Selasa, 07 Oktober 2025

Asal(kan) Bapak Senang (4)

Presiden Prabowo tampil beda di HUT TNI ke-80, guys. Bukan jas resmi atau batik elite, tapi seragam khaki ala jenderal lapangan. Baju yang dipakai Presiden Prabowo di HUT TNI itu sebenarnya bukan khaki, tapi krem safari khas beliau banget. Warna krem ini bukan sekadar pilihan fashion, tapi kayak “kostum karakter utama” yang udah nempel sejak era kampanye 2009. Emang sih, dari jauh bisa kelihatan kayak khaki, tapi kalau diteliti, tone-nya lebih terang, lebih elegan, bukan warna lapangan tempur. Ini penting, karena warna itu punya makna. Krem Prabowo bukan buat nyamar, tapi buat tampil. Bukan buat sembunyi di hutan, tapi buat nunjukin: “Gue di sini, dan gue konsisten.” Ini bukan Prabowo yang lagi nyamar, tapi Prabowo yang lagi tampil total. 
Waktu kampanye 2009, Prabowo pakai baju safari khasnya—warna krem, kantong empat, vibe jenderal sipil. Terus ada reporter Metro TV yang nyeletuk soal bajunya. Katanya kayak gaya jadul, terlalu militer, gak cocok buat pemimpin sipil. Lokasinya di Jakarta, dalam wawancara TV yang lumayan panas. Tapi seorang Prabowo gak ciut. Bukannya ganti gaya, beliau malah makin konsisten pakai baju itu. Dari yang dulu diolok-olok, sekarang jadi ikon. Safari shirt-nya bukan cuma baju, tapi semacam “kostum karakter utama” yang nempel terus di tiap episode politiknya. Kalau dulu dikatain kayak cosplay jenderal, sekarang malah jadi simbol: tegas, loyal, dan gak gampang goyah. Krem atau khaki style seorang Prabowo bukan buat nyamar, tapi buat tampil. Bukan buat sembunyi di hutan, tapi buat nunjukin: “Gue tetep ada dan tetep taat asas.” 
Lengkap sama peci hitam dan naik mobil Maung buatan lokal—kayak scene pembuka film aksi nasionalis. Gaya ini bukan cuma nostalgia militer, tapi juga sinyal: “Gue masih bagian dari pasukan.”
Yang bikin makin greget, Wapres dan Menhan juga pakai warna senada. Jadi bukan cuma Prabowo yang tampil ala komandan, tapi seluruh jajaran pertahanan kayak satu squad solid. Di tengah parade 133 ribu personel, 80 kuda, dan drone kamikaze, krem atau khaki style itu, jadi semacam kostum utama. Bukan sekadar baju, tapi narasi visual: pemimpin yang turun ke lapangan, bukan cuma duduk di mimbar.

Balik lagi ke topik utama kita.

Budaya “asal bapak senang” bisa bikin seorang pemimpin terisolasi dari fakta karena semua komunikasi diarahkan buat bikin sang "bapak" senang, bukan buat nyampein kebenaran. Bawahan cepat belajar kalau ngomong kabar buruk atau kritik jujur bisa berisiko—dicap enggak loyal, dicopot dari proyek penting, atau kena teguran. Akhirnya, info disaring, dilembutkan, atau ditunda. Pemimpin pun terima cerita yang udah dipoles, sementara fakta asli tersembunyi di balik birokrasi atau politik internal.
Awalnya cuma masalah kecil yang dipoles. Lama-lama, masalah besar atau potensi krisis juga bisa disamarkan. Bawahan terbiasa nyuguhin cerita yang bikin ego bos senang, dan pemimpin mulai lihat dunia sesuai versi itu, bukan realita. Jadilah gelembung informasi—bos cuma lihat hal-hal yang nge-validate keputusannya, sementara risiko dan masalah nyata ketutup.
Masalah ini makin parah kalau sistem cuma ngasih penghargaan buat laporan rapi, pencitraan, atau kepatuhan. Orang yang niatnya jujur pun belajar menahan diri biar aman. Akibatnya, pemimpin makin jauh dari fakta, tergantung sama info yang dikontrol orang lain, sering bikin keputusan dari data yang setengah-setengah atau salah.
Psikologisnya, isolasi ini bikin pemimpin gampang kena confirmation bias. Bos yang terus-terusan dikasih info terkurasi jadi merasa ngerti semua, susah nerima sudut pandang lain, risiko, atau fakta nggak enak. Budaya “asal bapak senang” bukan cuma ngubah perilaku bawahan, tapi juga cara pemimpin ngerti realita, bikin jarak antara persepsi dan kenyataan makin lebar.

