Kamis, 02 Oktober 2025

Para Penjarah Negara (2)

Konon, Sigmund Freud, meski dianggap bapak psikologi modern, sampai meninggal pun doski gak bisa ngasih jawaban pasti soal pertanyaan  "What do women want?" Sepanjang kariernya, Freud memang meneliti psikologi dan seksualitas perempuan, dengan teori-teori seperti “penis envy” dan tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Tapi ya, karya-karyanya tetep dipengaruhi bias zaman, banyak kesimpulannya cuma dugaan, nggak ada yang pasti. Bahkan Freud sendiri katanya pernah ngaku kalau jiwa perempuan itu tetep misteri baginya, jadi pertanyaan ini gak terselesaikan sampai doi wafat tahun 1939. Singkatnya, Freud bisa menganalisis, bikin teori, dan bikin debat panas, tapi jawaban yang jelas dan memuaskan… ya tetep kagak ada.
Kalau Freud masih hidup, doski pasti ngeliat proyek IKN kayak sesi terapi negara yang belum kelar. Hutan dibabat, beton ditumpuk, bukan buat rakyat, tapi buat nunjukin ego kolektif para gangsta: id-nya pengen warisan, superego-nya minta simbol, ego-nya langsung ACC anggaran yang jebol. Dalam drama psikoanalisis ini, negara jadi pasien yang sibuk bangun menara biar bisa nutupin suara masa lalu yang gagal. Tapi pas tiang-tiangnya kebakar dan pekerja tidur di modul yang kayak limbo, kita mulai mikir: ini mimpi buat siapa sih? Buat rakyat, atau buat elite yang pengen bangun sesuatu yang cukup gede buat lupa dosa sendiri? Freud emang nggak nulis soal pembangunan tropis, tapi doi pasti kenal gejalanya: penggusuran, penyangkalan, dan hasrat membara buat dikenang.

Kebakaran di Tower 14 HPK IKN tuh kayak scene pembuka sinetron distopia: asap tebal, hunian pekerja gosong, dan janji-janji pembangunan yang mulai kelihatan bolongnya. Secara politik, ini kayak ngebocorin behind-the-scenes dari proyek mercusuar negara. Pemerintahan di rezim Jokowi bilang IKN itu masa depan, tapi kalau pekerja aja nggak aman, masa depan siapa yang dimaksud?
Secara ekonomi, ini kayak investor lagi mikir ulang: “Gue naruh duit di proyek yang rumah pekerjanya bisa kebakar gitu?” Apalagi anggaran IKN tahun ini dipotong drastis. Kalau bangunan modular yang katanya efisien aja bisa kebakar, gimana dengan gedung-gedung jangka panjangnya?
Secara sosial, ini nunjukin jurang antara narasi elite dan realita di lapangan. Ratusan pekerja dipindahin, kayak figuran yang nggak dikasih skrip. Mereka bukan bagian dari mimpi IKN, tapi cuma alat buat ngejar deadline. Nggak ada korban jiwa sih, tapi trauma dan ketidakpastian itu nggak bisa diukur pakai spreadsheet.
Secara budaya, kebakaran ini kayak glitch di storyline IKN yang katanya mau jadi kota masa depan Indonesia. Malah jadi throwback ke era pembangunan yang serba buru-buru, nggak dengerin suara lokal, dan penuh simbol kekuasaan. Buat banyak orang, IKN bukan harapan, tapi panggung buat elite. Dan kebakaran ini? Mungkin itu alarm dari semesta.
Kebakaran di Tower 14 HPK IKN tuh kayak semesta lagi ngirim surat protes pake efek spesial. Bayangin aja, semesta duduk santai sambil ngopi, terus bilang, “Bro, kota pintar di tengah hutan? Gua kasih api biar lo mikir ulang.” Kalau ini alarm semesta, ya dia lagi ngasih plot twist: mimpi hijau nan futuristik ternyata dibangun di atas kardus yang gampang kebakar.
Tapi kalau ini ulah manusia? Wah, kita masuk ke genre “drama birokrasi absurd.” Kayak ada pejabat yang bilang, “Bangun cepet, murah, asal jangan dicek pintu daruratnya beneran bisa dibuka atau cuma hiasan.” Bukan teori konspirasi sih, lebih kayak sinetron yang naskahnya lupa masukin bab keselamatan kerja.
Intinya, kebakaran ini udah jadi tokoh utama di saga IKN. Bukan antagonis, tapi whistleblower. Kebakaran ini nggak ngebakar mimpi, tapi ngebongkar narasi. Dan entah itu kiriman dari langit atau hasil keteledoran, api ini ngomong lebih lantang daripada segalajanis konferensi pers.

