[Bagian 3]Dalam gerakan yang bikin bingung antara fashion show dan demo politik, sekelompok "Termul" berencana turun ke Mabes Polri cuma pakai Bra dan Thong. Aksi ini diberi nama “Operasi Loyalitas Lingerie”, katanya sih buat ngebelain kehormatan Jokowi. Tapi detailnya "se-minim outfit" mereka.Buat sebagian orang, ancaman demo ke Mabes Polri cuma pakai bra dan thong tuh bukan sekadar “gak sopan”—itu udah masuk level drama panggung yang bisa bikin tuntutan politik jadi bahan tertawaan. Ada yang bilang itu simbolik, biar publik melek. Tapi banyak juga yang nyinyir, bilang itu cuma cari sensasi, bukan solusi.Secara moral, aksi kayak gitu, nabrak norma kesopanan publik. Di masyarakat yang masih menjunjung tinggi “tatakrama berpakaian”, tampil setengah telanjang di depan institusi negara tuh kayak ngajak ribut. Bukan cuma pesannya yang dipertanyakan, tapi juga cara penyampaiannya.Secara strategi, ini bisa jadi bumerang. Bukannya dapet dukungan, malah bikin orang yang tadinya netral jadi ilfeel. Musuh politik pun bisa gampang bilang, “Tuh kaan, cuma cari perhatian.” Akhirnya, aksi yang niatnya serius malah jadi meme viral—rame bentar, hilang tanpa jejak perubahan.Media juga punya andil. Mereka lebih fokus ke “BH-nya siapa” daripada “tuntutannya apa”. Akibatnya, isu penting bisa tenggelam di lautan clickbait.Intinya, hak buat protes itu sakral. Tapi cara kita protes juga nentuin: mau jadi gerakan yang didengar, atau cuma jadi trending topic yang cepat basi. Kita dukung kebebasan berekspresi, tapi jangan sampe diplomasi cuman pakai thong juga qallee! Tampil setengah telanjang di ruang publik tetep ilegal, walau itu pakai dalih politik maupun merek lingerie termahal.Yaa.. gitu deh! Para Termul, mikirnya pakai dengkul!Kembali ke pokok bahasan kita.
Treasure Islands: Uncovering the Damage of Offshore Banking and Tax Havens karya Nicholas Shaxson itu kayak thriller ekonomi yang ngebongkar dunia gelap perbankan offshore dan surga pajak. Terbit tahun 2011, buku ini nunjukin gimana tempat-tempat kayak Cayman Islands, Jersey, bahkan Delaware, jadi markas rahasia buat nyimpen duit elite dunia—tanpa pajak, tanpa pengawasan.Shaxson bilang, ini bukan soal “orang kaya ngatur duitnya,” tapi soal sistem global yang bikin negara kehilangan pendapatan, layanan publik jadi seret, dan kesenjangan makin lebar. Doski nunjukin gimana korporasi besar dan pejabat bisa ngumpetin kekayaan lewat jaringan hukum dan bank yang dilindungi negara kuat.Yang bikin buku ini nendang? Gaya ceritanya. Shaxson nggak cuma ngasih data, tapi juga cerita, nama-nama, dan peta kekuasaan. Doi ngajak kita ngelihat bahwa dunia keuangan itu punya sisi gelap—dan kalau nggak dibongkar, demokrasi bisa kalah sama duit.Bayangin surga pajak itu kayak mobil pelarian buat koruptor. Duit hasil sogokan, manipulasi anggaran, atau jual-beli jabatan bisa langsung disimpen di luar negeri, aman dari kejaran hukum. Jadi, korupsi lokal bisa jadi global karena ada sistem yang ngebantu ngumpetin hasilnya.Shaxson juga nunjukin gimana sistem offshore bikin negara berkembang susah bersihin diri. Duit rakyat yang dicolong malah disimpan di London atau Zurich, bikin penyidik lokal mentok karena aturan internasional yang ribet dan penuh kabut hukum. Yang kaya makin aman, yang miskin makin rugi.Treasure Islands ngajak kita ngelihat korupsi bukan sebagai penyakit lokal, tapi sebagai jaringan global yang dijaga oleh elite dan institusi yang pura-pura gak tahu. Surga pajak itu bukan celah