Senin, 06 Oktober 2025

Asal(kan) Bapak Senang (3)

Dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Benedict Anderson ngulik banget soal budaya politik Indonesia yang, katanya, lebih “bapak-sentris” daripada berbasis sistem. Di sini, “bapak” bukan cuma gelar, tapi semacam simbol kekuasaan dan keharmonisan—kayak sosok yang nggak boleh dibikin kecewa. Nah, dari sinilah akar budaya asal bapak senang tumbuh subur: bawahan bukan nyari kebenaran, tapi nyari cara biar kelihatan kompak dan sopan, walaupun faktanya kadang pahit.
Anderson nyindir halus, bahwa di bawah budaya feodal yang udah lama banget mengakar, bahasa politik di Indonesia berubah jadi alat bukan buat mengungkap realita, tapi buat ngejaga perasaan. Semuanya jadi semacam “ritual kesetiaan” dimana tugas utama anak buah bukan ngomong jujur, tapi bikin suasana adem dan muka bapak tetap sumringah. Jadinya, negara kayak panggung sandiwara: yang penting semua terlihat harmonis, meskipun di belakang layar banyak hal yang sengaja disembunyikan.

Ada sebuah anekdot klasik yang sering banget dipakai buat ngegambarin budaya politik yang dibahas Benedict Anderson dalam The Idea of Power in Javanese Culture—dan ini cocok banget sama semangat “asal bapak senang.” Ceritanya, ada seorang raja Jawa yang nanya ke para abdinya, “Bagaimana taman istana kita? Indah, kan?” Semua abdi langsung jawab kompak, “Luar biasa, Kanjeng Gusti! Bunganya bermekaran, buahnya melimpah, burung-burung pun bernyanyi gembira!” Sang raja seneng banget, sampai-sampai doi perintahin pesta besar buat ngerayain. Tapi pas doski jalan-jalan sendiri ke taman itu… yang ada cuma tanah kering, bunga mati, dan kolam yang udah jadi lumpur. Anehnya, sang raja nggak marah—doi malah mesem dan bilang pelan, “Ternyata pohon-pohon juga tahu cara menghormati bapaknya.”
Nah, dari situlah kelihatan banget poin Anderson: kekuasaan dalam budaya Jawa bukan sekadar posisi, tapi semacam energi pribadi yang dijaga lewat harmoni dan kesopanan. Para bawahan gak bohong karena jahat, tapi karena mereka terprogram buat jagain perasaan pemimpinnya. Di dunia seperti ini, kebenaran bisa jadi dianggap kurang ajar, dan sopan santun justru menutupi realita. Akibatnya, sang pemimpin hidup dalam gelembung pujian yang lembut—adem di luar, tapi busuk di dalam. Anderson nggak nyalahin siapa pun, doski cuma nunjukin gimana sopan santun yang berlebihan bisa bikin kebenaran terasa seperti ancaman, bukan kewajiban.

Anderson berusaha menjelaskan konsep kekuasaan orang Jawa sekaligus membedakannya dengan cara pandang Barat. Ia menekankan bahwa bagi orang Jawa, kekuasaan bukan soal memerintah atau menundukkan orang lain, tapi sebuah kualitas yang ada di jagad raya dan muncul pada orang, benda, atau ritual tertentu. Kekuasaan merupakan substansi atau energi—kesakten — yang dikenali, dikumpulkan, dan ditampung, bukan diberikan atau diatur. Bab ini menegaskan bahwa konsep kekuasaan Jawa bersifat moral, spiritual, dan hierarkis, bukan hukum-rasional atau birokratis.

Anderson menjelaskan bahwa kekuasaan Jawa terlihat tapi tetap sulit ditangkap. Kehadirannya terasa lewat simbol, upacara, dan perilaku raja atau pejabat. Gerak lambat dan penuh perhitungan seorang raja, tata ruang istana, sampai tingkat kesopanan dalam bahasa istana — semuanya menunjukkan besarnya kekuasaan. Kekuasaan ini tidak “politik murni” ala Barat, tapi fakta kosmik dan moral, tak terpisahkan dari tatanan semesta.

Ia juga menyoroti bahwa kekuasaan Jawa legitimasi dirinya sendiri. Berbeda dengan Barat, di mana otoritas berasal dari hukum, kontrak, atau persetujuan rakyat, raja Jawa menjadi perwujudan kekuasaan yang sudah ada dan membenarkan dirinya sendiri. Kewibawaannya tergantung pada kemampuannya memancarkan kesakten secara harmonis. Jika gagal — karena perilaku buruk atau bencana alam — itu dianggap hilangnya kewibawaan secara metafisik, bukan sekadar politik.

Anderson menambahkan prinsip bahwa pameran kekuasaan harus seimbang antara terlihat dan terkendali. Raja paling efektif bukan yang mendominasi terus-menerus, tapi yang mengatur dan menahan manifestasi kekuasaannya. Upacara, hierarki bahasa, dan ritual bukan sekadar hiasan; itu adalah mekanisme esensial agar kekuasaan bisa dikenali, ditahan, dan diwariskan.

Akhirnya, Anderson menempatkan pemahaman ini dalam konteks sejarah dan sosial Jawa. Ia menekankan bahwa obsesi orang Jawa pada kekuatan spiritual dan tata krama membentuk struktur kerajaan, perilaku raja, dan ekspektasi rakyat. Bab ini menegaskan bahwa kekuasaan Jawa bukan pasif atau simbolik semata, tapi aktif membentuk masyarakat, moral, dan kosmologi. Kekuasaan adalah gaya tak terlihat yang menata dunia yang tampak.

