Selasa, 07 Oktober 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (5)

Bayangin ada kota kecil dimana semua rumah dibangun di atas pasir. Suatu hari, penduduk baru sadar kalau pasir itu sebenernya gula, dan kastil-kastil mereka runtuh tiap kali hujan turun. Bank lokal, yang melihat peluang, mulai ngasih pinjaman pakai kubus gula, janji kastil bakal kuat. Tapi jelas, kastil gula runtuh, orang-orang panik, dan bank lari-larian ngumpulin gula sambil ngomong “Eh, ini masih kokoh!” Sekarang bayangin ada koperasi di kota yang sama, bikin rumah dari bata tanah liat asli yang dicampur sama warga bareng-bareng. Pas hujan turun? Rumah mereka tetep tegak. Moral dari cerita manis tapi pahit ini persis sama kayak pesan Capital and the Debt Trap: sistem finansial konvensional sering main-main dengan utang dan rapuh, sementara koperasi fokus sama nilai nyata dan keberlanjutan yang tahan badai.

Capital and the Debt Trap: Learning from Cooperatives in the Global Crisis, ditulis oleh Claudia Sanchez Bajo dan Bruno Roelants, dipublikasikan oleh Palgrave Macmillan pada tahun 2011, ngulik banget soal krisis finansial global dan nunjukin kenapa sistem kapitalis tradisional itu rentan banget. Tapi, yang menarik, mereka juga nyorotin gimana koperasi bisa menjadi solusi keren buat masalah-masalah ekonomi yang ada.
Mereka bilang kalau ekonomi global itu terjebak dalam tiga hal: konsumsi berlebihan, likuiditas rendah, dan utang yang gak kelar-kelar. Semua itu muncul karena sistem finansial yang cuma mikirin untung jangka pendek. Nah, koperasi, yang dikelola bareng-bareng dan mikirin jangka panjang, justru bisa bertahan dan berkembang di tengah krisis.
Lewat empat studi kasus—Natividad Island di Meksiko, Ceralep di Prancis, Desjardins di Kanada, dan Mondragon di Spanyol—buku ini nunjukin gimana koperasi bisa survive dengan tetap fokus ke komunitas, keputusan bareng, dan prinsip bisnis yang etis. Contoh-contoh ini ngebuktiin kalo model koperasi bisa jadi solusi buat masalah ekonomi yang ada.
Pada esensinya, karya ini ngajak kita mikir ulang soal sistem ekonomi yang ada dan ngajak kita buat nyobain model koperasi yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan fokus pada kesejahteraan bersama.

Para penulis mengupas tuntas asal-usul dan perkembangan krisis finansial global 2008, yang mereka sebut sebagai guncangan ekonomi paling parah sejak Depresi Besar. Mereka menelusuri krisis ini dari pasar subprime mortgage di Amerika Serikat, tempat bank-bank memberikan pinjaman berisiko tinggi kepada peminjam dengan riwayat kredit buruk. Pinjaman-pinjaman ini kemudian dikemas menjadi produk keuangan kompleks seperti collateralized debt obligations (CDOs) dan dijual ke seluruh dunia, menyebarkan risiko dan, akhirnya, bertabrakan.
Mereka menyoroti peran globalisasi dalam memperburuk krisis. Pasar keuangan di seluruh dunia menjadi saling terhubung, dan liberalisasi sistem keuangan menyebabkan kurangnya pengawasan dan regulasi. Lingkungan ini memungkinkan praktik spekulatif berkembang pesat, yang berujung pada pecahnya gelembung properti dan penurunan nilai aset secara cepat.