Nah, kalau Freud pusing tujuh keliling kagak bisa ngejawab “Apa yang dimaui wanita?”, bisa jadi kalau ditanya “What do the corruptors want?”, doi malah gampang ngejawabnya. Soalnya, kalau keinginan perempuan dalam kacamata Freud penuh membran, misteri, dan kompleksitas, keinginan koruptor mah jelas banget: cuan, kekuasaan, kekebalan hukum, dan fasilitas tanpa batas. Kalau Freud ngadepin misteri, di sini doski bakal ngadepin kerakusan yang telanjang bulat. Mungkin Freud bakal menganalisis para koruptor sebagai orang yang mentalnya mandek di fase kanak-kanak, nggak bisa lepas dari nafsu instan, atau dihantui ketakutan kekurangan. Bedanya, kali ini Freud nggak perlu angkat tangan bilang “I can't answer it”—jawabannya justru kelewat kentara: mereka cuma mau terus makan tanpa pernah kenyang.
Andaikata Freud sempet nganalisis para koruptor, mungkin doski bakal bilang mereka mentalnya stuck di fase bocah, selalu pengen gratifikasi instan, dan dihantui ketakutan bakal kekurangan. Tapi bedanya, kali ini Freud gak bakal geleng-geleng kepala bilang “I don’t know.” Keinginan koruptor itu jelas banget, malah kelewat kentara: kerakusan tanpa ujung. Dan justru karena terlalu obvious, yang hancur bukan cuma institusi negara, tapi juga imajinasi masyarakat yang lama-lama merasa, “yah, gini aja terus kayaknya.”

Di Munas PKS, Presiden Prabowo ngomong kalau korupsi di Indonesia udah level sistemik banget, sampai-sampai satu orang koruptor aja bisa bikin negara rugi dua sampai tiga triliun rupiah.  Beliau bahkan bilang, sebenarnya tiap tahun ada ratusan triliun duit negara yang raib, kayak siklus perampokan yang terus nyedot kekayaan bangsa. Presiden Prabowo juga nyorot tambang ilegal—ada seribuan titik di Bangka Belitung—yang beliau sebut sebagai bentuk perampokan negara secara terang-terangan. Ujungnya, beliau menekankan kalau korupsi nggak cuma bikin lembaga negara lemah, tapi juga bikin rakyat biasa, dari buruh sampai wartawan, hidup makin susah karena sumber daya bangsa keburu disedot sama yang rakus.

Dalam bukunya yang dirilis pada tahun 2020, Kleptopia: How Dirty Money Is Conquering the World, jurnalis investigasi Tom Burgis mengungkapkan bagaimana para kleptokrat memanfaatkan sistem keuangan global untuk menyembunyikan kekayaan ilegal mereka. Burgis menjelaskan bagaimana elit korup memanfaatkan lembaga keuangan, perusahaan cangkang, dan kerangka hukum yang tidak transparan untuk mencuci uang, menghindari pertanggungjawaban, dan memperkuat kekuasaan mereka. Melalui narasi yang memikat, ia mengungkapkan mekanisme yang memungkinkan aktor-aktor ini merusak demokrasi dan mempertahankan rezim otoriter.