Anderson membahas bagaimana konsep kekuasaan dalam budaya Jawa sangat memengaruhi politik Indonesia hingga kini. Doi jelasin bahwa dalam masyarakat Jawa, kekuasaan bukan hanya soal politik atau institusi, tapi juga soal simbol dan pribadi, berpusat pada sosok bapak (pemimpin). Model otoritas paternalistik ini membuat bawahan sering menahan diri dari kritik dan menghindari menyampaikan kenyataan pahit kepada atasannya, lebih mengutamakan keharmonisan dan kenyamanan emosional pemimpin daripada transparansi dan akuntabilitas. Akibatnya, sikap yang dominan adalah berusaha nyenangin pemimpin—“asal bapak senang”—maknanya “yang penting bos hepi” atau “carmuk biar bos berkenan”. Dinamikanya munculin budaya politik dimana penampilan kesatuan dan rasa hormat lebih diutamakan daripada menyampaikan informasi yang jujur atau kritis.
Anderson mencatat bahwa tradisi ini sudah mengakar dalam sejarah Jawa dan terus dilestarikan melalui berbagai ekspresi budaya, termasuk sastra, ritual, dan tatanegara. Penekanan pada komunikasi tak langsung dan menghindari konfrontasi langsung dianggap sebagai nilai yang menjaga keharmonisan sosial dan otoritas pemimpin. Namun, kerangka budaya ini juga berarti bahwa pemimpin bisa terisolasi dari kenyataan dan tantangan yang dihadapi masyarakat, karena orang-orang di sekitarnya terlatih untuk menyajikan narasi yang hanya menguntungkan. Isolasi ini bisa menyebabkan pemimpin terputus dari kondisi nyata masyarakat, memperkuat siklus dimana pemimpin tetap terlindungi dari kebenaran yang kritis.
Intinya, analisis Anderson menunjukkan bagaimana konsep kekuasaan dalam budaya Jawa, dengan penekanan pada otoritas pribadi dan keharmonisan emosional, menciptakan lingkungan politik dimana kebenaran sering dikalahkan oleh kenyamanan sang pemimpin, dan dimana keinginan untuk menyenangkan pemimpin itu, mengalahkan kebutuhan akan komunikasi yang jujur.

Dalam kalimat pembuka The Idea of Power in Javanese Culture, Benedict Anderson memulai dengan kutipan puitis dan agak sinis dari Heinrich Heine: “Das war kein wahres Paradies—Es gab dort verbotene Bäume.” Artinya: “Itu bukan surga yang sejati—di sana ada pohon-pohon terlarang.” Kalimat ini seolah menyingkap kenyataan pahit bahwa bahkan di tempat yang tampak ideal dan damai, selalu ada larangan, batas, dan kekuasaan yang mengatur segalanya. “Surga” ternyata tak sepenuhnya murni—ia dijaga oleh aturan yang tak bisa diganggu gugat.
Anderson memakai kutipan ini sebagai semacam pintu masuk filosofis untuk membahas bagaimana orang Jawa memahami kekuasaan. Ia menjelaskan bahwa bagi orang Barat, kekuasaan itu seperti alat: bisa dipakai, diatur, dan dilembagakan. Tapi bagi orang Jawa, kekuasaan adalah daya yang gaib, yang melekat dan bersifat hakiki, bukan sesuatu yang diciptakan manusia. Kekuasaan bukan “alat”, tapi “zat” — sesuatu yang ada, bukan sesuatu yang digunakan.
Dalam bagian pengantar ini, Anderson menekankan bahwa konsep kekuasaan Jawa tak bisa dilepaskan dari tatanan kosmos dan keseimbangan moral alam semesta. Kekuasaan harus dijaga agar tetap selaras dengan jagad raya, bukan diperebutkan seperti dalam konsep politik Barat. Maka, kutipan Heine tadi menjadi metafor yang pas: bahkan dalam “surga” yang tampak damai ala Jawa, selalu ada “pohon-pohon terlarang”—batas tak kasatmata yang menjaga harmoni dan hierarki.
Anderson juga menyoroti bahwa politik Jawa tradisional berporos pada kesakten—kekuatan batin yang berasal dari Tuhan dan terwujud lewat raja, orang suci, atau benda-benda pusaka. Karena itu, kekuasaan raja Jawa bukan cuma politik, tapi juga kosmologis: sang raja menjadi poros dunia (ratu adil sebagai simbol moral dan spiritual). Kekuasaan bukan untuk dibagi, tapi untuk dipelihara dan disakralkan, lewat ritual dan wibawa yang membuat jarak.
Dengan pembuka ini, Anderson ingin pembaca paham bahwa legitimasi politik di Jawa tak bersumber dari hukum atau persetujuan rakyat, tapi dari aura kekuatan yang tak terlihat namun terasa. Kutipan Heine itu mengingatkan bahwa bahkan harmoni pun butuh larangan; bahwa “pohon terlarang” adalah simbol dari batas kekuasaan manusia di hadapan kekuatan kosmos.

Anderson membandingkan dua dunia: konsep kekuasaan Jawa yang bersifat esensial dan sakral versus konsep kekuasaan Barat yang bersifat instrumental dan rasional. Ia menjelaskan bahwa dalam tradisi politik Barat—terutama sejak Zaman Pencerahan—kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di antara manusia, lewat hubungan perintah dan kepatuhan. Kekuasaan di Barat itu transaksional dan prosedural: diatur oleh hukum, lembaga, dan persetujuan rakyat. Dalam logika ini, kekuasaan bisa diukur, dibagi, bahkan diganti—seperti mata uang sosial.
Sebaliknya, kata Anderson, dalam kebudayaan Jawa, kekuasaan itu bukan hasil interaksi sosial, tapi wujud kosmis yang sudah ada sejak awal. Ia bukan diciptakan manusia, tapi mengalir dalam jagad raya—seperti energi dalam alam semesta atau berkah dalam teologi. Tugas manusia, terutama raja, bukan membuat kekuasaan, tapi menyimpan dan menampungnya, menunjukkan bahwa ia wadah yang pantas untuk menyalurkan daya itu.
Lantaran itulah, raja-raja Jawa zaman dulu selalu dikelilingi simbol kemegahan—keraton, upacara, tatakrama, dan larangan-larangan—bukan karena ingin pamer, tapi karena simbol itu memperlihatkan keseimbangan batinnya. Semakin besar kekuasaan seseorang, semakin tenang dan diam ia harus terlihat; bergerak terlalu banyak justru dianggap tanda kehilangan kendali. Kekuasaan sejati, dalam pandangan Jawa, memancar lewat ketenangan, seperti pusat badai yang hening tapi menggetarkan.
Anderson lalu mengaitkan pandangan ini dengan bahasa dan sopan santun Jawa. Ia mencatat bahwa tingkat tutur seperti krama dan ngoko bukan sekadar tatakrama sosial, melainkan cermin linguistik dari tatanan kosmos. Bahasa menjaga jarak, menyeimbangkan hubungan antara yang luhur dan yang biasa, dan mencegah energi sosial yang liar beredar tanpa kendali. Dalam dunia ini, berbicara pun jadi bentuk menjaga keseimbangan alam.
Sementara itu, dunia Barat—dari Hobbes sampai Weber—selalu memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang harus dijalankan, diperebutkan, dan dilegitimasi lewat struktur rasional. Kekuasaan bukan hak bawaan, tapi produk sistem yang bisa diubah manusia. Bagi orang Jawa, gagasan seperti itu justru terasa ngawur dan melawan harmoni kosmos, karena membagi kekuasaan sama saja dengan mengacaukan keseimbangan semesta.
Anderson menutup bagian ini dengan peringatan halus: perbedaan cara pandang ini penting untuk memahami politik Jawa. Apa yang bagi orang Barat terlihat seperti kepasrahan atau ketundukan, sebenarnya adalah sikap moral yang dalam: pilihan untuk tidak mengusik kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri. Melawan kekuasaan bukan tindakan heroik, tapi cara tercepat untuk merusak keseimbangan dunia. Maka, seperti dalam kutipan Heine di awal, politik Jawa juga hidup dalam kesadaran bahwa di “surga” ini, selalu ada pohon-pohon terlarang yang harus dihormati.

