[Bagian 2]Dalam dongeng dua Bobby, publik kini terbelah antara gubernur yang hobi razia pelat dan seekor kucing yang hobi tidur di atas arsip negara. Bobby Nasution, alias Bobby Sumut, viral gara-gara menghentikan truk Aceh dan ceramah pajak di pinggir jalan. Aksinya disebut netizen sebagai “sinetron pajak dengan nuansa feodal”. Sementara itu, Bobby Kertanegara—kucing tuxedo kesayangan Presiden Prabowo—justru jadi simbol ketenangan nasional. Ia tak peduli pelat BL, pajak kendaraan, atau TikTok viral. Hobinya? Mengejar laser pointer dan tidur saat rapat kabinet. “Bobby Sumut sibuk ikut audisi Tax Idol,” tulis netizen, “sementara Bobby Kertanegara menjaga persatuan bangsa dengan cara paling elegan: rebahan.”Kontras ini bikin pengamat politik geleng-geleng. “Kalau gubernur mulai razia pelat kayak penjaga gerbang kerajaan, itu bukan kebijakan, itu panggung,” ujar seorang pakar.Kabarnya, pejabat Aceh mau ngirim hadiah ke Bobby Kertanegara: tiang garukan khusus berpelat BL, simbol kebebasan, toleransi, dan hak berkeliaran tanpa diskriminasi. Pertanyaannya sekarang: sejak kapan pelayanan publik jadi panggung drama? Dan berapa banyak lubang jalan yang harus dipolitisasi sebelum jalan menuju persatuan benar-benar amblas? Yang jelas, di Indonesia, seekor kucing bisa jadi simbol persatuan yang lebih ampuh daripada gubernur yang bawa kamera dan syahwat politik.Di koridor politik Sumatera Utara yang sibuk, kisah-kisah tentang orang-orang kayak Booby nunjukin betapa cair dan teatrikalnya kekuasaan lokal—dimana pengaruh bisa pindah seenaknya, mirip drama pasar yang ramai. Cerita-cerita ini, penuh manuver dan balik arah mendadak, bikin kita mikir lebih luas: kalau kekuasaan di level lokal bisa se-fluktuatif itu, bayangin deh di level nasional. Nah, dari situ kita nyambung ke keluarga Jokowi. Mereka sering disebut “dinasti politik,” tapi istilah itu rasanya agak aneh. Dinasti biasanya bikin orang kebayang wibawa, kesinambungan, dan prestise. Sementara yang kelihatan dari lingkaran politik mereka lebih ke konsolidasi praktis, jaringan yang rapat karena strategi dan kedekatan, bukan karena warisan mulia. Perbedaan subtle ini ngajak kita mikir ulang istilah yang dipakai, geser dari glamornya “dinasti” ke pemahaman yang lebih realistis tentang kekuasaan di Indonesia sekarang.
Dalam British English, istilah “dynasty” itu biasanya bikin orang kebayang kemegahan ala kerajaan atau keluarga elite yang hidup penuh wibawa. Kalau dipakai buat keluarga Jokowi, rasanya agak kurang pas, apalagi kalau yang kita lihat justru bukan penguatan demokrasi, tapi malah kerusakan di lembaga-lembaga penting kayak hukum dan politik. Jadi daripada kelihatan glamor, lebih cocok mungkin disebut sebagai “lingkaran kekuasaan,” “kelompok keluarga politik,” atau ya sekadar “klan.” Istilah-istilah ini tetep nunjukin adanya hubungan erat dan permainan kekuasaan, tapi nggak bikin terdengar megah atau mulia seperti “dynasty.”Istilah klan dalam film silat biasanya pakai kata Men, Pai, atau Bang. Kalau Men itu berasa kayak sekte turun-temurun, semacam Shaolin Men yang anggotanya hidup dalam ajaran. Kalau Pai lebih kayak aliran, contoh Wudang Pai yang kesannya filosofis dan penuh tradisi. Nah, kalau Bang beda lagi, lebih mirip geng jalanan yang solid, kuat, tapi nggak neko-neko. Jadi kalau mau nyebut keluarga Jokowi dengan nuansa wuxia, lebih cocok dibilang Jokowi Bang ketimbang Jokowi Men. Bukan berarti megah kayak kerajaan, tapi lebih kayak lingkaran kekuasaan yang main kompak dan rapat, tapi jauh dari kesan anggun.Bayangin politik kita kayak dunia Jianghu dalam film silat: luas, liar, dan penuh intrik, dimana sekte-sekte besar saling berebut pengaruh. Nah, kalau dibikin