Sabtu, 02 Maret 2024

Cerita Kembang Senduro: Ketika Rakyat Angkat Bicara (1)

"Seorang investor yang putus asa, menelepon penasihat keuangannya.
'Jadi, duit gua, bener-bener habis semua?' ratapnya.
'Enggaaak, enggak,' jawab sang penasihat dengan tenang. 'Cuman dibawa orang lain kok!''

“Demokrasi memberikan hak bersuara kepada ‘rakyat’, mengikutsertakan ‘seluruh’ rakyat dan memberikan dasar pemikiran ‘rakyat’ terhadap permasalahan yang mereka tetapkan, akan tetapi, praduga tentang demokrasi ini, acapkali tak terungkapkan,” berkata kembang Senduro sembari mengamati lukisan La LibertĂ© guidant le peuple karya Eugène Delacroix—Revolusi Juli 1830, yang menggulingkan Raja Charles X—usai menyapa dengan Basmalah dan Salam. Kembang senduro, anaphalis javanica, atau edelweis jawa, dikenal dengan sebutan bunga abadi, senduro dalam bahasa Jawa, tanalayu (tak pernah layu) di kalangan masyarakat Tengger, populer di kalangan wisatawan dan bunga keringnya sering dijual sebagai suvenir. Tanaman ini telah dilindungi undang-undang Indonesia sejak tahun 1990.

“Rakyat berhak mempengaruhi struktur politik dan sosial," lanjut Senduro. "Ketika rakyat angkat bicara, mereka dapat menggeser kekuasaan dan menemukan jalur baru untuk mencapai masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Musyawarah dan mufakat publik, biasanya akan menghasilkan pertimbangan atas pilihan terbaik. Untuk mencapai hal ini, diperlukan warga negara yang berpengetahuan luas, yang akses terhadap informasi memungkinkan mereka berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan publik di masyarakatnya dan mengkritik kebijakan pemerintah yang tak berimbang. Demokrasi bergantung pada akses seluas-luasnya terhadap gagasan, data, dan opini yang tak diblokade. Rakyat hendaknya diperbolehkan mengekspresikan dirinya, secara terbuka, umum, dan berulang-ulang; baik secara tertulis maupun lisan.
Kebebasan berbicara—kendati tak mutlak sebab tak boleh digunakan untuk, semisal, membenarkan kekerasan, fitnah, pencemaran nama baik, subversi, atau ketidaksenonohan—merupakan hak fundamental. Masyarakat sipil memungkinkan terjadinya semangat debat di antara mereka yang berbeda pendapat mengenai beberapa isu. Protes berfungsi sebagai ajang pengujian bagi demokrasi mana pun, oleh karenanya, hak berkumpul dengan damai, sangatlah penting dan memainkan peran integral dalam memfasilitasi penggunaan kebebasan berbicara.

Menurut Vincent Blasi, sebagai cita-cita, kebebasan berpikir dan kebebasan berbicara berakar pada catatan sejarawan Herodotus dan Thucydides yang menjelaskan kekhasan Athena abad kelima, dalam pencarian Socrates akan kejelasan filosofis dan apresiasi terhadap batas-batas pemahaman, dalam karya Euripides. perayaan partisipasi politik dan pengakuan Aristoteles atas kekuatan opini publik, dalam upaya para humanis Renaisans seperti Petrarch dan Erasmus membebaskan penalaran moral dari formalisme skolastik, dalam nasihat Machiavelli tentang pemerintahan yang bijak, dalam gagasan tentang hati nurani yang bebas dan kewajiban ingin tahu yang diperkenalkan oleh Reformasi Protestan, dan dalam sistematisasi metode ilmiah dalam pencarian pengetahuan terbuka. Namun, karena menganggap kebebasan berbicara dan pers sebagai prinsip pembatas mendasar dalam pemerintahan, argumen paling awal yang terus dibaca hingga saat ini adalah Areopagitica karya John Milton yang diterbitkan pada tahun 1644. Dalam polemik tersebut, penyair besar Paradise Lost menyusun serangkaian argumen yang memusingkan nalar dan karakterisasi yang memuji kajian individu yang berani dan pemahaman kolektif yang dinamis.