Di bagian belakang The Idea of Power in Javanese Culture, Anderson membawa pembaca dari teori ke kenyataan simbolik, yakni bagaimana konsep kekuasaan itu menjelma dalam raja dan mitos Jawa, terutama figur Ratu Adil. Ia menjelaskan bahwa Ratu Adil adalah penjelmaan sempurna dari kosmologi Jawa, tempat daya spiritual (kesakten) dan tatanan moral bertemu dalam satu sosok yang mengembalikan keseimbangan dunia. Ratu Adil bukan sekadar pemimpin politik, tapi penjaga keseimbangan semesta, yang sah bukan karena menang perang atau dipilih rakyat, melainkan karena ia membawa energi ilahi yang tak kasatmata.
Anderson menegaskan bahwa sepanjang sejarah Jawa—dari Majapahit, Mataram, hingga masa kolonial—aura kekuasaan raja selalu dibangun lewat ritual jarak dan kemegahan. Raja Jawa bukan manusia biasa; ia makhluk yang “berjarak”, diangkat oleh ketenangan, pengendalian diri, dan kemampuan menampung daya sakral. Keraton, istana, dan seluruh hierarki yang mengelilinginya bukanlah struktur birokrasi, tapi peta kosmos: tiap gerak dan posisi menggambarkan tatanan alam semesta. Gerak raja yang lambat, sikap diamnya, hingga tatakrama abdi dalem—semuanya dirancang agar ketenangan itu menyebar dari pusat ke pinggiran.
Ia menyoroti arsitektur keraton yang bukan sekadar bangunan, tapi simbol poros dunia. Raja duduk di tengah sebagai lambang Gunung Meru—pusat semesta tempat energi ilahi mengalir ke dunia manusia. Dari titik itu, halaman, gerbang, dan taman tertata secara hierarkis, menggambarkan turunnya tingkat kesucian. Jadi, sistem politik Jawa pada dasarnya adalah salinan kecil dari jagad raya, dimana raja menjadi poros ketenangan dunia.

Namun Anderson juga menunjukkan paradoksnya: sistem ini kuat sekaligus rapuh. Ia kuat karena kekuasaan raja bersifat “otentik”—selama ia memancarkan ketenangan dan membawa kesejahteraan, berarti kekuatannya masih sah. Tapi ia juga rapuh, karena ketika kekeringan, huru-hara, atau bencana datang, semua itu dianggap pertanda bahwa kesakten-nya memudar. Kegagalannya bukan politik, tapi kosmologis—tanda bahwa ia telah kehilangan hubungan dengan sumber daya sejati. Saat itulah mitos Ratu Adil bangkit kembali, menjanjikan datangnya sosok baru yang membawa keseimbangan semesta.
Anderson membaca mitos Ratu Adil bukan sebagai seruan revolusi rakyat, tapi sebagai katup moral dalam kebudayaan Jawa. Perubahan tidak datang dari perlawanan, melainkan dari penarikan mandat kosmos. Alam semesta yang memutuskan kapan kekuasaan harus berpindah, bukan rakyat yang menuntut. Maka, sejarah Jawa, kata Anderson, sebaiknya dipahami bukan sebagai perebutan tahta, tapi sebagai drama keseimbangan jagad. Tiap kejayaan—Majapahit, Mataram—momen dunia kembali tertata; tiap keruntuhan adalah tanda energi sakral telah habis.
Pandangan Anderson terasa tragis sekaligus indah. Ia menampilkan kebudayaan dimana kekuasaan, moralitas, dan kosmos saling terkait, namun manusia tetap terikat pada batas-batas sakral. Dalam makna Heine, Jawa adalah “surga” yang penuh cahaya dan harmoni—namun selalu ada “pohon-pohon terlarang” yang menjaga agar manusia tak lupa: kekuasaan sejati bukan untuk dimiliki, tapi untuk dihormati.

