Kamis, 09 Oktober 2025

Memikirkan Kembali Koperasi di Abad ke-21 (7)

Ngecek inflasi itu bukan cuma dateng ke pasar terus bilang, “Eh inflasi enggak naik nih.” Inflasi itu indikator ekonomi kompleks yang ngukur rata-rata kenaikan harga dari sekumpulan barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu.
Biar bener-bener tau, ekonom dan statistikawan ngumpulin data dari berbagai sumber: harga eceran, harga grosir, energi, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Harga-harga ini dihitung secara sistematis, kadang dengan memberi bobot sesuai pentingnya barang atau jasa buat rumah tangga. Hasilnya disebut Consumer Price Index (CPI) atau Indeks Harga Konsumen, yang nunjukin secara akurat bagaimana biaya hidup berubah di keseluruhan ekonomi.
Singkatnya, ngecek inflasi itu pakai ilmu dan data, bukan sekadar tolah-toleh di pasar doang.

Tapi, ngomong-ngomong, kenapa sih sebuah negara lebih suka tetep bertahan di angka pertumbuhan ekonomi lima persen daripada ngejar angka 10, 15, atau bahkan 25 persen? Jawabannya simpel: ini soal imbang-imbangan antara ambisi dan keberlanjutan. Memang sih, pertumbuhan super tinggi terlihat keren di laporan, tapi ada risiko tersembunyi. Inflasi bisa meledak, kesenjangan sosial makin lebar, infrastruktur kebanjiran tekanan, dan sumber daya alam cepet habis.
Nah, pertumbuhan stabil di lima persen itu ibarat sweet spot: cukup kenceng buat ningkatin standar hidup, buka lapangan kerja, dan narik investor, tapi tetep aman tanpa bikin ekonomi goyah. Intinya, ini soal pilihan pintar: mendingan kualitas ketimbang kecepatan gila-gilaan, biar kemakmuran gak cuma numpang lewat tapi bertahan lama.

Kalau sebuah negara bisa pertahanin pertumbuhan ekonomi di angka 5% per tahun, itu ibarat mesin ekonominya terus ngebut tapi tetep stabil—hasilnya bisa luar biasa, tapi tergantung juga dari kondisi awal negaranya, jumlah penduduknya, dan seberapa cerdas pemerintah mengelolanya.
Pertumbuhan 5% biasanya menandakan PDB (Produk Domestik Bruto) naik dengan nyata. Ini artinya, pendapatan per orang meningkat, dan standar hidup masyarakat ikut terangkat. Orang bisa beli lebih banyak, hidup lebih layak, dan rasa aman finansial pun tumbuh pelan tapi pasti.
Ekonomi yang stabil seperti ini juga bikin angka kemiskinan menurun. Begitu lapangan kerja baru muncul, makin banyak orang dapat penghasilan. Kalau hasil pertumbuhan dibagi dengan adil, kelompok masyarakat kecil pun bisa ikut naik kelas, bukan cuma nonton dari pinggir.
Selain itu, pertumbuhan 5% yang konsisten bikin investor dalam dan luar negeri datang berdatangan. Uang masuk, infrastruktur dibangun, pabrik berdiri, teknologi berkembang. Efeknya menjalar ke mana-mana: ekonomi makin berdenyut, dan negara makin tangguh menghadapi guncangan global.
Dari sisi negara, pendapatan pajak dan retribusi ikut naik. Artinya, pemerintah punya modal lebih buat ngebangun jalan, sekolah, rumah sakit, sampai program sosial. Kalau duitnya dikelola bener, hasilnya bukan cuma angka di laporan, tapi kesejahteraan yang benar-benar terasa.
Pertumbuhan ekonomi juga bikin suasana sosial dan politik lebih adem. Kalau rakyat merasa hidupnya membaik, protes dan gejolak cenderung menurun — asalkan, tentu saja, pertumbuhan ini gak cuman dinikmati segelintir orang di puncak piramida.
Dan jangan lupa: pertumbuhan yang stabil juga mendorong inovasi dan produktivitas. Dunia industri dan jasa makin efisien, makin kompetitif, bahkan bisa bersaing di level global.
Taapii, perlu dicatet—5% pertumbuhan bukan jaminan segalanya bakal indah. Kuncinya bukan di angka, tapi di kualitas pertumbuhan. Seberapa merata hasilnya, seberapa lama bisa bertahan, dan apakah kebijakannya berpihak pada banyak orang. Kalau cuma ngandelin satu sektor dan keuntungannya dinikmati segelintir pihak, ya siap-siap aja: yang tumbuh bukan kesejahteraan, tapi kesenjangan sosial.