Bab dua dari On Liberty karya John Stuart Mill—‘On the Liberty of Thought and Discussion’—merupakan pembelaan kebebasan berbicara yang paling kondang dalam kanon filosofis. Argumen Mill tentang kebebasan berdiskusi mengacu pada konsepsinya tentang manusia dan tempatnya di dunia. Manusia, menurut Mill, sepenuhnya merupakan bagian dari tatanan alam—dengan demikian, pikiran dan tubuh manusia, sepenuhnya diatur menurut hukum yang ditemukan oleh kajian ilmiah. Pandangan bahwa pikiran bekerja sesuai dengan hukum alam mengarah pada pandangan bahwa satu-satunya cara kita berinteraksi dengan dunia adalah interaksi sebab-akibat. Sejauh kita mampu mengenal dunia, klaim Mill, kita hanya bisa melakukannya dengan bersikap reseptif terhadap dunia secara kausal. Dengan demikian, kemungkinan adanya pengetahuan substantif a priori menjadi tertutup, karena semua penerimaan terhadap dunia terjadi melalui indera.
Keterlibatan kita terhadap dunia, dengan kata lain, merupakan hal yang masuk akal. Boleh jadi, kita bisa membayangkan makhluk yang mampu mengetahui unsur-unsur dunia melalui wawasan langsung dan tanpa perantara. Makhluk seperti ini, akan mengetahui keadaan tanpa terpengaruh. Tapi kita bukanlah mereka. Kita dapat mengetahui dunia melalui tindakan refleksi murni hanya 'jika kita dapat mengetahui secara apriori bahwa kita pasti diciptakan mampu memahami apa pun yang mampu ada: bahwa semesta pemikiran dan realitas, Mikrokosmos dan Makrokosmos (sebagaimana pernah disebut demikian) pasti dibingkai dalam korespondensi yang lengkap'. 'Asumsi yang lebih lemah dari bukti hampir tak dapat dibuat'. Bagi kita, 'tiada pengetahuan yang dapat dikenali oleh cahaya akal'. Sebagai makhluk alami, pengetahuan kita tentang bagaimana segala sesuatunya dipunyai, pada dasarnya cara-cara interaksi dengan dunia yang sepenuhnya alami.
Mill menyatakan bahwa tak boleh ada campur tangan dalam pembahasan pendapat apapun. Kekhawatiran Mill bukan hanya pada campur tangan negara, melainkan pula masyarakat luas. Menurut Mill, 'Masyarakat dapat dan memang melaksanakan mandatnya sendiri. [...] Oleh sebab itu, perlindungan terhadap tirani hakim saja tak cukup; diperlukan pula perlindungan terhadap tirani opini dan perasaan yang ada; menentang kecenderungan masyarakat menerapkan, melalui cara lain selain hukuman perdata, gagasan dan praktiknya sendiri sebagai aturan perilaku terhadap mereka yang berbeda pendapat.'

