Era Jokowi itu kayak bikin cinematic universe nasional—banyak proyek edan yang niatnya bikin sejarah, tapi realitanya sering jadi meme internet. Proyek IKN, misalnya, digadang-gadang bakal jadi “Wakanda versi Kalimantan”—tapi ujungnya lebih mirip shooting film yang kebanyakan CGI, budget bengkak, lingkungan protes, runway bandara molor alias “presiden nggak jadi mendarat pas opening ceremony”.Kereta cepat Jakarta-Bandung? Awalnya dianggep bakal jadi plot twist modernisasi, ternyata malah jadi sinetron: warga demo, kena gusur, sawah banjir, hukum ribut, ongkos nendang ke langit. Bandara juga, mulainya heboh layaknya launching aplikasi start-up, tapi akhirnya malah makin rame candaan soal proyek sepi dan anggaran lari-larian.Tanggungjawab moral Jokowi sekarang dan ke depan ya setara karakter utama drakor sebelum episode final—harus siap di-review sama media, kena roasting warga, dan jadi bahan studi mahasiswa gelanggang debat. Setiap mega proyek yang gagal itu bakal nempel di legacy Jokowi, dari warung kopi sampai forum dosen, jadi reminder agar pemimpin berikutnya jangan asal “ngegas investasi.”Kalau dipikir secara teori, pemerintah itu baru patut nombokin proyek yang merugi kalau proyeknya punya nilai sosial yang gede banget—semacam bikin hidup rakyat jadi lebih gampang, bukan cuma buat ngisi kantong investor. Kayak misalnya bangun rumah sakit di pelosok, jaringan internet buat desa, atau jembatan yang ngurangin isolasi daerah. Keuntungan proyek itu bukan duit tunai, tapi kesejahteraan publik. Nah, di situ peran pemerintah emang kayak “sponsor utama” buat masa depan.
Tapi kalau proyeknya cuma bisnis murni, ya udah, biar aja pasar yang ngatur. Soalnya kalau negara terus-terusan bayarin kerugian bisnis swasta, jadinya kayak orang tua yang terus nutupin utang anak bandel. Lama-lama jadi kebiasaan gak sehat—bikin perusahaan gak belajar dari kegagalan, malah ngandelin bailout. Dalam teori keuangan publik yang ideal, duit pajak itu bukan buat nyelametin bisnis yang salah arah, kecuali bener-bener darurat dan bisa ngefek ke ekonomi nasional.
Sebenernya pemerintah itu boleh aja nombokin proyek rugi, asal proyeknya punya “genre” yang jelas: bikin hidup banyak orang jadi lebih baik, bukan sekadar ngangkat gengsi elite. Biasanya proyek kayak gini itu kelas berat, misal bangun rumah sakit gratis biar rakyat nggak collapse pas sakit, sekolah negeri supaya masa depan anak-anak nggak cuma buat yang punya privilege, atau listrik murah biar nggak ada yang gelap-gelapan. Proyek yang kayak gini, walau rugi di kas negara, tetep layak karena manfaatnya panjang—kayak investasi karakter utama di Hollywood yang baru panen bertahun-tahun kemudian.Tapi syaratnya, duit negara kudu dipakai cerdas, jangan asal diguyur kayak diskon belanja online. Proyek subsidi harus tepat sasaran, jangan sampai nanti yang diuntungkan malah korporasi besar atau pejabat “main belakang”. Intinya, harus ada bukti nyata kalau manfaat sosialnya memang lebih gede dari uang yang keluar dari dompet negara. Dan, jangan sampe negara jadi “tukang tutup dosa” yang tiap tahun menanggung rugi karena alasan politik, bukan karena kebutuhan rakyat banyak.Pemerintah itu nggak asal turun tangan nombokin proyek boncos. Mereka punya “tim kurasi” yang tugasnya ngecek: proyek ini beneran bantu rakyat kagak? Contohnya: bikin rumah sakit, ngebangun tol di daerah, sekolah gratis. Kalau proyeknya punya efek domino buat kesejahteraan dan nggak akan pernah dilirik investor, barulah pemerintah masuk. Prosesnya kayak audisi—mereka hitung untung sosial versus kerugian duit negara. Pemerintah juga ngecek, “Kalau duit publik turun, bisa jadi magnet ekonomi nggak? Bakal ada swasta yang ikut nyemplung nggak? Layanan bakal lebih oke nggak?”Bantuan pemerintah bisa bentuknya subsidi, pinjaman, modal, atau jaminan kayak “asuransi rugi”. Tapi tetep, pemerintah kudu mikir panjang—jangan asal guyur