Mari kita bikin bayangan konkret. Misalnya, PDB Indonesia sekarang sekitar USD 1 triliun, atau kira-kira Rp 17.000 triliun kalau pakai kurs Rp 17.000 per dolar AS.
Kalau ekonomi tumbuh 5%, berarti dalam setahun ekonomi kita bertambah sekitar USD 50 miliar — atau Rp 850 triliun. Jumlah segede ini kalau dikelola dengan baik, bisa bikin perubahan nyata buat hidup jutaan orang.
Coba lihat dari sisi infrastruktur. Uang segitu bisa dipakai buat bangun ribuan kilometer jalan tol, jembatan, sampai transportasi publik yang lebih modern. Kalau biaya satu kilometer tol sekitar Rp 50–70 miliar, maka tambahan Rp 850 triliun bisa bikin 12.000–17.000 kilometer jalan tol baru! Bayangin, dari Sabang sampai Merauke bisa tersambung mulus.
Di sektor pendidikan, uang sebesar itu bisa naikin gaji guru, bangun sekolah baru, dan memperluas akses kuliah. Kalau biaya pendidikan per siswa per tahun sekitar Rp 10 juta, maka Rp 850 triliun bisa membiayai 85 juta siswa selama setahun penuh. Generasi emas bukan lagi slogan, tapi kenyataan.
Untuk kesehatan, Rp 850 triliun bisa bangun rumah sakit baru, beli alat kesehatan canggih, dan perluas jangkauan BPJS. Kalau satu rumah sakit rujukan butuh Rp 500 miliar, berarti bisa bikin 1.700 rumah sakit baru — cukup buat bikin pelayanan kesehatan naik kelas di seluruh negeri.
Dari sisi investasi dan lapangan kerja, uang ini bisa disalurin ke industri, UMKM, dan sektor teknologi. Kalau setiap proyek bisa nyiptain 1.000 lapangan kerja, maka Rp 850 triliun bisa membuka jutaan pekerjaan baru. Efeknya, pengangguran turun, daya beli naik.
Lalu di bidang program sosial, Rp 850 triliun bisa memperkuat bantuan langsung tunai, subsidi pangan, dan program pengentasan kemiskinan. Misalnya tiap keluarga dapat Rp 1 juta per bulan, dana ini bisa menopang 70 juta keluarga selama setahun penuh.