Mill dengan jelas menyatakan bahwa kita berhak membentuk opini tentang orang lain berdasarkan perilaku dan pandangan mereka, dan bertindak berdasarkan opini tersebut—hal ini bukan merupakan campur tangan terhadap kebebasan mereka, namun hanya merupakan penerapan sah dari kebebasan kita sendiri, 'Meskipun tak melakukan apa pun yang salah terhadap siapa pun, seseorang mungkin bertindak sedemikian rupa sehingga memaksa kita menghakiminya, dan menganggapnya sebagai orang bodoh, atau sebagai makhluk yang lebih rendah. [...] Kita juga mempunyai hak, dalam beragam cara, bertindak berdasarkan opini kita yang tak menyenangkan terhadap siapa pun, bukan dengan menindas individualitasnya, melainkan dalam menjalankan opini kita. Memang benar, kita berhak berusaha membujuk seseorang, yaitu, tak mengungkapkan pandangan tertentu—'menyanggahnya, atau bertukar pikiran dengannya, atau membujuknya, atau memintanya'—atau sekadar menghindari seseorang jika kita mau: 'Kita tak terikat, misalnya, untuk mencari masyarakatnya; kita punya hak untuk menghindarinya [...] karena kita punya hak untuk memilih masyarakat yang paling bisa kita terima. Kita berhak, dan mungkin merupakan kewajiban kita, memperingatkan orang lain agar tak melakukan hal yang sama, jika menurut kita teladan atau percakapannya, akan berdampak buruk pada orang-orang yang bergaul dengannya.’
Mill mengkaji nilai kebebasan berpikir dan berdiskusi berdasarkan tiga asumsi berbeda: (1) bahwa opini yang diterima namun ditentang oleh ucapan dalam permasalahan adalah salah; (2) bahwa pendapat yang diterima adalah benar; dan (3) bahwa ‘doktrin-doktrin yang saling bertentangan, bukannya yang satu benar dan yang lainnya salah, namun justru berbagi kebenaran di antara keduanya; dan pendapat yang tak sesuai diperlukan untuk melengkapi kebenaran lainnya, yang mana doktrin yang diterima hanya merupakan sebagian saja’. Ia memberikan alasan yang kuat mengapa pemikiran dan diskusi yang tak diatur, sangat bermanfaat berdasarkan ketiga asumsi tersebut.

Menurut Frederick Schauer, apa yang sekarang kita pandang sebagai 'freedom of speech' atau kebebasan berbicara, dapat diidentifikasi sejak abad keenam SM di Athena, asal usul frasa 'freedom of speech' dalam bahasa Inggris, berasal dari akhir abad kelima belas atau awal abad keenam belas, dan kemudian dikristalisasi dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia di Inggris pada tahun 1689. Namun dalam undang-undang hak asasi manusia ini, frasa 'freedom of speech' merujuk secara sempit dan spesifik pada kekebalan anggota parlemen dari sanksi atas apa yang mereka ucapkan di lantai parlemen dan bukan sesuatu yang lebih komprehensif. Baru setelah itu, frasa tersebut bermakna yang lebih modern. Pergeseran ini dapat ditelusuri secara kasar pada awal abad ke-18, dan sejak saat itu, frasa tersebut tampaknya telah menyimpang dari landasan awal imunitas parlementer, dengan 'freedom of speech' menjadi lebih umum dipahami merujuk pada hak warga negara dan tak semata terhadap kekebalan anggota parlemen.
Yang cukup penting, konsepsi yang lebih luas tentang hak (sebagian) warga negara akan bebas berbicara (mengenai topik tertentu, di beberapa tempat) tanpa rasa takut terhadap sanksi tertentu, mulai digunakan secara luas di seluruh Kerajaan Inggris, dan dengan demikian frasa 'freedom of speech' mulai diterapkan. masuk ke dalam bahasa umum, keputusan pengadilan, wacana politik, dan konstitusi di beberapa koloni Amerika Utara, seperti konstitusi Pennsylvania tahun 1776, yang dalam Pasal XII menyatakan bahwa 'the people have a right to freedom of speech, and of writing, and publishing their sentiments; therefore the freedom of the press ought not to be restrained' [rakyat berhak atas kebebasan berbicara maupun menulis, dan mempublikasikan sentimen mereka; oleh karenanya, kebebasan pers tak boleh dibatasi]. Pada tahun 1791, frasa tersebut telah digunakan secara luas, dan frasa inilah yang diabadikan dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat.