kayak bagi-bagi diskon. Harus tepat sasaran dan jangan sampai jadi kebiasaan yang bikin proyek nggak pernah diajarin buat sukses sendiri. Pokoknya, proyek yang dapat bantuan itu harus grade A dalam urusan manfaat publik dan bener-bener nggak bakal jalan tanpa suntikan negara.Pemerintah itu mirip “juri ajang bakat”—nyaring-nyaring dulu sebelum ngasih duit buat proyek! Mereka lihat, cocok enggak sama prioritas nasional? Beneran bisa nutup kebutuhan masyarakat atau cuma proyek gaya-gayaan? Proyek harus relevan ama strategi pembangunan atau target kesejahteraan yang lagi hits di negeri ini.Terus dicek juga: mampukah proyek ini ngasih hasil yang jelas dan gak cuma janji-janji manis di proposal? Efisiensi itu penting, masak duit rakyat dipakai buat sesuatu yang bisa dijalani lebih murah atau cepat malah dibikin ribet? Pemerintah juga nggak mau proyeknya dipakai buat “aji mumpung”—semua harus transparan, adil, dan ada pelibatan masyarakat, biar prosesnya nggak kayak bagi-bagi warisan diam-diam.Biar sebuah proyek atau program negara buat publik nggak zonk, syaratnya kudu seperti syuting film blockbuster. Proyek harus punya “naskah” alias tujuan jelas, nggak ngawang-ngawang, dan nyambung sama visi pemerintah. Pemeran pendukungnya juga harus lengkap—ada partisipasi warga, opini ahli, sampai para “crew” dari kementerian biar semua merasakan vibes-nya.Jangan lupa, planning-nya kudu matang, kayak director yang sudah bikin storyboard lengkap. Pemerintah harus buka-bukaan soal anggaran dan risiko, jadi nggak ada yang main belakang atau tiba-tiba drama anggaran membengkak. Semua harus punya indikator hasil—kayak rating IMDB! Proyek sukses itu bukan hanya selesai tepat waktu dan dana aman, tapi juga benar-benar bikin perubahan di masyarakat. Intinya, program harus terus diaudit, disesuaikan sama kebutuhan, dan siap dikritisi. Kalau bisa bikin masyarakat makin sejahtera dan nggak cuma wacana doang—itulah definisi sukses versi Oscar proyek negara.
[Bagian 4]Pertanyaannya sekarang, apakah Jokowi bakal dapat “maaf nasional”? Kayaknya sih, pengampunan susah mampir buat Pak Lurah yang satu ini: dosa-dosanya udah tebel banget kayak tembok China, dari hobi ngibul di depan publik, ijazah nyeleneh, sampai deretan proyek boncos yang sukses bikin rakyat merana dan presiden berikutnya terpaksa nerusin drama serial gagal investasi. Kalau berharap diangkat jadi pahlawan atau bahkan nabi (inga-inga: hanya paham Komunis yang mudah mengkultuskan seseorang), jangan mimpi—Jokowi lebih cocok jadi legenda meme politik, dengan karya warisan yang bikin kepala bangsa ini cenat-cenut di episode pemerintahan selanjutnya.Walaupun presiden nggak gampang masuk bui gara-gara proyek boncos, beban moralnya berat banget—kayak karakter utama di film setelah plot twist gagal. Dalam jangka pendek, doski pasti jadi bulan-bulanan media (walau memang ngeselin, bukannya jadi "Penjaga Demokrasi" alias The Fourth Estate, eh ada aja media mainstream Indo yang malah mau jadi "media termul'', dan peran mereka lebih banyak digantiin oleh para netizen), masyarakat sipil, dan oposisi; kredibilitasnya langsung jeblok, kayak rating acara TV yang dibikin-bikin. Rakyat berharap presiden itu jadi “manajer amanah”, jadi kudu berani tampil di depan publik, minta maaf, atau minimal jelasin kenapa duit negara bisa amblas.Dalam jangka panjang, bayang-bayang proyek gagal bisa nempel terus di reputasi sang presiden, kayak meme politik yang enggak pernah usang. Sejarah dan publik bakal terus mengingat, menganalisis, dan menjadikan pengalaman itu “bahan ajar” agar pemimpin berikutnya gak asal main proyek. Intinya, moral responsibility itu nggak bakalan mati—akan jadi pengukur integritas presiden yang bisa muncul kapan aja, bahkan setelah doi pensiun, jadi cameo di drama politik generasi berikutnya.
Sekarang mari balik lagi ke topik reformasi Polri yang lagi ditimbang-timbang Presiden Prabowo.