Kalau kita fokus ke lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi 5% bisa punya efek yang luar biasa besar, meski juga hasil akhirnya tergantung banget pada struktur ekonomi dan kebijakan pemerintahnya. Soalnya, pertumbuhan itu nggak otomatis bikin lapangan kerja muncul—semua tergantung seberapa merata, inklusif, dan padat karya pertumbuhan itu dijalanin.
Pertama, kalau ekonomi tumbuh, otomatis permintaan tenaga kerja naik. Produksi barang dan jasa meningkat, perusahaan butuh lebih banyak orang buat memenuhi permintaan pasar. Industri manufaktur misalnya, bakal butuh tambahan operator pabrik, teknisi, dan manajer produksi. Di sisi lain, sektor jasa seperti transportasi, logistik, dan pariwisata juga nambah staf buat ngimbangi lonjakan aktivitas ekonomi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi bikin investasi baru berdatangan, yang ujung-ujungnya menciptakan pekerjaan baru. Begitu ekonomi kelihatan stabil dan menjanjikan, investor lokal maupun asing jadi berani masuk. Pabrik baru dibangun—artinya puluhan sampai ribuan orang dapat kerja. Proyek infrastruktur kayak jalan, bandara, dan jembatan juga nyerap banyak tenaga kerja: dari insinyur, pekerja konstruksi, sampai staf pendukung teknis.
Ketiga, ekonomi yang tumbuh juga jadi angin segar buat UMKM dan startup. Daya beli masyarakat naik, penjualan meningkat, dan akses ke modal pun makin gampang. Pengusaha kecil bisa ekspansi, dan efeknya, lapangan kerja—baik formal maupun informal—makin banyak. Apalagi sektor yang dinamis kayak retail, layanan jasa, dan teknologi, makin rame dan nyerap banyak tenaga muda.
Keempat, pertumbuhan ekonomi nggak cuma soal jumlah kerjaan, tapi juga kualitasnya. Saat ekonomi berkembang, peluang untuk dapet gaji lebih tinggi dan pelatihan keterampilan juga naik. Sektor modern seperti energi terbarukan, jasa digital, dan industri manufaktur canggih mulai tumbuh, membuka peluang kerja yang lebih keren dan menjanjikan masa depan.
Tapi tentu aja, ada tantangan dan batasannya. Pertumbuhan 5% nggak otomatis bikin semua orang dapet kerja. Kalau pertumbuhan cuma terkonsentrasi di sektor padat modal kayak tambang atau ekspor komoditas, lapangan kerja bisa nggak merata. Atau kalau teknologi makin menggantikan tenaga manusia lewat otomatisasi, lapangan kerja baru bisa nggak seimbang sama laju pertumbuhan. Karena itu, pemerintah perlu bikin kebijakan yang inklusif, misalnya subsidi pelatihan, program penyerapan tenaga kerja, dan investasi di sektor padat karya.

Sebagai contoh nyata di Indonesia, kalau pertumbuhan 5% menambah USD 50 miliar ke PDB nasional, dan setiap USD 50.000 investasi bisa menciptakan satu lapangan kerja, maka ada potensi tercipta sekitar satu juta pekerjaan baru dalam setahun. Jumlahnya bisa lebih besar lagi kalau dana itu dialirkan ke sektor padat karya seperti konstruksi, manufaktur, dan jasa—sektor-sektor yang memang paling cepat nyerap tenaga kerja.

Kesimpulannya, pertumbuhan ekonomi 5% bukan cuma angka di laporan BPS. Ini berarti negara punya ruang finansial besar buat naikin kualitas hidup rakyat, bangun infrastruktur, dan dorong pembangunan yang berkelanjutan—asal duitnya dikelola dengan jujur, efisien, dan adil.

Dalam ilmu ekonomi, ada batas praktis yang sering disebut “sweet spot,” yaitu titik ideal dimana pertumbuhan ekonomi dipandang sehat dan berkelanjutan. Angkanya enggak mutlak, karena sangat tergantung pada struktur ekonomi, jumlah penduduk, dan kestabilan institusional suatu negara. Tapi para ekonom umumnya sepakat ada kisaran tertentu yang menunjukkan bahwa sebuah ekonomi berada dalam kondisi prima.
Kalau pertumbuhannya rendah, misalnya di bawah dua atau tiga persen, biasanya dianggap kurang ideal—apalagi untuk negara berkembang. Pertumbuhan yang lambat sering jadi tanda adanya masalah struktural atau stagnasi di sektor-sektor penting. Akibatnya? Pengangguran tinggi, investasi seret, dan daya beli masyarakat sulit naik. Singkatnya, ekonomi dengan pertumbuhan rendah susah banget bikin rakyatnya benar-benar maju. Nah, kalau kita liat angka dari BPS yang bilang pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen, tapi kenyataannya pengangguran tinggi, investasi jalan di tempat, dan daya beli masyarakat susah naik, ya wajar aja kalau kita mulai meragukan angka itu. Kalau ditelaah lagi, pertumbuhan sekitar 2,5 persen terasa jauh lebih masuk akal dengan kondisi kayak gini.
Sementara itu, pertumbuhan moderat—antara tiga sampai enam persen—biasanya dianggep paling sehat dan berkelanjutan. Ini cocok banget buat negara berkembang seperti Indonesia. Pertumbuhan di kisaran ini bisa membuka banyak lapangan kerja, menaikkan pendapatan per kapita, dan memberi ruang bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur publik. Contohnya, banyak negara di Asia Tenggara sengaja menargetkan empat sampai lima persen sebagai “sweet spot” agar ekonominya stabil tapi tetep maju.
Kalau pertumbuhannya terlalu tinggi, di atas tujuh atau delapan persen, sekilas memang kelihatan keren banget. Investor berdatangan, standar hidup naik cepat, semua orang optimis. Tapi di balik itu ada risiko tersembunyi: inflasi bisa melonjak kalau produksi nggak sanggup mengejar permintaan; ketimpangan ekonomi bisa makin lebar kalau pertumbuhan cuma terjadi di sektor tertentu; bahkan sumber daya alam dan infrastruktur bisa kepanasan alias overheating.

