Jumat, 03 Oktober 2025

Para Penjarah Negara (3)

Beberapa media mainstream nyebarin berita soal Ijazah Mas Wapres dengan tajuk: “Ketika Martabak Berubah Jadi Kalung Berlian dan Pisang Menjadi Jam Tangan Swiss.” Metaforanya jelas nyindir: hal biasa tiba-tiba jadi simbol prestige, kaya, dan otoritas yang nggak boleh diganggu, cuma karena ada orang berpengaruh yang bilang begitu. Reporter copy-paste rilis, pembaca melongo sama absurdnya kilauan itu, dan nggak ada yang berani nanya, “Eh, isinya sebenernya apa sih di dalam bungkus—atau transkripnya?”
Intinya, cerita ini nangkep banget sihir absurd kekuasaan di media masa kini: bahan-bahan biasa, ditaburin sedikit otoritas dan diulang-ulang, bisa tiba-tiba jadi ikon legitimitas, layak trending dan jadi bahan gosip nonstop. Martabaknya? Bisa jadi masih martabak biasa. Tapi sekarang, ditambah dengan susu-coklat-keju dengan topping selai stroberi!

Ungkapan if you have to tell people you are, you aren’t [kalau loe kudu bilang ke orang lain ‘gua memang gitu’, berarti loe kagak gitu]” sebenernya ngomongin hal yang lebih dalem daripada sekadar joke lucu. Intinya: kekuasaan sejati itu gak perlu diumumin. Orang lain bakal ngerasain dan ngeh sendiri kalau loe berpengaruh. Kalau loe terus-terusan bilang, “Eh, gua berkuasa lho!” itu justru nunjukin loe kagak punya power beneran, karena power asli entu lahir dari kepercayaan, kemampuan, respek, dan reputasi, bukan dari pamer.
Dalam psikologi, ini nyambung banget ama yang dibahas Dacher Keltner dalam karyanya "The Power Paradox: How We Gain and Lose Influence". Power yang tahan lama itu muncul dari ngebantu orang lain, punya empati, dan ngebangun hubungan timbal balik. Pemimpin yang teriak soal kekuasaannya, biasanya sedang mengkompensasi, atau istilah sekarang, ngenormalisasi, karena kurang punya kualitas tersebut. Lukes juga bilang hal mirip: bentuk kekuasaan paling ampuh itu yang gak keliatan, tapi bikin orang lain ngikutin dan mikir sendiri.
Kalau dilihat dari sisi gender, ungkapan ini makin relevan. Kaum Perempuan sering dikekang kalau mau nunjukin otoritas, dan yang berani tegas sering dinilai negatif. Jadi quote ini nge-capture dilema itu: kalau seseorang benar-benar punya power, kelihatan dari tindakan dan respek yang didapatnya—nggak perlu ngotot bilang “gua berkuasa”.
Dan ini gak cuma soal pimpinan atau politik. Guru, seniman, mentor, kreator—semuanya bakal lebih dihargai karena karya dan tindakan mereka, bukan karena klaim. Begitu seseorang ngerasa perlu bilang “Gua hebat!” atau “Gue powerful!”, justru klaim itu kehilangan kredibilitas. Pesannya jelas: pengaruh itu terbangun pelan-pelan, reputasi itu dari aksi, bukan mulut.

Di era kecepatan lebih penting dari kebenaran, media mainstream lagi-lagi jadi fans garis keras press release. MDIS cuma bilang “he eh,” langsung semua headline berubah jadi “MDIS Tegaskan Kelulusan Mas Wapres,” kayak lagi nobar pengumuman kelulusan anak presiden.
Gak ada yang nanya balik: “Lulus dari program apa yaa? Gelarnya apa? Marketing, mantra, atau cuma sopan santun?” Tapi ya begitulah, di zaman berita kilat, faktanya sering ketinggalan kereta. Wartawan sekarang lebih mirip kurir ekspres daripada detektif skeptis. Dikasih surat, langsung antar. Gak dicek, gak ditanya. Lucunya, mereka masih nyebut ini “klarifikasi,” padahal yang diklarifikasi cuma rasa penasaran publik yang gak pernah dikasih bukti. Itu sih bukan jurnalisme investigatif—tapi cosplay akademik. 

Sekarang kita balik pada pokok bahasan soal Korupsi.