Anderson berusaha menjelaskan konsep kekuasaan orang Jawa sekaligus membedakannya dengan cara pandang Barat. Ia menekankan bahwa bagi orang Jawa, kekuasaan bukan soal memerintah atau menundukkan orang lain, tapi sebuah kualitas yang ada di jagad raya dan muncul pada orang, benda, atau ritual tertentu. Kekuasaan adalah substansi atau energi—kesakten—yang dikenali, dikumpulkan, dan ditampung, bukan diberikan atau diatur. Bab ini menegaskan bahwa konsep kekuasaan Jawa bersifat moral, spiritual, dan hierarkis, bukan hukum-rasional atau birokratis.
Anderson menjelaskan bahwa kekuasaan Jawa terlihat tapi tetap sulit ditangkap. Kehadirannya terasa lewat simbol, upacara, dan perilaku raja atau pejabat. Gerak lambat dan penuh perhitungan seorang raja, tataruang istana, sampai tingkat kesopanan dalam bahasa istana—semuanya menunjukkan besarnya kekuasaan. Kekuasaan ini bukan “politik murni” ala Barat, tapi fakta kosmik dan moral, tak terpisahkan dari tatanan semesta.
Ia juga menyoroti bahwa kekuasaan Jawa melegitimasi dirinya sendiri. Berbeda dengan Barat, dimana otoritas berasal dari hukum, kontrak, atau persetujuan rakyat, raja Jawa menjadi perwujudan kekuasaan yang sudah ada dan membenarkan dirinya sendiri. Kewibawaannya tergantung pada kemampuannya memancarkan kesakten secara harmonis. Jika gagal—karena perilaku buruk atau bencana alam—itu dianggap hilangnya kewibawaan secara metafisik, bukan sekadar politik.
Anderson menambahkan prinsip bahwa pameran kekuasaan harus seimbang antara terlihat dan terkendali. Raja paling efektif bukan yang mendominasi terus-menerus, tapi yang mengatur dan menahan manifestasi kekuasaannya. Upacara, hierarki bahasa, dan ritual bukan sekadar hiasan; itu adalah mekanisme esensial agar kekuasaan bisa dikenali, ditahan, dan diwariskan.
Anderson menempatkan pemahaman ini dalam konteks sejarah dan sosial Jawa. Ia menekankan bahwa obsesi orang Jawa pada kekuatan spiritual dan tata krama membentuk struktur kerajaan, perilaku raja, dan ekspektasi rakyat. Bab ini menegaskan bahwa kekuasaan Jawa bukan pasif atau simbolik semata, tapi aktif membentuk masyarakat, moral, dan kosmologi. Kekuasaan adalah gaya tak terlihat yang menata dunia yang tampak.

Anderson kemudian bergerak dari teori abstrak ke ilustrasi sejarah konkret dengan melihat kerajaan Majapahit dan Mataram. Ia menampilkan kerajaan-kerajaan ini sebagai panggung hidup kekuasaan Jawa, dimana otoritas raja bukan sekadar administratif, tapi diatur lewat ritual dan kosmologi. Di Majapahit, misalnya, kerajaan ditandai dengan kemegahan yang teliti—istana diatur sesuai arah mata angin, prosesi upacara, dan tatakrama istana yang rumit. Semua elemen yang terlihat itu bukan riasan; seluruhnya menunjukkan kemampuan raja menampung dan memancarkan kesakten, sekaligus menegaskan kelayakannya memerintah dunia dan alam gaib.
Anderson menekankan bahwa perilaku pribadi raja sangat krusial. Setiap gerak, sikap, dan ucapan diukur untuk memperlihatkan kendali diri dan daya batin. Raja yang tergesa-gesa atau ceroboh berisiko terlihat tak stabil, yang menandakan bahwa kekuatan sakral yang dimilikinya melemah. Di Mataram, prinsip ini berlaku ke seluruh tingkatan istana: menteri, bangsawan, dan abdi dalem belajar menavigasi bahasa, gerak, dan jarak hierarkis, menunjukkan pemahaman mereka bahwa kekuasaan itu terlihat tapi juga gaib.
Lebih jauh, Anderson menjelaskan bagaimana ritual tataruang memperkuat tatanan kosmik. Istana adalah miniatur alam semesta: raja di pusat, halaman, gerbang, dan taman mengelilingi secara hierarkis. Upacara, dari penobatan sampai ritual musiman, diatur untuk meniru pola langit, memastikan kekuasaan tetap seimbang dan harmonis. Peran raja bukan sekadar memberi perintah, tapi menjaga keseimbangan, agar kewibawaannya mengalir tanpa gangguan ke masyarakat dan alam.

Ia juga mencatat bahwa sistem ini tidak statis. Sejarah mencatat Majapahit dan Mataram menghadapi pemberontakan, bencana alam, dan krisis dinasti. Menurut Anderson, peristiwa ini bukan sekadar kegagalan politik, tapi tanda metafisik bahwa kasekten raja melemah. Saat itu, mitos Ratu Adil bangkit sebagai mekanisme budaya untuk mengatur ulang kosmos. Melalui ritual, mitos, dan pengamatan perilaku, orang Jawa selalu sadar bahwa kekuasaan adalah esensi untuk dikelola, bukan alat untuk digunakan.
Eksplorasi Anderson terhadap istana-istana ini menegaskan argumennya: di Jawa, kekuasaan tak bisa dipisahkan dari moral, ritual, dan keseimbangan kosmis. Kerajaan bukan sekadar politik, hukum, atau paksaan; ia adalah perwujudan prinsip metafisik. Istana, hierarki, dan tata krama menjadi wadah menyalurkan dan menahan energi yang bersifat sosial, spiritual, dan kosmis sekaligus. Majapahit dan Mataram, dalam hal ini, adalah contoh sempurna dari otoritas Jawa yang rumit, ritualis, dan terstruktur rapi.