Lantas, mengapa membela kebebasan berbicara? Beberapa pihak berpendapat bahwa kebebasan berbicara sangat penting bagi self-government (pemerintahan suatu negara oleh rakyatnya sendiri, terutama setelah negara tersebut mengalami penjajahan). Warga negara hendaknya punya akses terhadap informasi agar dapat menjalankan haknya secara cerdas dan menjaga akuntabilitas perwakilan terpilihnya. Yang lain berpendapat bahwa kebebasan berpendapat seyogyanya dibela, lantaran merupakan aspek sentral dari otonomi pribadi dan realisasi diri. Beberapa pihak, khususnya di komunitas internasional, membela kebebasan berpendapat sebagai aspek penting dari martabat individu.
Namun, alasan tertua yang mendukung kebebasan berbicara adalah pembenaran ‘pencarian kebenaran’. Berdasarkan pemikiran ini, melindungi kebebasan berbicara membangun pasar gagasan dimana kebenaran pada akhirnya menang atas kelancungan. Oleh karenanya, berbicara tak boleh dibatasi, sebab akan menghambat pencarian kebenaran.
Meskipun sudah ada sejak lama, pembenaran kebenaran terus-menerus mendapat serangan dari berbagai pihak, sehingga setidaknya seorang komentator menggambarkannya sebagai hal yang ‘semakin melemah’. Lebih jauh lagi, dan mungkin terkait, gagasan tentang kebenaran itu sendiri juga tampaknya telah menjadi sebuah konsep yang semakin tak relevan di dunia yang semakin terpolarisasi. Bahwa sebagian orang masih menganggap pencarian kebenaran sebagai pembenaran utama bagi kebebasan berekspresi mungkin dianggap oleh sebagian lain sebagai tindakan yang salah arah dan naif. Namun, pembenaran kebenaran punya defendernya sendiri. Konsep kebenaran telah lama menguasai imajinasi manusia, dan kekuatan penjelasan kebenaran sebagai pedoman perilaku manusia terus bergema.

Walau frasa ‘freedom of speech’ kini tersebar luas, khususnya di negara-negara dengan warisan bahasa Inggris, terdapat kekhawatiran yang berkembang bahwa mengaitkan 'freedom' dengan kata ‘speech’ merupakan hal yang terlalu sempit. Sekalipun kita memahami 'speech' mencakup kata-kata tertulis (dan cetakan) serta kata-kata yang diucapkan, mungkin bertentangan dengan penggunaan abad kedelapan belas, tetap saja membatasi kebebasan berbicara pada kata-kata atau bahasa, baik lisan, tertulis maupun cetak, masih sangat kurang inklusif. Kebanyakan negara demokrasi liberal kini memahami hak yang memasukkan berbagai bentuk pidato publik dan protes publik, yang bersifat simbolik dan komunikatif namun non-linguistik, termasuk berbaris, berarak, berparade, membawa tanda, memakai ban lengan, mengibarkan bendera, membakar bendera, membakar patung, dan banyak lagi yang bersifat non-linguistik, tiada satu pun aktivitas yang dapat digambarkan sebagai 'speech' dalam makna kata tersebut dalam bahasa Inggris pada umumnya.
Menanggapi potensi sempitnya kata 'speech', banyak para perancang konstitusi modern dan dokumen hak asasi manusia telah menggantinya dengan 'expression'—sebuah kata yang sepertinya cukup luas guna mencakup beragam bentuk komunikasi non-linguistik. Maka kita menyaksikan 'freedom of expression' dilindungi dalam pasal 5 the German Basic Law, pasal 10 the European Convention on Human Rights (ECHR), pasal 19 the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), di bagian 2 the Canadian Charter of Rights and Freedoms, dalam banyak instrumen hukum dan dokumen hak asasi manusia lainnya, serta dalam sebagian besar literatur internasional dan filosofis kontemporer mengenai topik ini.

