Jadi gini guys, proyek-proyek era Pakde Jokowi yang dulu digadang-gadang bakal jadi "legacy" ternyata banyak yang nyungsep kayak sinetron episode terakhir yang plot-nya tiba-tiba ngaco. Kereta Cepat Whoosh awalnya diklaim bakal bikin kita ngebut dari Jakarta ke Bandung, tapi sekarang malah jadi bahan roasting. Biayanya melonjak tiga kali lipat dari proyek serupa di China. Prof. Mahfud MD sampe nanya, “Duitnya pada lari ke mana, nih?”—kayak lagi nyari dompet yang hilang di konser.IKN alias Ibu Kota Nusantara juga nggak kalah drama. Mimpi pindah ibu kota jadi kayak sinetron yang nggak dapet sponsor—anggaran dipotong, proyek mangkrak, dan vibe-nya makin kayak “gimana kalau kita tunda dulu aja?”.Tol Getaci yang katanya mau nyambungin Gedebage sampe Cilacap, udah kayak jomblo abadi—lelang gagal mulu, investor ogah nyentuh, dan statusnya masih “review-review manja”.BUMN Karya yang dulu jadi jagoan proyek infrastruktur, sekarang malah kayak boyband yang bubar karena utang. Waskita, Wijaya, Adhi, PP—semuanya lagi ngos-ngosan bayar utang dan nyari cara biar nggak kolaps.Bandara Kertajati di Majalengka tuh ibarat rumah mewah yang nggak ada penghuninya. Dibangun pakai duit rakyat Rp 2,6 triliun, tapi sekarang malah jadi tempat sepi yang rugi Rp 60 miliar per tahun. Udah kayak mall yang buka di tengah sawah—megah tapi nggak ada yang datang. Gubernurnya sampe geleng-geleng, “Ini bandara buat siapa sih?”Lokasinya jauh dari mana-mana, transportasi publiknya minim, dan maskapai pun ogah mampir. Jadi ya, bandara ini lebih cocok jadi tempat syuting film horor daripada tempat transit.Bandara JB Soedirman di Purbalingga juga nggak kalah tragis. Biaya Rp 350 miliar, sempat dipakai buat Umrah, tapi sekarang lebih sering kosong. Runway-nya kayak catwalk yang nggak ada modelnya—sunyi, sepi, dan penuh harapan yang nggak kesampaian.Intinya, banyak proyek bandara era Jokowi yang lebih mirip “monumen ambisi” daripada solusi transportasi. Bangunannya sih kinclong, tapi fungsinya? Yah, kayak beli sepatu mahal tapi nggak pernah dipakai keluar rumah.Banyak proyek era Pakde Mulyono tuh sebenernya dari awal udah “no go”—kayak ngebet bikin film blockbuster padahal skripnya belum kelar dan aktornya belum siap. Tapi tetep dipaksain “go” karena pengen tampil keren di panggung politik.Keputusan buat ngegas proyek sering kali nggak lewat studi teknis yang matang, tapi "tiba masa tiba akal" dan lebih ke “biar kelihatan visioner”. Bandara dibangun di tempat antah berantah, jalan tol dirancang tanpa investor yang minat, dan IKN diluncurkan kayak trailer film Marvel—heboh di awal, tapi pas produksi malah ngos-ngosan. BUMN Karya dijadikan juru bangun utama, padahal mereka udah kayak band indie yang disuruh bikin konser stadion—modal kurang, utang numpuk, dan akhirnya banyak yang kolaps.Intinya, proyek-proyek ini lebih mirip panggung teater politik: ada seremoni, ada rendering kinclong, ada pidato penuh harapan. Tapi di balik layar, fondasinya rapuh. Yang penting tampil dulu, urusan teknis belakangan.Dari rendering kinclong sampai seremoni peletakan batu pertama, mimpi infrastruktur Indonesia dijual kayak trailer film blockbuster—anggaran gede, ambisi tinggi, tapi plot-nya bolong. Di balik layar, retakan udah kelihatan. Kenapa proyek-proyek ini dipaksain “go” padahal studi bilang “no”? Karena di panggung politik, yang penting tampil. Menteri kejar warisan, bukan logistik. BUMN disuruh jadi pahlawan, tapi naskahnya nggak dikasih modal. Ini bukan soal bangunan gagal. Ini soal sistem yang lebih suka drama daripada data. Selamat datang di balik layar proyek gagal paling spektakuler.