Akibatnya sangat parah: harta kekayaan hancur lebur, dengan zona euro mengalami penurunan kekayaan per kapita sebesar 25% pada awal 2010. Sekitar 20 juta pekerjaan hilang secara global, dan banyak individu menghadapi kehilangan rumah dan pensiun mereka. Aliran perdagangan dan investasi juga menyusut tajam, menyebabkan pelambatan ekonomi global.
Sebagai respons, pemerintah menerapkan berbagai strategi untuk mengurangi dampak krisis. Ini termasuk bantuan negara kepada bank-bank untuk memastikan solvabilitas dan mencegah keruntuhan ekonomi lebih lanjut, paket stimulus untuk mendorong permintaan, dan langkah-langkah regulasi yang bertujuan membatasi ekses terburuk dari lembaga keuangan. Meskipun upaya ini dilakukan, krisis ini mengungkapkan kelemahan struktural mendalam dalam sistem ekonomi global.
Sanchez Bajo dan Roelants berpendapat bahwa krisis ini bukan sekadar serangkaian peristiwa yang tidak menguntungkan, tapi merupakan manifestasi dari masalah struktural mendalam dari kapitalisme. Mereka menyarankan bahwa model ekonomi yang berlaku, yang ditandai dengan motif keuntungan jangka pendek dan pemisahan antara kepemilikan dan kontrol, berkontribusi signifikan terhadap krisis ini. Dalam bab-bab berikutnya, mereka mengeksplorasi bagaimana koperasi, dengan penekanan pada tatakelola demokratis dan keberlanjutan jangka panjang, menawarkan alternatif yang layak untuk paradigma ekonomi yang berlaku.

Para penulis menyebut "The Mother of All Crises" sebagai krisis finansial global 2008, yang menurut mereka bukan cuma peristiwa ekonomi biasa, tapi puncak dari masalah sistemik dalam kapitalisme global. Mereka bilang inilah kehancuran ekonomi paling parah sejak Depresi Besar, yang muncul akibat praktik keuangan berisiko tinggi, utang yang kelewat besar, investasi spekulatif, dan keterputusan luas antara institusi finansial dengan aktivitas ekonomi nyata. Krisis ini nunjukin betapa rapuhnya struktur kapitalis konvensional yang cuma mikirin untung jangka pendek tanpa peduli stabilitas jangka panjang atau kesejahteraan sosial. Interkoneksi pasar global bikin guncangan lokal bisa menyebar jadi bencana global, menyoroti kelemahan struktural dalam model ekonomi yang lagi berjalan.
Krisis finansial 2008 gak cuma bikin angka di laporan keuangan hilang, tapi juga ngerusak kekayaan, pekerjaan, dan kepercayaan orang sama sistem ekonomi. Tabungan rumah tangga ludes, dana pensiun raib, dan jutaan orang kehilangan rumah saat harga properti jatuh bebas. Bisnis, apalagi yang kecil dan menengah, banyak yang bangkrut, dan perdagangan global nyusut drastis. Selain aset nyata, krisis ini juga bikin orang nggak percaya lagi sama bank dan pemerintah, nunjukin betapa rapuhnya sistem yang cuma mikirin untung jangka pendek. Para penulis bilang, kerusakan ini bukan kebetulan, tapi hasil logis dari kelemahan struktural kapitalisme konvensional, dimana utang berlebihan, gelembung spekulatif, dan keterputusan dari ekonomi nyata bikin bencana gampang terjadi.
Mereka bilang kalau langkah-langkah pemerintah dan bank sentral buat nanggung krisis finansial 2008 sebenernya lebih reaktif, fokusnya cuma buat stabilin kondisi jangka pendek, bukan bener-bener beresin masalah struktural yang jadi akar masalah. Mereka jelasin soal bailout bank, paket stimulus, dan suntikan likuiditas yang emang perlu biar ekonomi nggak ambruk total, tapi langkah-langkah itu kadang malah bikin orang makin nyaman main spekulasi kayak sebelumnya. Para penulis bilang, meski langkah-langkah itu bikin lega sesaat, sistem keuangan global tetep rapuh. Solusi jangka panjang harusnya datang dari model ekonomi alternatif—kayak koperasi—yang mikirin pertumbuhan berkelanjutan, kesejahteraan komunitas, dan tatakelola demokratis, bukan cuma keuntungan jangka pendek.

Krisis finansial 2008, seperti yang digambarkan Claudia Sanchez Bajo dan Bruno Roelants di Capital and the Debt Trap, merupakan fenomena global yang gak cuma terjadi di satu negara atau wilayah. Semua bermula di Amerika Serikat dengan ambruknya pasar subprime mortgage, tapi karena sistem finansial dunia saling terhubung, dampaknya langsung nyebar ke Eropa, Asia, dan tempat lain. Bank dan institusi finansial di seluruh dunia kena rugi gede, aliran investasi mandek, dan perdagangan internasional menurun tajam. Negara-negara kayak Inggris, Spanyol, Yunani, Islandia, bahkan ekonomi berkembang seperti Meksiko, Brasil, dan India, ngerasain perlambatan ekonomi parah, kehilangan kerja, dan kesulitan sosial. Krisis ini nunjukin kalau di sistem finansial yang super global, guncangan lokal bisa nyebar ke seluruh benua, bikin badai ekonomi dunia.