Apa hubungan penting antara Kebebasan Berekspresi dan Demokrasi? Ashutosh Bhagwat dan James Weinstein merujuk Kebebasan Berekspresi meliputi kebebasan berbicara, kebebasan pers, hak mengajukan petisi kepada pemerintah, dan kebebasan berserikat politik. Demokrasi kontemporer mempunyai banyak ragam, yang masing-masing diwarnai oleh budaya dan sejarahnya sendiri. Terlepas dari perbedaan-perbedaan ini, kesamaan yang ada di semua negara demokrasi kontemporer adalah komitmen praktis, meski tak selalu formal, terhadap kedaulatan rakyat—suatu keadaan dimana rakyat punya kendali penuh atas pemerintah mereka. Prinsip dasar lain dari setiap demokrasi kontemporer adalah kesetaraan politik formal bagi setiap warga negara. Komponen penting dari kedua norma dasar demokrasi ini, adalah kebebasan berekspresi politik. Meskipun sebagian besar tumpang tindih, ekspresi yang melekat dalam kedua norma dasar demokrasi ini punya beberapa ciri berbeda.
Ekspresi politik merupakan komponen penting dari kedaulatan rakyat. Ia mensyaratkan bahwa ‘kekuasaan politik tertinggi berada di tangan masyarakat luas, bahwa rakyat sebagai suatu badan memiliki kedaulatan, dan bahwa mereka, baik secara langsung atau melalui wakil-wakil mereka yang dipilih, benar-benar mengendalikan jalannya pemerintahan’. Cara yang paling jelas dan langsung bagi masyarakat agar menjalankan kendali atas pemerintahannya adalah melalui pemungutan suara, baik dengan memilih wakil-wakilnya, atau dengan memberikan suara secara langsung terhadap undang-undang atau kebijakan melalui pemungutan suara seperti referendum, inisiatif, dan penarikan kembali. Karena hak memilih sangat penting bagi kendali rakyat atas pemerintahan, masyarakat yang sama sekali tak punya hak pilih, jelas bukan negara demokrasi. Namun, keterusterangan kontrol ini, cenderung mengaburkan prasyarat yang tak terlalu langsung namun sama pentingnya dalam demokrasi modern: hak rakyat untuk berbicara secara bebas mengenai keputusan kolektif dalam lingkup kedaulatan tertinggi rakyat, yaitu mengenai persoalan yang berkaitan dengan perhatian publik.

Mekanisme utama yang digunakan kebebasan berekspresi dalam negara demokrasi guna mengendalikan pemerintahan ialah opini publik. Dalam demokrasi perwakilan, opini publik tak semata mempengaruhi siapa yang terpilih untuk memerintah, namun juga mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh para wakil rakyat di setiap pemilu. Kendati pemilu merupakan ‘mekanisme yang terputus-putus’, opini publik ‘selalu aktif’. Tatkala masyarakat secara langsung membuat undang-undang atau kebijakan melalui pemungutan suara ketimbang secara tak langsung melalui perwakilan mereka, opini publik akan cenderung berdampak langsung yang lebih besar terhadap hasilnya.
Hak rakyat berbicara secara bebas mengenai masalah-masalah yang menjadi perhatian publik, pada gilirannya, penting guna terbentuknya opini publik yang digunakan oleh rakyat mengendalikan pemerintah. Mengapa? Sebab propaganda pemerintah dan pernyataan pejabat pemerintah mempengaruhi pula opini publik. Jika rakyat tak boleh dengan bebas mengekspresikan pandangannya mengenai masalah-masalah publik, maka opini publik akan mencerminkan pandangan para pejabat pemerintah, dan dengan demikian, menjadi alat kontrol rakyat terhadap pemerintah yang tak efektif.
Ekspresi politik merupakan komponen penting dalam kesetaraan politik formal. Pedoman dasar dari Enlightenment philosophy adalah bahwa setiap orang punya nilai moral yang sama. Terdapat konsensus yang jelas di antara negara-negara demokrasi kontemporer bahwa penghormatan terhadap kesetaraan nilai moral setiap individu memerlukan setidaknya, kesetaraan politik formal. Komitmen ini mencakup hak formal (atau prosedural) atas partisipasi yang setara dalam proses politik. Seperti yang dijelaskan Robert Dahl, 'Proses demokrasi pada umumnya diyakini dapat dibenarkan atas dasar bahwa masyarakat berhak untuk berpartisipasi secara setara secara politik dalam pengambilan keputusan yang mengikat, yang dilaksanakan oleh negara, mengenai hal-hal yang mempunyai konsekuensi penting bagi individu dan kepentingan kolektif mereka.'
Seperti halnya kedaulatan rakyat, perwujudan paling nyata dari komitmen terhadap kesetaraan politik adalah nyoblos. Kesetaraan politik formal juga mencakup hak setiap orang agar berkontribusi terhadap opini publik dengan secara bebas mengekspresikan pandangan mereka mengenai masalah-masalah yang menjadi perhatian publik. Oleh sebab itu, ekspresi yang dilindungi oleh hak ini, sangat terkait dengan pembentukan opini publik, dan dengan demikian, sebagian besar saling melengkapi dengan kebebasan berekspresi yang berasal dari kedaulatan rakyat.