Anderson memperluas pembahasan sebelumnya dengan menyoroti sifat kekuasaan pribadi atau karisma dalam budaya Jawa. Ia menekankan bahwa kesakten (karisma yang diwujudkan oleh seorang raja) bukan sekadar simbol; ia kekuatan nyata yang menata hubungan sosial, menstabilkan istana, dan menjaga tatanan moral kosmos. Berbeda dengan Barat, dimana karisma identik dengan kepemimpinan luar biasa atau retorika persuasif, karisma Jawa tertanam dalam ketenangan, martabat, dan kemampuan memancarkan otoritas moral serta kosmis.
Anderson menjelaskan bahwa karisma di Jawa mengalir lewat ritual, gerak, dan reputasi, bukan lewat gelar resmi atau hukum tertulis. Aura seorang raja terasa melalui kepatuhan bawahannya, kesempurnaan upacara istana, dan sikap tenang di depan publik. Keefektifan seorang raja atau bangsawan tidak dinilai dari banyaknya perintah atau kemenangan perang, tapi dari cara halus ia menyeimbangkan, menahan, dan menyalurkan kekuasaan tanpa terkesan menguasainya.
Ia juga menekankan bahwa karisma mudah berpindah dan rapuh secara moral. Ia bisa beralih dari satu orang ke orang lain secara tak terduga, dan selalu diuji oleh bencana, kerusuhan sosial, atau perilaku pribadi yang buruk. Legenda Ratu Adil berfungsi sebagai mekanisme budaya untuk mengatur fluktuasi ini: ia menandai munculnya wadah kekuasaan baru ketika yang lama melemah. Dengan kata lain, karisma bersifat pribadi sekaligus sosial, spiritual sekaligus politik, tertanam pada individu sekaligus dalam ekspektasi masyarakat.
Anderson juga menekankan bahwa karisma Jawa sangat performatif tapi justru ditampilkan dengan pengendalian. Martabat dan ketenangan raja adalah yang utama; agresi berlebihan atau paksaan yang terlihat justru menandakan energi sakral mulai habis. Prinsip ini berlaku ke seluruh istana: menteri, bangsawan, dan abdi harus menyesuaikan perilakunya dengan posisi mereka terhadap sumber kekuasaan, menciptakan sistem dinamis di mana harmoni sosial mencerminkan harmoni kosmis.
Anderson menunjukkan lewat contoh sejarah bahwa petualangan karisma bukan teori belaka. Dari Majapahit sampai Mataram, otoritas karismatik menata kehidupan istana, mengatur hierarki sosial, dan membentuk harapan politik. Kehadiran moral dan spiritual raja merupakan kunci tatanan, dan ritual istana yang rumit adalah alat utama untuk mempertahankan, menyalurkan, dan menampilkan esensi kekuasaan itu. Dengan demikian, karisma di Jawa adalah kekuatan tak terlihat tapi meresap, yang mengikat kosmos, istana, dan masyarakat menjadi satu.

Di Bab II, Anderson lalu beralih fokus dari istana dan raja ke persepsi dan pengalaman kekuasaan oleh rakyat biasa Jawa. Ia menekankan bahwa kekuasaan Jawa bukan hanya soal raja, ritual, dan istana, tapi juga tentang bagaimana rakyat menafsirkan, meresapi, dan merespons kehadiran otoritas. Kekuasaan, dalam hal ini, adalah kekuatan sosial sekaligus kosmis, yang dirasakan lewat pengamatan sehari-hari, cerita rakyat, dan adat lokal.
Anderson menjelaskan bahwa rakyat Jawa sangat peka terhadap siapa yang membawa energi sakral dan bagaimana energi itu tampak. Mereka mengamati perilaku raja dan pejabat, menafsirkan bencana alam seperti kekeringan atau badai, serta membaca tanda-tanda dalam upacara untuk menilai keseimbangan kosmos. Dengan kata lain, rakyat ikut berpartisipasi dalam peredaran kekuasaan dengan mengenali, memperkuat, atau mempertanyakan kehadirannya. Ini tidak berarti mereka memberontak secara terbuka, tapi mereka melakukan dialog moral dan kosmis yang halus dengan kekuasaan.
Ia menambahkan bahwa kesadaran ini menciptakan alam moral bersama. Kewibawaan raja sah bukan karena paksaan semata, tapi karena rakyat mengakui keselarasan tatanan kosmis, moral, dan sosial. Ritual, simbol, dan mitos — seperti ramalan Ratu Adil — memungkinkan rakyat memprediksi perubahan kepemimpinan dan keseimbangan kosmos, memberi orientasi moral di masa ketidakpastian.
Anderson juga menyoroti bahwa kekuasaan meresap secara hierarkis. Pengaruh raja terasa di desa-desa lewat pejabat lokal, cerita rakyat, gosip, dan tafsir tanda alam. Rakyat memahami bahwa kekuasaan ada lapisan dan derajatnya, dan kesakten raja tercermin pada mereka yang dekat istana, menyebar seperti riak air. Lapisan ini membuat subjek yang jauh dari istana tetap peka terhadap ritme otoritas, meski tanpa kontak langsung.
Anderson berargumen bahwa pemahaman kekuasaan Jawa membangun partisipasi halus dan tanggung jawab moral. Rakyat bukan sekadar objek pasif; pengakuan, tafsir, dan penilaian moral mereka turut menjaga ketertiban. Dengan cara ini, kekuasaan Jawa bersifat pribadi sekaligus kolektif, kosmis sekaligus sosial, ritual sekaligus nyata, menghubungkan istana, raja, dan kehidupan sehari-hari rakyat menjadi satu kesatuan yang dinamis dan utuh.

Anderson menekankan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi instrumen penting kekuasaan dan pengorganisasian sosial. Ia berargumen bahwa di Jawa, cara orang berbicara, pilihan kata, dan tingkat kesopanan sangat terkait dengan hierarki, otoritas, dan tatanan moral. Bahasa menyampaikan status, kedekatan dengan kekuasaan, dan pengakuan terhadap tatanan kosmik dan sosial, sekaligus menjadi mekanisme bagi individu untuk menunjukkan hormat dan menavigasi seluk-beluk masyarakat Jawa.
Anderson menjelaskan bahwa istilah “bahasa” dalam konteks bukunya lebih luas dari sekadar tatabahasa atau kosakata. Ia mencakup register, tutur ritual, etiket, dan ucapan simbolis yang mencerminkan dan memperkuat hierarki sosial. Misalnya, kata atau frasa tertentu khusus digunakan untuk menyapa raja atau bangsawan, dan salah penggunaan bisa menunjukkan ketidakhormatan atau ketidakmampuan. Bahasa menjadi barometer sosial, memungkinkan raja dan rakyat membaca dan mengatur aliran otoritas dan legitimasi.
Dalam konteks politik Indonesia, Anderson menyoroti bahwa bahasa tetap menjadi pusat pelaksanaan dan persepsi kekuasaan. Politisi, birokrat, dan pemimpin menata pidato, penampilan publik, dan surat resmi dengan hati-hati guna memproyeksikan otoritas, moralitas, dan karisma. Subtilitas nada, pilihan kata, dan gaya retorika menyampaikan lebih dari kebijakan eksplisit; mereka menandakan kompetensi, legitimasi, dan kesesuaian dengan ekspektasi budaya tentang kepemimpinan etis. Dengan cara ini, bahasa bersifat performatif sekaligus simbolis, membentuk perilaku politik dan mempengaruhi persepsi warga terhadap kekuasaan.
Anderson juga menekankan bahwa bahasa menengahi ketegangan antara hierarki tradisional Jawa dan politik modern Indonesia. Penggunaan bahasa Jawa, dialek daerah, atau bahasa Indonesia formal dalam pidato dan upacara mencerminkan dan menegosiasikan hierarki sosial dan politik. Bahkan di Indonesia kontemporer, di mana demokrasi dan hukum dominan secara formal, penggunaan bahasa yang cermat tetap menjadi penanda karisma, otoritas moral, dan efektivitas politik.
Anderson menggambarkan bahasa sebagai saluran esensial otoritas, legitimasi, dan kohesi sosial. Ia bukan hanya alat komunikasi, tapi sistem terstruktur tempat kekuasaan ditampilkan, dikenali, dan ditransmisikan. Penguasaan bahasa setara dengan penguasaan tatanan sosial dan kosmik, baik di istana tradisional maupun arena politik modern.