lucu buat orang kaya, tapi mesin ketimpangan dan impunitas.Di bagian prolog berjudul Offshore Awakening, Nicholas Shaxson ngajak kita buka mata soal dunia keuangan yang selama ini ngumpet di balik jargon dan pantai tropis. Awalnya doski mengira sistem offshore itu cuma soal orang kaya ngatur pajak di pulau-pulau eksotis. Tapi makin digali, makin jelas: ini bukan pinggiran, ini jantung ekonomi global.Shaxson sadar, sistem ini gak cuma ada di Cayman atau Bermuda—tapi juga di jantung kota kayak London dan New York. Dan yang bikin doi “terbangun” bukan cuma soal teknis, tapi soal moral. Offshore finance bukan sekadar ngindarin pajak, tapi soal gimana elite bisa kabur dari aturan yang ngikat rakyat biasa. Mereka punya dunia paralel: duit disembunyikan, dilipatgandakan, dan kagak bisa disentuh hukum.Ia kaget banget gimana publik hampir gak ngerti soal ini, padahal dampaknya kemana-mana—dari kemiskinan, korupsi, sampai ketimpangan global. Prolog ini bukan sekadar pembuka, tapi alarm. Shaxson ngajak kita lihat bahwa sistem offshore itu bukan hal teknis, tapi krisis politik dan etika.Gaya tulisannya investigatif tapi juga emosional—kayak ngajak kita ngintip balik layar kapitalisme modern, dan nanya: “Siapa yang sebenernya pegang kendali?”Di bagian prolog ini, Shaxson belum ngasih daftar kasus korupsi satu per satu, tapi doi udah mulai buka tabir soal gimana dunia offshore itu bukan cuma soal pulau eksotis, tapi soal kota-kota elite kayak London dan Jersey yang jadi pusat rahasia keuangan. Doski cerita gimana ia awalnya kaget—ternyata sistem ini bukan pinggiran, tapi pusat dari ekonomi global yang penuh permainan.Salah satu momen yang disinggungnya adalah soal Angola. Negara kaya minyak, tapi rakyatnya tetep miskin karena duitnya disedot ke rekening offshore. Meski belum dijelasin detail, contoh ini jadi teaser buat tema besar buku ini: sistem offshore itu bikin elite bisa ngerampok skala global, dan yang paling kena dampaknya adalah negara-negara yang paling lemah.Prolog ini bukan soal nyebutin nama, tapi soal bangunin para pembacanya. Shaxson ngajak kita pelan-pelan buka mata, lihat gimana sistem ini dibangun buat ngumpetin kekayaan, dan janji bakal ngebongkar semuanya di bab-bab berikutnya.Di Bab I, Welcome to Nowhere, Nicholas Shaxson ngajak kita masuk ke dunia offshore—dunia yang ada dimana-mana tapi gak kelihatan. Doski bilang, “offshore” itu bukan cuma soal pulau tropis atau tempat eksotis buat nyimpen duit. Offshore itu sistem yang sengaja dibikin buat kabur dari aturan, pajak, dan pengawasan. Itu bukan lokasi, tapi logika.Shaxson ngelacak asal-usulnya ke Inggris pasca-Perang Dunia, khususnya ke City of London, tempat elit finansial mulai nyusun cara buat ngelak dari kontrol dalam negeri. Lama-lama, sistem ini nyebar ke mana-mana: Cayman, Jersey, Luxembourg, bahkan ke Amerika lewat negara bagian kayak Delaware. Tujuannya jelas: bikin zona rahasia buat simpen kekayaan, ngindarin pajak, dan mainin hukum.Doi jelasin bahwa offshore itu bukan soal geografi, tapi soal pelarian. Korporasi, miliarder, dan elite politik bisa jalanin bisnis di semesta hukum paralel—bebas dari aturan yang ngikat rakyat biasa. Di sana, mereka bisa sembunyiin identitas, lindungin aset, dan manfaatin celah regulasi buat ngelakuin penghindaran pajak, pencucian uang, dan manipulasi finansial.Nada Shaxson tajam dan investigatif. Doi pengen pembaca sadar: offshore finance itu bukan masalah pinggiran, tapi fondasi kapitalisme modern. Sistem