cerita, keluarga Jokowi nggak tampil kayak dinasti megah duduk di singgasana emas, tapi lebih kayak sebuah Bang—geng yang solid karena kesetiaan dan strategi, bukan karena garis keturunan atau filsafat mulia. Mereka geraknya rapih, lingkarannya terjaga, dan pengaruhnya susah dibendung. Tapi auranya beda banget sama sekte kuno ala Men atau aliran bijak macam Pai. Bukan cerita tentang kebesaran abadi, tapi tentang taktik, bertahan, dan menjaga posisi di arena politik. Jadi, kalau kita sebut mereka Jokowi Bang, itu kayak lagi nonton film kungfu klasik yang setting-nya pindah ke Senayan: penuh jurus politik, intrik, dan drama, tapi jauh dari kesan kerajaan megah.Dalam obrolan sehari-hari, keluarga Jokowi sering disebut sebagai “dinasti politik,” tapi kata itu kayaknya terlalu megah buat kenyataan yang ada. Dinasti itu biasanya bikin orang bayangin kemuliaan, warisan budaya, atau aura kerajaan, sementara yang kelihatan sekarang lebih mirip klan atau geng yang kompak karena strategi dan kedekatan, bukan karena wibawa. Nah, bedanya di situ: ketika bayangan kemegahan runtuh, yang tersisa hanyalah lingkaran kepentingan, bukan pewarisan yang agung. Dan justru dari celah inilah muncul persoalan yang lebih gawat: politik berubah jadi urusan menjarah negara. Jabatan publik bukannya jadi amanah buat ngurus rakyat, malah berisiko jadi jalan pintas buat memperkaya diri. Di sinilah bahasanya harus geser, bukan lagi “dynasty,” tapi sesuatu yang lebih gelap lagi—warisan mereka bukan kebesaran, melainkan kerusakan institusi dan demokrasi. Dan selalu saja ada para pembela bagi klan keluarga ini, bukan karena ketulusan, tetapi semata demi sebuah jabatan Komisaris BUMN.
Kalau ngomongin sejarah kleptokrasi, kisah Mobutu Sese Seko di Zaire bisa dibilang contoh paling edan. Selama berkuasa, doski sering banget ngecap dirinya sebagai pemimpin paling populer dan nggak tergantikan di Zaire. Doski bikin cult of personality gede-gedean, dimana doi dianggap bukan cuma bapak bangsa tapi juga satu-satunya penjaga persatuan negara. Orang dipaksa manggil doi dengan gelar-gelar bombastis kayak “Bapak Bangsa”, “Mesias”, dan “Sang Macan Tutul”. Gambarnya nongol dimana-mana—di uang, di sekolah, sampai gedung pemerintahan. Aksi dukungan rakyat juga banyak yang settingan, dan siapa pun yang beda suara biasanya langsung diberesin dengan cara keras.Kenyataannya, “kepopuleran” Mobutu lebih banyak dibangun dari rasa takut, sistem bagi-bagi jabatan, dan propaganda, bukan cinta tulus dari rakyat. Media dan ruang publik dikontrol penuh, bikin kesan seakan-akan dia disembah semua orang, padahal banyak warga Zaire yang sebetulnya muak sama korupsi dan gaya otoriternya, cuma nggak punya pilihan lain selain pura-pura patuh.Diam-diam doi nyedot miliaran dolar ke rekening pribadinya di luar negeri. Istana megahnya, topi bermotif macan tutul, sama mobil-mobil mewah jadi simbol kemewahan gila-gilaan, sementara rakyat biasa di Kongo cuma bisa gigit jari karena sekolah, rumah sakit, dan jalanan pada hancur. Yang bikin makin tragis, Mobutu bikin kultus pribadi yang bikin orang banyak nggak sadar kalau masa depan mereka lagi dijual sepotong demi sepotong.Di Haiti, kisah Jean-Claude “Baby Doc” Duvalier nggak kalah serem. Naik tahta pas masih umur sembilan belas, doi nerusin sistem teror yang dibangun bapaknya, tapi di-level up jadi mesin buat nyari duit sendiri. Duit negara ditransfer ke rekening rahasia, sementara rakyat makin tenggelam dalam kemiskinan. Pas doski kabur ke Prancis, ceritanya belum kelar juga, soalnya waktu balik lagi ke Haiti puluhan tahun kemudian, kehadirannya langsung buka luka lama: negara yang ada bukan cuma dirampok uangnya, tapi juga kepercayaan dan harga dirinya.