Menurut para penulis, banyak strategi yang dicoba buat nyalain lagi pertumbuhan ekonomi setelah krisis 2008, tapi kebanyakan cuma ngerjain gejala, bukan akar masalahnya. Pemerintah dan bank sentral ngeluarin paket stimulus gede-gedean buat ningkatin permintaan konsumen, kayak potongan pajak, belanja langsung buat infrastruktur, dan subsidi buat industri yang lagi kesusahan. Bank sentral juga nurunin suku bunga sampai level rendah banget dan nyuntik likuiditas ke institusi finansial biar mereka tetap mau ngasih pinjaman dan investasi. Beberapa negara juga bikin regulasi baru buat ngawasin dan ngehindarin risiko berlebihan di masa depan. Meski strategi-strategi ini bantu stabilin ekonomi sebentar dan mencegah ambruk total, penulis bilang, kelemahan struktural sistem kapitalis global tetep ada, jadi kerentanannya nggak bener-bener hilang.
Mereka berpendapat bahwa krisis finansial 2008 bukan kejadian acak atau “bencana tak terduga,” tapi hasil logis dari sistem ekonomi yang udah rusak dari dalam—dibangun di atas utang, spekulasi, dan ambisi cari untung cepat. Mereka bilang, krisis ini ngekspos rapuhnya kapitalisme global, dimana pasar keuangan udah lepas dari ekonomi nyata dan kebutuhan manusia. Para penulis nunjukin bahwa respons klasik kayak bailout dan stimulus itu cuma tambal sulam, bukan perbaikan sistemik yang sesungguhnya. Mereka ngajak kita buat mikir ulang model ekonomi dari dasar, dan menyoroti koperasi sebagai alternatif yang realistis—karena dikelola demokratis, punya tujuan sosial, dan fokus jangka panjang. Kesimpulannya, kalau masyarakat tetep bergantung pada pertumbuhan berbasis utang dan kapitalisme spekulatif, krisis-krisis di masa depan nggak cuma bakal terulang, tapi juga bakal lebih parah.

Para penulis ngebedah lebih dalam akar struktural dari krisis finansial 2008. Mereka bilang, ekonomi global sebenernya udah lama kejebak dalam “jebakan utang” sebelum sistemnya meledak. Krisis ini, kata mereka, bukan sekadar hasil dari regulasi yang lemah atau ulah pasar yang bandel, tapi konsekuensi dari model ekonomi yang emang dasarnya hidup dari mencetak dan memperluas utang terus-menerus. Baik rumah tangga maupun pemerintah akhirnya terjebak dalam lingkaran minjem uang buat terus konsumsi dan “tumbuh,” sementara korporasi makin sibuk main spekulasi ketimbang bikin sesuatu yang produktif.
Para penulis ngomong kalo “jebakan utang” ini kayak mesin yang memperkuat dirinya sendiri: makin besar sistemnya, makin butuh utang buat bertahan. Akibatnya, muncul ilusi kemakmuran padahal pondasi ekonominya udah keropos. Lembaga keuangan, yang dikejar target untung cepat dan tekanan pemegang saham, malah makin gila-gilaan ngedorong orang berutang, sementara deregulasi bikin mereka bebas ngejual dan nyebarin aset-aset berisiko ke seluruh dunia. Hasilnya? Terbentuklah “rantai ketergantungan” dimana ekonomi global jadi kayak kecanduan kredit. Begitu gelembungnya pecah, kekayaan semu itu langsung lenyap, nyisain kehampaan yang sebenarnya.
Mereka berkesimpulan bahwa krisis ini bukan cuma soal finansial, tapi juga soal moral dan sosial—dampak dari ekonomi yang lebih menghargai spekulasi ketimbang produksi, dan konsumsi ketimbang keberlanjutan. Menurut mereka, jalan keluar dari jebakan utang ini butuh perubahan besar dalam nilai dan struktur: ekonomi yang berlandaskan kerja sama, keuangan etis, dan kepemilikan bersama, bukan keserakahan dan kompetisi tanpa batas.