ini bikin pasar bengkok, nyedot duit publik, dan ngerusak demokrasi. Judul Welcome to Nowhere bukan cuma gaya—itu sindiran buat sistem yang sengaja dibikin nggak kelihatan, nggak bisa disentuh, dan nggak bisa dimintai pertanggungjawaban.Di Bab 2, Shaxson ngebongkar istilah “Technically Abroad” lewat cerita gimana konglomerat daging bisa ngilang dari radar hukum sambil tetep ngatur bisnis dari pusat kekuasaan. Doski mulai dari Vestey Brothers—juragan daging asal Inggris yang kelihatan kayak perusahaan asing karena daftar di Argentina dan Bahama, padahal kendali tetep di London. Triknya? Bikin kesan “kami bukan dari sini,” biar bisa ngindarin pajak dan pengawasan, tapi tetep nikmatin fasilitas negara asal.Lalu Shaxson geser ke American Beef Trust—kartel raksasa daging di AS yang main struktur korporat buat nguasain pasar dan ngebabat pesaing. Mereka nggak selalu pakai surga pajak, tapi logika offshore tetep dipakai: bikin perusahaan lintas negara, geser untung ke tempat yang longgar aturannya, dan rakit kekuasaan lewat celah hukum.Bab ini nunjukin bahwa lahirnya korporasi multinasional bukan sekadar efek globalisasi, tapi hasil strategi licik buat kabur dari tanggungjawab. Sistem offshore jadi alat buat sembunyiin data, ngindarin pajak, dan mainin hukum. Vestey dan Beef Trust bukan cuma bangun kerajaan bisnis—mereka bikin blueprint buat gaya korporat zaman sekarang.Shaxson ngajak kita lihat bahwa offshore itu bukan cuma soal nyimpen duit, tapi soal ngatur ulang aturan main kapitalisme. Bab ini nyambungin sejarah ke masa kini, nunjukin bahwa korporasi besar zaman sekarang masih pakai jurus lama: pura-pura “asing,” padahal tetep ngisap dari dalam.Di Bab 3, Shaxson ngebenturin dua dunia: sistem offshore yang liar dan visi ekonomi John Maynard Keynes yang pengen bikin keuangan tunduk sama kepentingan publik. Keynes bukan cuma ekonom, doski pejuang yang pengen duit kerja buat rakyat, bukan buat spekulan. Doi percaya, modal harus bisa dikontrol, transparan, dan tunduk sama demokrasi. Sementara offshore? Itu dunia pelarian—tempat duit bisa kabur dari pajak, hukum, dan tanggungjawab.Shaxson naruh Keynes di tengah upaya pasca-Perang Dunia buat bikin ekonomi global stabil lewat Bretton Woods. Di sana, Keynes ngedorong kontrol modal dan kerjasama internasional biar spekulasi enggak ngerusak kebijakan negara. Buat doi, ekonomi itu soal kesejahteraan, bukan soal untung semata.Bab ini nunjukin gimana sistem offshore lahir sebagai penolakan total terhadap cita-cita Keynes. Kalau Keynes pengen keuangan dijinakkan, offshore malah buka kandang—biar modal bisa lari kemana aja, ngumpet, dan main aturan sendiri. Shaxson bilang, ini bukan cuma soal teknis, tapi soal filosofi: dari kepentingan publik ke keuntungan pribadi, dari terang ke gelap.Kenapa Keynes masih relevan? Karena Keynes udah kasih alarm: kalau modal dibiarin liar, demokrasi bisa rontok, kekayaan makin numpuk di atas, dan masyarakat bisa goyah. Offshore finance, kata Shaxson, bukan cuma lawan Keynes dalam struktur, tapi juga dalam semangat.Di bab 4, Shaxson ngebongkar gimana Wall Street yang dulu dikekang aturan ketat pasca-Depresi Besar, akhirnya bisa balik berkuasa lewat jalur offshore—bukan ke pulau tropis, tapi ke jantung finansial London. Setelah Perang Dunia II, bank-bank Amerika dibatasi biar nggak spekulatif dan tetep pro-rakyat. Tapi mereka nggak ngotak-atik aturan di rumah sendiri—mereka cari jalan kabur. Dan London jadi pintu pelariannya.City of London, dengan