Sabtu, 11 Oktober 2025

Penjaga Ketertiban atau Cermin Kekuasaan? (2)

Menteri Purbaya, sang penjaga dompet negara sekaligus pemadam semangat proyek ambisius, resmi bilang ke kereta Whoosh: “Maaf, jalan kaki aja dulu.”  Sambil nyeruput teh fiskal, doski nolak jadi sponsor utama drama anggaran. Netizen langsung tepuk tangan virtual, nobatin doi jadi Gandalf-nya APBN. 
Whoosh butuh waktu pelunasan satu abad lebih. Para Termul dulu pamer Whoosh kayak trofi kelulusan. “Yang boleh naik cuma alumni 01,” kata mereka waktu itu sambil jagain gerbong kayak penjaga istana.
Sekarang, pas tagihan utang Whoosh makin ngebut, publik mulai nyindir: “Kalau itu proyek kebanggaan kalian, ya silakan bayar sendiri.” Toh dulu Jokowi janjiin APBN gak bakal jadi sugar daddy kereta cepat. Jadi, tagihannya silakan dikirim ke Jokowi dan klub ternaknya. Kalau kagak mau, Jokowi memang pantes diadili.
Sementara itu, ada pejabat polisi nanya ke gengnya, “Gue mundur gak ya?” Temennya jawab, “Gak usahlah, santai ajah.” Eh beneran, doi kagak mundur. Kayaknya sih sekarang, keputusan negara ditentuin oleh polling grup WA. “Kalau temen bilang gak usah, ya udah.” 

The End of Policing (2017, Verso) karya Alex S. Vitale, ibarat mic drop buat sistem kepolisian modern di Amerika Serikat. Bukan sekadar kritik biasa, buku ini ngebongkar habis-habisan mitos bahwa polisi itu netral dan hadir demi keamanan publik. Menurut Vitale, polisi justru sering jadi alat kontrol sosial yang memperkuat ketimpangan struktural—dari ras, kelas, gender, sampai seksualitas.
Vitale ngajak kita ngelihat akar sejarah polisi: dari jagain perbudakan, ngawal kolonialisme, sampai ngebungkam gerakan buruh. Dan doi bilang, warisan kelam itu masih nempel di cara kerja polisi zaman sekarang. Jadi, meskipun ada reformasi kayak body cam, pelatihan anti-bias, atau rekrutmen yang lebih beragam, itu semua cuma tambal sulam. Masalah utamanya bukan di teknis, tapi di institusinya sendiri.
Alih-alih terus-menerus “reformasi”, Vitale ngajak kita mikir ulang total soal apa itu keamanan publik. Doski usul: dekriminalisasi aktivitas kayak penggunaan narkoba dan kerja seks, terus alihkan dana ke layanan sosial—kayak perumahan, pendidikan, dan kesehatan mental. Intinya, bukan tambah polisi, tapi tambah dukungan buat hidup yang layak.
Buku ini jadi bahan bakar penting buat gerakan abolisi penjara dan polisi. Vitale ngajak kita cabut dari logika “keamanan = polisi”, dan mulai ngebayangin dunia yang lebih adil, tanpa harus selalu ngandelin aparat berseragam.
Vitale bilang, segala upaya 'make-up' kepolisian—mulai dari pelatihan tambahan, merekrut polisi lebih beragam, pakai body camera, sampai program community policing—hanya perbaikan di permukaan dan nggak menyentuh akar masalah. Menurutnya, polisi itu pada dasarnya bukan cuma buat melindungi masyarakat, tapi juga buat menjaga hierarki sosial dan ketimpangan yang sudah ada. Jadi, kalau kita cuma fokus memperbaiki polisi tanpa mengubah peran fundamentalnya, ya percuma saja. Vitale ngajak kita mikir lebih radikal: daripada terus ngandelin polisi buat selesein masalah sosial, lebih baik dana dan perhatian dialihkan ke program sosial—misal pendidikan, perumahan, dan layanan kesehatan mental. Dengan begitu, masyarakat bisa lebih aman, adil, dan seimbang, tanpa harus mengandalkan kekerasan atau penindasan.

