'Kira-kira, maksudnya apa ya?' tanya arkeolog pertama.'Hmm. Bisa jadi, itu nomer SIM orang yang nabrak doi,' tanggap yang satunya.""Konon, Prabu Baka punya seorang putri nan ayu, perawan ramping Rara Jonggrang. Saking eloknya sang rara, banyak prabu muda yang meleleh, atau paling enggak, jadi bolot, namun semuanya ditolak," berkata Senduro mengamati arca bersosok wanita langsing, penakluk Mahishasura, Durga Mahisashuramardini. Konon, wajah Durga bercirikan Siwa. Pintalan rambutnya dari kelamnya Yama. Delapan lengannya berhiaskan kankana dari jagad raya Wisnu. Dadanya yang membusung bergenre Candra. Lambung dan pinggulnya yang berkacidama, berkonturkan Surya. Lentik jemarinya terkonfigurasi dari Wasu. Giginya tertata oleh Usha. Sedangkan hembusan Bayu, menumbuhkan telinga berkundalanya. Arca Mahisashuramardini dapat dikau temukan di ruang sel utara Candi Siwa, candi utama Prambanan."Sementara itu, Prabu Damar Maya, raja kerajaan Pengging, hendak merebut kerajaan Baka dan menjadikannya koloni. Mengexercise politik dinasti, ia mengutus putranya, Bandung Bondowoso, menyerang dan membunuh Prabu Baka.Sang pangeran terpikat oleh kecantikan Rara Jonggrang. Ia melamar sang putri dan akhirnya sang roro bersedia dipersunting dengan dua syarat, pertama, Bandung Bondowoso harus membangun sumur Jalatunda. Kedua, ia kudu mendirikan seribu candi dalam semalam.Dengan 'politik tong daging-babi', Bandung Bondowoso berhasil membangun Jalatunda. Dan, dengan bantuan 'Sirekap', Bandung Bondowoso telah berjaya mendirikan 999 candi—namun sejarah menemukan bahwa cuma ada 249 candi, memang sih, masih bersisa satu guna menggenapkan.Menurut Patih Gudapala, pembangunan Jalatunda dan candi menyalahi aturan: terstruktur, sistematis dan masif, namun hal ini disangkal oleh para pencari Komisi.Rara Jonggrang masih nimbang-nimbang ngajuin 'hak angket', tapi mikir-mikir pulak soal penyakit yang namanya sindroma 'masuk-angin'. Di luar istana, rakyat kerajaan Baka, menggelar aksi protes 'tolak pembangunan curang 1000 candi'. Mereka mendukung hak angket yang sedang ditakar oleh Rara Jonggrang; dan tentu, aksi tandingan menghadang, pola yang sama setiap kali ada gerakan protes.Adakah 'alternate ending' legenda Rara Jonggrang yang biasanya mudah ditebak, gitu-lagi-gitu-lagi? Boring tauk! Kita tunggu tanggal mainnya.Ada banyak sisi dalam setiap cerita. Dengan kata lain, biasanya ada lebih dari satu kebenaran yang bisa diambil dari serangkaian fakta. Ada beragam cara yang benar-benar–bahkan mungkin bersejajaran–menggambarkan seseorang, peristiwa, benda, atau kebijakan.Konsep kebenaran dalam filsafat berawal dari Plato, yang memperingatkan–melalui Socrates–tentang bahaya klaim boong atas pengetahuan. Ketidaktahuan, menurut Socrates, dapat diperbaiki; jika ada yang bodoh, bisa diajari. Ancaman yang lebih besar datang dari mereka yang pongah lantaran mengira bahwa mereka telah mengetahui kebenaran, sebab dengan begitu, mereka mungkin akan amat bernafsu, bertindak berdasarkan kebohongan. Pada titik ini, penting memberikan setidaknya definisi minimal tentang kebenaran. Boleh jadi, yang paling kondang pernyataan Aristoteles, yang mengatakan, 'mengutarakan apa yang bukan, atau itulah adanya apa yang bukan, adalah salah, sedangkan mengutarakan yang itu memang itu, dan dari apa yang bukan memang bukan, adalah benar.'Jika seseorang bersikukuh bahwa kebenaran tak penting, atau kebenaran itu tidak ada, tak banyak yang bisa kita katakan padanya. Tapi seperti itukah sebenarnya