Di Bab II Corruption Cure, Measuring and Assessing Corrupt Behavior, Rotberg ngebahas tantangan paling licin dalam ngelawan korupsi: gimana caranya ngukur sesuatu yang kerjanya sembunyi-sembunyi. Doski bilang, walaupun korupsi itu suka ngumpet, korupsi ninggalin jejak—dari pola perilaku, rusaknya institusi, sampai suara rakyat yang kecewa. Semua ini bisa dianalisis, asal kita jeli.
Rotberg bahas berbagai alat ukur kayak Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International atau indikator tatakelola dari Bank Dunia. Tapi doi juga ngingetin: jangan cuma percaya sama persepsi. Harus ada gabungan data keras dan cerita lapangan—dari audit, liputan investigatif, laporan pelapor, sampai curhatan warga. Buat Rotberg, ngukur korupsi itu bukan soal bikin ranking negara, tapi soal ngecek kondisi institusi: sehat atau udah keropos.
Doski juga nyentil gaya pemerintah yang suka ngatur data atau nutup-nutupin kasus. Menurutnya, ngukur korupsi itu tindakan politik—butuh keberanian, independensi, dan tekad buat gak ikutan main. Buat Rotberg, ngukur itu langkah pertama buat ngasih perhitungan: kalau korupsi bisa dipetakan, maka bisa dilawan.

Rotberg ngulik berbagai alat ukur korupsi yang dipakai di level global. Ada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International, ada juga Indikator Pengendalian Korupsi dari Bank Dunia. Keduanya ngasih ranking negara berdasarkan persepsi publik dan penilaian ahli. Selain itu, Rotberg juga nyebut Global Integrity IndexAfrobarometerLatinobarómetro, dan berbagai audit nasional serta platform curhat warga.
Tapi Rotberg gak asal dukung satu alat. Doi suka IPK karena bikin korupsi jadi topik global, tapi juga ngingetin: persepsi bisa bias, bisa dimanipulasi. Indikator Bank Dunia juga ia kritik karena datanya terlalu umum dan bisa dipoles buat pencitraan. Jadi, Rotberg lebih rekomendasi pendekatan campuran: gabungin data angka sama cerita lapangan—dari jurnalis investigatif, laporan pelapor, survei warga, sampai audit institusi.
Buat Rotberg, alat ukur korupsi yang paling oke itu bukan yang paling masyhur, tapi yang paling nyambung ama realitas. Doski dukung alat yang berbasis lokal dan partisipatif, yang bikin warga bisa ngelapor, ngawasin, dan ngelawan korupsi langsung. Karena menurutnya, alat ukur terbaik itu bukan yang paling glossy—tapi yang paling bikin pejabat nggak bisa ngumpet.

Di Bab III The Corruption Cure, bagian Strong Laws and Other Watchdogs, Rotberg ngebahas soal hukum antikorupsi dan lembaga pengawas. Tapi doski nggak gampang puas. Menurutnya, punya undang-undang keren itu gak cukup kalau cuma jadi pajangan. Banyak negara punya aturan antikorupsi yang cakep di atas kertas, tapi di lapangan? Kagak jalan lantaran intervensi politik, lembaga lemah, atau niat setengah hati.
Rotberg tekanin pentingnya lembaga pengawas yang bener-bener independen—kayak komisi antikorupsi, ombudsman, dan kantor audit yang nggak bisa diatur sama penguasa. Mereka harus punya gigi: bisa nyelidikin, nuntut, dan ngumumin pelanggaran tanpa takut dibungkam. Tapi kenyataannya, banyak lembaga ini sengaja dikasih anggaran cekak, dijadiin alat politik, atau cuma dipakai buat nyerang lawan. Rotberg tegas: hukum itu kudu ditegakin, bukan dipilih-pilih sesuai selera.
Buat doski, hukum dan pengawas itu bagian dari ekosistem integritas. Harus ada dukungan dari warga, media yang berani, dan pemimpin yang lebih milih transparansi daripada geng loyalis. Kalau enggak, undang-undang cuma jadi tameng palsu buat korupsi ngumpet.

