Di hari kelima bulan Oktober yang sakral ini, Republik menunduk bukan karena takluk, melainkan karena syukur. Delapan puluh tahun telah berlalu sejak lahirnya sebuah kekuatan yang bukan sekadar otot atau mesin—melainkan ingatan, makna, dan kompas moral.Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukan lahir dari meja birokrasi. Ia lahir dari darah, dari kerinduan, dari revolusi. Ia bangkit dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), awal yang sederhana namun penuh gema kedaulatan.
Dari BKR menjadi TKR, lalu TRI, dan akhirnya TNI—setiap nama adalah metamorfosis, setiap perubahan adalah cermin jiwa bangsa. Ia bukan sekadar militer—ia adalah sumsum kemerdekaan.
Di rimba Jawa dan sungai Sumatra, TNI bertempur bukan demi penaklukan, melainkan demi martabat. Ia senapan rakyat, gemuruh revolusi, dan irama perlawanan.
Salim Said, dalam karya pentingnya Genesis of Power (1991), mengingatkan bahwa Jenderal Sudirman memimpin bukan dari istana, melainkan dari lantai hutan. Kepemimpinannya bukan perintah, melainkan persekutuan.
Penyakit Sudirman bukan kelemahan—melainkan penyucian. Ia menjadi simbol pengorbanan, utusan patriotisme. Tentaranya bukan sekadar dilatih—melainkan dipercaya.
Secara filosofis, TNI bukan alat negara—ia cerminan rakyat. Ia perwujudan Pancasila, terutama sila ketiga: persatuan Indonesia.
Ia kekuatan paradoks—bersenjata, namun pencari damai; disiplin, namun empatik. Ia tak boleh lupa bahwa kekuatannya bukan pada senjata, melainkan pada kearifan.
Secara politik, TNI telah berjalan di atas bara. Dari doktrin Dwifungsi Orde Baru hingga reformasi pasca-1998, ia pernah menjadi aktor sekaligus penonton.
Dwifungsi adalah pedang bermata dua. Ia memberi pengaruh, namun mengaburkan identitas. Ia menjadi penjaga sekaligus penguasa—peran yang kemudian dipertanyakan sejarah.
Era Reformasi menuntut pertobatan. Masyarakat sipil bangkit, menuntut akuntabilitas. TNI diminta mundur dari politik—bukan sebagai kekalahan, melainkan sebagai kehormatan.
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 menjadi tonggak. Ia mendefinisikan ulang peran TNI secara tegas dalam ranah pertahanan, terpisah dari kepolisian dan politik.
Undang-undang ini bukan pembatasan—melainkan pembebasan. Ia mengizinkan TNI kembali ke akar: sebagai pelindung, bukan penguasa.
Secara ekonomi, TNI sering tak terlihat, namun tak tergantikan. Di zona bencana, ia yang pertama tiba. Di wilayah terpencil, ia membangun yang tertinggalkan.
Ia menjaga urat nadi perdagangan—selat, pelabuhan, langit. Ia mitra diam dalam kemakmuran Indonesia, memastikan pembangunan tak tergelincir oleh kekacauan.
Secara sosial, TNI bukan entitas jauh. Ia tetangga yang membangun ulang pasca banjir, guru di perbukitan, tabib di reruntuhan gempa.
Secara budaya, ia adalah mozaik. Ia berbicara dalam dialek, menari dalam adat, dan berduka dalam ritual lokal. Ia bukan monolit—ia cermin keberagaman Indonesia.
Di Aceh, ia harus menghormati syariah. Di Bali, ia harus menghargai upacara Hindu. Di Papua, ia harus mendengar—bukan memerintah. TNI harus fasih dalam empati.
Secara historis, ia telah diuji. Peristiwa Madiun, DI/TII, PRRI/Permesta—semua menguji kesetiaan, disiplin, dan identitasnya.
Di era Orde Baru, ia terjerat kekuasaan. Ia membangun jalan, namun juga membungkam suara. Ia menjaga perbatasan, namun juga menjaga rezim.Era pasca-1998 adalah kelahiran kembali. TNI mulai mereformasi—bukan hanya strukturnya, tapi jiwanya. Ia mundur dari politik, dan maju menuju profesionalisme.