status hukum yang unik dan sejarah otonomi yang panjang, jadi panggung ideal buat pelarian ini. Pemerintah Inggris, yang pengen balik jadi pemain utama di dunia finansial, buka pintu lebar-lebar buat modal asing—tanpa banyak tanya. Lahirlah pasar Eurodollar, tempat dolar bisa muter di luar pengawasan Amerika. Bank-bank Wall Street langsung ngegas, pakai London buat ngembangin sayap, ngindarin aturan, dan nguasain pasar global.Shaxson nunjukin bahwa ini bukan cuma trik licik—ini revolusi. Wall Street jadi bisa main di zona abu-abu hukum, untung gede, dan lepas dari kontrol demokratis. Pelarian ke London bukan soal nyimpen duit, tapi soal nyusun ulang peta kapitalisme dunia. Bab ini nunjukin gimana langkah itu bikin Wall Street makin perkasa, negara makin lemah, dan krisis finansial makin dekat.Shaxson nutup bab ini dengan satu pesan: pelarian ini bukan kebetulan, tapi strategi yang matang dan politis. London jadi taman bermain offshore buat Wall Street, dan bukti bahwa pelarian paling dahsyat itu nggak sembunyi-sembunyi—tapi justru terang-terangan.Di Bab 5, Shaxson ngebongkar gimana Inggris, setelah kehilangan jajahan formalnya, malah bikin imperium baru—bukan lewat lahan, tapi lewat duit. Imperium ini dirajut kayak jaring laba-laba, dengan City of London di tengah, dan titik-titik offshore kayak Cayman, Bermuda, Jersey, dan British Virgin Islands jadi simpul lengketnya. Ini bukan kebetulan secara geografis, tapi hasil desain politik Inggris yang licik.Shaxson jelasin bahwa jaringan ini dibikin buat ngelayanin kepentingan kapital global, terutama bank-bank Inggris dan korporasi multinasional. Lewat janji rahasia, pajak rendah, dan aturan longgar, wilayah-wilayah ini jadi magnet buat duit yang pengen kabur dari pengawasan. Pemerintah Inggris, meski di depan ngomong soal transparansi dan pembangunan, di belakang layar justru jadi dalang sistem ini—ngatur lewat hukum, orang-orang kunci, dan pengaruh finansial.Bab ini nunjukin gimana jejaring offshore bikin Inggris tetep punya kuasa finansial global, meski bendera kolonial udah diturunin. Ini bukan sekadar nyimpen duit, tapi soal ngatur ulang aturan main keuangan dunia biar Inggris tetep di atas angin. Shaxson bilang, sistem ini ngerusak demokrasi, nyedot sumber daya dari negara miskin, dan bikin ketimpangan makin parah.Akhirnya, jaring laba-laba ini jadi simbol sistem yang nggak kelihatan tapi susah banget dilepas. Inggris bukannya kehilangan imperium—mereka ganti bentuknya, dan sekarang imperiumnya pakai offshore sebagai senjata.Di Bab 6, Shaxson ngebedah jeroan wilayah rahasia finansial—tempat yang bukan sekadar lokasi, tapi konstruksi hukum yang dirancang buat nyembunyiin kekayaan dan ngacak-ngacak jejak kepemilikan. Wilayah-wilayah ini, meski kecil secara geografis, punya pengaruh finansial yang gede banget. Mereka nggak nanya asal duit, nggak bagi info, dan nggak peduli transparansi. Tujuannya cuma satu: narik duit sebanyak mungkin, tanpa repot ngatur.Shaxson nunjukin gimana wilayah-wilayah ini sengaja dibikin buat nyusahin aparat hukum, petugas pajak, dan pengawasan demokratis. Sistem offshore itu bukan kebetulan—tapi hasil lobi, utak-atik hukum, dan strategi geopolitik yang rapi. Di balik layar, ada pengacara, bankir, dan konsultan yang jadi arsitek jaringan perusahaan cangkang, trust, dan nama samaran yang bikin jejak kepemilikan jadi kabur kayak kabut.Doski juga nyorot peran negara besar—terutama Inggris dan Amerika—yang bukan cuma tahu, tapi