Para kleptokrat itu merusak demokrasi dan bikin rezim otoriter makin awet lewat trik-trik yang saling nyambung. Mereka nguras sumber daya negara sampai rakyat udah nggak percaya lagi sama pemerintah, hukum pun jadi sekadar formalitas tanpa isi. Lewat jaringan patronase, mereka beli kesetiaan pejabat, elit politik, sampai masyarakat, jadi sistem pemerintahan berubah jadi transaksi jual-beli loyalitas, bukan pengabdian. Di sisi lain, mereka mainin pengadilan dan parlemen supaya aman dari jeratan hukum, plus ngerem kebebasan media biar nggak ada kritik dan narasi tetap mereka yang pegang. Di level internasional, duit haram dicuci lewat perusahaan cangkang, rekening offshore, sampai properti mewah di kota-kota finansial besar, bikin kekayaan kotor kelihatan sah. Lingkaran ini bikin mereka makin kuat, demokrasi makin kropos, dan masyarakat terjebak dalam otoritarianisme yang dibungkus rapi dengan label “stabilitas.”
Burgis menegaskan bahwa dampak paling luas dari kleptokrasi adalah bagaimana ia nyatuin otoritas politik dengan dominasi ekonomi, bikin negara berubah jadi alat memperkaya diri, bukan ngurus rakyat. Perpaduan ini bikin demokrasi keropos, karena institusi yang harusnya jagain kepentingan publik malah dikuasai elit yang mikirin selamatin diri sendiri. Burgis nunjukin kalau kleptokrasi itu nggak cuma berhenti di level domestik; ia nyebar lewat sistem finansial global, bikin pasar jadi bengkok, ngasih oksigen ke pemimpin otoriter, dan melemahkan norma keadilan internasional. Hasil akhirnya? Duit haram bisa beli kekebalan, rakyat makin nggak percaya sama demokrasi, dan otoritarianisme diekspor dengan bungkus manis bernama “investasi” dan “stabilitas.”
Pesan utama Tom Burgis dalam Kleptopia: How Dirty Money Is Conquering the World (2020) adalah bahwa kleptokrasi bukan sekadar kumpulan skandal terpisah, tapi sebuah sistem global yang menggerogoti demokrasi, ngerusak ekonomi, dan bikin rezim otoriter makin kuat. Ia pengin pembaca sadar bahwa uang kotor itu nggak cuma hilang di balik kerahasiaan; ia merembes ke pasar finansial, politik, bahkan kehidupan sehari-hari, bikin dunia lebih berpihak pada para perampok ketimbang para pembangun. Burgis ngasih peringatan: kalau warga dan pemerintah nggak berani hadapi jaringan yang bikin duit curian bisa mengalir bebas—dari perusahaan cangkang sampai bank yang ikut main—fondasi demokrasi dan stabilitas global bakal terus rapuh. Intinya, Burgis ngajak buat ngelihat kleptokrasi sebagai ancaman besar zaman kita, bukan cuma buat negara yang duitnya dijarah, tapi juga buat negara-negara yang jadi tempat parkir aman harta haram itu.

Robert I. Rotberg dalam The Corruption Cure: How Citizens and Leaders Can Combat Graft (Princeton University Press, 2017), ngejelasin korupsi tuh bukan cuma soal nyalahgunain jabatan buat dapet cuan pribadi. Itu sih definisi standar. Tapi menurutmya, korupsi itu lebih dalam—kayak virus yang nyerang sistem dari dalam. Korupsi itu soal hancurnya kepercayaan publik, institusi yang dibengkokin, dan janji-janji ke rakyat yang dilanggar demi dompet sendiri. Kalau pejabat yang harusnya jadi pelayan publik malah jadi pengumpul harta, ya itu udah masuk zona korupsi.
Nah, bribery alias suap itu cuma satu bab dari novel korupsi. Bribery itu adegan pas seseorang ngasih duit atau hadiah biar dapet perlakuan khusus—kayak bayar “uang pelicin” biar urusan cepet kelar. Tapi Rotberg bilang, jangan salah: suap itu cuma puncak gunung es. Korupsi itu keseluruhan gunungnya, lengkap dengan gua-gua gelap dan monster sistemik di dalamnya. Bedanya? Bribery itu aksi tunggal. Korupsi itu budaya. Bribery itu kayak satu scene di film thriller. Korupsi itu plot utamanya—panjang, licik, dan penuh twist.