Vitale bilang bahwa "masalahnya justru ada pada kepolisian itu sendiri," bukan cuma karena polisi kurang pelatihan, salah langkah, atau kekurangan alat. Masalahnya lebih dalam: institusi kepolisian itu sendiri dibangun untuk mempertahankan ketimpangan, mengatur kelompok masyarakat yang terpinggirkan, dan menjaga hierarki sosial, bukan semata-mata melindungi masyarakat. Jadi, akar masalah ada di sistemnya sendiri, yang historisnya terbentuk dari pengendalian budak, penekanan gerakan buruh, dan menjaga tatanan sosial. Memperbaiki polisi tanpa merombak sistem secara mendasar sama saja seperti menambal ban bocor—tapi mobilnya tetep jalan di jalan yang salah. Vitale ngajak kita lebih realistis: alihkan energi dan dana ke layanan sosial, pendidikan, perumahan, dan kesehatan, daripada terus ngandelin polisi buat jadi jawaban atas semua masalah sosial.
Gagasan Alex Vitale ini tentu mendapat kritik, terutama dari orang-orang yang bilang kalau idenya terlalu simplistis soal keamanan publik. Kritiknya menyebut, meski polisi punya masalah sistemik, langsung membubarkan polisi bisa bikin masyarakat rawan kekerasan, kejahatan terorganisir, atau situasi darurat yang butuh respons cepat. Beberapa ahli dan praktisi lebih memilih pendekatan seimbang: reformasi struktural di kepolisian sambil tetap menguatkan program sosial, bukan langsung menghapus polisi. Mereka bilang, walau banyak kelemahan, polisi tetap punya peran penting buat menangani ancaman langsung dan menegakkan hukum demi melindungi yang rentan. Vitale sendiri juga nggak bilang polisi harus hilang seketika, tapi lebih ke pengalihan bertahap tanggungjawab dan sumber daya ke solusi pencegahan dan berbasis komunitas.

Pesan utama yang ingin disampaikan Alex Vitale lewat The End of Policing itu simpel tapi mengguncang: sistem kepolisian yang ada sekarang itu bermasalah dari akarnya dan nggak bakal bisa diperbaiki cuma dengan tambal sulam atau perbaikan permukaan. Vitale bilang, polisi bukan cuma alat netral buat menjaga keamanan, tapi mesin yang secara historis dan struktural dibangun buat menjaga hierarki sosial dan mengatur kelompok yang terpinggirkan. Semua upaya seperti pelatihan tambahan, perekrutan lebih beragam, atau teknologi baru hanyalah solusi kosmetik yang enggak nyentuh akar masalah. Solusi sejati, menurutnya, adalah merombak cara pandang soal keamanan publik: kurangi ketergantungan pada polisi dan alihkan sumber daya ke layanan sosial—perumahan, pendidikan, kesehatan, dan kesehatan mental. Tujuannya? Biar masyarakat lebih aman, adil, dan seimbang, dengan menyelesaikan masalah dari akarnya, bukan cuma menambal dampaknya lewat polisi.

Vitale menawarkan analisis kritis tentang peran polisi dalam masyarakat. Ia berpendapat bahwa ekspansi kekuasaan polisi dan adopsi taktik ala militer bukanlah solusi untuk masalah sosial, melainkan gejala dari masalah sistemik yang lebih dalam. Ia mengadvokasi pembayangan kembali keselamatan publik yang menjauh dari langkah-langkah hukuman dan menuju pendekatan berbasis komunitas.

Secara umum, polisi di berbagai belahan dunia memang kebanyakan kena pengaruh struktur dan prinsip militer. Banyak sistem kepolisian modern mengadopsi rantai komando hierarkis, pangkat yang kaku, dan pelatihan ala militer. Pengaruh ini terlihat dari disiplin, seragam, senjata, hingga unit taktis yang mirip dengan unit militer. Tapi, seberapa kuat pengaruh militer itu beda-beda tergantung negara, sejarah, dan misi polisi masing-masing, ada yang lebih fokus ke pelayanan komunitas daripada cara militer. Jadi intinya, meski tugas polisi itu melayani dan melindungi masyarakat sipil, budaya operasional mereka seringnya nyontek gaya angkatan bersenjata.
Tujuan polisi, meski kena pengaruh militer, sebenernya beda banget sama tujuan militer. Polisi ada buat jagain hukum dan ketertiban, lindungin warga, cegah kejahatan, dan tegakkan hukum di ranah sipil, bukan buat perang atau jaga perbatasan negara. Idealnya, sistem kepolisian harus seimbang antara disiplin dan organisasi dengan fokus kuat ke pelayanan masyarakat, transparansi, akuntabilitas, dan menghormati hak asasi manusia. Memang, aspek militer kayak disiplin dan kemampuan taktis bisa berguna, tapi polisi nggak boleh 100% mikir ala militer, karena legitimasi dan efektivitas mereka bergantung sama kepercayaan dan kerja sama publik. Intinya, polisi itu sipil bersenjata yang tugasnya jaga masyarakat, dan kekuasaannya harus dipakai dengan bijak sesuai hukum sipil, bukan kayak cabang militer.