Kini, medan tempur telah berubah. Ancaman bukan lagi hanya tank dan misil—melainkan serangan siber, disinformasi, pandemi, dan krisis iklim.
TNI harus berevolusi—bukan hanya dalam senjata, tapi dalam nalar. Ia harus melatih bukan hanya prajurit, tapi pemikir. Bukan hanya penembak, tapi perantara.
Doktrinnya harus dinamis. Kepemimpinannya harus visioner. Etiknya harus tak tergoyahkan. Sebab di zaman ini, kekuatan kasar telah usang.
Tema HUT ke-80—“TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju”—bukan sekadar slogan. Ia adalah manifesto.
“Prima” berarti profesional, responsif, integratif, modern, adaptif. Ia adalah seruan menuju keunggulan, bukan kesombongan.
“TNI Rakyat” adalah pengingat: militer bukan di atas rakyat—melainkan bagian darinya. Ia harus berjalan bersama rakyat, bukan mendahului.
“Indonesia Maju” adalah tujuan. Sebuah bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur—dijaga bukan oleh ketakutan, melainkan oleh keyakinan.
Presiden Prabowo, dalam amanat HUT TNI 2025, menggemakan etos ini: “TNI adalah anak kandung rakyat Indonesia. TNI timbul dan tenggelam bersama rakyat.”
Ini bukan retorika—melainkan tanggungjawab. TNI hendaknya siap berkorban, bukan hanya mengabdi. Melindungi, bukan memiliki.
Ia hendaknya menghadapi hantu-hantunya sendiri—kasus kekerasan, impunitas, dan ekses. Ini tak boleh dikubur, tapi dihadapi. Sebab hanya lewat kebenaran, kepercayaan bisa dibangun kembali.
Ia hendaknya transparan, akuntabel, dan rendah hati. Ia hendaknya menyambut pengawasan, bukan takut padanya. Ia hendaknya melayani rakyat, bukan memerintah mereka.
Ia hendaknya berinvestasi dalam pendidikan, dialog, dan diplomasi. Ia hendaknya menjadi jembatan, bukan tembok.
Ia hendaknya berkolaborasi dengan universitas, LSM, dan komunitas. Ia hendaknya belajar dari petani, nelayan, dan guru.
Di Papua, ia hendaknya mendengar. Di Natuna, ia hendaknya menjaga. Di Jakarta, ia hendaknya memberi nasihat. Di dunia, ia hendaknya mewakili.
Ia hendaknya menghormati yang gugur, namun mengangkat yang hidup. Ia harus mengingat sejarahnya, namun menulis masa depannya.
Ia hendaknya siap perang, namun berkomitmen pada damai. Ia hendaknya kuat, namun lembut. Gagah, namun adil.
Ia hendaknya merangkul kesetaraan gender. Perempuan telah mengabdi, berdarah, dan memimpin. Peran mereka harus diperluas, bukan dijadikan simbol.
Ia hendaknya menjadi tempat suci integritas. Tempat dimana kehormatan bukan slogan, melainkan standar.
Ia hendaknya fasih dalam teknologi—AI, siber, satelit, drone. Namun juga fasih dalam kemanusiaan.
Ia hendaknya menjadi kekuatan penjaga perdamaian, bukan pemicu. Kekuatan ketangguhan, bukan penindasan.
Ia hendaknya menjadi perisai republik, jiwa rakyat, dan penjaga hari esok.
Ia hendaknya menjadi gema 1945, denyut 2025, dan harapan 2045.
Ia hendaknya menjadi ingatan Sudirman, mandat rakyat, dan cermin bangsa.
Dan di hari ini, kita tak hanya merayakan usianya—kita menghormati esensinya.
Dirgahayu TNI. Semoga bedilnya adil, hatinya bijak, dan jalannya lurus.
Sebagai penutup, ada baiknya kita renungkan harapan Iwan Fals lewat tembangnya "Serdadu",Serdadu baktimu kami tungguTolong kantongkan tampang serammuSerdadu rabalah dada kamiGunakan hati jangan pakai belatiSerdadu jangan mau disuapTanah ini jelas meratapSerdadu jangan lemah syahwatNyonya pertiwi tak sudi melihat