Rotberg nggak main-main: doski bilang, korupsi itu bukan cuma soal pejabat nakal, tapi soal pelanggaran hak asasi manusia. Bayangin aja, kalau duit buat rumah sakit malah masuk kantong pejabat, itu bukan cuma nyolong—itu ngerampas hak hidup orang miskin yang butuh pengobatan. Korupsi itu kayak maling yang nggak kelihatan, tapi efeknya brutal: bikin rakyat kehilangan akses, harapan, dan keadilan.
Rotberg juga bilang, korupsi paling nyakitin kelompok yang udah rentan—yang miskin, yang terpinggirkan. Jadi korupsi itu bukan cuma dosa birokrasi, tapi bentuk kekerasan struktural. Nggak ada darah, tapi luka sosialnya dalam. Lawan korupsi, kata Rotberg, bukan cuma soal bersihin sistem, tapi soal balikin hak rakyat yang udah dirampas diam-diam.
Rotberg nambahin, korupsi itu nggak ditakdirin sama “budaya” suatu negara atau orangnya. Masalahnya lebih ketidakbecusan pemerintahannya—institusi lemah, nggak ada yang ngawasin, hukum nggak ditegakkan. Jadi korupsi itu bisa diubah, bisa dibenerin lewat reformasi institusi, hukum yang tegas, transparansi, dan pemimpin yang bener-bener kerja. Intinya, korupsi muncul karena pemerintahannya buruk, dan kalau pemerintahannya bagus, korupsi bisa ditekan atau dihapus sama sekali.

Pesan utama Rotberg itu jelas: korupsi bukanlah nasib budaya yang harus diterima, tapi akibat dari pemerintahan yang lemah, institusi rapuh, dan pemimpin yang nggak punya integritas. Ia menekankan bahwa masyarakat nggak ditakdirkan selamanya hidup dalam sistem korup; dengan kemauan politik yang kuat, reformasi institusi, dan akuntabilitas publik, korupsi bisa dikurangi bahkan dibalikkan. Rotberg bilang, kesehatan demokrasi dan legitimasi negara bergantung pada sistem yang transparan, hukum yang ditegakkan, dan kepemimpinan yang mikirin kepentingan rakyat, bukan kantong pribadi. Intinya, bukunya kasih harapan: korupsi bukan takdir, tapi tantangan yang bisa ditaklukkan kalau ada niat serius buat reformasi.

Rotberg ngebantah keras ide bahwa korupsi itu “relatif budaya” atau kadang “berfungsi”. Ada tuh yang bilang, “Di negara tertentu, korupsi itu udah jadi bagian dari tradisi, kayak pelicin biar urusan lancar.” Tapi Rotberg bilang: itu cuma akal-akalan buat ngebenarin ketidakadilan. Korupsi itu nggak pernah sah, nggak peduli adat, budaya, atau kebiasaan.
Menurutnya, nyebut korupsi sebagai “fungsi sosial” itu kayak bilang maling itu berguna karena bisa ngatur distribusi barang. Gila, kan? Rotberg tegas: korupsi itu ngerusak kepercayaan, ngacak-ngacak sistem pemerintahan, dan ngambil hak rakyat—di mana pun, kapan pun. Mau budaya mana pun, korupsi tetap racun. Jadi jangan pakai “relatif budaya” buat nutupin borok. Yang dibutuhin itu standar integritas global, bukan pembenaran lokal.