Di banyak negara, kepolisian punya struktur pangkat yang mirip banget sama hierarki militer, dengan level otoritas, gelar, dan tanggungjawab yang jelas. Biasanya, struktur ini dimulai dari polisi tingkat awal atau konstan, yang mengerjakan tugas sehari-hari, naik ke pangkat non-komisioner kayak sersan atau inspektur, sampai ke perwira komisioner seperti superintendent atau komisaris. Beberapa kepolisian, terutama di negara yang punya sejarah pengaruh militer atau pemerintahan terpusat, mempertahankan pangkat ala militer yang ketat, seragam formal, dan protokol disiplin, fokus ke rantai komando dan prosedur baku. Alasannya biasanya untuk memastikan keteraturan, akuntabilitas, dan koordinasi saat operasi kompleks. Tapi ada juga negara yang lebih sipil, dengan hierarki lebih datar, peran fleksibel, dan fokus ke hubungan komunitas daripada komando kaku. Intinya, sistem kepangkatan polisi bisa beda-beda antara model militer dan sipil, tergantung sejarah, budaya, dan prioritas operasional negaranya.

Rise of the Warrior Cop: The Militarization of America's Police Forces karya Radley Balko (2013, PublicAffairs), menelusuri evolusi sejarah kepolisian di Amerika, menyoroti bagaimana Perang Melawan Narkoba, Perang Melawan Terorisme, dan pendanaan federal telah menyebabkan adopsi peralatan dan taktik ala militer oleh departemen kepolisian lokal. Balko berpendapat bahwa militerisasi ini telah mengubah polisi menjadi "prajurit" ketimbang pelindung komunitas, yang menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan sipil dan erosi nilai-nilai demokratis.
Radley Balko membahas kebutuhan mendesak untuk reformasi kepolisian secara menyeluruh sebagai respons terhadap meningkatnya militerisasi lembaga penegak hukum. Ia menyoroti dampak merugikan dari militerisasi ini, termasuk erosi kebebasan sipil, kaburnya batas antara polisi dan tentara, serta dampak yang tak proporsional terhadap komunitas minoritas. Balko berpendapat bahwa sistem saat ini memberi insentif untuk taktik agresif dan memprioritaskan operasi ala militer daripada keterlibatan komunitas dan strategi de-eskalasi. Ia menyerukan pergeseran menuju model kepolisian yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan komitmen untuk melindungi hak-hak semua warga negara. Meskipun mengakui tantangan dalam menerapkan reformasi semacam itu, Balko menyarankan bahwa kesadaran publik dan advokasi sangat penting dalam mendorong perubahan dan memulihkan kepercayaan pada institusi penegak hukum.
Radley Balko menegaskan bahwa meskipun Amerika Serikat belum sepenuhnya menjadi negara polisi, negara ini berada di ambang tersebut. Ia menyoroti frekuensi yang mengkhawatirkan dari penggerebekan polisi yang dimiliterisasi, sering menargetkan pelanggar non-kekerasan, dan adopsi peralatan ala militer oleh pasukan polisi lokal. Balko memperingatkan bahwa tren ini merusak kebebasan sipil dan mengikis prinsip dasar dari masyarakat yang bebas. Ia menyerukan evaluasi kembali praktik kepolisian, mengadvokasi kembalinya penegakan hukum yang berorientasi pada komunitas yang menghormati hak individu dan memprioritaskan kepercayaan publik di atas pendekatan militeristik.