Di Filipina, era Ferdinand Marcos juga penuh drama. Doski ngumumin darurat militer katanya buat jaga negara, padahal aslinya buat ngekonsolidasi kekuasaan dan nguras kekayaan rakyat. Bareng istrinya, Imelda, yang terkenal gara-gara koleksi sepatu sama perhiasannya, Marcos ngacak-ngacak kas negara sampai miliaran dolar. Pas rakyat akhirnya bangkit lewat Revolusi People Power tahun 1986, Filipina udah keok secara finansial, dan nama Marcos jadi peringatan abadi kalau otoritarianisme dan korupsi biasanya jalan bareng.Kasus Ferdinand Marcos di Filipina jelas-jelas kleptokrasi: doi dan keluarganya ngumpulin duit negara sampai miliaran dolar, sementara rakyat dicekik utang plus hidup di bawah rezim otoriter. Sementara itu, Mahathir Mohamad di Malaysia bukan dituduh ngerampok buat dirinya langsung kayak gitu, tapi sering dikritik karena bikin sistem kronisme, dimana temen-temen politik dan konglomerat pilihannya yang kecipratan untung gede selama doi berkuasa.
Kisah-kisah dari Afrika, Karibia, sampai Asia ini nunjukin pola yang sama: pemimpin yang bikin negaranya kayak celengan pribadi, nutupin kejahatannya pakai karisma, propaganda, dan kekerasan. Luka yang mereka tinggalin bukan cuma ekonomi, tapi juga mentalitas, karena mereka ngajarin generasi demi generasi kalau jadi pemimpin itu artinya ngeksploitasi, bukan melayani.
Dalam catatan sejarah, banyak banget contoh kepala negara yang tega banget ngerampok negaranya sendiri, seolah-olah kas negara itu dompet pribadi yang bisa dibagi-bagi buat keluarga dan kroni. Ferdinand Marcos di Filipina jadi salah satu contoh paling legendaris—puluhan tahun berkuasa sambil main-main dengan miliaran dolar rakyat yang malah disembunyikan di rekening Swiss dan dipakai beli properti mewah di luar negeri. Mobutu Sese Seko di Zaire juga sama aja, hidup glamor dengan topi kulit macan sementara rakyatnya kelaparan, katanya sih miliaran duit bantuan asing langsung masuk kantongnya. Indonesia pun punya kisahnya lewat Suharto, yang sampai-sampai Transparency International nyebut rezimnya salah satu yang paling korup sepanjang sejarah modern, dengan keluarga dan kroni dapat jatah monopoli bisnis dan kontrak negara. Cerita-cerita kayak gini nunjukin betapa gampangnya kekuasaan tanpa kontrol berubah jadi kerajaan pribadi, dimana batas antara harta negara dan harta keluarga jadi sengaja dikaburin.
