[Bagian 3]Demokrasi yang oke tuh kudu punya beberapa hal penting biar nggak asal-asalan. Pertama, transparansi alias keterbukaan, pemerintah harus jujur dan jelas ngasih tahu semua yang mereka lakuin supaya rakyat bisa ngintip dan nggak dikibulin. Terus, akuntabilitas, artinya para pejabat kudu bisa bertanggungjawab terhadap rakyat, jangan sakpenaknya dewek. Lalu, partisipasi, yang penting semua orang punya kesempatan sama buat ikutan milih atau jadi pemimpin, biar nggak cuma segelintir doang yang ngatur. Aturan hukum wajib ditegakkan biar adil, semua orang kena hukum sama rata. Terakhir, hak asasi dan kebebasan kayak ngomong, kumpul-kumpul, sama media dan pers itu kudu dihormatin banget, biar suara-suara beda bisa kedengeran dan dilindungi. Pokoknya, demokrasi yang bener itu harus fair dan bisa dipercaya, bro!Selain transparansi sama akuntabilitas, demokrasi yang kece juga butuh beberapa hal lain. Yang pertama, ada aturan hukum yang kudu ditegakin secara adil dan gak pilih kasih, biar semuanya ngerasa kena hukum sama rata, gak ada yang dimanja. Terus, partisipasi rakyat itu wajib banget, artinya rakyat kudu diberi ruang buat aktif ngeluarin suara dan ikut ngerumusin kebijakan. Inklusif sama adil juga penting, supaya semua kalangan, termasuk yang minoritas atau yang sering dicuekin, bisa didengerin dan haknya dihargain. Responsif juga kudu, pemerintah harus peka dan cepet nanggepin masalah yang dihadapi rakyat. Terakhir, consensus orientation, dimana keputusan diambil lewat musyawarah dan kerja bareng, bukan cuma suka-suka pihak tertentu.Dalam negara demokrasi, publik punya segudang hak yang bikin hidup mereka lebih berharga dan gak gampang diinjek-injek. Orang bebas ngomong apa aja lewat kebebasan berpendapat, jadi bisa nyuarain kritik tanpa takut langsung disensor atau dibungkam. Mereka juga punya hak buat kumpul bareng—demo, diskusi publik, atau nongkrong bareng sambil mikirin nasib bangsa, semua itu dilindungi hukum. Hak pilih jelas jadi senjata pamungkas, karena lewat kotak suara rakyat bisa ngatur arah kekuasaan, bukan cuma nonton pejabat main sendiri. Lebih keren lagi, siapa pun bisa nyalon jadi pemimpin, nggak cuma keluarga elit atau orang dalam doang. Hukum juga ngejaga supaya orang gak bisa sembarangan ditangkep atau ditindas, semua diperlakukan sama meskipun beda latar belakang, gender, atau keyakinan. Publik juga berhak dapat informasi transparan, karena tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, mustahil bisa ngawasin pejabat. Singkatnya, demokrasi itu kasih rakyat alat buat ngelawan tirani, nuntut pertanggungjawaban, dan bikin mereka jadi pemain utama, bukan cuma figuran dalam drama politik.