Di awal Bab III The Corruption Cure, Rotberg langsung ngebet banget soal apa aja yang wajib ada kalau mau bener-bener ngusir korupsi. Doski bilang, nggak cukup cuma punya undang-undang keren—kalau nggak ditegakin, ya cuma jadi pajangan. Hukum harus tajam dan berlaku buat semua, bukan cuma tajem ke bawah alias buat rakyat kecil doang. Tapi hukum juga butuh teman: lembaga pengawas yang punya gigi, bukan cuma stempel.
Rotberg tekanin banget soal komisi antikorupsi, ombudsman, dan kantor audit yang harus berdiri sendiri, punya dana cukup, dan gak bisa diintervensi. Mereka harus bisa nyelidikin, nuntut, dan ngumumin pelanggaran tanpa takut dibungkam. Transparansi juga wajib: data pemerintah harus bisa diakses publik, sistem pengadaan harus terbuka, dan pelapor harus dilindungi. Karena korupsi itu suka ngumpet di balik rahasia—dan Rotberg percaya, sinar matahari dari media dan warga itu obat paling ampuh.
Tapi yang paling penting, menurut doski, tetap balik ke political will. Mau sistemnya secanggih apa, kalau pemimpinnya nggak berani nyentuh kroni sendiri, ya percuma. Buat Rotberg, ngusir korupsi itu butuh ekosistem integritas: hukum yang tajam, lembaga yang berani, warga yang vokal, dan pemimpin yang nggak tutup mata.

Di Bab IV The Corruption Cure, Rotberg bahas soal komisi antikorupsi yang beneran punya taji, dengan studi kasus dari Hong Kong, Singapura, dan Indonesia. Doski bilang, kalau dikasih kekuatan penuh, komisi kayak gini bisa jadi senjata pamungkas buat ngebongkar jaringan korupsi dan balikin kepercayaan publik.
Rotberg muji ICAC di Hong Kong dan CPIB di Singapura sebagai contoh keren. Dua-duanya punya otonomi, dukungan hukum, dan backing politik buat ngejar koruptor tanpa pandang bulu. Di Hong Kong, ICAC sukses ngubah budaya sogokan jadi budaya integritas lewat investigasi galak, edukasi publik, dan penegakan yang kelihatan. Singapura juga nggak main-main—CPIB jalan terus dengan gaya “zero tolerance” dan pemimpin yang nggak bisa disuap.
Pas bahas Indonesia, Rotberg angkat topi buat KPK. Dia kagum sama gebrakan awal KPK yang berani nangkep pejabat tinggi dan bikin rakyat percaya. Tapi doi juga ngasih alarm: KPK cuma bisa efektif kalau tetep independen dan tahan banting dari tekanan politik. Buat Rotberg, kehebatan komisi antikorupsi itu bukan cuma di aturan, tapi di keberanian buat bertindak transparan dan kagak bisa dibeli.

Buku The Corruption Cure karya Rotberg terbit tahun 2017, pas KPK masih jadi bintang antikorupsi di Asia. Tapi sejak itu, KPK kayak superhero yang dipreteli kostumnya satu per satu. Puncaknya di tahun 2019, saat DPR ngotot revisi UU KPK. Hasilnya? KPK dijadiin lembaga negara biasa, harus tunduk ke eksekutif, dan penyidiknya disuruh jadi ASN. Banyak yang bilang: ini bukan penguatan, tapi penjinakan.
Revisi itu juga bikin Dewan Pengawas yang harus nyetujui penyadapan dan penyelidikan. Jadi, KPK yang dulu bisa gerak cepat, sekarang harus minta izin dulu. Pemerintah bilang ini buat “pengawasan,” tapi aktivis, akademisi, dan mantan pimpinan KPK tahu: ini cara halus buat ngerem KPK. Istilah “KPK dilemahkan” jadi jargon demo mahasiswa dan aktivis antikorupsi.
Meski masih kerja, KPK jadi kayak macan ompong. Kasus besar makin jarang, vonis pejabat tinggi makin sepi. Kepercayaan publik turun, dan skor Indonesia di indeks korupsi global mandek. Tahun 2024–2025, pas Prabowo naik jadi presiden, obrolan soal “balikin taji KPK” mulai muncul lagi. Tapi masa depan KPK masih abu-abu—antara bangkit atau makin dikunci.