juga ngelindungin sistem ini. Surga rahasia ini bukan markas nakal, tapi bagian dari strategi negara kuat yang dapet untung dari aliran modal dan pengaruh politik. Shaxson bilang, sistem ini bukan pinggiran dari dunia keuangan—ini justru pusatnya. Dampaknya? Pajak negara bolong, demokrasi lemah, dan elite makin kebal hukum. Bab ini nunjukin dunia dimana aturan cuma berlaku buat yang nggak punya kuasa. Arsitektur rahasia ini bukan kecelakaan sistem—tapi justru fondasinya.Shaxson nunjukin gimana Amerika Serikat yang dulunya suka nyolot soal surga pajak, lama-lama malah jadi pemain utama. Awalnya mereka kritik sistem offshore, tapi pelan-pelan berubah haluan—bukan karena terpaksa, tapi karena strategi. Perubahan ini gak instan, tapi hasil lobi, kepentingan geopolitik, dan cengkeraman Wall Street yang makin kuat.Amerika gak cuma ngebolehin sistem offshore—mereka bantu bangun. Di depan ngomong soal transparansi, tapi di belakang layar, mereka bikin negara bagian kayak Delaware, Nevada, dan Wyoming jadi surga pajak lokal. Di sana, perusahaan cangkang bisa dibikin tanpa banyak tanya. Bank dan firma hukum AS juga ikut main, bantu klien dari seluruh dunia bikin struktur offshore yang aman dan untung besar.Shaxson nunjukin bahwa semua ini didorong oleh ambisi buat tetep jadi pusat keuangan dunia. Sistem offshore jadi alat kekuasaan lembut—buat narik modal global, ngatur aturan internasional, dan jagain elite sendiri. Amerika akhirnya berhenti panik soal rahasia keuangan karena mereka sadar: sistem ini bisa dikendalikan dan dimanfaatkan. Ironinya? Mereka maksa negara lain buka-bukaan, tapi mereka sendiri bikin benteng rahasia di rumah sendiri. Shaxson ngegambarin Amerika bukan sebagai korban sistem offshore, tapi sebagai dalangnya. Mereka gak bubarin sistem ini—mereka jinakin, senjatain, dan masukin ke strategi global mereka.Di Bab 7, The Drain: How Tax Havens Harm Poor Countries, Shaxson ngebongkar gimana sistem offshore nyedot kekayaan dari negara-negara miskin secara sistematis—nggak pakai senjata, tapi tetep brutal. Duit nggak hilang karena perang, tapi karena dipindahin diam-diam lewat celah hukum dan struktur rahasia. Korporasi multinasional dan elite lokal kerjasama buat geserin untung ke luar negeri, biar nggak kena pajak dan nggak bisa dilacak.Shaxson jelasin gimana praktik ini jalan lewat manipulasi harga dagang, perusahaan cangkang, dan trust offshore. Barang diekspor tapi nilainya dikecilin, atau impor dibikin mahal, biar duit bisa dialihin ke surga pajak. Elite lokal, dibantu konsultan asing, sembunyiin aset curian lewat struktur hukum yang rumit—bikin aparat dalam negeri susah ngejar dan rakyat makin gak percaya.Dampaknya? Sekolah kekurangan dana, rumah sakit sepi tenaga medis, jalanan rusak gak diperbaiki—bukan karena negara miskin, tapi karena duitnya udah kabur duluan. Shaxson bilang, ini bukan efek samping globalisasi—ini fitur utama kapitalisme offshore. Sistem ini bikin penjarahan jadi legal, dan negara miskin yang harus nanggung akibatnya.Bab ini juga nunjukin gimana negara kaya dan lembaga internasional pura-pura enggak ngelihat. Mereka ngomong soal pembangunan dan tatakelola, tapi tetep biarin sistem offshore jalan, karena korporasi dan sektor finansial mereka dapet untung. Nada Shaxson tajam dan penuh amarah—doski pengen pembaca sadar bahwa kemiskinan itu bukan cuma gagal urus dalam negeri, tapi juga hasil kejahatan global. Bab The Drain ngajak kita ngelihat dunia offshore bukan sebagai alat