Namun, kebebasan berekspresi itu ada batasnya, karena demokrasi bukan berarti bebas ngomong sesuka hati tanpa mikirin orang lain. Rakyat boleh kritik pemerintah, pejabat, atau kebijakan, tapi nggak bisa pakai dalih itu buat nyebarin kebencian, ngajak orang rusuh, atau bikin masyarakat nggak aman. Ada aturan soal fitnah, ujaran kebencian, dan provokasi supaya kebebasan itu nggak berubah jadi bumerang yang nyakitin orang lain. Termasuk juga larangan nyebarin hoaks yang sengaja dibuat buat bikin gaduh, karena itu justru bisa ngerusak demokrasi dari dalam. Jadi intinya, demokrasi itu jagoin kebebasan ngomong, tapi tetep butuh rem biar kebebasan jalan bareng tanggung jawab.Di negara-negara demokrasi Barat kayak Eropa dan Amerika, kebebasan berekspresi itu lumayan liar, bahkan hal-hal yang bikin orang banyak tersinggung pun masih dilindungi hukum. Contohnya di Amerika, Konstitusi lewat First Amendment ngejaga hampir semua bentuk ucapan, termasuk kritik pedas ke agama, pemerintah, atau ideologi, asalkan nggak langsung ngajak orang buat rusuh. Eropa agak beda, mereka lebih ketat kalau udah urusan ujaran kebencian, penyangkalan Holocaust, atau glorifikasi terorisme, karena dianggap bisa bikin masyarakat kacau dan ngerusak martabat manusia. Jadi, sama-sama jagoin kebebasan ngomong, tapi cara nge-rem-nya beda, tergantung sejarah dan sensitivitas budaya masing-masing.Kebebasan berekspresi dalam demokrasi itu nggak bisa lepas dari norma dan rasa malu sosial, karena kalau bebas total tanpa rem, hasilnya bukan kemajuan tapi kekacauan. Secara filosofis, demokrasi bukan ngebela “bebas ngomong” sekadar demi kebebasan itu sendiri, tapi demi kebenaran, kemajuan, dan martabat manusia. Ucapan yang melanggar kesusilaan, nyebarin hal cabul, atau ngerusak rasa moral orang lain bukan lagi bentuk kebebasan, tapi penyalahgunaan kebebasan. Setiap negara demokratis punya batas etika yang nyambung sama budaya dan nilai moralnya—apa yang dianggap biasa di satu tempat, bisa dianggap keterlaluan di tempat lain. Jadi, hak buat ngomong bebas itu selalu datang bareng kewajiban buat ngomong dengan bijak. Tujuannya supaya kebebasan bisa mencerahkan pikiran, ngelawan ketidakadilan, dan bikin rakyat aktif berpikir, bukan buat ngerusak tatakrama atau rasa saling hormat-menghormati.Secara filosofis, kebebasan berekspresi itu dimaksudkan buat menciptakan masyarakat yang ide-idenya bisa adu kuat tanpa harus berantem, dimana kebenaran muncul bukan dari kekuasaan tapi dari dialog. Asumsinya, manusia itu makhluk berakal yang bisa mikir dan nimbang sendiri, jadi kalau pendapat dibungkam, sama aja nginjek-injek kecerdasan manusia. Demokrasi justru hidup dari debat, karena dari perbedaan pendapat itulah kebijaksanaan kolektif bisa lahir dan berkembang. Tapi kalau kebebasan ngomong berubah jadi penghinaan, eksploitasi, atau propaganda kebencian, maka ia udah keluar dari jalur demokrasi. Kebebasan berekspresi itu bukan izin buat ngomong sembarangan, tapi kebebasan yang berdisiplin—dirancang buat ngelindungi nurani manusia sambil menjaga kesehatan moral masyarakat.John Stuart Mill, lewat karya klasiknya On Liberty (1859, John W. Parker and Son), ngasih pembelaan paling dalam soal kebebasan berekspresi. Mill bilang, ngehentikan pendapat seseorang itu sama aja kayak maling—karena bukan cuma ngambil hak si pembicara buat ngomong, tapi juga nyolong hak pendengar buat tahu. Buat Mill, kebenaran lahir dari benturan ide. Bahkan opini yang salah pun penting, karena bikin masyarakat ngecek ulang apa yang dianggap