Korupsi di Indonesia itu nggak pilih-pilih tempat—dari kantor pemerintah sampai ruang rapat swasta, semua bisa kena. Data KPK dari 2004 sampai pertengahan 2025 nunjukin, pelaku korupsi paling banyak justru dari swasta, dengan 485 kasus. Mereka biasanya jadi kontraktor, makelar proyek, atau bos perusahaan yang berkerjasama gelap dengan para pejabat buat ngatur tender, izin, atau proyek infrastruktur.
Di posisi kedua ada pegawai negeri eselon I–IV, dengan 443 kasus. Mereka ini yang pegang kendali anggaran, tanda tangan proyek, dan aturan teknis—jadi titik rawan banget buat korupsi. Anggota DPR dan DPRD juga nggak kalah, dengan 364 kasus. Di sini, kekuasaan politik sering dijual lewat manipulasi anggaran, beli suara, atau main pengaruh.
Pejabat daerah kayak wali kota, bupati, dan wakilnya nyumbang 171 kasus, sementara menteri dan kepala lembaga nasional ada 41 kasus. Bahkan aparat hukum kayak hakim, jaksa, dan polisi juga masuk daftar, meski jumlahnya lebih kecil.
Polanya jelas: korupsi paling subur di sektor yang punya kuasa ngatur anggaran, proyek, dan izin—tapi minim pengawasan. Titik-titik rawan termasuk pengadaan barang dan jasa, proyek infrastruktur, pengelolaan sumber daya alam, dan distribusi anggaran daerah. Peran swasta juga krusial, karena sering jadi “partner in crime” atau penikmat hasil korupsi.

Loncat ke Bab VII The Gift of Political Will and Leadership, Rotberg blak-blakan: senjata paling ampuh buat ngusir korupsi bukan pasal, bukan lembaga, bukan tekanan internasional—tapi pemimpin yang punya nyali. Doski bilang, kemauan politik itu bukan soal teknis, tapi soal moral. Pemimpin yang beneran niat bersih-bersih nggak bakal ngelindungin kroni, kagak bakalan nutup mata, dan bakal milih integritas meski repot.
Rotberg ngasih contoh gimana seorang pemimpin bisa ngubah arah negara. Kalau presiden atau perdana menteri berani buka data, ngasih kekuatan ke pengawas, dan jadi teladan, efeknya bisa nyebar ke seluruh birokrasi. Doski percaya, kemauan politik itu menular—bikin reformis makin berani, bikin masyarakat sipil makin aktif, dan bikin pejabat tahu: aturan main udah berubah. Tapi kalau pemimpinnya cuek atau malah ikut main, lembaga sekuat apa pun bakal tumbang.
Rotberg nggak naif soal pemimpin—doi tahu bisa aja mereka punya cacat, agenda, atau cuma sebentar doang niatnya. Tapi doski yakin: tanpa pemimpin yang berani lawan arus, semua upaya antikorupsi cuma jadi formalitas. “Hadiah” kemauan politik itu momen langka, tapi kalau muncul, bisa jadi pemantik buat ngubah hukum jadi aksi, dan harapan jadi gerakan.

Di Bab IX People Power, Social Media, and Corporate Rigor, Rotberg bahas gimana kekuatan rakyat, medsos, dan dunia korporat bisa jadi trio maut buat ngelawan korupsi. Doski bilang, hukum dan lembaga itu penting, tapi sering mandul kalau nggak ada tekanan publik. Buat Rotberg, “people power” bukan sekadar slogan demo—itu strategi nyata. Kalau warga kompak, protes, dan nuntut transparansi, pemimpin bakal ngerasa panas dan dipaksa gerak.
Rotberg juga angkat peran medsos sebagai senjata baru. Twitter, Facebook, dan kawan-kawan jadi panggung buat pelapor, jurnalis, dan aktivis buat ngebongkar borok tanpa sensor. Tapi dia juga ngingetin: jangan cuma viral di timeline—harus ada aksi nyata di lapangan. Hashtag doang nggak cukup buat ngacak-ngacak sistem yang udah mapan.
Di sisi korporat, Rotberg tegas: bisnis harus punya standar etika yang ketat. Doski ngritik perusahaan multinasional yang suka tutup mata di negara korup, dan dorong sistem kepatuhan yang transparan, pengadaan yang bersih, dan pemegang saham yang berani bersuara. Buat Rotberg, integritas korporat itu bukan cuma soal moral—tapi juga soal untung. Perusahaan yang bersih bakal dipercaya, dilirik investor, dan bantu pembangunan.
Akhirnya, Rotberg lihat tiga kekuatan ini—aktivisme warga, transparansi digital, dan tanggung jawab korporat—sebagai ekosistem yang saling nguatkan. Kalau digabung, mereka bisa geser kekuasaan dari elite korup ke tatakelola yang bisa dipertanggungjawabkan.