Agar perlawanan melawan korupsi itu efektif, Rotberg Rotberg ngajak kita buat ngulik korupsi bukan cuma sebagai pelanggaran hukum, tapi sebagai penyakit sistemik yang bikin pelayanan publik jadi ladang cuan pribadi. Korupsi, kata doski, itu pengkhianatan kepercayaan rakyat—bukan sekadar nyolong, tapi ngerusak fondasi negara dari dalam.
Rotberg bilang, korupsi itu punya banyak wajah. Ada yang receh kayak pungli di kelurahan, ada yang kelas kakap kayak elite politik yang ngatur proyek buat kantong sendiri. Tapi efeknya sama: bikin rakyat makin jauh dari keadilan. Dia juga ngebantah keras anggapan bahwa korupsi itu “budaya lokal” atau “warisan sejarah”. Menurut dia, korupsi tumbuh subur kalau pemimpinnya lemah, sistemnya gelap, dan rakyatnya nggak punya suara.
Jadi, “Understanding Corruption” versi Rotberg itu kayak nonton behind-the-scenes film thriller politik: kita diajak lihat siapa dalangnya, gimana sistemnya dimainin, dan kenapa ending-nya selalu nyakitin rakyat kecil.

Kalau pakai kacamata Rotberg dari The Corruption Cure, korupsi di Indonesia itu bukan sekadar kasus nyogok atau mark-up proyek. Keadaannya udah masuk level sistemik—kayak virus yang nyebar dari kelurahan sampai kementerian. Rotberg bakal lihat Indonesia sebagai medan tempur antara korupsi receh (kayak pungli SIM) dan korupsi elit (kayak proyek fiktif atau jabatan buat kroni).
Birokrasi yang desentralistik emang bikin demokrasi terasa dekat, tapi juga bikin pengawasan jadi ribet. Rotberg pasti nyorot gimana jabatan publik sering dipakai buat ngurus kantong pribadi, bukan rakyat. Doski bakal ngebantah keras narasi “korupsi itu budaya” atau “udah biasa dari dulu”—karena itu cuma cara halus buat ngebenarin ketidakadilan.
Tapi Rotberg juga kagak pesimis. Doski masih ngelihat ada harapan pada gerakan anak muda, jurnalis investigatif, dan netizen yang kagak takut nyindir pejabat. Menurutnya, penyembuhan korupsi itu bukan cuma soal reformasi dari atas, tapi soal rakyat yang berani bilang: “Kami gak mau dikibulin lagi!”

Rotberg ngebahas “political will” bukan sebagai jargon kampanye, tapi sebagai kunci utama buat ngelawan korupsi. Menurutnya, tanpa kemauan politik yang tulus, semua aturan antikorupsi cuma jadi dekorasi. Political will itu bukan soal pidato keren, tapi soal tindakan nyata yang berani dan konsisten.
Rotberg bilang, kemauan politik bisa dilihat dari pilihan pemimpin: mereka angkat reformis atau temen sendiri? Lindungi pelapor atau malah dibungkam? Biarkan lembaga kerja jujur atau dipakai buat ngatur proyek? Doski juga nyentil gaya “reformasi palsu”—yang ngomongin soal integritas tapi di belakang layar tetep main kotor. Buat Rotberg, political will itu bukan slogan, tapi ujian karakter. Janji publik yang harus dibayar dengan transparansi dan akuntabilitas.

Soal etika, Rotberg pasang sikap tegas: etika itu nggak bisa ditawar-tawar. Doski ngedukung banget yang namanya ethical universalism—alias standar kejujuran dan keadilan yang berlaku buat semua orang, di mana pun, kapan pun. Buat doi, integritas itu bukan barang impor dari Barat, tapi kebutuhan dasar umat manusia. Kagak ada tuh istilah “korupsi versi lokal” atau “main belakang demi efisiensi”.
Rotberg nyentil keras logika relativisme budaya yang suka dipakai buat ngebela korupsi. Katanya, itu cuma cara halus buat ngelindungin yang punya kuasa dan ngebiarin rakyat terus dirugikan. Ethical universalism itu kayak soundtrack keadilan global: semua pejabat, dari desa sampai istana, harus main di nada yang sama—jujur, transparan, dan bertanggungjawab alias akuntabel..