benar. Tapi Mill juga ngasih rem penting yang disebut harm principle—kebebasan cuma sah selama gak nyakitin orang lain, baik secara fisik maupun moral. Jadi buat Mill, kebebasan berekspresi itu bukan kebebasan liar, tapi latihan intelektual dan moral—alat buat menumbuhkan kearifan, bukan buat sok nyolot.Sementara itu, Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America (1835, Charles Gosselin) ngelihat masalah ini dari sisi sosial dan psikologis. Doski kagum sama semangat demokrasi yang suka debat terbuka, tapi juga ngingetin bahwa bahaya terbesar kebebasan berekspresi dalam masyarakat demokratis bukan datang dari hukum, tapi dari tekanan sosial—tirani opini mayoritas. Kata Tocqueville, di masyarakat demokratis orang sering lebih takut dikucilkan daripada dipenjara, jadi mereka cenderung nyensor diri biar gak bikin publik tersinggung. Buat de Tocqueville, kebebasan berekspresi butuh keberanian moral—nyali buat ngomong jujur meski semua orang beda pendapat. Karena itu, buat Tocqueville, kebebasan bicara adalah ujian karakter: apakah masyarakat siap menerima perbedaan, ngelindungin suara minoritas, dan ngebelain kebenaran walau nggak populer.Jürgen Habermas, lewat karya monumentalnya The Theory of Communicative Action (1981, Suhrkamp Verlag), ngasih makna baru buat kebebasan berekspresi sebagai darah kehidupan ruang publik. Menurut Habermas, demokrasi gak hidup cuma dari coblosan lima tahun sekali, tapi dari dialog terus-menerus dimana warga debat dengan akal sehat dan saling hormat. Jadi, kebebasan berekspresi bukan senjata egois individu, tapi alat bersama buat nyari kebenaran lewat komunikasi yang jujur dan rasional. Ucapan harus didasari ketulusan, saling menghargai, dan kesiapan dikritik—baru deh diskursus demokrasi bisa ngelahirin kesepakatan yang sah. Kalau kebebasan ngomong berubah jadi tipu-tipu atau manipulasi, itu bukan demokrasi lagi tapi propaganda. Buat Habermas, kebebasan berekspresi itu bukan cuma hak, tapi juga tanggungjawab moral dan kewajiban warga negara buat ngomong dengan etika.Amartya Sen, lewat bukunya Development as Freedom (1999, Oxford University Press), ngeliat kebebasan berekspresi dari sisi pembangunan manusia. Katanya, kebebasan ngomong itu bukan cuma nilai politik, tapi kebutuhan buat maju. Negara yang ngebungkam kritik biasanya jalan di tempat dan korup, sementara yang buka ruang diskusi malah tumbuh dan lebih akuntabel. Sen terkenal dengan pernyataannya bahwa “nggak pernah ada kelaparan besar di negara demokrasi yang berfungsi,” karena pers bebas dan debat publik maksa pemerintah buat bergerak. Buat Sen, kebebasan berekspresi bikin orang bisa nanya, belajar, dan ngaruh ke kebijakan yang nyentuh hidup mereka—jadi bukan cuma benteng dari tirani, tapi juga mesin buat kemajuan bersama. Intinya, tujuan kebebasan berekspresi bukan bikin ribut, tapi ngajarin masyarakat tumbuh bareng lewat pemahaman dan dialog.Pemahaman filosofis tentang kebebasan berekspresi udah berubah jauh banget dari pemikir klasik abad ke-19 sampai pemikir modern masa kini. John Stuart Mill dan Alexis de Tocqueville ngeliat kebebasan ngomong sebagai tameng melawan tirani—baik dari negara maupun tekanan sosial. Buat mereka, tujuan bicara itu buat ngelindungin kepribadian dan memastikan kebenaran tetep hidup meskipun ditekan kekuasaan atau opini publik. Mill percaya kebenaran muncul dari adu argumen, sementara Tocqueville takut demokrasi malah bikin orang bungkam gara-gara takut dikucilkan mayoritas. Di zaman mereka, kebebasan berekspresi adalah perjuangan