Para penulis berpendapat bahwa krisis keuangan 2008 bukan sekadar akibat dari salah urus, lemahnya regulasi, atau kerakusan manusia, melainkan kegagalan struktural yang berakar dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Mereka menilai bahwa ketergantungan kapitalisme pada utang—baik publik maupun privat—telah menciptakan perangkap yang terus memperparah dirinya sendiri. Dalam sistem ini, keuntungan terlepas dari aktivitas produksi nyata dan malah berputar di pasar spekulatif. Akibatnya, ekonomi jadi seperti kecanduan pada pinjaman untuk menumbuhkan pertumbuhan semu, sementara nilai ekonomi yang nyata malah mandek.
Lebih jauh lagi, mereka menyebut bahwa sistem berbasis utang ini diperkuat oleh budaya dan politik yang menghargai keuntungan jangka pendek dibanding kesejahteraan sosial jangka panjang. Pemerintah, bank, dan korporasi bersama-sama ikut mempertahankan ilusi kemakmuran lewat ekspansi kredit. Begitu ilusi itu ambyar—seperti yang terjadi pada 2008—yang tersisa hanyalah ekonomi yang kosong, penuh pengangguran, utang yang tak bisa dibayar, dan kepercayaan publik yang hancur.
Singkatnya, hipotesis mereka menggambarkan krisis ini sebagai “debt trap (perangkap utang)”—dinamika siklik dimana seluruh pelaku ekonomi terus-menerus harus berutang hanya untuk bisa bertahan di dalam sistem finansial yang tak berkelanjutan. Solusinya, kata mereka, bukan sekadar bailout atau regulasi baru, tapi perubahan paradigma ke arah ekonomi yang lebih kooperatif dan etis — yang menempatkan kestabilan dan kesejahteraan manusia di atas ambisi menumpuk harta tanpa batas.

Para penulis menggambarkan apa yang mereka sebut sebagai “tiga perangkap” utama dalam kapitalisme modern—perangkap yang menjelaskan kenapa krisis global bisa begitu parah dan sulit diatasi. Ketiga perangkap ini bukan cuma soal ekonomi, tapi juga sosial dan politik, menunjukkan betapa dalamnya cacat sistem ini tertanam dalam kehidupan sehari-hari.
Perangkap pertama adalah perangkap utang (the debt trap), yang muncul karena ketergantungan berlebihan pada pinjaman untuk mempertahankan pertumbuhan. Pemerintah, perusahaan, dan individu sama-sama jadi kecanduan utang sebagai bahan bakar utama ekonomi. Alih-alih menghasilkan kekayaan nyata, sistem ini justru memperbanyak kredit dan spekulasi, menciptakan ilusi kemakmuran yang rapuh. Menurut para penulis, akar masalahnya ada pada sifat dasar kapitalisme yang harus terus tumbuh meski produktivitas riil tidak ikut meningkat. Akibatnya: gelembung finansial, krisis, pengangguran, dan kebijakan hemat yang menjerat rakyat kecil.
Perangkap kedua adalah perangkap ketimpangan (the inequality trap), dimana kekayaan dan kekuasaan menumpuk di tangan segelintir elit. Laba terus mengalir ke sektor finansial, sementara daya beli pekerja terus menurun. Akibatnya, kelas menengah dan bawah terpaksa berutang hanya agar bisa bertahan hidup—memperkuat perangkap pertama. Para penulis melihatnya sebagai krisis moral dan institusional: ketika ketimpangan dibiarkan, masyarakat kehilangan kepercayaan dan rasa kebersamaan yang membuat ekonomi bisa bertahan.
Perangkap ketiga adalah perangkap ekologis (the ecological trap), yaitu ketika ambisi pertumbuhan tanpa batas membuat manusia menguras sumber daya alam dan merusak lingkungan. Sistem kapitalis memperlakukan alam seperti tambang tak berujung dan tong sampah tanpa dasar—sebuah tindakan yang secara ekologis dan ekonomi sama-sama bunuh diri. Akar penyebabnya ada pada absennya tanggung jawab kolektif dan dominasi mentalitas keuntungan jangka pendek. Dampaknya? Krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem yang menopang kehidupan manusia.
Ketiga perangkap ini saling memperkuat. Utang memicu ketimpangan, ketimpangan mendorong konsumsi berlebihan, dan konsumsi berlebihan mempercepat kerusakan ekologis — menciptakan lingkaran setan global. Para penulis menyimpulkan bahwa jalan keluarnya bukan sekadar lewat tambalan teknis, tapi lewat perubahan paradigma total: membangun ekonomi yang berbasis kerjasama, keberlanjutan, dan bermartabat manusia—bukan sekadar menumpuk harta sampai planet ini jebol.