Dalam ekonomi, overheating itu artinya kondisi ketika ekonomi tumbuh terlalu cepet, melebihi kapasitas yang bisa ditanggung, sehingga muncul ketidakseimbangan dan potensi instabilitas. Intinya, sumber daya ekonomi—tenaga kerja, modal, dan infrastruktur—digunakan di batas maksimal atau bahkan melebihi batasnya.
Kalau permintaan lebih tinggi daripada pasokan, efeknya bisa berupa inflasi tinggi, harga aset naik drastis, kekurangan tenaga kerja, dan tekanan pada sumber daya alam. Overheating berisiko karena pertumbuhan yang terlihat kencang itu gak bisa dipertahankan lama-lama tanpa menimbulkan masalah serius, bahkan bisa berujung resesi.
Secara nyata, ekonomi yang “overheated” bisa bikin harga barang dan jasa melambung, gaji naik lebih cepat dari produktivitas, tenaga kerja terampil langka, dan transportasi, energi, serta hunian jadi kewalahan. Pemerintah biasanya coba “nge-rem” ekonomi dengan menaikkan suku bunga, mengurangi belanja negara, atau membatasi kredit agar ekonomi enggak kebablasan.
Sebaliknya, kalau pertumbuhan negatif alias ekonomi menyusut, itu udah lampu merah. Produksi turun, pengangguran naik, daya beli jeblok. Kalau berlangsung lama, negara bisa masuk ke jurang resesi dan butuh waktu lama buat pulih.

Bagi negara berkembang, pertumbuhan sekitar empat sampai enam persen per tahun biasanya dianggap paling ideal—cukup buat meningkatkan kesejahteraan rakyat, memperluas lapangan kerja, dan membangun infrastruktur, tanpa bikin inflasi atau ketimpangan sosial jadi liar.

Yuk kita lanjut ke topik yang sebenernya nggak ngomongin koperasi secara langsung, tapi nyambung banget sama prinsip-prinsip koperasi.

Together: The Rituals, Pleasures and Politics of Cooperation (2012, Yale University Press) oleh Richard Sennett, basically ngomongin soal gimana manusia sebenernya “didesain” buat bisa kerjasama. Tapi bukan cuma soal kerjaan kantor atau duit-duit-an, tapi juga di kehidupan sehari-hari—melalui ritual, kebiasaan bareng, dan saling respect. Doski bilang, kemampuan kerjasama itu skill yang kudu diasah lewat kesabaran, saling percaya, dan interaksi sosial. Tapi, ada juga hal-hal yang bikin kerjasama gagal, kayak kesenjangan sosial, isolasi, atau hierarki yang kaku. Intinya, ngerti cara manusia bisa kerjasama bakal bikin hubungan antar orang lebih oke dan masyarakat lebih solid.
Sennett gak cuma ngomong soal “kerja bareng” biasa. Buat doi, cooperation itu sesuatu yang kompleks—gabungan antara sabar, saling percaya, respect, dan saling ngerti. Kerjasama itu skill sekaligus seni sosial: orang harus bener-bener engage, negosiasi perbedaan, dan ikut ritual atau interaksi yang bikin rasa percaya tumbuh. Doski juga bilang, kerjasama nggak otomatis jalan; cuma berkembang kalau orang mau ngenalin sisi kemanusiaan orang lain dan invest waktu buat hubungan. Yang seru, Sennett juga bilang cooperation itu bisa bikin senang dan punya sisi politik—bisa nge-bentuk komunitas, nge-kuatin ikatan sosial, dan bikin aksi kolektif yang gak bisa dicapai cuma lewat hirarki atau transaksi biasa.