moral buat ngelindungin pikiran individu dari tekanan massa.Sebaliknya, Jürgen Habermas dan Amartya Sen mindahin fokusnya dari kebebasan individu ke akal kolektif dan kemajuan sosial. Buat Habermas, kebebasan berekspresi bukan cuma soal ngelawan kekuasaan, tapi cara buat membangun kekuasaan yang sah lewat komunikasi rasional. Doski ngeliat ucapan sebagai jantungnya demokrasi—alat warga negara buat nyiptain saling pengertian dan legitimasi politik. Sementara Amartya Sen ngembangin maknanya lebih jauh lagi: menurutnya, kebebasan ngomong adalah alat pembangunan—penting buat keadilan, akuntabilitas, dan mencegah penderitaan manusia. Kalau Mill ngeliat ekspresi sebagai medan perang ide, Sen ngeliatnya sebagai pondasi kehidupan manusia yang berkembang.Pemikir klasik ngebela hak buat ngomong, sementara pemikir modern ngulik tanggungjawab buat berkomunikasi. Mill dan Tocqueville berjuang supaya kebebasan jadi perlindungan, sedangkan Habermas dan Sen ngebayangin kebebasan sebagai partisipasi. Pergeseran ini nunjukin kalau demokrasi udah makin dewasa—dari sekadar melindungi individu, jadi alat buat bareng-bareng ngebangun makna, keadilan, dan kemajuan. Tapi satu hal yang nyatuin mereka semua: keyakinan bahwa berbicara bukan cuma bikin suara—tapi wujud martabat manusia dan detak jantungnya masyarakat yang merdeka.Kebebasan berekspresi, kalau dilihat dari sisi filosofis paling dalam, ibarat jembatan antara etika, politik, dan kemanusiaan. Bukan cuma hak buat ngomong, tapi juga tanggungjawab moral supaya ucapan kita bisa bermanfaat buat kebaikan bersama. Secara etika, kebebasan ini minta kejujuran, rasa hormat, dan keberanian buat lawan kebohongan tanpa nyakitin orang lain. Secara politik, kebebasan bicara itu pondasi demokrasi—pemerintah dan institusi cuma bisa diawasi kalau rakyat bisa ngomong terbuka, kritik pejabat, dan debat dengan rasional. Secara kemanusiaan, kebebasan ngomong itu ngakuin martabat tiap orang, bahwa kita semua mampu mikir, menilai, dan punya nurani. Jadi, kebebasan berekspresi itu sekaligus cermin dan kompas: cermin yang nunjukin kondisi hati nurani masyarakat, dan kompas yang nuntun ke arah keadilan, pengetahuan, dan saling pengertian.Akhirnya, masyarakat yang menghargai kebebasan ngomong itu masyarakat yang percaya sama rakyatnya. Artinya, manusia itu diasumsikan rasional, bisa berdialog, dan peduli sama orang lain. Sebaliknya, kalau kebebasan ini dibungkam—entah oleh hukum, tekanan sosial, atau rasa takut—struktur moral, politik, dan kemanusiaan masyarakat mulai rusak. Pesan filosofisnya jelas: kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan buat bikin chaos atau nyakitin orang, tapi kebebasan yang disiplin, yang ngebangun kearifan, akuntabilitas, dan kemajuan manusia. Ia darah kehidupan masyarakat yang pengin adil, empatik, dan maju.Kebebasan pers itu nyambung banget ama kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, bahkan bisa dibilang jadi salah satu pilar utama demokrasi. Kebebasan pers pada dasarnya adalah perpanjangan hak individu buat ngomong: bikin wartawan, editor, dan media bisa investigasi, laporan, dan komentar soal urusan publik tanpa gangguan. Tanpa pers bebas, kebebasan berekspresi jadi lumpuh, karena suara kita gak punya panggung dan nggak sampai ke publik. Pers itu jadi pengawas sekaligus platform: ngawasin pemerintah dan korporasi, sekaligus ngasih informasi yang dibutuhin rakyat buat ngambil keputusan, yang ujungnya jagain hak asasi mereka.Lebih jauh lagi, kebebasan pers itu nyambung sama hak asasi lain. Hak