Dampaknya ke pengambilan keputusan dan kinerja organisasi atau negara serius banget. Pemimpin yang hidup dalam gelembung informasi lebih rawan bikin kesalahan strategi, salah alokasikan sumber daya, atau lebih fokus ke pencitraan daripada hasil nyata. Kebijakan bisa mementingkan “tampilan” ketimbang efek jangka panjang, bikin birokrasi nggak efisien, proyek mandek, dan kesempatan terbuang. Di korporasi, risiko yang nggak diantisipasi bisa bikin kerugian besar; di negara, info yang disaring bisa bikin pemerintah kesiapan rendah saat krisis, dan kepercayaan publik turun.
Intinya, budaya “asal bapak senang” bukan cuma kebiasaan sosial yang harmless. Dengan ngedahuluin kenyamanan, kepatuhan, dan penampilan daripada kebenaran, budaya ini bikin kesalahan menyebar, inovasi stagnan, dan pemimpin terisolasi sampai akibatnya nggak bisa dihindari. Makanya penting banget ngerti dinamika ini: norma budaya buat nyenengin atasan nggak cuma ngefek ke interaksi kerja, tapi juga bisa nentuin ketahanan organisasi, kualitas pemerintahan, dan kesejahteraan masyarakat.

Budaya “asal bapak senang”, kalau nggak dikontrol, bisa berkembang dari kebiasaan kecil jadi krisis besar, baik di proyek publik maupun skandal organisasi. Intinya, budaya ini bikin info jadi terdistorsi: masalah diperkecil, peringatan diabaikan, dan cuma cerita yang bikin bos senang yang sampai ke atas. Awalnya mungkin keliatan aman—laporan kinclong, pemimpin keliatan efektif, pencapaian jangka pendek dirayain. Tapi bahayanya numpuk: kalau distorsi kecil ini terus berulang, masalah asli lama-lama ketutup, skala masalah nggak keliatan.
Ambil contoh proyek infrastruktur publik. Insinyur udah lihat desain ada celah dan budget kurang, tapi laporan ke menteri cuma nunjukin milestone tercapai, bukan kendala. Supervisor takut bos marah, ikut-ikutan nyaringin info. Pas deadline makin dekat, akumulasi masalah tersembunyi ini bisa bikin konstruksi gagal, bahaya keselamatan muncul, atau biaya membengkak. Waktu menteri atau publik sadar, proyek mungkin udah nggak bisa diselamatkan, reputasi hancur, dan politikal backlash nggak terhindarkan. Dari kebiasaan kecil “nyenengin bos” ini, jadi krisis yang nggak bisa di-spin lagi.
Di perusahaan, ceritanya mirip. Perusahaan ngejar proyek yang keliatan keren biar eksekutif senang, tapi kelemahan operasional diabaikan. Manajer melebih-lebihkan metrik, risiko ditutupi. Lama-lama, perbedaan ini jadi bencana: mismanajemen finansial, skandal publik, dan kepercayaan karyawan turun. Seringnya, orang luar atau regulator yang pertama sadar, sementara eksekutif kaget karena selama ini dikurung dalam info yang dikurasi.
Akibat dramatisnya: “bangun kesiangan”: pas fakta muncul, pemimpin sadar sendiri, keputusan udah nggak bisa dibalik, pilihan terbatas. Krisis berkembang cepat karena organisasi jalan di dunia palsu, bukan realita, cuma demi bikin bos senang. Budaya “asal bapak senang” bukan cuma kebiasaan lucu, tapi hazard tersembunyi yang bisa ngubah distorsi kecil jadi kegagalan sistemik, bahkan bikin mismanajemen biasa jadi bencana nyata.

Dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, budaya “asal bapak senang”—kecenderungan untuk menyenankan atasan meskipun mengorbankan kebenaran—telah muncul dalam cara-cara yang menimbulkan kekhawatiran publik dan krisis institusional. Contoh nyata adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan dengan tujuan mulia untuk mengatasi masalah gizi buruk di kalangan anak-anak Indonesia. Namun, program ini tercoreng oleh beberapa insiden keracunan makanan, 
Kritikan buat program Makan Bergizi Gratis (MBG) soal efektivitasnya tuh kebanyakan nyinyir karena jalannya dinilai jalan di tempat dan banyak bolong-bolong sistemnya. Walaupun pemerintah udah ngotot pengen banget bikin program ini nyampe ke jutaan rakyat, tapi para pengamat bilang pelaksanaannya masih lelet banget, apalagi buat masalah gizi anak-anak yang butuh banget perhatian. Yang bikin panas hati, banyak banget distribusi yang amburadul, makanan bergizi sering gak nyampe ke orang yang bener-bener perlu. Ini bikin program jadi nggak greget, terus muncul juga dugaan korupsi di proses logistik dan pengelolaan yang bikin publik tambah ragu.
Selain itu, perhatian buat daerah-daerah juga nggak merata. Ada tempat yang dapet banget, ada yang malah hampir nggak kebagian sama sekali. Ini nunjukin kalau urusan koordinasi dan pengawasan masih kacau, bikin ketimpangan makin kentara. Pemantauan dan evaluasi lemah banget, jadi kalau ada yang bobrok atau korupsi, susah diperbaiki cepet.
Para ahli dan pelaku kebijakan ngidem pemerintah supaya makin serius soal transparansi, bikin aturan yang tegas, dan kontrol yang ketat biar anggaran yang dikucurin bisa dipakai sebaik mungkin. Mereka bilang harus ada strategi yang gak cuma fokus bagi-bagi makanan doang, tapi juga gimana caranya bener-bener ngejamin makanan itu bisa bantu kesehatan dan prestasi anak-anak. Jadi program MBG ini bukan cuma buat pamer doang, tapi bener-bener ngasih dampak positif yang nyata buat masa depan negeri.

Badan Gizi Nasional (BGN) tuh baru dibentuk tahun lalu buat ngurus program makan bergizi gratis ala pemerintah. Tapi sekarang malah jadi bahan gibah nasional gara-gara ribuan anak keracunan makanan dari program MBG. Netizen langsung nyiduk struktur pimpinan BGN yang isinya banyak pensiunan jenderal dan polisi. Kayak, “Ini badan gizi atau markas komando?”
Kepalanya sih Dadan Hindayana, dosen IPB yang dilantik Jokowi, tapi sekarang kerja bareng tiga wakil: ada jenderal, polisi, dan mantan jurnalis. Cuma peran Nanik S. Deyang yang jelas—ngurus komunikasi publik dan investigasi. Sisanya? Masih misteri kayak ending sinetron.
Publik mulai bertanya-tanya, “Ini orang-orang beneran ngerti soal gizi nggak sih?” Apalagi data keracunan MBG beda-beda versi antara pemerintah, BGN, dan lembaga sipil. Jadi makin rame deh spekulasi dan teori konspirasi.
Dadan Hindayana tuh dilantik langsung sama Pakde Jokowi, bukan sama Presiden Prabowo. Tepatnya tanggal 19 Agustus 2024 di Istana Negara, lengkap dengan sumpah jabatan ala pejabat negara. Jadi jangan salah kaprah, meski program MBG itu digembar-gemborin sama Prabowo-Gibran, yang naruh Dadan di kursi Kepala BGN tuh Jokowi sendiri. Ibaratnya, Jokowi yang bikin panggung, Prabowo yang ngatur pertunjukan. Tapi aktornya masih warisan era sebelumnya. Makanya publik jadi kepo: “Ini Dadan main di tim siapa, nih?” Apalagi sekarang BGN lagi disorot gegara kasus keracunan makanan. Jadi makin rame deh drama politik dan gizi ini. Intinya, BGN awalnya digadang-gadang jadi pahlawan gizi, tapi sekarang malah kayak lagi ujian nasional soal transparansi dan kompetensi. Kalau mereka gagal beresin kasus MBG, bisa-bisa reputasinya tenggelam kayak mie instan di air rebusan.