keuangan netral, tapi sebagai senjata ketidakadilan ekonomi—yang bikin negara miskin makin kering, sementara yang kaya makin warek.Di Bab 8, Resistance: In Combat with the Ideological Warriors of Offshore, Shaxson ngajak kita masuk ke medan perang ideologi soal dunia offshore. Di sana, ada ekonom, lobi-lobi, pengacara, dan think tank yang bela surga pajak bukan sebagai celah curang, tapi sebagai simbol kebebasan dan efisiensi. Mereka bilang, pajak rendah itu bikin kompetisi sehat, narik investasi, dan ngerem negara yang terlalu ikut campur. Tapi buat Shaxson, ini cuma narasi yang dibikin rapi buat nutupin kerusakan yang ditimbulkan: demokrasi yang lemah, ketimpangan yang makin parah, dan akuntabilitas publik yang hilang.Shaxson ngelacak gimana para pembela offshore ini nyebarin pengaruh lewat jurnal akademik, media, dan ruang kebijakan—seringnya didanai korporasi besar. Mereka bikin rahasia keuangan terdengar kayak kebebasan, dan penghindaran pajak jadi strategi cerdas. Shaxson nunjukin gimana ideologi ini udah masuk ke lembaga global kayak OECD dan IMF, yang kadang ikut nyebarin logika itu tanpa berani ngelawan dampaknya.Bab ini juga munculin suara-suara perlawanan—aktivis, jurnalis investigatif, dan pejabat reformis yang berani ngelawan dogma offshore. Mereka buka borok sistem: aset yang dicuri, layanan publik yang bolong, dan jurang kaya-miskin yang makin dalam. Shaxson bilang, perang lawan offshore finance itu bukan cuma soal teknis—ini soal ideologi. Harus berani lawan mitos yang bikin sistem ini tetap hidup, dan rebut lagi bahasa keadilan dan transparansi.Bab Resistance ini menjadi ajakan buat memberontak secara intelektual. Shaxson minta kita jangan telan mentah-mentah narasi yang ngebelain sistem offshore, dan sadar bahwa di balik tiap perusahaan cangkang dan klausul rahasia, ada pilihan politik—pilihan buat ngelindungin kekayaan, bukan keadilan.Di Bab 9, The Life Offshore: The Human Side of Secrecy Jurisdictions, Shaxson ganti sudut pandang—dari angka dan sistem ke kehidupan nyata. Doski ngajak kita lihat gimana rasanya hidup di dunia offshore, bukan sebagai elite keuangan, tapi sebagai warga biasa, pekerja lokal, atau orang yang terjebak dalam roda rahasia. Doi keliling ke tempat kayak Jersey, Cayman, dan British Virgin Islands, nunjukin gimana wilayah-wilayah ini dibentuk oleh peran mereka dalam keuangan global—dan gimana peran itu bikin hidup keharian jadi bengkok.Shaxson cerita soal komunitas yang ekonominya muter di jasa offshore, tapi rakyat lokal jarang dapet untungnya. Biaya hidup tinggi, kerjaan terbatas, dan terasa asing di negeri sendiri makin kuat. Sementara itu, profesional asing—biasanya kulit putih, kaya, dan nomaden—nguasain lapisan atas masyarakat, bikin jurang sosial makin lebar. Dunia offshore gak cuma nyembunyiin duit—tapi juga ngatur ulang budaya, politik, dan identitas.Shaxson juga bahas gimana wilayah rahasia ini pelihara budaya bungkam. Warga nggak didorong buat nanya, jurnalis bisa kena ancaman hukum kalau ngulik terlalu dalam. Dunia offshore hidup dari diam, dan diam itu jadi norma sosial—bikin komunitas yang kelihatan makmur tapi dalamnya penuh tekanan. Narasi Shaxson penuh empati tapi tetap tajam, nunjukin bahwa dampak offshore finance bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal mental dan hak sipil. Bab ini nunjukin bahwa wilayah rahasia itu bukan cuma zona teknis—tapi ruang hidup. Dan di dalam ruang itu, ketimpangan nggak cuma soal saldo rekening, tapi