atas informasi, hak buat ikut urusan politik, bahkan hak pendidikan, semua jadi lebih kuat kalau media bisa jalan independen. Contohnya, jurnalisme investigatif Amerika di awal abad ke-20 atau peran media independen waktu rezim otoriter di Eropa Timur runtuh, nunjukin kalau masyarakat dengan pers bebas biasanya punya transparansi, akuntabilitas, dan martabat manusia yang lebih tinggi. Jadi, kebebasan pers itu bukan cuma soal koran atau TV, tapi alat nyata yang bikin kebebasan ngomong nggak cuma milik individu, tapi jadi publik, kolektif, dan efektif buat jagain hak semua orang.Secara filosofis, tujuan kebebasan pers di negara demokrasi itu buat jadi penjaga kebenaran, panggung buat diskusi publik, dan pengawas kekuasaan. Pers nggak cuma buat ngasih berita, tapi buat bikin rakyat melek informasi supaya bisa ikut main di politik dan kehidupan sosial secara bermakna. Dengan bongkar korupsi, lawan ketidakadilan, dan ngasih berbagai sudut pandang, pers bebas ngebangun fondasi moral dan intelektual demokrasi. Pers bikin masyarakat bisa uji ide, hadapi realita pahit, dan memastikan pemerintah tetep akuntabel ke rakyat. Intinya, kebebasan pers itu bikin kebebasan ngomong individu jadi kekuatan kolektif buat keadilan, transparansi, dan pemberdayaan warga.Tapi, kebebasan pers nggak tanpa batas. Ada batas filosofis dan praktis ketika kebebasan ini bisa gangguin ketertiban, ngerugiin orang, atau ngelanggar hak fundamental lain. Ajakan kekerasan, nyebarin hoaks, dan pelanggaran privasi biasanya jadi batasan yang diterima. Jurnalisme etis juga punya batas internal: akurasi, keadilan, dan hormat sama martabat manusia harus dijaga. Meski pers menjadi pilar kebebasan demokrasi, pers punya tanggungjawab moral buat pakai kebebasan itu dengan bijak, ngeimbangin hak buat ngasih info sama kewajiban buat nggak nyakitin orang.Dalam konteks Indonesia, kontroversi seputar kredensial pendidikan Mas Wapres menjadi contoh relevan bagaimana kebebasan pers dapat diuji dan, terkadang, tegang. Kelompok media Kompas, sebagai pemain utama dalam lanskap media Indonesia, melaporkan secara ekstensif mengenai isu ini, khususnya yang berfokus pada tantangan hukum dan diskursus publik seputar ijazah Mas Wapres. Meskipun peran media adalah untuk menginformasikan publik, cara penyajian informasi juga sangat penting.Kritikus berpendapat bahwa beberapa outlet media, termasuk yang berada dalam grup Kompas, mungkin telah menunjukkan bias dalam pelaporan mereka, cenderung membela Mas Wapres. Bias yang dirasakan ini menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas jurnalistik dan kepatuhan terhadap kerangka yang merupakan dasar dalam memastikan liputan berita yang komprehensif dan seimbang. Kekhawatiran telah muncul bahwa penyajian media terhadap isu ini mungkin kurang analisis kritis dan tak bisa memberikan platform untuk berbagai perspektif, sehingga tak sepenuhnya melayani hak publik untuk mengetahui.Kasus semacam ini menyoroti keseimbangan yang seyogyanya dijaga oleh outlet media antara menjalankan kebebasan mereka untuk melaporkan dan memegang tanggungjawab etisnya. Kendati kebebasan pers adalah pilar demokrasi, sangat penting bagi organisasi media agar tetap waspada dalam memastikan bahwa pelaporan mereka adil, akurat, dan melayani kepentingan publik, daripada menjadi alat untuk agenda politik atau pribadi.Pokoke, demokrasi yang bener tuh gabungan dari keterbukaan, tanggungjawab, hukum yang kuat, partisipasi, rasa keadilan, responsif, sama mufakat bareng-bareng buat kebaikan bersama.