Dalam setiap demokrasi kontemporer, kebebasan berekspresi mendukung dua tujuan utama demokrasi yang mencerminkan komitmen bersama terhadap kedaulatan rakyat dan kesetaraan politik formal: warga negara yang terinformasi dan legitimasi politik. Pentingnya fungsi informasi kebebasan berekspresi dalam demokrasi kontemporer ditegaskan dalam Pasal 10 the European Convention of Human Rights, yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi harus mencakup kebebasan 'menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan tanpa campur tangan otoritas publik'. Fungsi kebebasan berbicara yang demokratis dan penting ini, dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) ekspresi yang memberikan informasi kepada para pemilih sehingga masyarakat dapat ‘memilih keputusan yang bijak’; (2) ekspresi yang memberikan informasi kepada pembicara agar mereka dapat berpartisipasi secara sadar dalam wacana publik; dan (3) ekspresi yang menginformasikan pandangan para pemilih kepada perwakilan.
Pentingnya kebebasan berekspresi bagi para pemilih yang memiliki informasi merupakan salah satu pembenaran yang paling sering digunakan untuk kebebasan berekspresi, baik demokratis maupun lainnya. Hal ini meupakan tema sentral.
Fungsi inti demokrasi lainnya yang dijalankan oleh kebebasan berekspresi adalah peningkatan legitimasi politik. Meski tak terlalu sering ditekankan, fungsi ini bisa dibilang sama pentingnya bagi demokrasi dengan fungsi pemberi informasi.

Setelah kita mengetahui latar belakang singkat tentang Kebebasan Berekspresi, pada sesi berikut kita akan membicarakan isu-isu tentangnya. Bi 'idznillah."
Sebelum masuk ke sesi berikutnya, Senduro berdendang,

Life indeed can be fun
[Hidup sesungguhnya bisa menyenangkan]
if you really want to
[Jika dikau memang menginginkannya]
Sometimes living out your dreams
[Terkadang mewujudkan impianmu]
ain't as easy as it seems
[tak semudah penampakannya]
You wanna fly around the world
[Dikau kan terbang berkeliling dunia]
in a beautiful balloon
[dengan balon nan indah]
Life, oh life *)
[Hidup, duhai hidup]
Kutipan & Rujukan:
- Adrienne Stone & Frederick Schauer (Eds.), The Oxford Handbook of Freedom of Speech, 2021, Oxford University Press
- David Bromwich & George Kateb (Eds.), On Liberty John Stuart Mill, 2003, Yale University Press
*) "Life" karya Des'ree Weekes & Prince Sampson