Policing Empires: Militarization, Race, and the Imperial Boomerang in Britain and the U.S.
oleh Julian Go (2024, Oxford University Press), memeriksa hubungan historis antara imperialisme dan kepolisian domestik, berpendapat bahwa militerisasi kepolisian di AS dan Inggris berakar dalam praktik kolonial. Ia mengeksplorasi bagaimana taktik dan ideologi kolonial telah diinternalisasi dan diterapkan dalam kepolisian perkotaan, khususnya di komunitas terpinggirkan. 
Go membahas bagaimana praktik-praktik imperial di luar negeri mempengaruhi kepolisian domestik di Inggris dan Amerika Serikat. Ia memperkenalkan konsep "imperial boomerang," yang menunjukkan bahwa teknik dan ideologi yang dikembangkan dalam konteks kolonial dibawa kembali ke pusat metropolitan dan diterapkan untuk mengelola ancaman internal yang dianggap ada, khususnya dari populasi yang terasosiasi dengan ras tertentu atau imigran. Go menggambarkan hal ini dengan membahas bagaimana, pada akhir abad ke-19, Kepolisian Metropolitan di London mengadopsi taktik militeristik untuk mengendalikan imigran Irlandia, yang dipandang sebagai kelompok yang tidak tertib dan kriminal. Demikian pula, di Amerika Serikat, tokoh seperti August Vollmer, yang pernah bertugas di Filipina selama periode kolonial Amerika, mengimpor metode kontra-pemberontakan untuk memerangi kejahatan perkotaan, terutama di kalangan komunitas non-kulit putih. Go berpendapat bahwa praktik-praktik ini bukanlah anomali, melainkan bagian dari pola yang lebih luas di mana metode kepolisian kolonial diadaptasi untuk penggunaan domestik, memperkuat hierarki rasial dan kontrol militeristik. Ia menekankan bahwa memahami hubungan historis ini sangat penting untuk mengatasi masalah kontemporer terkait militerisasi kepolisian dan ketidakadilan rasial.
Julian Go menekankan dampak abadi kolonialisme terhadap praktik kepolisian kontemporer. Ia menegaskan bahwa militerisasi pasukan polisi di Inggris dan Amerika Serikat bukanlah perkembangan baru, melainkan proses historis yang berakar pada warisan imperial. Go menekankan bahwa efek "imperial boomerang"—dimana metode kepolisian kolonial dibawa kembali ke metropole—terus membentuk strategi penegakan hukum domestik. Ia berpendapat bahwa fenomena ini sangat terlihat dalam penegakan hukum terhadap komunitas yang terasosiasi dengan ras tertentu, dimana taktik yang dikembangkan untuk mengendalikan populasi terjajah diterapkan untuk mengelola ancaman yang dianggap datang dari minoritas dan imigran. Go menyimpulkan dengan menganjurkan pemeriksaan kritis terhadap sejarah yang saling terkait antara imperialisme dan kepolisian, menyarankan bahwa memahami hubungan ini sangat penting untuk mengatasi masalah militerisasi kepolisian dan ketidakadilan rasial saat ini.

Jason-Lloyd dalam An Introduction to Policing and Police Powers (2000, Cavendish Publishing) ngomong lantang bahwa reformasi polisi itu nggak cukup cuma ganti logo, bikin tagline keren, atau beli seragam baru. Yang kudu dirombak duluan adalah mindset-nya. Polisi, katanya, jangan cuma mikir “aku berkuasa,” tapi “aku dipercaya.” Mereka harus pindah dari gaya lama—yang ngatur dengan paksaan—ke gaya baru: kerja bareng masyarakat dengan rasa tanggungjawab dan empati. Polisi bukan institusi yang berdiri di atas rakyat, tapi bagian dari rakyat itu sendiri.
Doski juga nyentil hal penting banget: reformasi nggak bakalan jalan kalau polisi cuma tahu pasal, tapi nggak punya nurani. Jason-Lloyd pengin polisi yang ngerti hukum sekaligus ngerti hati—tahu kapan harus bertindak, tapi juga tahu kapan harus menahan diri. Menurutnya, reformasi sejati bukan di prosedur atau aturan baru, tapi di perubahan sikap: dari “penguasa jalanan” jadi “pelayan masyarakat.”
Trus doi tambahin, reformasi gak bisa tanpa tiga hal sakral: transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan HAM. Polisi memang butuh kekuatan buat ngatur keamanan, tapi kekuatan itu bisa berubah jadi monster kalau nggak diawasin. Jadi, Jason-Lloyd minta sistem pengawasan yang kuat — dari dalam institusi, dari pengadilan, bahkan dari masyarakat sendiri.
Polisi harus balik ke akarnya: dipercaya karena adil, bukan ditakuti karena berkuasa. Polisi ideal versi Jason-Lloyd itu kayak superhero yang nggak butuh topeng—cukup jadi manusia jujur yang kerja demi kebaikan, bukan demi citra.