Dalam demokrasi mapan, budaya pemerintahan dan partisipasi warga biasanya berdasar pada prinsip akuntabilitas terhadap hukum, transparansi, dan keterlibatan aktif masyarakat. Warga diharapkan buat ngritik penguasa, debat soal kebijakan, dan minta pertanggungjawaban pemimpin. Sebaliknya, mindset “asal bapak senang” di Indonesia nunjukin bentuk kepatuhan hierarkis: keputusan lebih dibentuk buat nyenengin yang berkuasa daripada berdasarkan hukum atau kepentingan publik. Secara filosofis, ini ngerusak esensi demokrasi, karena ngerusak penalaran kritis diganti loyalitas pribadi, dan pertimbangan kolektif diganti mood penguasa. Dalam demokrasi yang sehat, debat, protes, dan mekanisme pengawasan dibangun, tapi budaya nyenengin bos bikin masyarakat pasif, nurut aja, dan rawan ke arah otoritarian.Ungkapan “asal bapak senang,” yang kira-kira bisa diterjemahkan sebagai “asal bos senang,” itu nyimbolin pola pikir yang lebih mementingkan nyenengin penguasa daripada prinsip, nalar, atau kepentingan publik. Secara filosofis, sikap ini bertentangan sama ide dasar demokrasi, yang butuh partisipasi aktif, akuntabilitas, dan kesetaraan. Demokrasi hidup kalau rakyat bisa ngomong jujur, kritik penguasa, dan debat soal kebijakan tanpa takut. Budaya “asal bapak senang” bikin orang males mikir kritis, bungkam protes, dan bikin pemerintahan cuma berdasarkan mood satu orang atau elite, bukan aturan, norma, dan diskusi publik. Dalam hal ini, ia ngerusak fondasi moral dan kewarganegaraan demokrasi, lebih ngedepanin konformitas dan loyalitas ke penguasa daripada keadilan, transparansi, dan kebaikan bersama.
Selain itu, “asal bapak senang” ngerusak mekanisme cek dan keseimbangan. Dalam demokrasi yang sehat, kebebasan bicara, kebebasan pers, dan pengawasan publik itu senjata penting buat mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Kalau keputusan cuma dibuat buat nyenengin bos, alat-alat ini nggak efektif lagi, dan risiko korupsi, nepotisme, dan pemerintahan sewenang-wenang naik. Jadi, mindset yang terkandung dalam “asal bapak senang” itu bukan cuma ngebatesin sosial, tapi juga berbahaya secara politik, ngerusak prinsip-prinsip yang jadi fondasi masyarakat demokratis.Secara praktis, dampaknya nyata. Di sistem yang dikuasai “asal bapak senang,” media dan masyarakat sipil bakal ragu kritik pejabat, kebijakan publik bisa lebih nguntungin elite, dan korupsi gampang berkembang tanpa pengawasan. Ini beda banget sama demokrasi di mana pers independen, warga bebas protes, dan mekanisme pemerintahan dirancang buat cegah konsentrasi kekuasaan. Baik secara filosofis maupun praktis, perbandingan ini nunjukin: budaya patuh tanpa tanya ngerusak norma demokrasi, sementara ideal demokrasi butuh pengawasan, debat, dan akuntabilitas buat jaga keadilan, transparansi, dan kesejahteraan bersama.Nah, kalau keluar dari Indonesia, ternyata “asal bapak senang” bukan penyakit lokal aja, tapi virus global yang tumbuh subur dimanapun kekuasaan numpuk dan laporan harus naik ke atas dengan wajah manis.Di China, contohnya, pejabat lokal terkenal jago ngulik data biar enak didengar Beijing. Pas era Great Leap Forward-nya Mao, laporan panen dibikin bombastis seolah ladang penuh hasil. Padahal kenyataan lapangan hancur total, rakyat kelaparan parah, sampai jutaan nyawa melayang. Gara-gara gaya “asal bapak senang”, pusat keblinger ambil kebijakan yang keliru. Bahkan sekarang, data GDP provinsi sering kelihatan terlalu “seragam indah,” nunjukin bahwa angka masih dipoles biar pusat happy.Di Rusia ala Putin juga kagak beda jauh. Gubernur daerah dan perusahaan negara rajin bikin panggung sukses: pertumbuhan ekonomi dipoles, peresmian infrastruktur digelar