Buat Rotberg, social auditing itu kayak warga turun langsung ngecek proyek pemerintah—bukan cuma nunggu laporan resmi, tapi ikut ngintip anggaran, nanya hasil, dan pastiin duit rakyat nggak nyasar. Beda sama audit keuangan biasa yang dikerjain kantor atau konsultan, social audit yang ini gerakan akar rumput. Warga jadi detektif anggaran, nanya: “Duitnya ke mana?” dan “Manfaatnya beneran nyampe kagak?”
Tujuannya? Biar kebijakan gak cuma jadi janji di atas kertas, tapi beneran terasa di lapangan. Social audit bisa bongkar borok birokrasi, ngasih tekanan ke pejabat, dan dorong reformasi. Tapi bukan cuma soal ngungkap korupsi—ini juga soal bikin warga melek, percaya, dan aktif ngawasin. Transparansi jadi budaya, bukan sekadar slogan.
Rotberg paling suka bagian ini: social audit ngubah posisi warga dari penonton jadi pengawas. Kalau rakyat udah bisa ngontrol, korupsi jadi makin susah ngumpet. Social audit itu bukan cuma soal ngecek bon—tapi soal ngambil balik kendali atas kehidupan publik.

Di Bab X Curing Corruption: Lessons, Methods, and Best Practices, Rotberg ngerangkum semua jurus antikorupsi jadi satu peta jalan yang bisa dipakai buat reformasi nyata. Doski bilang, korupsi itu bukan penyakit bawaan—tapi kondisi sosial-politik yang bisa disembuhkan kalau ada niat dan usaha terus-menerus. Menurut Rotberg, kampanye antikorupsi yang berhasil itu nggak pernah kebetulan; semuanya lahir dari pemimpin yang berani, hukum yang tajam, lembaga yang kuat, dan rakyat yang aktif.
Rotberg ambil pelajaran dari negara-negara yang berhasil bersih-bersih, dan doski tekankan pentingnya urutan reformasi, perlindungan pelapor, dan menjaga independensi lembaga antikorupsi. Doi juga peka banget soal konteks: strategi di satu negara belum tentu cocok di negara lain, tapi prinsip kayak transparansi, akuntabilitas, dan integritas itu berlaku di mana pun. Strategi Rotberg itu campuran antara tekanan dari atas dan gerakan dari bawah, reformasi hukum dan perubahan budaya.
Ia juga nyentil gaya pemerintah yang suka jualan slogan antikorupsi tapi nggak ada aksi nyata. Buat Rotberg, praktik terbaik itu bukan soal tampil keren di media, tapi soal hasil yang bisa dirasakan. Ia ngedukung pendekatan yang berbasis lokal, uji lapangan, dan punya landasan moral. Visi Rotberg soal “menyembuhkan korupsi” itu bukan mimpi kosong—tapi strategi bertahap yang percaya bahwa integritas bisa dijadikan sistem.

Rotberg ngeracik lima elemen pamungkas buat ngelawan korupsi: Hukum dan Investigasi, Patologi Birokrasi, Kepemimpinan Politik, Pendekatan Tanpa Kompromi, dan Pertarungan Terakhir. Ini bukan lima bab terpisah, tapi satu alur strategi dari deteksi sampai aksi.
Ia mulai dari Hukum dan Investigasi. Rotberg bilang, hukum itu penting, tapi sering mandul kalau nggak ditegakkan. Harus ada aturan yang jelas dan lembaga yang berani nyelidikin tanpa takut. Tapi kalau sistem penegaknya udah keropos, hukum cuma jadi pajangan.
Masuk ke Patologi Birokrasi, Rotberg bedah penyakit dalam tubuh negara: budaya diam, mental transaksional, dan birokrasi yang lebih sibuk cari aman daripada cari bersih. Kalau reformasi cuma di atas kertas, tapi birokratnya masih main mata, ya korupsi tetep subur.
Solusinya? Kepemimpinan Politik. Rotberg tegas: pemimpin harus jadi motor perubahan, bukan cuma tukang pidato. Harus berani nyentuh kroni, ngasih kekuatan ke pengawas, dan jadi teladan moral. Tanpa kemauan politik, semua sistem bersih bakal ompong.
Lalu doski masuk ke Pendekatan Tanpa Kompromi. Ini bagian paling nendang. Rotberg bilang, reformasi setengah hati itu racun. Harus siap bongkar, siap tuntut, siap buka-bukaan—meski resikonya tinggi. Nggak bisa lagi main aman kalau mau bersih-bersih beneran.
Terakhir, Pertarungan Terakhir bukan soal klimaks dramatis, tapi perjuangan panjang. Rotberg lihat ini sebagai misi jangka panjang buat masukin integritas ke DNA pemerintahan. Bukan soal menang sekali, tapi soal nggak nyerah. Korupsi itu licik, tapi bisa dilawan pelan-pelan, asal konsisten dan berani.
Kelima elemen ini saling nyambung: hukum itu alat, birokrasi itu medan, kepemimpinan itu kompas, pendekatan tanpa kompromi itu bulldozer, dan pertarungan terakhir itu stamina. Kalau digabung, bisa jadi strategi antikorupsi yang nggak cuma keren di teori, tapi nendang dalam praktik.