Presiden Prabowo bilang soal kasus keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) cuma 0.0017 persen dari total makanan yang dibagi, langsung bikin geger dan reaksi campur aduk dari publik. Angkanya sih kecil banget dibanding jutaan penerima yang dapet, tapi orang banyak yang mikir, walau kecil, ribuan anak keracunan itu bukan perkara sepele buat jagain gizi anak bangsa.
Banyak yang ngomong, jangan cuma becandain angka kecil doang, soalnya keracunan makanan apalagi anak-anak itu urusan serius yang harus diwaspadai banget. Publik sama ahli gizi juga curhat soal kesiapan operasional program ini, kebersihan dapur yang masak makanannya, dan kualitas kontrolnya. Target gede pengen cepet-cepet nyentuh jutaan orang malah bikin protokol keamanan makanan jadi ambyar, makanya kasus keracunan bolak-balik muncul di berbagai daerah.
Respon pemerintah dengan nutup dapur yang gak standar dan perketat pengawasan kesehatan sih diapresiasi, tapi jadi nunjukkin kalau peluncuran awalnya terlalu buru-buru. Jadi, banyak yang minta agar transparansi lebih jujur, pengawasan ketat, dan pertanggungjawaban bener-bener jalan supaya kejadian kayak gini gak terulang. Intinya, narasi soal program gede itu jangan sampai nutupin bahaya kesehatan yang dialami anak-anak. Kalau soal gizi, jangan setengah-setengah!

Situasi di program Makan Bergizi Gratis (MBG), apalagi soal kasus keracunan dan skeptisisme publik soal angka 0,0017 persen itu, bisa banget disebut contoh kejadian "asal bapak senang"—istilah di Indonesia yang nunjukin kalau pemimpin atau pengambil keputusan cuma mikirin enak-enakan sendiri atau biar keliatan keren, tanpa peduli nasib orang banyak. Pemerintah yang ribut soal angka kecil itu kadang keliatan kayak mau nutupin masalah serius, jadi kaya pejabat yang cuma pengen pamer sukses tapi gak mau hadapin kenyataan pahit yang dirasain rakyat.
Selain itu, keadaan ini juga nunjukin pemimpin yang "terisolasi dari kebenaran." Kalau bos cuma fokus sama statistik yang optimis, padahal fakta di lapangan malah banyak masalah, berarti ada jarak jauh banget antara pemimpin sama realita rakyat bawah. Ngelewatin fakta, kebijakan jadi gak nyambung, ujung-ujungnya program cuma jadi acara formalitas yang gak bener-bener ngasih solusi. Intinya, buat yang gitu-gitu, bukannya bener-bener pasang muka realita, malah ngumpetin masalah dan jauh dari kebenaran sosial.
Maka dari itu, kritik dari masyarakat dan ahli itu sesuai banget, karena mereka minta pemerintah stop main angka-angka doang dan mulai serius, transparan, dan bertanggung jawab supaya masalah kesehatan dan kesejahteraan rakyat gak terus diselewengin. Jangan cuma main cantik, ayo main bener!

Akibat dari budaya ini sangat mendalam. Program MBG, yang dimaksudkan sebagai inisiatif unggulan, malah menjadi simbol dari manajemen yang buruk dan ketidakpercayaan publik. Insiden keracunan makanan tidak hanya membahayakan kesehatan ribuan anak tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan program berskala besar secara efektif. Respons pemerintahan, yang ditandai dengan penyangkalan dan enggan mengakui kekurangan, telah memperburuk krisis ini, menyoroti bahaya dari kepemimpinan yang terisolasi dari kebenaran.

Dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, masalah yang lebih menonjol adalah keterisolasiannya dari kebenaran, bukan budaya “asal bapak senang”. Isolasi ini terlihat dalam pidato dan keputusan kebijakannya, dimana beliau tampak terlepas dari realitas yang dihadapi oleh masyarakat. Contohnya, sekali lagi, program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang ambisius, yang bertujuan untuk mengatasi masalah malnutrisi anak, menghadapi tantangan besar, termasuk insiden keracunan makanan yang mempengaruhi ribuan anak. Meski demikian, respons pemerintah cenderung meremehkan tingkat keparahan masalah tersebut, dengan pejabat menyebutnya sebagai kegagalan prosedural kecil daripada mengakui kelemahan sistemik.
Keterpisahan ini semakin jelas dalam pidato-pidatonya, dimana beliau sering menyajikan pandangan yang terlalu optimis tentang kemajuan negara, mengabaikan masalah mendasar seperti kesenjangan ekonomi dan layanan publik yang tak memadai. Para kritikus berpendapat bahwa pendekatan ini mencerminkan kurangnya keterlibatan nyata dengan kekhawatiran publik dan lebih memilih mempertahankan citra positif daripada mengatasi masalah yang mendesak.
Budaya “asal bapak senang” sesungguhnya berperan dalam dinamika ini, karena menciptakan lingkungan dimana pendapat yang berbeda tidak didorong, sehingga mengurangi umpan balik kritis untuk presiden. Namun, masalah yang lebih mendesak adalah tampaknya isolasi presiden dari kebenaran, yang menghambat pemerintahan yang efektif dan merusak kepercayaan publik.

Kesimpulannya, fenomena “asal bapak senang” nunjukin pola perilaku yang udah mendarah daging di politik dan organisasi, dimana bawahan lebih milih bikin bos happy daripada ngomong jujur atau bertanggungjawab. Ini bukan cuma soal mood pribadi, tapi udah nempel di norma sejarah dan budaya, seperti yang dijelasin Benedict Anderson di studi tentang kekuasaan Jawa. Fokus ke harmoni, sopan santun, dan kenyamanan emosional sering bikin informasi penting jadi tersaring atau hilang.
Akibatnya, pemimpin yang dikelilingi orang-orang kayak gini bisa terisolasi dari realita. Info yang diterima jadi nggak utuh: kabar buruk, kritik, atau fakta yang nggak enak sering ditunda, dilembutin, atau bahkan nggak disampein sama sekali. Isolasi ini nggak cuma teori: kualitas keputusan bisa turun, kebijakan bisa jauh dari kondisi nyata masyarakat atau organisasi.
Dampaknya bisa gede banget. Kebijakan bisa gagal karena info gak lengkap, program organisasi bisa jeblok, dan kepercayaan publik bisa turun kalo keliatan gap antara cerita dan kenyataan. Yang awalnya niatnya bikin bos happy, bisa malah bikin sistem kacau, salah kelola, bahkan gagal total. Pemimpin yang terlindungi dari kenyataan pahit bisa nggak sadar malah bikin risiko makin nambah.
Selain itu, budaya menyenangkan bos bikin kreativitas, inovasi, dan kritik positif jadi tercekik. Bawahan belajar kalau nurut dan ngejilat lebih dihargai daripada jago kerja atau punya insight, yang akhirnya bikin organisasi stagnan dan masyarakat nggak kebagian kontrol. Anderson nunjukin ini bukan sekadar masalah moral, tapi kondisi struktural dan budaya yang udah nempel di cara pimpinan dan tata kelola.
Terakhir, nyadar sama pola “asal bapak senang” dan akibatnya itu penting banget buat pemimpin dan publik. Pemimpin hendaknya bikin jalur komunikasi yang aman buat kritik jujur, sementara masyarakat dan bawahan seyogyanya bisa ngomong fakta dengan sopan tapi jelas. Baru deh, distorsi informasi bisa diminimalkan, supaya otoritas nggak jadi gelembung yang bikin pemimpin blind dari realita dan masyarakat yang dipimpinnya.

[Bagian 1]
[Bagian 3]