Secara praktis, analisis Anderson menunjukkan bahwa warisan bahasa dan etiket Jawa tetap mempengaruhi politik Indonesia modern dengan cara halus tapi signifikan. Politisi dan pemimpin, baik di tingkat nasional maupun daerah, menata kata, gerak, dan sikap publik guna memproyeksikan otoritas moral, kompetensi, dan karisma. Misalnya, politisi yang menggunakan bahasa Indonesia formal atau hormat Jawa dengan tepat menunjukkan kecakapan budaya dan rasa hormat pada hierarki, memberi sinyal bahwa mereka memahami dan bisa menavigasi ekspektasi sosial. Sebaliknya, kesalahan bahasa—bicara terlalu santai, salah bentuk, atau gestur tak hormat—bisa cepat merusak wibawa, meski orang tersebut punya kekuasaan legal atau institusional.
Pemikiran Anderson juga menjelaskan performansi ritual acara politik di Indonesia kontemporer. Kampanye, debat televisi, dan pidato resmi diatur sedemikian rupa agar meniru kemegahan dan koreografi kehidupan istana Jawa. Pemimpin sadar bahwa karisma bersifat performatif dan simbolis, sehingga persona publik dibangun dengan hati-hati: timing, intonasi, jeda, bahkan keheningan diatur untuk menunjukkan martabat dan kendali diri, memunculkan aura moral dan spiritual seperti raja zaman dulu.
Selain itu, bahasa menengahi hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Pejabat lokal, gubernur, dan bupati harus memilih cara menyapa konstituen, bawahan, dan atasan, menavigasi tingkatan formalitas, dialek, dan ekspresi simbolis. Pengelolaan bahasa yang cermat ini memungkinkan otoritas diakui dan disalurkan, meski struktur hukum bersifat impersonal atau birokratis. Rakyat biasa, sementara itu, menafsirkan kata-kata pemimpin lewat lensa moral, etiket, dan ekspektasi budaya, sama seperti nenek moyang mereka mengamati ritual istana.
Anderson menunjukkan bahwa bahasa politik di Indonesia tidaklah netral. Ia membawa ingatan sejarah, ekspektasi budaya, dan bobot moral. Penguasaan ucapan, bentuk ritual, dan etiket tetap membentuk legitimasi, pengaruh, dan persepsi publik. Bahkan dalam konteks demokrasi dan media yang padat, logika Jawa tentang bahasa sebagai saluran kekuasaan tetap hidup, mengingatkan kita bahwa politik bukan hanya soal hukum atau kebijakan, tapi juga seni performatif, simbolis, dan moral dalam kepemimpinan.

Dalam refleksi selanjutnya, Anderson menghubungkan konsep tradisional kekuasaan dan karisma Jawa dengan budaya politik Indonesia modern. Ia menyiratkan bahwa meskipun ritual istana dan otoritas kosmik raja sudah banyak hilang, logika karisma dan legitimasi moral tetap membentuk ekspektasi politik. Pemimpin modern tetap dinilai bukan hanya dari kekuasaan formal atau hukum, tapi dari kesan mempunyai energi moral dan hampir sakral—kemampuan menginspirasi pesona, menjaga ketertiban, dan menampilkan kesan “takdir”.
Anderson melihat dinamika ini muncul dalam dua cara yang saling terkait. Pertama, politisi membangun persona publik, mengatur penampilan, pidato, dan simbol-simbol yang meniru teater ritual istana Jawa. Karisma tetap performatif: pemimpin yang bergerak, berbicara, atau bersikap tenang memberi sinyal stabilitas, kompetensi, dan otoritas moral. Kedua, rakyat tetap melakukan penilaian halus terhadap legitimasi, menafsirkan pemimpin lewat lensa keseimbangan moral dan spiritual. Seperti di Jawa pra-modern, bencana, kerusuhan, atau krisis ekonomi sering dianggap sebagai tanda bahwa pemimpin kehilangan sentuhan dengan kekuatan tak terlihat.
Anderson juga menyoroti keberlanjutan mitos Ratu Adil dalam imajinasi politik kontemporer. Gagasan bahwa pemimpin yang adil, bermoral, dan “terpanggil” akan muncul untuk mengembalikan keseimbangan masih kuat dalam masyarakat Indonesia. Meski institusi formal dan sistem pemilu ada, tetap ada harapan bawah sadar bahwa otoritas sejati bersifat karismatik, bermoral, dan spiritual, bukan hanya legal atau prosedural.
Dalam hal ini, Anderson menunjukkan adanya kontinuitas antara budaya politik pra-kolonial, kolonial, dan pascakolonial. Bentuk pemerintahan dan simbol kekuasaan memang berubah, tapi logika karisma, penilaian moral, dan peredaran kekuasaan yang tak terlihat tetap membentuk persepsi publik dan perilaku politik. Politik modern mungkin melalui media, pemilu, dan birokrasi, tapi psikologi otoritas tetap terikat pada konsep tradisional — bahwa kekuasaan adalah esensi yang harus dihormati, ditahan, dan dinilai secara moral.
Akhirnya, karya Anderson mengingatkan bahwa masa lalu tak pernah sepenuhnya berlalu: bahkan di Indonesia kontemporer, di mana demokrasi dan hukum mendominasi, warga dan pemimpin tetap beroperasi dalam ruang konseptual yang dibentuk oleh berabad-abad pemahaman kekuasaan yang ritualis, moral, dan kosmis. Arus tak terlihat kekuasaan, karisma, dan legitimasi moral terus membentuk perilaku, ekspektasi, dan imajinasi, menjembatani masa lalu dan modern dalam logika budaya yang halus tapi tahan lama.