Sennett ngasih contoh cooperation yang gampang dibayangin sehari-hari. Misalnya, satu band jazz lagi improvisasi bareng: tiap pemain kudu dengerin yang lain, nge-adjust mainnya biar tetep harmonis. Di situ keliatan sabar, perhatian, dan fleksibilitas—semua skill penting buat kerjasama. Contoh lain, proyek komunitas kayak bikin taman bareng tetangga. Semua nego tugas, sharing barang, dan rayain keberhasilan kecil bareng-bareng, bikin kerjaan yang sebenernya biasa jadi bonding sosial yang seru. Bahkan di kantor, Sennett bilang, tim bakal jalan lancar kalau anggota saling respect kontribusi masing-masing dan mau ikut ritual kecil kayak daily check-in atau problem-solving bareng, yang lama-lama bikin trust tumbuh. Dari semua contoh ini, kelihatan banget kalau cooperation itu mesti dipelajari, dilatih, dan bisa bikin senang karena ada rasa capai bareng-bareng. [Dalam konteks buku Richard Sennett Together: The Rituals, Pleasures and Politics of Cooperation, kata “cooperation” paling tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “kerjasama”. Namun, penting dicatat bahwa Sennett memaknai cooperation lebih luas daripada sekadar “bekerja bersama untuk mencapai tujuan”. Doski menekankan aspek sosial, psikologis, dan emosional: kesabaran, saling percaya, saling menghargai, membangun ritual atau interaksi berulang, dan menikmati proses kerja sama itu sendiri. Jadi, “kerjasama” di sini bukan cuma soal tugas atau pekerjaan, tapi interaksi manusia yang penuh perhatian dan rasa tanggungjawab sosial].

Sennett ngomongin soal “mindset” yang bikin kerja sama beneran jalan. Menurutnya, kerjasama itu gak cuma soal aturan atau tindakan luar, tapi soal punya sikap internal yang penuh perhatian, empati, dan respect sama orang lain. Mindset ini bikin kita peka sama kebutuhan orang lain, bisa negosiasi perbedaan tanpa ribut, dan santai menghadapi hal-hal yang nggak bisa diprediksi dari interaksi manusia. Sennett bilang, mindset ini dibangun lewat latihan, interaksi berulang, dan ikut ritual bareng yang ngebangun trust. Dengan cara ini, kerjasama bukan cuma sekadar tugas, tapi jadi pengalaman sosial dan emosional yang seru dan rewarding.

Menurut Sennet, kerjasama itu bukan cuma skill atau pilihan individu, tapi juga dipengaruhi banget ama lingkungan sosial sekitar. Hierarki sosial, kesenjangan ekonomi, dan komunitas yang terpisah-pisah bisa bikin trust susah tumbuh dan kerjasama jadi ribet. Sebaliknya, lingkungan yang nyediain interaksi, saling respect, dan tujuan bareng biasanya bikin kerjasama jalan lebih gampang. Sennett juga ngeremind soal sisi politik dan moral: kalau mau masyarakat bisa kerjasama beneran, ketimpangan sosial harus dikurangi dan harus ada ruang buat semua orang terlibat.

Sennet bilang, hubungan kerja sama itu gampang goyah karena tergantung sama perhatian terus-menerus, trust, dan saling respect. Salah paham kecil, komunikasi yang bolong, atau rasa tersinggung bisa bikin kerja sama runtuh. Sennett ngingetin kalau ngejaga keseimbangan ini butuh kesadaran individu, komitmen bareng, dan ngerti kalau interaksi manusia itu nggak selalu bisa diprediksi. Kerentanan kerja sama ini bukan kelemahan, tapi memang bagian dari sifatnya, dan belajar nge-handle hal ini, merupakan bagian dari kecerdasan sosial dan emosional.