Utang proyek Kereta Cepat Whoosh itu udah kayak cicilan rumah mewah yang dibeli pas lagi euforia, tapi ternyata gaji nggak cukup buat nyicil. Totalnya sekitar Rp116 triliun, dan kalau dihitung-hitung, bisa makan waktu 30 sampai 40 tahun buat lunas—itu pun kalau penumpangnya rame dan nggak ada drama baru.Tapi kenyataannya, proyek ini udah kebanyakan plot twist: biaya bengkak, penumpang sepi, dan janji “tanpa APBN” sekarang mulai dilanggar pelan-pelan. Negara mulai turun tangan, kayak orang tua yang akhirnya bantu bayar utang anaknya yang kebanyakan gaya.Jadi utangnya bisa menjadi warisan panjang, kayak sinetron yang nggak tamat-tamat. Pertanyaannya bukan lagi “kapan lunas?”, tapi “siapa yang bakal nanggung pas tepuk tangan udah berhenti?”Menurut hitungan Bang Faisal Basri, proyek Kereta Cepat Whoosh itu jadi cicilan abadi. Kalau pakai asumsi super optimis—nggak ngitung biaya operasional, bunga utang, dan segala tetek bengek—balik modalnya butuh 48 tahun. Tapi kalau kita realistis, Bang Faisal bilang bisa tembus 139 tahun! Itu udah kayak sinetron yang nggak tamat-tamat, dari generasi emak-emak sampai cucu TikTok-an masih harus bayar.Jadi Whoosh bukan lagi lambang kemajuan, tapi jadi “mesin waktu utang”—warisan yang dikasih ke anak cucu tanpa mereka pernah minta. Bayangin, tahun 2164 masih ada yang ngomong, “Ini utang zaman Jokowi, ya?” Ini bukan cuma soal ekonomi, tapi soal tanggungjawab sejarah. Siapa yang tepuk tangan pas groundbreaking, dan siapa yang bakal nangis pas cicilan masih jalan?Kalau kita pakai hitungan Bang Faisal Basri—utang Kereta Cepat Whoosh bisa tembus 139 tahun buat lunas—berarti kita lagi ngomongin beban yang bakal ditanggung lima sampai enam generasi. Dari generasi TikTok sekarang, terus ke anaknya, cucunya, cicitnya, sampai generasi yang mungkin udah pakai teleportasi tapi masih nyicil utang zaman Jokowi (satu generasi umumnya berputar, kita sebut "Generation Cycle", selama 25 tahun). Proyek ini bukan lagi soal rel dan kereta, tapi udah kayak warisan utang yang diturunin kayak lemari tua—nggak ada yang minta, tapi semua kudu nrimo. Tepuk tangan pas peresmian mungkin cuma lima menit, tapi cicilannya bisa sampai abad depan.Jadi Whoosh bukan cuma lambang kemajuan, tapi juga jadi tugu ambisi politik. Generasi masa depan mungkin nggak inget kecepatannya, tapi pasti inget harganya.Nah bagaimana dengan saga “IKN: Kota yang Dibangun dengan Cicilan Generasi.” Biayanya diprediksi tembus Rp 466 triliun, dan sampai 2029 baru disetujui Rp 48,8 triliun. Sisanya? Masih nunggu investor, KPBU, dan mungkin doa bersama.Kalau dihitung pakai siklus generasi 25 tahunan, proyek ini, jadi beban buat 4 sampai 5 generasi. Anak yang lahir sekarang mungkin masih bayar pajak buat kota yang belum tentu mereka tinggali. Cucu mereka? Bisa jadi masih harus ngurus perawatan taman dan jalanan IKN yang dibangun zaman kakek buyut.Jadi IKN bukan cuma soal pindah ibu kota, tapi soal komitmen lintas zaman. Kota ini dibangun bukan cuma pakai beton, tapi juga pakai pajak masa depan dari rakyat yang mungkin nggak pernah selfie di sana. Pertanyaannya bukan lagi “berapa biayanya?”, tapi “berapa lama kita bakal nanggungnya?”Kalau hitungan biaya IKN beneran tembus Rp466 triliun dan pembangunan bertahapnya makan waktu puluhan tahun, maka beban ini nggak cuma numpang lewat di masa jabatan presiden—tapi menjadi warisan 4 sampai 5 generasi. Itu artinya, kita bisa nanggung sampai 