fenomena post-truth? Post-truth merupakan suatu bentuk supremasi ideologis, dimana para praktisinya berusaha memaksa seseorang percaya pada sesuatu, baik ada bukti kuat maupun tidak.Maukah kita hidup di dunia dimana kebijakan dibuat berdasarkan apa yang kita rasakan dan bukan seberapa baik kebijakan tersebut akan berjalan dalam kenyataannya? Manusia mungkin terprogram mempercayai takhayul dan ketakutan, namun itu bukan berarti bahwa kita tak dapat melatih diri kita sendiri menerima standar bukti yang lebih baik. Mungkin ada pertanyaan teoritis yang sah mengenai kemampuan kita mengetahui kebenaran obyektif, tapi itu tak berarti bahwa para epistemolog dan ahli teori kritis gak ke dokter disaat mereka sakit. Pemerintah juga tak boleh membangun lebih banyak penjara lantaran mereka 'merasa' bahwa kejahatan sedang meningkat.Jadi apa yang harus dilakukan? Langkah pertama dalam melawan post-truth adalah memahami asal usulnya, kata McIntyre. Bagi beberapa komentator, gagasan kebenaran-baru mungkin tampak muncul begitu saja pada tahun 2016, namun kenyataannya tak demikian. Kata 'post-truth' mungkin semakin meningkat akhir-akhir ini—sebagai akibat dari Brexit dan pemilihan presiden AS—tetapi fenomena itu sendiri berakar yang dalam sejak ribuan tahun yang lalu, yaitu evolusi irasionalitas kognitif yang dimiliki oleh kaum liberal dan kaum konservatif. Ia berakar pula pada perdebatan akademis mengenai ketidakmungkinan kebenaran objektif yang digunakan menyerang otoritas sains. Dan semua ini diperburuk oleh perubahan terkini dalam lanskap media. Dalam ledakan penolakan sains terhadap topik-topik seperti perubahan iklim, vaksin, dan evolusi dalam dua dekade terakhir, kita melihat lahirnya taktik-taktik yang kini digunakan bagi post-truth.Post-truth membayang-bayangi apa yang terjadi pada sains selama beberapa dekade terakhir. Dulunya dihormati karena kewibawaan metodenya, hasil-hasil ilmiah kini dipertanyakan secara terbuka oleh banyak orang yang bukan ahlinya, yang kebetulan tak sependapat dengannya. Penolakan sains dapat dimulai dari agenda ekonomi atau ideologi. Umumnya, dimulai oleh mereka yang merasa dirugikan, dan kemudian dilanjutkan oleh mereka yang terjebak dalam kampanye misinformasi. Kaitan antara kepentingan ekonomi dan politik post-truth, dengan mempertimbangkan bagaimana lobi (dan kebohongan) yang didanai perusahaan mengenai berbagai topik, telah mempengaruhi posisi politik mengenai perubahan iklim, senjata, imigrasi, layanan kesehatan, utang negara, reformasi pemilih, aborsi, dan pernikahan sesama jenis.Taktik yang kita lihat diterapkan di dunia kebenaran-baru, saat ini dipelajari dalam kampanye-kampanye para penyangkal kebenaran sebelumnya, yang ingin melawan konsensus ilmiah, lalu menang. Dan jika seseorang dapat menyangkal fakta mengenai perubahan iklim, mengapa tak menyangkal fakta mengenai tingkat pembunuhan? Jika hubungan antara tembakau dan kanker dapat dikaburkan oleh informasi yang keliru dan keraguan selama puluhan tahun, mengapa tak berharap bahwa hal yang sama juga berlaku bagi isu-isu lain yang ingin dipolitisasi? Inilah strategi yang sama dengan akar yang sama; kini ia semata punya target yang lebih besar, yaitu realitas itu sendiri.Konsep sentral psikologi manusia ialah kita berusaha menghindari ketidaknyamanan psikis. Berpikir buruk tentang diri sendiri bukanlah hal yang menyenangkan. Beberapa psikolog menyebutnya sebagai 'ego defense', namun terlepas dari apakah kita membingkainya dalam paradigma ini