Di dunia Arab sama Eropa Timur juga nggak kalah heboh kisahnya soal pemimpin yang ngegas pakai negara buat kepentingan pribadi. Hosni Mubarak di Mesir, misalnya, bisa duduk manis tiga dekade di kursi kekuasaan, sementara keluarganya diam-diam ngumpulin duit miliaran dolar lewat kontrak militer dan bisnis yang dimonopoli. Muammar Gaddafi di Libya juga nggak jauh beda—ngaku-ngaku pemimpin revolusioner, tapi duit hasil minyak malah dialirin ke rekening pribadi plus proyek mewah anak-anaknya, dari klub bola sampai istana dimana-mana. Di Eropa Timur, Nicolae Ceaușescu di Rumania terkenal banget dengan gaya hidup super mewah bareng istrinya, Elena, sementara rakyat disuruh hidup dengan jatah makanan serba terbatas. Mereka bikin istana megah dan proyek-proyek absurd yang cuma jadi simbol betapa jauhnya kehidupan penguasa dari rakyatnya. Dari sini kelihatan banget pola umumnya: kalau kekuasaan nggak ada yang ngawasin, jadinya negara berubah jadi taman bermain pribadi buat ambisi dinasti.
Di Afrika kontemporer, Equatorial Guinea bisa dibilang contoh paling textbook soal dinasti, yang lebih tetpatnya disebut klan, perampok negara. Teodoro Obiang Nguema Mbasogo udah lebih dari 40 tahun berkuasa, sementara anaknya, Teodorín, pamer gaya hidup gila-gilaan: koleksi supercar, rumah mewah di Paris, bahkan koleksi pribadi memorabilia Michael Jackson—semuanya katanya sih dari duit minyak yang disedot buat kantong keluarga. Robert Mugabe di Zimbabwe juga mirip-mirip, awalnya dielu-elukan sebagai pahlawan kemerdekaan, tapi akhirnya nempel di kursi kekuasaan sambil bikin rakyat menderita hiperinflasi. Sementara itu, keluarganya hidup hedon, istrinya sampai dijuluki “Gucci Grace” gara-gara hobi belanja mewah di luar negeri. Di Amerika Latin, dinasti Somoza di Nikaragua jadi simbol kleptokrasi paripurna: keluarga ini anggap duit negara kayak warisan pribadi, bahkan Anastasio Somoza pernah nyeletuk cuek kalau rakyat kelaparan, yang penting dia tetap berkuasa. Lebih dekat lagi, Venezuela di bawah Hugo Chávez lalu Nicolás Maduro juga dituduh ngasih makan kroni lewat duit minyak negara, padahal rakyat ngantri panjang cuma buat roti dan obat. Kasus-kasus kayak gini, baik di Afrika maupun Amerika Latin, bikin jelas banget: kalau penguasa anggap negara kayak bisnis keluarga, ya rakyat yang akhirnya nombok—dengan kemiskinan, represi, dan hancurnya kepercayaan.
Cara para penguasa bejat ini ngerampok rakyatnya biasanya keliatan ribet dan canggih, tapi ujung-ujungnya sama aja: nyolong lewat kekuasaan. Banyak dari mereka bikin jaringan bisnis monopoli buat keluarga dan kroninya, jadi semua kontrak negara, izin usaha, sampai perdagangan besar, pasti mampir dulu ke kantong mereka. Ada juga yang main gasak sumber daya alam—minyak, gas, atau tambang—dengan cara mengalirkan hasil ekspor langsung ke rekening rahasia di luar negeri, sementara rakyatnya malah tetep miskin di negeri yang katanya kaya. Modus lain yang sering dipakai adalah ngemplang dana bantuan luar negeri; duit yang harusnya buat pembangunan malah dipakai bangun istana, belanja barang mewah, atau jalan-jalan pribadi. Nggak jarang juga mereka pasang anak, istri, atau sepupu di posisi strategis pemerintahan, biar akses duit gampang dan loyalitas tetap terjaga. Dan biar rakyat nggak terlalu ngeh, propaganda plus media yang dikontrol negara dijadikan tirai asap—teriak-teriak soal nasionalisme atau bikin musuh imajiner, padahal di belakang layar duit negara lagi diangkut pelan-pelan. Intinya sih, semua trik ini punya benang merah: mereka sengaja hapus akuntabilitas, sampai harta negara susah dibedain sama harta pribadi.