100–125 tahun ke depan.Bayangin, anak yang lahir tahun 2025 mungkin masih bayar pajak buat ngerawat taman IKN di tahun 2100. Cucu mereka mungkin masih harus upgrade jalanan, ganti lampu, dan bikin alasan kenapa kota ini masih relevan.Jadi pas kita nanya “berapa lama kita bakal nanggungnya?”, jawabannya: selama beton masih berdiri, anggaran masih bocor, dan warisan politik masih dipertahankan. IKN bukan cuma ibu kota baru—tapi komitmen seabad.Bayangin gini: daripada jadi ibu kota baru, IKN digas aja jadi wahana horor terbesar se-Asia Tenggara—“Rumah Hantu Birokrasi.” Pengunjung masuk lewat lorong berkabut, diapit spreadsheet anggaran yang gentayangan dan janji “tanpa APBN” yang bergema kayak mantra.Setiap ruangan punya jumpscare-nya sendiri. Di “Terowongan Tertunda,” ada menteri animatronik yang motong pita proyek fiktif sambil senyum abadi. Di “Hantu Peletakan Batu Pertama,” arwahnya melayang di atas air mancur mangkrak sambil bisik, “Ini akan ikonik… suatu saat nanti.”Masuk ke “Penjara Utang,” pengunjung dikejar akuntan zombie bawa invoice Rp116 triliun. Lalu terjebak di “Labirin Legacy,” maze penuh rilis pers dan pidato warisan yang muter-muter kayak sinetron nggak tamat. Buat yang berani, ada “Ritual Semangat Warga”—pengunjung disuruh manggil antusiasme publik pakai PowerPoint dan QR code. Spoiler: nggak ada yang datang.Ini bukan sekadar rumah hantu—tapi tugu hidup dari ambisi, penundaan, dan branding politik yang nggak bisa mati. Tiketnya gratis, tapi beban emosinya lintas generasi.Pas pita udah dipotong dan kamera berhenti nge-shoot, beban proyek nggak ikut hilang—cuma pindah tangan. Tepuk tangan mungkin cuma lima menit, tapi cicilannya bisa sampai lima generasi. Yang bakal nanggung bukan menteri yang senyum sambil pegang gunting emas, bukan konsultan yang bikin blueprint kinclong. Tapi rakyat biasa, anak mereka, cucu mereka—yang nggak pernah ikut seremoni, tapi harus ikut bayarin.Mereka bakal bayar lewat pajak, lewat layanan publik yang makin tipis, lewat jalan berlubang yang nggak pernah lagi ditambal. Warisan proyek nggak kerasa di pidato, tapi di anggaran sekolah, antrean rumah sakit, dan mimpi yang makin jauh. Jadi pas tepuk tangan udah berhenti, penonton sesungguhnya baru masuk. Bukan buat sorak-sorai, tapi buat bayar.Kalau warisan seorang pemimpin isinya proyek mangkrak, utang triliunan, dan janji yang menguap lebih cepat dari anggaran, ya wajar dong kalau publik mulai ganti mode dari “tepuk tangan” ke “mana pertanggungjawabannya?”. Grafiti “Adili Jokowi” udah muncul di tembok kota—kayak suara rakyat yang udah capek nonton seremoni tanpa hasil. Tuntutan buat “diadili” bukan cuma soal hukum, tapi soal simbolik. Ini soal nanya: siapa yang nyetujui blueprint mimpi, siapa yang cuek sama studi kelayakan, dan siapa yang bakal jawab pas invoice utang datang?Mau lewat tribunal rakyat, meme satir, atau demo warung kopi—publik udah nggak puas cuma lihat gunting emas dan senyum peresmian. Mereka pengen bukti. Dan kalau tepuk tangan udah berhenti, mungkin emang waktunya audit.Di negara demokrasi, pertanggungjawaban itu bukan bonus—tapi fondasi. Kalau seorang pemimpin ninggalin utang triliunan, proyek mangkrak, dan demokrasi yang makin keropos, ya wajar dong kalau rakyat mulai ganti mode dari “terima kasih” ke “mana tanggung jawabnya?”. Grafiti “Adili Jokowi” itu bukan vandalisme—melainkan titik koma dari rakyat. Tanda baca buat kekuasaan yang kelewat bebas.