Para penulis menegaskan bahwa krisis keuangan global bukanlah kecelakaan atau gangguan sementara, melainkan hasil yang tak terhindarkan dari sistem yang didorong oleh utang, ketimpangan, dan nafsu keuntungan jangka pendek. Mereka menjelaskan bahwa mekanisme kapitalisme — terutama finansialisasi, deregulasi, dan pertumbuhan spekulatif — telah menciptakan ekonomi dunia yang terjebak dalam siklus ekspansi semu dan kehancuran yang menyakitkan.
Menurut mereka, apa yang disebut sebagai “perangkap utang” bukan cuma masalah finansial, tapi juga masalah struktural dan moral yang dalam. Ia mencerminkan peradaban yang lebih memilih penumpukan kekayaan ketimbang kebersamaan, persaingan ketimbang kerja sama, dan ilusi ketimbang realitas. Para penulis memperingatkan bahwa tanpa transformasi mendasar dalam cara ekonomi dijalankan, masyarakat akan terus terjebak dalam krisis berulang — dan setiap krisis berikutnya akan lebih parah dari sebelumnya.
Namun, di balik nada pesimis itu, mereka juga memberi secercah harapan. Mereka berpendapat bahwa koperasi—usaha yang dimiliki dan dikelola bersama oleh para anggotanya—bisa menjadi alternatif nyata dan manusiawi dari model ekonomi berbasis utang. Bagi mereka, koperasi membuktikan bahwa ekonomi bisa dibangun di atas kepercayaan, solidaritas, dan tanggung jawab jangka panjang, bukan di atas spekulasi dan keserakahan. Maka, bab ini ditutup dengan optimisme halus: bahwa pelajaran dari dunia koperasi mungkin adalah kunci untuk keluar dari perangkap struktural yang selama ini menjebak kapitalisme modern.

Para penulis membahas perbedaan antara siapa yang punya aset ekonomi dan siapa yang bener-bener mengontrolnya. Mereka bilang, pemisahan ini jadi salah satu faktor utama kenapa kapitalisme modern rapuh. Banyak perusahaan dan lembaga finansial dimiliki oleh para pemegang saham yang punya hak suara terbatas, tapi kontrol dijalankan oleh eksekutif dan manajer finansial yang sering mikirin untung jangka pendek daripada stabilitas jangka panjang atau kesejahteraan masyarakat. Perbedaan antara kepemilikan dan kontrol ini bikin moral hazard, dorong spekulasi, dan bikin aktivitas ekonomi jauh dari kebutuhan nyata masyarakat.
Mereka membandingkan ini dengan model koperasi, dimana kepemilikan dan kontrol lebih selaras. Di koperasi, anggota—baik pekerja, konsumen, atau produsen—memiliki perusahaan secara kolektif dan ikut langsung dalam pengambilan keputusan. Selarasnya kepemilikan dan kontrol ini bikin keputusan ekonomi lebih mencerminkan kepentingan jangka panjang komunitas, bukan cuma angka laba atau tuntutan investor yang pengen untung cepat. Bab ini menunjukkan bahwa salah satu alasan koperasi lebih tahan banting saat krisis adalah karena tata kelola mereka mencegah ketimpangan insentif yang sering terjadi di perusahaan kapitalis tradisional.
Mereka menekankan bahwa konsentrasi kontrol yang terpisah dari kepemilikan bukan cuma masalah teknis, tapi kelemahan fundamental sistem finansial global. Menyatukan kontrol dengan kepemilikan, seperti yang dilakukan koperasi, digambarkan sebagai jalan praktis menuju model ekonomi yang lebih berkelanjutan dan bertanggungjawab sosial.