Menurut Jason-Lloyd, polisi itu ada karena manusia butuh “admin kehidupan sosial”—seseorang yang jaga ketertiban biar dunia nggak berubah jadi arena chaos. Jadi bukan cuma buat nangkep maling atau nguber pelanggar lalu lintas, tapi karena masyarakat butuh simbol moral dan institusi yang bisa ngatur perilaku manusia biar nggak saling makan. Dulu sih, zaman masih kampung banget, cukup pakai ronda, penjaga malam, atau tetangga yang galak. Tapi begitu dunia makin ramai, kota makin padat, dan kriminalitas makin “level up”, sistem jaga kampung udah gak cukup. Maka lahirlah polisi modern—bukan cuma penegak hukum, tapi semacam penjaga kepercayaan publik dan penyangga ketenangan hidup bernegara.
Jason-Lloyd juga ngegas di bagian penting: polisi cuma sah kalau masyarakat ngasih izin moral. Artinya, mereka bukan pasukan penguasa, tapi pelayan publik yang kerja karena dipercaya rakyat. Begitu rakyat kehilangan kepercayaan, otoritas mereka ambyar. Jadi, inti dari semua ini: polisi tuh ada buat ngejaga keseimbangan tipis antara kebebasan dan keamanan—kayak penjaga pintu klub kehidupan sosial, yang tugasnya ngepastiin semua orang bisa masuk tanpa bikin rusuh.

Jason-Lloyd berpendapat bahwa kekuasaan polisi itu bukan kayak “sakti mandraguna” yang bisa muncul dari jabatan, seragam, atau koneksi politik. Sumbernya jelas: dari hukum. Setiap tindakan polisi—mau itu nyetop orang, nggeledah rumah, atau nangkep pelaku—harus punya dasar hukum yang sah. Polisi nggak boleh asal gas. Hukumlah yang ngasih izin, dan hukum juga yang bisa narik rem kalau mereka kebablasan.
Jason-Lloyd nyentil banget di satu bagian: polisi itu sebenernya cuma warga biasa yang dikasih seragam dan tanggungjawab ekstra. Beda mereka sama warga biasa cuma di kekuasaan yang hukum ngasih buat jaga ketertiban. Tapi itu pun pinjeman, bukan hak milik. Pinjeman dari masyarakat lewat sistem hukum. Makanya, kekuasaan itu kudu dipakai dengan adil, hati-hati, dan kagak boleh nindas orang. Kalau polisi pakai kekuasaannya buat semena-mena, itu kayak ngutang tapi nggak mau bayar—kepercayaan publik bakal langsung ambyar.
Menurut Jason-Lloyd, kekuasaan polisi itu kayak password dari rakyat: cuma boleh dipakai selama masih dipercaya dan dipakai sesuai aturan main.

Pesan utama Jason-Lloyd itu simpel tapi dalem: polisi itu nggak cuma soal seragam, tongkat, atau badge keren. Polisi itu pinjaman kepercayaan publik, bukan tiket buat seenaknya ngatur orang. Semua kekuasaan mereka—mau nyetop, geledah, nangkep orang, atau nginterogasi—itu bukan hak buat pamer, tapi tanggungjawab yang harus dipakai dengan adil, etis, dan ngehormatin HAM.
Doski juga bilang, polisi kudu jaga keseimbangan antara kuasa dan tanggungjawab. Mereka ada buat jaga ketertiban dan cegah kejahatan, tapi kagak boleh bikin orang kehilangan kebebasan atau hak mereka. Hukum itu bukan cuma aturan, tapi batas yang bikin mereka nggak kebablasan. Lebih dari itu, Jason-Lloyd ngajak polisi punya budaya kerja yang jujur, transparan, dan kerja bareng rakyat. Jadi, intinya: polisi ideal itu kayak superhero nyata—nggak bikin takut, tapi bikin masyarakat percaya dan nyaman.