Kata Sennet, guncangan sosial atau personal—kayak ekonomi nggak stabil, politik lagi ribut, atau norma sosial yang berubah—bisa bikin pola trust dan kolaborasi yang udah terbentuk jadi goyah. Orang sering kesulitan nge-adapt skill kerjasama mereka kalau rutinitas atau ekspektasi yang biasa tiba-tiba berubah, dan ini bisa bikin konflik, mundur, atau hubungan sosial runtuh. Sennett ngingetin kalau nge-develop resilience, fleksibilitas, dan sikap terbuka buat belajar dari orang lain itu penting banget biar kerjasama tetep jalan di tengah ketidakpastian. “Unsettling” ini, menurutnya, gak cuma risiko, tapi juga kesempatan: bisa bikin kerja sama goyah, tapi juga bikin orang refleksi, inovasi, dan nego ulang ikatan sosial.

Sennett ngebahas faktor-faktor yang bikin kerjasama manusia jadi lemah dan susah dipertahankan. Ia nyebutin tiga penyebab utama. Pertama, inequality—gap gede soal duit, power, atau status sosial—ngegerus trust karena orang gak yakin orang lain bakal fair atau balas usaha mereka. Kedua, social triangle itu struktur masyarakat dimana power, prestige, dan sumber daya numpuk cuma di segelintir orang. Hierarki kaku ini bikin respect dan keterlibatan bareng-bareng susah, interaksi jadi lebih kompetitif daripada kolaboratif. Ketiga, uncooperative self itu kebiasaan psikologis orang yang lebih utamain keuntungan pribadi daripada tujuan bareng, apalagi kalau kondisi sosial mendukung perilaku begitu. Menurut Sennett, ketiga faktor ini—ketimpangan, hierarki sosial, dan sikap egois—interaksi bareng-bareng bikin kerja sama rapuh, trust gampang runtuh, dan kolaborasi selalu dalam risiko. Buat ngatasinnya, doski bilang butuh reformasi sosial sekaligus latihan skill kerjasama yang sadar dan konsisten.

Biar gampang kebayang, berikut contoh nyata tiga faktor yang dibahas Sennett:
Untuk inequality, bayangin kantor dimana bos dapet bonus gede banget sementara staff level bawah susah dapet fasilitas dasar. Karyawan jadi resentful dan kurang saling trust, bikin proyek bareng susah karena orang nggak mau share ide atau bener-bener mau bantuin.
Soal social triangle, bayangin komunitas atau organisasi dimana cuma beberapa orang yang pegang power, prestige, dan bikin keputusan. Yang lain ngerasa cuma ikut perintah, kontribusinya gak dihargain. Hierarki kaku gini bikin kolaborasi susah, karena orang fokus kompetisi buat dapet perhatian daripada kerja bareng.
Adapun tentang uncooperative self, bayangin seseorang yang selalu ngutamain keuntungan pribadi—misal ngambil credit atas kerjaan kelompok atau nyimpen info buat keuntungan sendiri. Kalau ini jadi kebiasaan, trust runtuh dan orang lain jadi ogah kerja bareng, bikin semangat kerjasama melemah.
Intinya, Sennett pengen nunjukin kalau kerjasama itu nggak otomatis jalan—butuh fairness, kesetaraan, dan kebiasaan sosial yang ngebangun trust. Tanpa itu, bahkan orang yang skillful dan niat baik bakal susah buat kerja bareng efektif.

Sennett juga ngebahas faktor-faktor yang bikin kerjasama manusia makin kuat. Menurutnya, kerjasama berkembang kalau ada kondisi sosial, psikologis, dan budaya yang mendukung. Yang paling penting itu trust, dibangun lewat interaksi berulang, keterbukaan, dan bisa diandalkan; kalau orang yakin orang lain bakal fair dan jaga janji, kerja bareng jadi lebih gampang. Faktor penting lain adalah saling respect, bikin orang bisa ngehargain kontribusi dan perspektif masing-masing, konflik berkurang, dan dialog lebih lancar. Sennett juga bilang, tujuan bareng atau visi sama penting banget, karena bikin orang mau kerjasama lebih dari sekadar kepentingan pribadi. Selain itu, ritual, rutinitas, dan kebiasaan sosial ngebantu interaksi jadi lebih predictable, nge-boost trust, dan bikin orang merasa belong. Terakhir, fleksibilitas dan adaptasi—mau nego, kompromi, dan respon sama perubahan—bikin kerjasama tetep jalan walau kondisi rumit atau gak pasti. Semua faktor ini bareng-bareng bikin lingkungan kerjasama jadi kuat, rewarding secara sosial, dan tahan lama.