Anderson sesungguhnya melihat sisi pro dan kontra dari sistem kepemimpinan Jawa, dan ia meninjaunya melalui lensa politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari perspektif politik, ia mengagumi kemampuan sistem ini untuk menjaga stabilitas dan ketertiban sosial lewat hierarki ritual dan penggunaan karisma yang lembut. Otoritas moral dan kosmik raja memberikan kerangka legitimasi yang mengurangi konflik terbuka dan pemberontakan, memungkinkan kerajaan seperti Majapahit dan Mataram bertahan berabad-abad. Namun, Anderson juga menyadari kelemahannya: sistem yang sama bisa menekan inisiatif, memusatkan kekuasaan secara berlebihan, dan menciptakan hierarki kaku yang membatasi inovasi politik.
Dari sisi ekonomi, Anderson mencatat bahwa sifat hierarkis dan ritual kepemimpinan mempengaruhi distribusi sumber daya dan pemerintahan lokal. Kewajiban upacara, pengeluaran istana, dan kontrol atas lahan produktif menegaskan otoritas raja sekaligus menandakan tatanan kosmis. Namun, struktur ini bisa menimbulkan inefisiensi, beban berlebih pada rakyat, dan stagnasi ekonomi ketika prioritas lebih didorong oleh ritual daripada pragmatisme.
Secara sosial, sistem Jawa menumbuhkan rasa alam moral bersama dan memupuk rasa hormat, tata krama, dan kohesi sosial. Rakyat memahami posisi mereka dalam hierarki kosmik dan politik, dan ritual memberi peran sosial dan ekspektasi moral yang jelas. Di sisi negatif, Anderson menunjukkan sistem ini juga bisa mengukuhkan ketidaksetaraan, membatasi mobilitas sosial, dan mempertahankan norma kaku yang membatasi kebebasan individu.
Secara budaya, Anderson mengagumi cara kepemimpinan Jawa menyatukan nilai kosmik, etis, dan estetis, menciptakan tradisi ritual dan seni yang kaya untuk menegaskan otoritas dan memperkuat harmoni sosial. Namun sisi negatifnya, penekanan budaya pada ritual dan simbolisme bisa menutupi pengambilan keputusan praktis dan membuat sistem sulit beradaptasi atau direformasi.
Anderson menampilkan model Jawa sebagai kompleks dan ambivalen: mengandung kebijaksanaan, keseimbangan, dan kekuatan halus, tapi juga keterbatasan, inefisiensi, dan hierarki yang dapat menghambat perubahan. Ia melihat sistem ini bukan sebagai peninggalan romantis, tapi sebagai pendekatan kepemimpinan yang koheren secara historis dan budaya, dengan pelajaran dan ketegangan yang tetap relevan untuk memahami politik pra-modern maupun modern.

Dalam analisisnya terhadap komunikasi politik pada era Orde Baru Indonesia, Benedict Anderson menyoroti pergeseran signifikan dari bentuk ekspresi politik tradisional yang halus ke metode yang lebih terbuka dan terkendali. Di bawah rezim Presiden Suharto, negara menggunakan arsitektur monumental dan media massa untuk memproyeksikan kekuasaan dan kontrol, menciptakan kehadiran yang terlihat dan mengesankan yang sulit ditantang. Pendekatan ini merupakan perubahan dari bentuk komunikasi politik yang lebih bernuansa dan tidak langsung yang menjadi ciri periode sebelumnya.
Anderson juga membahas peran kartun selama periode ini, mencatat bahwa meskipun sering digunakan sebagai bentuk satir dan subversi, kartun juga mencerminkan keterbatasan wacana publik di bawah rezim otoriter. Kartun berfungsi sebagai sarana halus untuk mengekspresikan ketidaksetujuan, tetapi dampaknya dibatasi oleh sensor dan kontrol media yang menyeluruh.
Anderson juga meneliti konsep "sembah-sumpah," signifikansinya dalam budaya Jawa, dimana ia mewakili sumpah atau janji formal, sering melibatkan isyarat simbolis penghormatan. Praktik ini menekankan pentingnya ritual dan simbolisme dalam pelaksanaan kekuasaan, menyoroti bagaimana otoritas tidak hanya dijalankan melalui institusi formal tetapi juga melalui tindakan budaya dan simbolik.
Anderson menjelaskan bahwa praktik ini muncul dari kombinasi ritual, kewajiban moral, dan struktur sosial hierarkis yang sudah ada sebelum intervensi kolonial. Aspek “sembah”—secara harfiah gerakan tunduk atau hormat—adalah cara bagi bawahan untuk menunjukkan rasa hormat secara fisik dan simbolis kepada penguasa atau otoritas yang lebih tinggi. Komponen “sumpah,” yakni janji atau ikrar formal, berfungsi untuk melembagakan janji, komitmen, atau loyalitas dalam konteks hierarki ini. Anderson berargumen bahwa kedua elemen ini berkembang bersamaan sebagai metode untuk menjaga tatanan kosmik dan sosial, di mana rasa hormat, perilaku ritual, dan tanggung jawab moral terkait erat dengan otoritas politik.
Kerangka ini membantu memperkuat kekuasaan karena gerakan dan sumpah bawahan menjadi penanda terlihat dari kesetiaan dan ketaatan, yang memperkuat karisma dan legitimasi penguasa. Dengan kata lain, praktik “sembah-sumpah” bukan sekadar formalitas; ia tertanam dalam budaya politik dan moral Jawa, membentuk sistem halus tapi kuat untuk mengatur hubungan dan perilaku.
Menghubungkan ini dengan ungkapan "asal bapak senang," karya Anderson menunjukkan bahwa ekspresi semacam itu mencerminkan logika budaya yang lebih dalam dimana menjaga harmoni dan menyenangkan figur otoritas adalah hal yang utama. Dinamika ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dan otoritas dipertahankan tidak hanya melalui struktur formal tetapi juga melalui norma dan praktik budaya yang memperkuat hubungan hierarkis.