heboh, sementara kabar jelek disembunyiin. Wartawan kritis diintimidasi, whistleblower dibungkam. Obsesi Kremlin sama citra bikin “pleasing the boss” jadi gaya sistemik. Masalah asli kayak korupsi dan infrastruktur bobrok ketutup dekorasi panggung demi jaga aura “bapak kuat.”Di dunia korporat, kasus Enron di Amerika jadi bukti pahit. Bos-bos cuma mau dengar laporan bagus, jadi manajer pada kreatif bikin akal-akalan akuntansi biar kelihatan cemerlang. Investor pun percaya, sampai akhirnya perusahaan jeblok kayak kartu domino, bikin miliaran dolar ambyar. Itu textbook “asal bapak senang” versi Wall Street.Bahkan pun di perusahaan teknologi modern kayak Facebook (Meta), riset internal soal dampak negatif media sosial ke kesehatan mental dan demokrasi sempat ada, tapi sering dipinggirkan. Kenapa? Karena hasilnya gak sesuai “narasi besar” yang bos pengen dengar. Lagi-lagi, kejujuran kalah sama narasi yang bikin bos tetep nyaman.Jadi jelas, “asal bapak senang” itu pola manusiawi yang gak kenal batas negara atau sektor. Mau di rezim otoriter, ruang rapat BUMN, sampai kantor start-up yang doyan gaya hustle, godaannya sama: poles kenyataan demi bikin atasan puas. Istilahnya sih Indonesia banget, tapi praktiknya mendunia—dan bukti bahwa di mana ada hierarki plus ego rapuh, di situ kebenaran bisa gampang dipelintir.Istilah “asal bapak senang” sebagai sekadar ungkapan dan sebagai budaya atau kebiasaan, tergantung seberapa sering dan seberapa melekat perilaku itu. Awalnya, istilah ini cuma komentar lucu atau sindiran buat satu kejadian: misalnya pegawai ngepolish laporan biar bos senang. Waktu itu, cuma idiom—nggak lebih dari label buat perilaku yang keliatan.Tapi kalau perilaku itu terjadi berulang, jadi standar yang diharapkan, dan diperkuat secara sosial di banyak orang dan banyak situasi, baru naik level jadi kebiasaan atau budaya. Contohnya: birokrat yang selalu kasih laporan positif, tim proyek yang rutin bikin “panggung sukses,” media yang nyaringin berita supaya nggak ganggu pemimpin. Waktu itu, “asal bapak senang” bukan cuma istilah—dia jadi logika yang nentuin keputusan, insentif, dan interaksi antar-orang.Ciri-ciri kalau istilah ini udah jadi budaya:
- Terduga: Semua orang menganggap itu perilaku default; kalau ada yang beda, kaget.
- Diperkuat: Orang yang nurut sama logika “nyenengin atasan” dihargai; yang kritis bisa kena efek negatif.
- Menyebar: Praktik ini nggak cuma di satu kantor, tapi ngefek ke politik, pekerjaan, sosial, dan media.
- Terinternalisasi: Orang mulai nyensor diri sendiri atau nurut dari awal karena udah terbiasa bikin bos senang.
Singkatnya, “asal bapak senang” masih sekadar istilah kalau cuma buat ngomentarin satu kejadian; ungkapan ini baru jadi budaya kalau ngebentuk pola hidup sehari-hari dan keputusan sistemik.
Nah, kalau dibawa ke level kontemporer sehari-hari, “asal bapak senang” jelas banget pengaruhnya ke individu, organisasi, dan bahkan ruang digital.Di tingkat individu, orang mulai belajar sejak awal karier atau kehidupan sosial bahwa ngomong jujur soal masalah bisa berisiko, sementara ngepuasin bos atau menonjolkan prestasi itu aman dan menguntungkan. Lama-lama, kebiasaan ini bikin orang lebih pintar baca mood atasan, nyaringin ucapan, dan menahan kritik. Dampaknya, kejujuran, inovasi, dan pemikiran kritis sering kalah sama kebutuhan menjaga harmoni dan amankan posisi.Dalam organisasi, efeknya sistemik. Keputusan sering diambil bukan cuma dari data atau bukti, tapi dari apa yang bakal bikin atasan senang atau citra terlihat bagus di luar. Laporan dan presentasi dipoles supaya prestasi menonjol, masalah ditutup-tutupi. Budaya ini bikin risiko dihindari: proyek yang bisa