Selama era Jokowi, Indonesia dibanjiri proyek ambisius: kereta cepat yang cicilannya bisa sampai kiamat, bandara yang sepi kayak kuburan, dan ibu kota baru yang lebih mirip monumen ego daripada solusi nyata. Semua diluncurkan dengan pesta, tapi dibayar pakai dompet anak cucu.
Di saat yang sama, demokrasi makin mirip panggung sandiwara. MK kena skandal, kebebasan sipil dipangkas, dan suara kritis dibungkam atau diawasi. Sistem demokrasi—yang harusnya jadi rem dan pengawas—malah dijadikan dekorasi buat seremoni kekuasaan.
Tuntutan buat “adili Jokowi” bukan soal balas dendam, tapi soal pertanggungjawaban. Soal nanya: bisa nggak sih jadi pemimpin tanpa konsekuensi? Dan soal ngingetin pemimpin masa depan: tepuk tangan boleh reda, tapi tanggungjawab nggak boleh hilang.
Kalau lima generasi ke depan harus bayar utang hari ini, yang hilang bukan cuma duit—tapi arah hidup. Anak cucu kita bakal dapet tagihan sebelum dapet pilihan. Pajak mereka bakal dipakai buat mimpi masa lalu, bukan kebutuhan masa kini. Anggaran mereka bakal dihantui proyek yang nggak mereka minta, dan cita-cita mereka bakal dikecilin biar muat di sisa anggaran yang udah dikunci.Yang terbuang itu waktu—waktu yang harusnya bisa dipakai buat inovasi, pendidikan, dan nyiapin bumi dari krisis iklim. Yang dikorbankan itu kebebasan milih, karena semua udah diputusin, ditandatangani, dan dikunci di kontrak zaman dulu. Biaya utang itu bukan cuma soal ekonomi—tapi soal eksistensi. Masa depan dijajah sama hantu ambisi politik.Jadi pas kita bilang lima generasi bakal nanggung, itu bukan cuma soal rupiah—tapi soal potensi yang dirampas, suara yang diwariskan dalam diam, dan masa depan yang udah digadaikan ke masa lalu.