Di Bab XI, Rotberg nyusun 14 jurus pamungkas buat negara yang beneran mau bersih-bersih. Ini bukan daftar tugas biasa, tapi strategi yang saling nyambung kayak koreografi reformasi.
Rotberg mulai dari pemimpin yang berani dan punya integritas. Tanpa sosok kayak gini, semua reformasi cuma jadi formalitas. Pemimpin yang beneran niat bakal ngasih sinyal: korupsi nggak lagi ditoleransi.
Lalu ia ngedorong hukum dan regulasi yang tajam, yang nggak bisa dimainin celahnya. Tapi hukum aja nggak cukup—harus ada komisi investigasi independen yang bisa ngejar koruptor tanpa takut ditekan.
Rotberg juga tekanin reformasi peradilan. Pengadilan harus bersih, cepat, dan nggak bisa diatur penguasa. Karena kalau hakimnya bisa dibeli, hukum jadi dagelan.
Terus, doski ngajak masyarakat sipil buat bangkit. Warga harus bisa laporin, ngawasin, dan nuntut transparansi. Ini nyambung ke kebebasan media, yang jadi mata dan telinga publik buat ngebongkar borok pejabat.
Biar pengadaan proyek nggak jadi ladang sogokan, Rotberg minta transparansi dalam tender dan kontrak. Dan buat orang dalam yang berani buka suara, harus ada perlindungan pelapor—jangan sampai mereka malah dikorbanin.
Rotberg nggak lupa dunia bisnis. Dia minta korporat juga bersih, punya standar etika dan sistem kepatuhan. Karena korupsi nggak cuma di kantor pemerintah—di ruang rapat juga bisa merajalela.
Doi juga masukin reformasi pendidikan, ngajarin etika dan tanggungjawab warga sejak usia dini. Ini cocok banget sama dorongan buat teknologi digital dan e-governance, biar birokrasi makin transparan dan susah disuap.
Buat duit haram yang kabur ke luar negeri, Rotberg minta kerja sama internasional buat ngelacak dan balikin aset curian. Dan supaya pejabat nggak cuma kerja buat jabatan, dia usul insentif berbasis kinerja—yang jujur dikasih reward, yang main kotor dicoret.
Terakhir, doski tutup dengan monitoring dan evaluasi. Program antikorupsi harus terus dicek dan disesuaikan, biar nggak cuma jadi proyek sesaat.
Semua elemen ini saling nyambung: pemimpin jadi motor, hukum jadi alat, masyarakat jadi pengawas, teknologi jadi pelumas, dan evaluasi jadi rem kontrol. Buat Rotberg, ini bukan sekadar program—ini gerakan yang kudu digerakin bareng-bareng.

Buku Treasure Islands (2011, Palgrave-Macmillan) karya Shaxson nunjukin bahwa korupsi itu nggak cuma soal amplop di bawah meja—tapi soal sistem global yang bantu nyimpen, menyamarkan, dan ngejagain duit hasil jarahan. Shaxson bilang, surga pajak dan bank offshore itu bukan figuran dalam cerita korupsi—mereka justru jadi panggung utama. Tanpa tempat kayak Cayman atau Jersey, banyak koruptor nggak bakal bisa kabur bawa duitnya.

Kita bakal lanjut ngomongin buku ini di bagian berikutnya.

[Bagian 4]
[Bagian 2]