Biar gampang kebayang, berikut contoh nyata faktor-faktor yang bikin kerja sama kuat ala Sennett:
Untuk trust, bayangin tim di kantor dimana semua orang selalu tepat waktu, share info terbuka, dan jaga janji. Lama-lama semua yakin bisa saling ngandelin, bikin kerja bareng jadi lancar dan seru.
Soal saling respect, contohnya proyek komunitas kayak bikin festival lokal. Meski tiap orang punya ide berbeda, mereka dengerin satu sama lain, hargain kontribusi masing-masing, dan negosiasi tanpa baper. Respect ini bikin minim konflik dan kerjasama kuat.
Tentang tujuan bareng, bayangin volunteer yang bikin taman komunitas. Semua termotivasi sama visi sama—nyediain space buat tetangga—makanya mereka kerja bareng walau ada tugas yang ribet atau capek.
Dengan ritual dan rutinitas, contoh gampangnya daily stand-up meeting atau check-in mingguan di tim. Kebiasaan sosial yang predictable ini bikin interaksi terstruktur, nge-boost trust, dan bikin orang merasa jadi bagian tim.
Terakhir, fleksibilitas dan adaptasi muncul pas ada hal nggak terduga—misal hujan mendadak atau budget kebutuhannya kurang. Anggota tim nego ulang, adjust tugas, dan tetep kolaborasi meski situasi berubah.
Dari semua ini, Sennett nunjukin bahwa kalo trust, respect, tujuan bareng, rutinitas, dan fleksibilitas ini nyatu, kerjasama jadi kuat, rewarding secara sosial, dan tahan lama.

Pesan utama yang pengen disampein Sennett dalam Together itu: kerjasama manusia itu penting banget, tapi rapuh, dan butuh usaha sadar, awareness sosial, sama kecerdasan emosional. Ia bilang, kerjasama kagak otomatis jalan; mesti diasah lewat trust, saling respect, tujuan bareng, dan interaksi berulang. Sennett juga ngingetin kalau struktur sosial, ketimpangan, dan perilaku egois gampang banget bikin keropos kolaborasi, sementara ritual, rutinitas, dan fleksibilitas bisa nge-boost kerjasama. Kerjasama bukan cuma skill praktis, tapi juga sumber kesenangan, bonding sosial, dan punya makna politik, nge-bentuk komunitas dan institusi secara bermakna. Intinya, Sennett ngajak kita buat ngeh kompleksitas kolaborasi manusia dan aktif bikin lingkungan—baik personal maupun sosial—dimana kerjasama bisa berkembang dan bertahan lama.

Intinya, apa yang dibahas Sennett di Together itu nyambung banget sama prinsip-prinsip perkoperasian. Di koperasi, segalanya berjalan karena ada trust, saling bantu, dan tujuan bareng—mirip banget ama yang Sennett bilang soal kerjasama manusia: butuh sabar, saling respect, dan ritual-ritual kecil buat nge-boost hubungan sosial.
Terus, Sennett juga bilang kalau hierarki kaku dan ketimpangan sosial bikin kerja sama gagal. Nah, di koperasi itu juga sama: keputusan entu kudu bareng-bareng, suara semua anggota dihargai, biar koperasi kagak pecah belah. Yang seru, Sennett ngomong soal “pleasure”—senang karena kerja bareng, rayain keberhasilan kecil, atau ritual bareng—ini kayak motivasi yang bikin koperasi jalan terus.
Terakhir, Sennett juga ngebahas dimensi politik dari kerjasama—bagaimana aksi kolektif bisa nge-shape komunitas dan institusi. Koperasi juga gitu, bukan cuma soal bisnis, tapi bikin ekonomi lokal lebih kuat, bangun solidaritas, dan ngeremind orang soal tanggungjawab sosial. Jadi, buat Sennett dan koperasi, kerjasama itu bukan cuma cara dapet hasil, tapi skill, kesenangan bareng, sekaligus tindakan politik.

[Bagian 8]
[Bagian 6]