Sejarah tuh penuh sama pemimpin dan pejabat yang berusaha ngehapus jejak dosa mereka, biar generasi mendatang lupa—atau nggak pernah tahu. Ini bukan sekadar penyangkalan, tapi kontrol narasi. Mulai dari nulis ulang buku sejarah, kasih amnesti, bungkam korban, sampai bikin seremoni damai yang palsu—mesin pelupa sering kali disponsori negara.Tahun 2025, pemerintah Indonesia bikin proyek penulisan ulang sejarah nasional bareng 113 akademisi, mau bikin sebelas jilid dari zaman purba sampai era Jokowi. Katanya ilmiah, tapi banyak yang curiga ini bakal jadi pemutihan sejarah.Di luar negeri juga sama. Di Rusia, pembersihan Stalin dikubur di balik mitos patriotik. Di Chile, kediktatoran Pinochet dijual sebagai reformasi ekonomi. Di Amerika, sejarah perbudakan dan genosida terhadap warga asli lama banget disamarkan di kurikulum sekolah. Tujuannya jelas: bikin warisan, bukan ngaku dosa.Jadi ya, banyak pemimpin bukan cuma bikin kesalahan—mereka juga jadi kurator kenangan. Dan kalau sejarah udah jadi panggung, maka lupa adalah pertunjukannya.Kalau negara mulai nyuci dosa sejarah pakai buku resmi dan seremoni kinclong, publik harus jadi arsiparis perlawanan. Jangan serahkan ingatan ke buku pelajaran versi pemerintah, dokumenter glossy, atau monumen yang dibangun buat nutup luka. Lawan pakai cerita lisan, media independen, mural jalanan, dan edukasi akar rumput.Pas pemerintah Indonesia bikin proyek penulisan ulang sejarah nasional tahun 2025—sebelas jilid dari zaman purba sampai era Jokowi—Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) langsung nyalain alarm. Bahayanya? Sejarah jadi satu versi, satu tafsir, satu suara. Obatnya? Banyak suara, banyak sudut pandang, banyak gaya.Sidang rakyat, arsip digital, teater komunitas, bahkan meme bisa dijadiin senjata sejarah. Tujuannya bukan cuma ngingetin, tapi bikin lupa jadi mustahil. Karena kalau ingatan udah jadi milik bersama, mesin pelupa nggak bisa jalan.Selain kasus "Memory Laundering", para penjarah negara juga sering melakukan "Money Laundering". Sejarah dunia tuh penuh sama pemimpin yang bikin proyek gede bukan buat rakyat, tapi buat ngerampok anggaran. Proyek-proyek ini sering disebut “gajah putih”—gede, mahal, tapi nggak berguna. Anggarannya bengkak, kontraknya gelap, dan ujung-ujungnya yang untung bukan rakyat, tapi geng elite dan rekening offshore.Dari Ferdinand Marcos di Filipina, sampai Sani Abacha di Nigeria, polanya mirip: bangun yang megah, utang yang gila-gilaan, terus duitnya dikirim pelan-pelan ke Cayman Islands, Swiss, atau Panama. Transparency International udah lama bongkar skema ini—proyek infrastruktur dijadiin kamuflase, beton dijadiin selimut korupsi. Proyeknya sering mangkrak, sepi, atau nggak relevan. Tapi utangnya? Nempel kayak cicilan kartu kredit. Dan duitnya? Ngilang ke tempat-tempat yang matahari aja males nyorot. Jadi ya, sejarah udah buktiin: ada pemimpin yang bangun jembatan bukan buat nyambungin rakyat, tapi buat nyebrang ke kekayaan pribadi.Di zaman politik labil dan ekonomi kayak rollercoaster, para elite punya dilema: bangun bunker di bawah rumah, atau kirim duit diam-diam ke pulau tropis yang bebas pajak dan penuh rahasia?Kepulauan Cayman bukan cuma soal pantai biru dan kapal pesiar mewah—tapi juga soal invisibilitas finansial. Cayman udah ngalahin Swiss di daftar negara paling rahasia buat nyimpen aset. Nggak ada pajak penghasilan, nggak ada pajak keuntungan, nggak ada pajak perusahaan. Ini bukan cuma surga wisata, tapi juga surga spreadsheet.Kalau bunker cuma lindungi badan, Cayman lindungi saldo rekening. Nggak perlu tembok beton, nggak perlu brankas biometrik—cukup akun offshore yang ngumpet di antara pohon kelapa dan dana investasi. Bunker bisa lindungi dari demo, tapi Cayman bisa lindungi dari audit.Kalau disuruh milih antara arsitektur panik dan akuntansi tropis, jawabannya jelas: lupakan bunker, pesen tiket, dan biarkan pantai yang nyuci.Dan kita tutup bahasan kita dengan liriknya Peterpan, "Mengahapus Jejakmu",
Engkau bukanlah segalakuBukan tempat 'tuk hentikan langkahkuUsai sudah, semua berlaluBiar hujan menghapus jejakmu