soal suara, sorotan, dan rasa punya tempat.Buat Shaxson, offshore itu bukan tempat—ia sistem. Dan sistem itu ada dimana-mana. Banyak orang mikir surga pajak itu cuma soal pulau tropis berpantai indah, tapi Shaxson bilang: yang paling berbahaya justru ngumpet di depan mata. Cayman, Bermuda, dan British Virgin Islands emang terkenal, tapi jangan lupa Jersey, Guernsey, dan Isle of Man—anak-anak mahkota Inggris yang punya otonomi senyap dan layanan finansial agresif.Doski juga nunjuk ke Luxembourg dan Swiss di Eropa, yang udah lama jadi markas rahasia bank dan perusahaan cangkang. Tapi yang paling bikin kaget? Amerika Serikat sendiri. Negara bagian kayak Delaware, Nevada, dan Wyoming punya fasilitas perusahaan cangkang dan anonimitas hukum yang gak kalah dari Karibia. City of London juga jadi pusat jaring laba-laba Inggris—bukan cuma tempat, tapi otak sistem offshore.Peta offshore versi Shaxson sengaja bikin kita nggak nyaman. Doi nunjukin bahwa sistem ini gak ngumpet di tempat eksotis—tapi nyusup ke jantung ekonomi negara-negara besar. Offshore itu bukan “di sana.” Offshore itu “di sini.” Di balik hukum, di balik bank, di balik wajah negara yang kelihatan rapi.Di Bab 10, Ratchet: How Secrecy Jurisdictions Helped Cause the Latest Financial Crisis, Shaxson ngenalin metafora “ratchet”—peralatan untuk menyesuaikan mur atau baut, alat mekanik yang cuma bisa gerak satu arah, maju terus tanpa bisa mundur. Buat Shaxson, sistem offshore itu kayak ratchet: sekali dipasang, makin lama makin kenceng, makin susah dilepas. Tiap celah hukum baru, tiap surga pajak baru, bikin sistem makin terkunci dalam arah yang sama—menuju deregulasi dan kabut hukum.Shaxson lacak gimana wilayah rahasia ini ikut nyulut krisis finansial 2008. Bank dan institusi keuangan pakai struktur offshore buat mindahin utang dari neraca, nyembunyiin risiko, dan ngebesarin untung palsu. Di balik layar, ada derivatif kompleks dan shadow banking yang tumbuh subur—jauh dari radar regulator dan rakyat pembayar pajak. Surga pajak jadi kabut hukum yang bikin semua itu bisa jalan.Doski juga nunjukin gimana kemauan politik buat ngawasin jadi luntur gara-gara efek ratchet. Negara-negara yang dulu niat ngatur, sekarang malah berlomba narik modal dengan longgarin aturan. Sistem offshore nggak cuma nyebabin krisis—ia juga bikin responsnya lemah, setengah hati, dan condong ke pelaku utama yang bikin kekacauan. Efek ratchet bikin wilayah rahasia jadi terlalu kuat buat disentuh.Shaxson bilang: dunia offshore bukan cuma memperparah krisis—dia yang ngerancang panggungnya. Metafora ratchet itu pas banget: gerak satu arah menuju kekebalan elite, deregulasi permanen, dan sistem yang rapuh karena dibangun di atas rahasia.Dalam bab penutup, Shaxson nggak cuma nutup buku—doi nyuarain perlawanan. Doski bilang, kerusakan yang ditimbulkan dunia offshore itu bukan cuma soal duit—tapi soal budaya demokrasi yang pelan-pelan digerogoti. Dunia rahasia keuangan ini bukan sekadar urusan pajak atau regulasi, tapi krisis moral dan politik yang bikin nilai-nilai publik jadi kabur, kepercayaan runtuh, dan ruang bersama jadi kosong.Shaxson ngajak kita bangun bareng. Doski menyerukan kepada warga, jurnalis, pembuat kebijakan, dan aktivis buat ngerebut lagi bahasa keadilan, transparansi, dan tanggungjawab. Sistem offshore hidup dari kerumitan dan kebingungan—bikin orang biasa ngerasa gak punya kuasa. Tapi “merebut kembali budaya” artinya kita berhenti nerima rahasia sebagai hal biasa, dan mulai