Claudia Sanchez Bajo dan Bruno Roelants berpendapat bahwa kapitalisme modern sering punya masalah mendasar: kepemilikan dan kontrol tidak selaras. Mereka jelasin bahwa meski pemegang saham secara teknis punya perusahaan, kemampuan mereka buat ikutan ngambil keputusan sangat terbatas. Sementara itu, eksekutif dan manajer finansial justru pegang kontrol penuh, dan sering mikirin untung jangka pendek buat memenuhi ekspektasi pasar saham, bukan stabilitas jangka panjang atau kesejahteraan pekerja dan komunitas. Pemisahan ini, menurut mereka, bikin moral hazard muncul, dorong risiko berlebihan, dan bikin sistem finansial rapuh.
Para penulis membandingkan ini dengan koperasi, dimana kepemilikan dan kontrol lebih nyambung. Di koperasi, anggota—baik itu pekerja, konsumen, atau produsen—punya perusahaan secara kolektif dan aktif ikut dalam tatakelola. Selarasnya kepemilikan dan kontrol bikin keputusan mencerminkan kepentingan bersama anggota dan keberlanjutan jangka panjang usaha. Dengan menunjukkan kontras ini, mereka menekankan bahwa koperasi lebih tahan banting saat krisis karena menghindari ketimpangan insentif yang sering terjadi di perusahaan kapitalis biasa. Intinya, menyelaraskan kepemilikan dan kontrol dianggap kunci buat membangun struktur ekonomi yang berkelanjutan sekaligus bertanggung jawab secara sosial.

Dalam pembahasan Control versus Ownership in Key Economic Functions di Capital and the Debt Trap, Claudia Sanchez Bajo dan Bruno Roelants menjelaskan bahwa ketidakselarasan antara kepemilikan dan kontrol bukan cuma terjadi di perusahaan individu, tapi berdampak luas ke ekonomi secara keseluruhan. Mereka bilang, kontrol atas fungsi-fungsi ekonomi penting—seperti produksi, keuangan, dan distribusi—sering terkonsentrasi di tangan sedikit elit manajerial atau finansial, padahal kepemilikan tersebar luas di antara para pemegang saham. Konsentrasi ini bikin para pengambil keputusan lebih mikirin untung jangka pendek, spekulasi, dan kepentingan pemegang saham, bukan stabilitas jangka panjang ekonomi atau kesejahteraan pekerja dan komunitas.
Para penulis menekankan bahwa pemisahan kontrol dan kepemilikan ini bikin insentif jadi bengkok dan bikin sistem rentan. Misalnya, bank dan korporasi besar bisa ambil risiko besar karena kerugian ditanggung publik sementara untungnya dinikmati sendiri. Begitu juga, kebijakan publik sering dibentuk buat lindungi institusi finansial, bukan ekonomi yang kuat dan merata. Sebaliknya, di koperasi, fungsi-fungsi ekonomi kunci dikontrol secara demokratis oleh anggota yang juga pemilik perusahaan, sehingga keputusan lebih selaras dengan kepentingan bersama dan keberlanjutan jangka panjang. Para penulis menyimpulkan bahwa menjembatani kesenjangan antara kontrol dan kepemilikan dalam fungsi ekonomi penting adalah kunci buat bikin ekonomi yang tahan banting, adil, dan berkelanjutan.
Mereka menekankan bahwa pemisahan antara kepemilikan dan kontrol di perusahaan kapitalis modern adalah sumber utama rapuhnya ekonomi dan risiko sosial. Mereka bilang, kalau kontrol terkonsentrasi di tangan eksekutif atau elit finansial, sementara kepemilikan tersebar di pemegang saham pasif, sistem ini mendorong orientasi untung jangka pendek, spekulasi, dan pengambilan risiko yang bisa bikin ekonomi goyah. Ketimpangan ini nggak cuma bikin tata kelola perusahaan rusak, tapi juga melemahkan tatanan sosial dan ekonomi secara luas.
Para penulis membandingkan hal ini dengan koperasi, dimana kepemilikan dan kontrol lebih nyambung. Di koperasi, para anggota memiliki perusahaan secara kolektif dan ikut mengelola, sehingga keputusan ekonomi lebih mencerminkan kepentingan jangka panjang komunitas daripada angka laba semata. Mereka menyimpulkan bahwa selarasnya kepemilikan dan kontrol ini adalah salah satu alasan kenapa koperasi lebih tahan banting saat krisis. Intinya, mereka menegaskan bahwa sistem ekonomi yang berkelanjutan dan bertanggungjawab sosial butuh mekanisme yang menyatukan kontrol dengan kepemilikan, supaya kekuasaan ekonomi dipakai buat stabilitas jangka panjang, etika, dan kesejahteraan komunitas.

[Bagian 6]
[Bagian 4]