarnya bukan soal cari untung segede-gedenya, tapi soal solidaritas, keadilan, dan saling bantu kayak sahabat yang susah senang bareng. Koperasi itu dibangun atas dasar nilai kayak tolong-menolong, tanggungjawab bareng, demokrasi, kesetaraan, dan kepedulian sosial. Bukan sekadar kata-kata manis di spanduk rapat tahunan—tapi prinsip hidup yang jadi kompas dalam ngambil keputusan dan melangkah.
Nilai-nilai dan tujuan koperasi itu bukan cuma jargon idealis di banner acara seremonial—ini prinsip hidup yang bikin cara kerja, cara mikir, dan cara hidup jadi lebih waras dan manusiawi. Di jantungnya koperasi ada nilai tolong diri sendiri (self-help), di mana orang-orang berkumpul bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka tahu, kalau barengan, mereka lebih kuat. Ini tentang gerak duluan, bukan nunggu diselamatkan sistem.
Terus ada nilai tanggungjawab pribadi (self-responsibility)—gak bisa nyalahin pengurus mulu kalau koperasi gak maju. Tiap anggota punya andil nyata, bukan cuma nama di daftar keanggotaan. Nah, yang paling keren, koperasi dijalankan atas dasar demokrasi. Mau modal lo gede atau kecil, suaramu tetep satu. Keputusan diambil bareng, gak ada bos-bos-an.
Lalu ada kesetaraan dan keadilan (equity). Artinya, semua orang dihargai sama, tapi juga paham bahwa kebutuhan tiap orang beda, jadi bantuinnya pun disesuaikan, bukan dibagi rata doang. Dan yang bikin koperasi beda dari klub elite adalah nilai solidaritas—yang kuat ngebantu yang lemah, bukan yang sukses jadi pemenang tunggal. Kalau satu kena badai, yang lain ikut bantuin, bukan tinggalin.
Jangan lupa juga nilai tanggung jawab sosial. Koperasi itu bukan mesin penghasil uang yang buta lingkungan dan cuek sama sekitar. Mereka peduli sama buruh, lingkungan, keadilan sosial—dan ikut turun tangan. Bukan cuma mikirin cuan, tapi mikirin masa depan bareng-bareng.

Tujuan utama koperasi itu bukan jadi perusahaan raksasa yang bisa ngalahin semua pesaing, tapi jadi ruang aman buat anggotanya supaya bisa berdaya—secara ekonomi, sosial, dan batin. Di koperasi, orang-orang ngumpulin tenaga dan sumber daya buat saling jaga dan saling dukung. Nggak cuma biar dapur ngebul, tapi juga biar punya harga diri, suara, dan kendali atas hidup dan kerja mereka sendiri. Koperasi itu bukan sekadar badan usaha, tapi juga gerakan sosial yang pengen bikin dunia ini lebih adil, lebih partisipatif, dan lebih manusiawi—dari akar rumput.
Tujuan akhir dari koperasi adalah pembangunan yang berpusat pada manusia. Bukan pasar yang jadi raja, tapi manusia. Koperasi pengen bikin orang biasa punya kendali atas kerja mereka, atas sumber daya mereka, dan atas hidup mereka sendiri. Yang dibangun bukan sekadar ekonomi yang tumbuh, tapi ekonomi yang adil, bermakna, dan bisa dibanggakan bareng.

Jadi, koperasi itu semacam jalan alternatif dari sistem yang penuh persaingan dan paksaan. Tujuannya jelas: utamakan manusia, bukan laba; komunitas, bukan kompetisi; kerjasama, bukan tekanan. Yang dibangun bukan cuma harta-benda, tapi well-being yang bisa dirasain bareng.

[Bagian 5]
[Bagian 3]