nuntut agar keuangan tunduk pada masyarakat, bukan sebaliknya.Doski nunjukin gimana dunia offshore udah ngatur ulang norma global—bikin kekayaan dan kerahasiaan jadi lebih penting dari keadilan dan solidaritas. Bab penutup ini bukan sekadar rangkuman—ini ajakan perang. Shaxson bilang, merebut kembali budaya kita bukan cuma soal ubah undang-undang, tapi soal ngebayangin ulang jenis masyarakat yang kita mau. Kita harus lawan para penjaga ideologi offshore, dan bangun institusi yang nyambung sama nilai bersama, bukan kepentingan elite.Akhirnya, pesan Shaxson adalah harapan dan perlawanan. Dunia offshore memang kuat, tapi bukan takdir. Budaya kita bisa direbut kembali—asal kita berani bongkar sistemnya, hancurkan mitosnya, dan bangun ulang fondasi hidup demokratis.Kalau dua buku ini dibaca bareng: The Corruption Cure and Treasure Islands, kita dapet satu kesimpulan yang gak enak tapi jernih: korupsi itu bukan cuma penyakit lokal—ia arsitektur global, dan dunia offshore lah rangkanya. Rotberg ngebahas gimana negara bisa bobrok dari dalam: institusi lemah, pemimpin kompromi, dan sistem akuntabilitas yang jebol bikin korupsi tumbuh subur. Sementara Shaxson buka kedok para fasilitator luar negeri—wilayah rahasia, perusahaan cangkang, dan surga pajak yang bikin penjarahan jadi gampang dan menguntungkan.Gabungan dua perspektif ini bilang: lawan korupsi gak cukup cuma pakai etika atau kebijakan dalam negeri—harus bongkar sistem offshore yang jadi mesin cuci impunitas. Seruan Rotberg soal integritas, transparansi, dan pembaruan sipil harus disambung sama tuntutan Shaxson buat ubah struktur keuangan global. Mereka sepakat: korupsi bukan cuma soal orang jahat—tapi soal sistem jahat yang ngasih hadiah buat yang sembunyi, dan hukuman buat yang jujur.Akhirnya, merebut keadilan berarti nyambungin lagi etika sama ekonomi. Bangun institusi yang kerja buat rakyat, bukan buat dompet elite. Dan sadar bahwa perang lawan korupsi itu bukan cuma urusan nasional—ini pertarungan semesta, lintas batas, lintas rekening, lintas keyakinan.Jadi kepo, kenapa ya Tony Blair diajak masuk ngurusin IKN? Kehadiran Tony Blair di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan sekadar pajangan—ini strategi buat ngasih cap “kelas dunia” ke megaproyek lokal. Sebagai mantan PM Inggris, Blair bawa bobot diplomatik, jaringan internasional, dan reputasi sebagai tukang atur reformasi pemerintahan yang rumit. Dia duduk bareng Masayoshi Son dan Sheikh Mohammed bin Zayed di Dewan Pengarah IKN—kode keras bahwa Indonesia pengen IKN dilihat sebagai kota masa depan yang diakui dunia.Blair nggak cuma datang buat potong pita. Lewat lembaganya, Tony Blair Institute for Global Change, doi ngasih saran kebijakan, strategi investasi, dan insight soal pembangunan kota. Tujuannya? Bikin investor asing tertarik, mitra global tenang, dan IKN tampil sebagai kota cerdas, inklusif, dan berkelanjutan. Belum lama ini, Blair juga masuk ke Dewan Pengawas Danantara—superholding investasi negara. Artinya, doski makin dalam masuk ke jantung arsitektur duit nasional.Taapii, buat yang udah baca Treasure Islands karya Shaxson, nama Blair punya bayangan lain. Di masa jabatannya, Inggris makin kuat sebagai imperium offshore. Setelah pensiun, doi juga sempet jadi penasihat di wilayah-wilayah yang sistemnya kagak transparan. Jadi, kehadirannya di IKN bikin kita mikir: ini beneran bawa pengalaman global, atau kita lagi bukain pintu buat logika offshore masuk ke ibu kota politik?