Dalam bagian reflektif penutup The Idea of Power in Javanese Culture, Anderson mengubah analisisnya menjadi kritik halus terhadap modernitas dan rasionalisme kolonial Barat. Ia menyiratkan bahwa cara pandang orang Jawa terhadap kekuasaan—yang sering dianggap mistik dan kuno—sebenernya adalah cara berpikir alternatif, sebuah epistemologi lain tentang tatanan dan otoritas manusia. Di dunia modern yang sibuk memuja kontrol, kemajuan, dan birokrasi, pandangan Jawa justru mengingatkan bahwa kekuasaan sejati tak selalu berarti menaklukkan, tapi menahan, menyeimbangkan, dan menjaga.
Nada Anderson di bagian ini lembut tapi jelas mengagumi. Ia melihat dalam kosmologi Jawa kecerdasan moral yang sudah lama hilang dari sistem politik modern: keyakinan bahwa kekuasaan itu berbahaya bukan karena siapa yang memegangnya, tapi karena apa hakikatnya. Dalam pandangan Jawa, kekuasaan adalah arus suci yang harus dijaga dengan hati-hati dan ritual, sementara modernitas Barat memperlakukan kekuasaan seperti mesin yang bisa diatur dan dibagi. Akibatnya, kata Anderson, Barat mungkin memang menguasai teknik mengendalikan, tapi kehilangan rasa sakral yang dulu membatasi keserakahannya.
Ia menambahkan bahwa kolonialisme, ketika masuk ke Jawa, merusak keseimbangan halus itu. Belanda bukan sekadar memerintah, tapi membawa cara pandang yang meniadakan kesucian kekuasaan. Kekuasaan diubah menjadi urusan kontrak, pajak, dan administrasi. Bagi orang Jawa, itu bukan kemajuan, tapi penghancuran makna. Negara kolonial, dengan logika rasional dan sekulernya, mengubah kekuasaan dari sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang kering dan kosong.
Dalam pandangan Anderson, tragedi politik modern—di Indonesia dan di seluruh dunia—justru terletak di situ: hilangnya makna. Para pemimpin pascakolonial mewarisi bentuk negara, tapi bukan kosmologinya. Istana berubah jadi kantor, ritual jadi seremoni, simbol kehilangan wibawa. Kekuasaan jadi urusan prosedur, bukan keseimbangan. Dunia makin sibuk, makin bising, tapi makin kehilangan jiwa.
Namun Anderson tak sedang meromantisasi masa lalu. Nada tulisannya sendu, bukan nostalgik. Ia mengakui bahwa kosmologi Jawa juga punya sisi gelap: hierarki yang kaku, kultus yang bisa menindas. Tapi ia menegaskan bahwa kedalaman metafisik budaya itu memberi pelajaran penting bagi dunia modern—bahwa legitimasi tanpa kesucian melahirkan sinisme, dan pemerintahan tanpa harmoni hanya menumbuhkan keterasingan. Pohon-pohon terlarang, katanya, dulu memberi makna pada surga. Ketika pohon-pohon itu ditebang, surga hanya jadi taman yang penuh pagar.
Maka, esai Anderson berakhir bukan sebagai laporan antropolog, tapi renungan filosofis. Dunia Barat yang terobsesi dengan efisiensi dan kemajuan—yang menolak misteri—memang kuat secara teknologi, tapi kering secara spiritual. Orang Jawa, sebaliknya, paham bahwa kekuasaan paling besar justru yang tak terlihat, yang diam, tapi sadar akan batasnya. Dalam dunia modern yang semakin dikuasai tontonan dan dominasi, Anderson meninggalkan pesan yang menggema: barangkali peradaban sejati bukan tentang menaklukkan kekuasaan, tapi tentang menghormati batas-batasnya.

Dari perspektif karya Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture, ungkapan “asal bapak senang” bisa dipahami sebagai cerminan dinamika otoritas hierarkis dan peredaran lembut kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Anderson menekankan bahwa kekuasaan di Jawa tak semata dijalankan lewat paksaan atau aturan formal, tapi lewat karisma, otoritas moral, dan ritual sosial. Dalam konteks ini, “asal bapak senang”—secara harfiah, “asal bos hepi”—menangkap realitas sosial dalam menavigasi otoritas: bawahan sering bertindak, berbicara, atau memutuskan sesuatu dengan cara yang menjaga kesenangan dan legitimasi penguasa, bukan semata-mata mengikuti alasan rasional atau keinginan pribadi.
Buku ini mengajarkan bahwa perilaku seperti ini tertata dalam logika budaya dan moral. Dalam budaya Jawa, menjaga harmoni dan menghormati hierarki adalah hal utama; melakukan apa yang menyenangkan penguasa bukan sekadar opportunisme, tapi bagian dari sistem yang lebih luas untuk mempertahankan kohesi sosial dan menghormati tatanan kosmis serta moral. Anderson menunjukkan bahwa kekuasaan bekerja melalui subtilitas, ritual, dan pengakuan simbolis, dan bahwa otoritas selalu dinegosiasikan, bukan dipaksakan secara mutlak.
Dilihat melalui lensa Anderson, “asal bapak senang” lebih dari sekadar kepatuhan pasif: ia menunjukkan bagaimana individu menafsirkan, merespons, dan mempertahankan kekuasaan hierarkis. Ia mencerminkan sifat interaktif, performatif, dan sarat moral dari otoritas dalam masyarakat Jawa, dimana legitimasi bergantung pada persepsi, penghormatan, dan pemeliharaan keseimbangan sosial serta moral. Dengan kata lain, ungkapan ini mewakili logika kuno dimana menyenangkan mereka yang berada di atas adalah strategi pragmatis sekaligus tindakan yang diakui budaya, menghubungkan perilaku individu dengan struktur sosial dan kosmis yang lebih luas.

[Bagian 4]
[Bagian 2]