Berikut gambaran pola-pola umum yang sering dipakai, tapi ini diskleimernya: penjelasan ini tidak memberi langkah-langkah praktis buat nyolong atau ngumpetin duit—cuma buat memahami modus supaya bisa dikenali dan diberantas. Banyak pemimpin kleptokrat pakai lapisan perantara—direktur boneka, bankir yang bersahabat, atau anggota keluarga—supaya jejak kertas (paper trail) nggak nunjuk ke mereka. Mereka sering campur aduk antara instrumen yang sah dan yang tertutup: perusahaan cangkang (shell companies) di yurisdiksi yang rahasia, trust atau yayasan yang nyembunyiin pemiliknya, serta bisnis yang tampak legal tapi dipakai buat nyampurin duit haram dengan omzet biasa. Taktik lain yang sering muncul adalah ngubah duit tunai jadi aset bernilai tinggi dan tahan lama—misalnya properti, karya seni, mobil mewah, atau koleksi langka—karena barang-barang ini bisa nyimpen nilai dan kadang dijual atau dijaminkan tanpa asal-usulnya keliatan jelas. Kalau rezim itu juga kuasai bank, regulator, dan bea cukai, proses pemindahan dan perubahan kepemilikan bisa jalan mulus tanpa pengawasan. Banyak kleptokrat juga pakai “enabler” internasional—orang-orang di pusat keuangan global seperti pengacara, akuntan, atau agen properti—buat nyebarin dana lintas-batas, memanfaatkan perbedaan aturan dan kerahasiaan supaya penyelidik kebingungan. Selain itu, publikasi lewat filantropi dan donasi politik sering dipakai jadi perisai reputasi: dana dialirkan ke yayasan yang dipublikasikan biar terlihat mulia sambil ngelolosin asal-usul duit.Sekali lagi, tulisan ini bukan panduan praktis—tulisan ini konteks analitis supaya jurnalis, penegak hukum, dan publik bisa lebih peka sama tanda-tandanya. Sebagai respons, badan internasional dan regulator keuangan udah bikin berbagai alat: registri pemilik manfaat (beneficial-ownership), aturan ketat soal ‘know your customer’, kerja sama lintas-negara buat berbagi informasi, sampai sanksi — semua itu ditujukan buat ningkatin transparansi dan mempersulit upaya menyembunyikan harta negara yang dicuri. Peran masyarakat sipil dan media independen juga krusial: mereka yang gali kasus, ikuti jejak uang, dan tekan institusi buat bertindak. Pada akhirnya, pertahanan paling kuat adalah kelembagaan: pengadilan yang independen, auditor yang akuntabel, pers yang bebas, dan pengawasan publik yang efektif — itu yang bikin ruang bagi kleptokrasi makin sempit.Intinya, ada beberapa “tanda merah” yang bisa dilacak sama jurnalis investigasi, auditor, atau masyarakat sipil buat ngenalin potensi korupsi negara. Pertama, kekayaan mendadak yang nggak masuk akal dari pejabat atau keluarganya, yang jauh lebih gede dari gaji resmi, apalagi kalau ditambah gaya hidup mewah: mobil sport, jet pribadi, rumah dimana-mana—jelas gak sebanding sama penghasilan yang dilaporin. Tanda lain adalah perusahaan cangkang atau perusahaan yang nggak transparan yang terhubung sama pejabat, terutama kalau mereka pegang kontrak pemerintah, izin impor-ekspor, atau hak sumber daya; ini bikin aliran duit negara nyasar ke kantong pribadi. Pola aneh di pengadaan negara juga harus diwaspadai, misalnya selalu kasih kontrak ke bisnis yang sama tanpa tender kompetitif, atau ke perusahaan yang terdaftar di negara super rahasia, ini nunjukin korupsi sistemik. Transfer aset ke rekening luar negeri, arus kas lintas-batas yang sering, atau lonjakan investasi mewah yang tiba-tiba di properti atau seni juga bisa jadi tanda duit haram. Media yang ditekan, transparansi anggaran minim, dan lembaga pengawas dimanipulasi buat lindungin kroni juga jadi sinyal institusional: kalau kontrol dilemahkan, peluang penyalahgunaan gede banget. Terakhir, pengeluaran filantropi atau proyek politik yang nggak nyambung sama kebutuhan rakyat—misalnya monumen mewah kayak IKN atau yayasan yang cuma buat pencitraan penguasa—biasanya dipakai jadi asap biar duit yang dicuri keliatan legit.