 Rotberg ngebahas gimana korupsi itu nggak jalan sendirian—korupsi itu punya geng. Korupsi itu kayak sindikat: ada pejabat, pengusaha, birokrat, bahkan aparat yang saling jaga punggung. Mereka bikin ekosistem gelap yang saling lindungin, saling bagi untung, dan saling bungkam kalau ada yang mau buka suara.
Rotberg bilang, ini bukan kebetulan. Ini sistem yang dibangun rapi, kayak mafia tapi pakai jas dan jabatan. Di dalamnya, yang nurut dapet promosi, yang jujur malah disingkirin. Korupsi jadi budaya tim: bukan cuma soal satu orang nyolong, tapi soal satu kelompok yang kompak ngejaga rahasia. Reformasi? Susah banget kalau yang rusak bukan cuma satu titik, tapi seluruh jaringan.

Rotberg ngebahas gimana korupsi itu bukan aksi tunggal, tapi kerja tim ala geng elite. Korupsi yang dibiarkan lama-lama berubah jadi sindikat: pejabat, pengusaha, birokrat, bahkan aparat bisa masuk lingkaran. Mereka saling jaga, saling untung, dan saling tutup mulut. Ini bukan cuma soal nyolong, tapi soal sistem yang udah dibajak.
Rotberg bilang, yang ikutan main kotor malah naik jabatan, dapet proyek, atau dilindungi. Yang jujur? Disingkirin, dibungkam, atau dicap “nggak loyal.” Lama-lama, institusi jadi kosong isinya—yang penting bukan kemampuan, tapi koneksi. Transparansi diganti rahasia, merit diganti gengsi. Dan kalau udah kayak gini, reformasi jadi kayak ngebenerin kapal yang udah bocor di semua sisi.
Rotberg tegas: ngelawan sindikat korupsi nggak cukup pakai aturan. Harus ada keberanian politik, gerakan rakyat, dan budaya yang berani bilang “cukup.” Karena korupsi itu bukan cuma soal orang jahat, tapi soal sistem yang saling lindungin kejahatan.

Rotberg ngebongkar dalem-dalem soal kenapa korupsi di negara berkembang itu bukan sekadar kebetulan. Doski bilang, korupsi tumbuh subur karena ada “lingkungan politik dan ekonomi” yang emang dirancang buat ngasih ruang ke permainan kotor. Di banyak negara berkembang, korupsi itu bukan penyakit tambahan—melainkan bagian dari sistem utama.
Rotberg nyorot kartel elite sebagai geng pejabat, pengusaha, dan tokoh militer yang kompak ngatur negara kayak perusahaan pribadi. Mereka bagi-bagi proyek, jabatan, dan hukum sesuai kepentingan sendiri. Yang loyal dapet jatah, yang kritis dicoret. Sistemnya tertutup, dan buat naik level, loe kudu ikutan maen.
Lalu ada masyarakat oligarki dan klan, dimana kekuasaan dan kekayaan cuma muter di segelintir keluarga. Jabatan publik bisa diwarisin kayak warisan tanah. Merit? Lewat. Di sini, urusan negara dan urusan keluarga udah nyatu, kayak sinetron politik yang nggak ada batas antara kepentingan publik dan bisnis pribadi.
Jadi pas Rotberg bilang “korupsi di dunia berkembang tumbuh dalam lingkungan politik dan ekonomi tertentu,” doski lagi nunjukin bahwa itu bukan soal orang jahat, tapi soal sistem yang emang dibikin buat ngasih panggung ke korupsi. Mau lawan? Nggak cukup ganti pejabat—harus ubah cara kekuasaan dibagi dan diawasi. 

[Bagian 3]