Polisi itu sejatinya institusi sipil yang tugas utamanya menjaga ketertiban publik, melindungi warga, dan menegakkan hukum di masyarakat. Memang, beberapa aspek praktik militer—seperti disiplin, organisasi, dan pelatihan taktis—bisa berguna untuk tugas tertentu, tapi polisi seharusnya tetap beroperasi berdasarkan nilai-nilai sipil, termasuk akuntabilitas, transparansi, dan menghormati hak asasi manusia. Terlalu mengandalkan metode militer malah berisiko membuat polisi lebih mementingkan kontrol daripada pelayanan, yang bisa mengikis kepercayaan publik dan kebebasan sipil. Idealnya, kepolisian itu seimbang: cukup terstruktur dan profesional untuk menangani darurat dan ancaman, tapi tetap berakar pada keterlibatan komunitas, problem-solving, dan perlindungan hak warga, bukan conquest atau paksaan ala militer. Singkatnya, legitimasi polisi datang dari melayani publik sebagai sipil, bukan dari meniru kekuatan militer.

Nilai-nilai sipil utama yang harus diusung polisi berkisar pada prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan pelayanan komunitas. Pertama dan paling penting adalah akuntabilitas, artinya polisi harus bertanggungjawab atas tindakannya, diawasi, dan mendapat konsekuensi jika melakukan kesalahan. Transparansi juga penting, supaya prosedur, kebijakan, dan keputusan polisi jelas dan bisa dipahami publik. Menghormati hak asasi manusia adalah hal dasar, termasuk melindungi nyawa, kebebasan, dan martabat tanpa diskriminasi. Imparsialitas dan keadilan juga wajib, supaya semua orang, apapun ras, gender, atau status sosialnya, mendapat perlakuan yang sama di mata hukum. Keterlibatan komunitas juga kunci, dimana polisi aktif bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan masalah dan membangun kepercayaan. Terakhir, orientasi pelayanan mengingatkan bahwa tugas polisi adalah melindungi dan melayani warga, bukan mendominasi atau memaksa. Nilai-nilai ini membedakan polisi sipil dari pasukan militer dan sangat penting untuk menjaga legitimasi serta kepercayaan publik.
Peter K. Manning, Police Work: The Social Organization of Policing (edisi ke-4, 2014, Waveland Press) menganalisis kepolisian sebagai institusi sosial dan berbasis komunitas, menekankan akuntabilitas, transparansi, keadilan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pelayanan publik sebagai nilai-nilai sipil yang mendasar. Ia berargumen bahwa prinsip-prinsip ini membedakan kepolisian yang sah dan efektif dari kepolisian yang militeristik atau koersif. Manning berargumen bahwa kepolisian yang efektif bukan sekadar menegakkan hukum atau memaksakan otoritas, tapi menjaga kepercayaan, kerjasama, dan legitimasi di dalam komunitas tempat polisi bertugas. Manning menekankan akuntabilitas, menyoroti bahwa tindakan polisi harus diawasi, mendapat pengawasan, dan ada konsekuensi jika melakukan kesalahan supaya publik percaya. Ia juga menekankan transparansi, bahwa prosedur terbuka, kebijakan jelas, dan informasi yang bisa diakses membuat masyarakat memahami dan percaya pada keputusan kepolisian. Keadilan dan fairness jadi inti kerangka pikirnya, memastikan semua orang mendapat perlakuan setara di mata hukum, tanpa memandang ras, status sosial, atau latarbelakang. Manning juga menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia, bahwa melindungi nyawa, martabat, dan kebebasan adalah dasar kerja polisi yang sah. Terakhir, ia menyoroti pelayanan publik sebagai prinsip panduan, mengingatkan polisi bahwa tugas mereka adalah melindungi dan membantu warga, bukan mendominasi atau memaksa. Manning berargumen bahwa nilai-nilai sipil ini secara kolektif membedakan kepolisian yang sah dan efektif dari kepolisian yang militeristik atau koersif, dan menegaskan bahwa patuh pada prinsip-prinsip ini penting untuk menjaga kepercayaan sosial dan tatakelola demokratis.

[Bagian 3]
[Bagian 1]