Ide tentang kepolisian itu nggak pernah diam di tempat; ia berkembang bareng peradaban manusia. Dari lempeng tanah liat di Mesopotamia sampai layar komputer di ruang komando Polri, perjalanan penegakan hukum adalah cerita manusia bernegosiasi dengan kekuasaan, ketertiban, dan keadilan. Alatnya boleh berubah, tapi pertanyaannya tetap sama: gimana caranya kekuasaan bisa melindungi tanpa menindas?
Secara filosofis, kepolisian lahir dari kebutuhan dasar: manusia butuh sistem untuk ngatur perilaku ketika hidupnya udah nggak cuma sebatas keluarga atau suku. Thomas Hobbes di Leviathan (1651) bilang, tanpa kekuasaan yang bisa bikin orang segan, hidup bakal “sendiri, miskin, jahat, brutal, dan pendek.” Artinya, tanpa hukum dan penegaknya, dunia bakal chaos. Tapi John Locke di Two Treatises of Government (1689) ngasih versi yang lebih lembut: otoritas itu sah bukan karena ditakuti, tapi karena disetujui rakyat. Jadi, polisi seharusnya bukan penguasa rakyat, tapi representasi rasa aman yang dibangun bareng rakyat.
Berabad-abad kemudian, gagasan ini diwujudkan di Inggris lewat Sir Robert Peel yang mendirikan Metropolitan Police tahun 1829. Peel punya prinsip keren: “polisi adalah rakyat, dan rakyat adalah polisi.” Tujuannya revolusioner—mengubah citra polisi dari tangan besi kekuasaan jadi penjaga kepercayaan publik. Menurut Alan Wright (2002), kepolisian modern lahir bukan ketika petugas pertama kali patroli, tapi ketika masyarakat percaya pada keabsahan tugas mereka.
Ada kisah lucu dari masa itu: seorang polisi baru di London saking bangganya dengan seragam birunya, dia malah sibuk ngaca di jendela toko sepanjang jalan… sampai nggak sadar ada perampokan di belakangnya. Cerita ini jadi legenda kecil di sekolah kepolisian, pengingat bahwa profesionalisme itu bukan soal gaya, tapi soal kesadaran dan tanggung jawab. Seperti kata Herbert L. Packer (1968), “polisi yang efektif harus bisa menyeimbangkan otoritas dan tanggung jawab supaya nggak disalahgunakan.”
Secara global, munculnya kepolisian modern di abad ke-19 sejalan dengan revolusi industri dan meledaknya urbanisasi. Kota makin padat, ketimpangan makin lebar, kriminalitas naik. Dari Paris sampai New York, polisi jadi pelindung sekaligus simbol kontrol negara. Clive Emsley (1996) nyebut, di mana pun polisi kehilangan legitimasi, reformasi pasti datang. Reformasi, katanya, bukan sekadar urusan administrasi, tapi urusan moral — cara buat menyesuaikan kekuasaan dengan prinsip keadilan.
Di Indonesia, kisah kepolisian punya jalan sendiri yang penuh drama. Akar historisnya ada di masa kolonial Belanda, saat polisi (Politiedienst) dibentuk bukan buat ngelindungi rakyat, tapi buat menjaga kepentingan penjajah. Polisi waktu itu lebih mirip mata-mata kekuasaan ketimbang pelindung masyarakat. Tapi bahkan di tengah sistem kolonial itu, benih profesionalisme mulai tumbuh pelan-pelan. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, republik muda ini nggak cuma mewarisi struktur kolonial, tapi juga dilema moral: polisi di negara merdeka itu seharusnya berarti apa?
Transformasi dimulai dengan mimpi: membangun kepolisian yang melayani, bukan memerintah; yang melindungi, bukan menakuti. Dari nasionalisasi Polri di tahun 1950-an sampai pemisahan dari TNI tahun 2000, tiap reformasi jadi usaha menata ulang makna kekuasaan sesuai cita-cita demokrasi. Seperti kata Peter K. Manning (2008), “reformasi modern itu soal pakai ilmu dan teknologi supaya polisi jalan sesuai nilai-nilai kerakyatan.”
Kini, di bawah visi Presiden Prabowo, pertanyaannya muncul lagi: bisakah Polri menemukan kembali semangat Peel, nurani Locke, dan kewaspadaan moral zaman modern? Reformasi sejati, seperti yang ditulis sejarah, nggak pernah cuma soal birokrasi. Ia adalah pembaruan makna. Tujuannya bukan menebar takut, tapi menumbuhkan percaya; bukan pamer kuasa, tapi membuktikan integritas.
Dan mungkin, seratus tahun dari sekarang, ada sejarawan muda yang menulis kisah baru—bukan tentang polisi yang sibuk ngaca, tapi tentang generasi petugas yang berani menatap cermin, lalu melihat bukan wajah kekuasaan, melainkan wajah rakyat yang mereka lindungi.
[Bagian 2]