munculin kelemahan dihindari, dana dialihkan ke hal-hal yang “foto-able” tapi mungkin nggak substantif. Hasilnya, sukses diukur dari kedekatan dengan otoritas, bukan hasil nyata, dan sistem feedback jadi tertidur.Dalam ruang digital, fenomena ini makin kelihatan. Media sosial memperkuat aspek performatifnya: buzzer, pengikut, atau pegawai bikin konten yang ngeglorify pemimpin, menutupi kritik, atau ngedaur ulang narasi resmi. Orang biasa pun sering nahan diri buat ngomong kritis karena takut backlash. Akhirnya, cerita yang terlihat publik tampak kompak dan mulus, tapi transparansi, diskusi, dan pengawasan publik dikorbankan demi citra bos tetep kinclong.Dari seluruh level ini, terlihat bahwa “asal bapak senang” bukan sekadar senyum-senyum di kantor. Dari perilaku individu sampai organisasi dan media digital, pola ini nentuin gimana keputusan dibuat, opini dibentuk, dan kebenaran dibagi. Di Indonesia modern, bahkan di sistem hierarkis lain di dunia, istilah ini tetep relevan sebagai lensa buat ngerti interaksi psikologi, insentif sosial, dan budaya institusi. Ungkapan ini ngingetin kita kalau budaya itu bukan cuma adat, tapi sistem hidup yang nentuin apa yang berani orang ucapin, lakuin, dan bayangin.Kalau pejabat publik cuma mikirin bikin bos senang, kebijakan yang dijalankan bisa amburadul. Dana sering dialihin ke proyek yang keliatan keren di laporan atau medsos, sementara hal-hal yang bener-bener penting tapi nggak “Instagramable”—kayak perawatan jalan, kesehatan pedesaan, atau lingkungan—diabaikan. Keputusan yang lebih mikirin tampilan daripada bukti bikin boros, nggak efisien, dan bikin publik kecewa. Rakyat akhirnya ngerasa ada gap antara cerita resmi dan realita, jadinya, kepercayaan ke institusi turun. So, “asal bapak senang” itu bukan cuma kelakuan lucu di kantor, tapi punya dampak nyata buat kebijakan dan kesejahteraan publik.Di kantor atau perusahaan, budaya nyenengin bos bisa bikin inovasi mati dan produktivitas turun. Pegawai belajar, lebih aman bikin ide standar daripada usul hal baru yang bisa gagal atau nunjukin masalah. Tim lebih fokus ke pencitraan: poles presentasi, latihan pidato, nge-edit angka, daripada nyelesain masalah beneran. Lama-lama, orang berbakat pergi, moral tim jatuh, organisasi jadi reaktif. Jadi performa cuma di permukaan, kebutuhan sebenarnya diabaikan.Kepercayaan masyarakat juga kena dampaknya. Berita, komunikasi pemerintah, dan pernyataan perusahaan sering dipoles supaya atasan happy, transparansi dikorbankan. Orang belajar baca kode-kode, jadi skeptis sama klaim resmi. Debat publik sempit, suara kritis tersingkir, problem-solving kolektif mandek. Akhirnya, masyarakat jadi hati-hati, sinis, dan bergantung sama petunjuk sosial buat navigasi otoritas, bukan informasi yang jelas dan bisa dipercaya.Pada akhirnya, “asal bapak senang” bukan cuma istilah, tapi dinamika yang nentuin keputusan, budaya kerja, dan kehidupan publik. Dengan mendahulukan mood bos daripada kebenaran, akuntabilitas melemah, institusi rapuh, dan kemajuan melambat. Sadar akan pola ini penting buat berubah: transparansi harus ditingkatkan, kritik konstruktif dihargai, dan sistem dibikin supaya substansi lebih penting daripada pencitraan. Istilah ini tetep relevan banget—menjadi peringatan sekaligus cermin tentang gimana masyarakat dan organisasi menangani kekuasaan, kejujuran, dan tanggungjawab kolektif.Selanjutnya, kita bakal ngulik buku “The Idea of Power in Javanese Culture” karya Benedict R. O’G. Anderson, sambil bongkar-bongkar bagian-bagian yang nunjukin gimana konsep kekuasaan ala Jawa tradisional masih ngefek banget sama perilaku politik dan cara orang ngobrol di Indonesia sekarang.
[Bagian 1]