atau tidak, konsepnya sudah jelas. Rasanya lebih baik bagi kita berpikir bahwa kitalah orang-orang yang cerdas, berpengetahuan luas, dan cakap ketimbang tidak. Hanya ego terkuat yang bisa bertahan lama di bawah serangan self-criticism: 'Betapa bodohnya diriku! Jawabannya selalu ada di depanku, tapi diriku gak pernah merhatiin. Diriku memang idiot.' Maka, ketegangan seringkali diselesaikan dengan mengubah salah satu keyakinan seseorang.Disposisi atau kecenderungan kognitif yang sistematis dalam pemikiran dan penalaran manusia seringkali tak sesuai dengan prinsip logika, penalaran probabilitas, dan kemasuk-akalan disebut Bias kognitif, dan ia merupakan bagian dari warisan kemanusiaan kita. Kecenderungan intuitif dan bawah sadar ini menjadi dasar penilaian manusia, pengambilan keputusan, dan perilaku yang dihasilkannya. Mengalah pada bias kognitif, terasa seperti berpikir. Namun terutama ketika kita terlibat secara emosional dalam suatu subjek, semua bukti eksperimental menunjukkan bahwa kemampuan kita agar bernalar dengan baik, mungkin akan terpengaruh. Bias kognitif yang melekat pada diri kita, menjadikan kita terbuka untuk dimanipulasi dan dieksploitasi oleh pihak-pihak yang hendak menjejalkan agendanya, terutama jika mereka dapat mendiskreditkan semua sumber informasi lainnya.Jika kita menengok ke belakang sepanjang sejarah, kita menyadari bahwa orang kaya dan berkuasa selalu berkepentingan (dan biasanya sarana) untuk membuat 'rakyat kecil' berpikir apa yang mereka inginkan. Sungguh ironis bahwa Internet, yang memungkinkan akses langsung terhadap informasi yang dapat diandalkan oleh siapa saja yang mau mencarinya, bagi sebagian orang hanya menjadi 'echo chamber'.Kita semua rentan terhadap bias kognitif yang dapat mengarah pada post-truth. Kita tak boleh berasumsi bahwa post-truth hanya muncul dari orang lain, atau bahwa akibat dari post-truth adalah masalah orang lain. Di era kebenaran-baru, kita harus menantang setiap upaya mengaburkan masalah faktual dan menantang kebohongan sebelum dibiarkan berkembang biak.Seseorang hendaklah selalu melawan kebohongan. Kita tak boleh berasumsi bahwa klaim apa pun 'amat dahsyat bisa dipercaya'. Kebohongan disampaikan karena orang yang menceritakannya mengira ada kemungkinan seseorang akan mempercayainya. Kita mungkin berharap bahwa pendengar cukup berakal-sehat agar tak mempercayainya, namun di zaman manipulasi partisan dan fragmentasi sumber informasi kita, yang memanfaatkan alasan motivasi kita, kita tak lagi berhak atas asumsi tersebut. Maksud menantang kebohongan bukanlah untuk meyakinkan si pembohong, yang mungkin sudah terlalu jauh mencapai tujuan kelamnya agar dapat diperbaiki. Namun karena setiap kebohongan mempunyai audiens, mungkin masih ada waktu untuk berbuat baik bagi orang lain.Keputusan kitalah bagaimana kita akan bereaksi terhadap dunia dimana seseorang berusaha menghalangi pandangan kita. Truth still matters, as it always has. Apakah pada waktunya kita tersadar, itu terserah kita.Jika kita berhasrat mengetahui kebenaran, dapat diasumsikan bahwa yang paling kita perlukan adalah metode penelitian atau seperangkat aturan guna menetapkan fakta. Sejarah gagasan tak kekurangan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur seperti itu, baik penalaran deduktif Descartes, metode ilmiah Bacon, studi kitab suci maupun pencapaian wawasan melalui disiplin meditasi dan konsentrasi. Sejarah kita menunjukkan bahwa yang lebih penting dari semua ini adalah suatu sikap (attitude). Menetapkan kebenaran memerlukan ‘kebajikan epistemik’ seperti kesantunan, skeptisisme, keterbukaan terhadap perspektif lain, semangat keingintahuan kolektif, kesiapan menghadapi kekuasaan, keinginan membangun kebenaran yang lebih baik, kemauan mengarahkan moral kita dipandu oleh fakta.Kebenaran ada bila kita bersedia mencarinya walau ia tak jelas atau sederhana. Kita cenderung menganggap kebenaran seperti kerikil berkilau: keras, tak dapat diubah, ditetapkan dengan jelas, terkumpul dalam pikiran seolah-olah itulah sejenis taman batu. Kebenaran sebenarnya lebih seperti sebuah taman nyata, sebuah sistem organik dan holistik dimana segala sesuatunya berhubungan dengan segala sesuatu yang lain. Meskipun beberapa fitur bersifat permanen, fitur lainnya tumbuh, berubah, atau mati. Dan seperti sebuah taman, kebenaran perlu dirawat, jika tidak, kebenaran akan ditumbuhi mitos, distorsi, kesalahpahaman dan kebohongan.Ada sepuluh tipe kebenaran menurut Julian Baggini. Kebenaran Abadi: proposisi umum dan tertentu, yang bergantung pada kesesuaian atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam ide-ide abstrak. Kebenaran otoritatif: otoritas biasanya bertumpu pada suatu klaim keahlian, klaim sebagai semacam keahlian spiritual, yang diwujudkan dalam mukjizat dan kewaskitaannya. Kebenaran esoteris: pengetahuan yang berada di luar dan tak bergantung pada pengalaman seseorang serta dapat diapresiasi atau dipahami sepenuhnya oleh siapa pun (berkaitan dengan akal sehat), berbeda dengan pengetahuan esoteris (dipahami atau diapresiasi oleh sedikit orang). Namun terkadang, tujuannya tak lebih dari kepentingan pribadi. Kebenaran beralasan: kebenaran berdasarkan logika dan deduksi. Kebenaran empiris: kesesuaian yang tepat seperti yang dipelajari melalui observasi atau eksperimen antara penilaian atau proposisi dan hal-hal yang ada secara eksternal dalam status dan hubungan aktualnya. Kebenaran kreatif: dikau dapat membuat sesuatu menjadi kenyataan hanya dengan mengatakan bahwa hal tersebut bagi banyak orang dianggap sebagai omong kosong yang dibawa oleh dunia post-truth. Kreativitas membutuhkan imajinasi tetapi untuk menciptakan kebenaran baru, imajinasi saja tidak cukup. Menjadi ‘kreatif dengan kebenaran’ tak lebih dari sebuah eufemisme karena tak mengatakan kebenaran sama sekali. Namun karena kebenaran memang bisa diciptakan–terkadang hanya dengan mengatakan hal yang benar pada waktu yang tepat–tidak selalu mudah membedakan siapa yang membangun kebenaran dan siapa yang secara kreatif menyembunyikan atau menodainya. Memang benar, terkadang ada area abu-abu di antara keduanya, yang dieksploitasi oleh para penyembunyi. Kebenaran relatif: bersyarat, subjektif, bervariasi dan kontradiktif, sehingga mampu berubah seiring berjalannya waktu. Kebenaran yang kuat: terhubung dalam hubungan sirkular dengan sistem kekuasaan yang menghasilkan dan mempertahankannya, serta dengan dampak kekuasaan yang dihasilkan dan diperluas. Kebenaran tak lebih dari sekedar penggunaan kekuasaan. Kebenaran moral: ketika pernyataan moral secara akurat sesuai dengan kenyataan. Kebenaran holistik: ketika dirimu dapat berbicara secara konsisten tentang kebenaran suatu model (yaitu, ketika engkau berada dalam sistem formal yang lebih kuat), kebenaran tersebut tak hanya bergantung pada substrukturnya, namun pada keseluruhan struktur tempatmu berada.Pembelaan kebenaran seringkali berbentuk pertarungan untuk mempertahankan kebenaran tertentu yang memecah belah kita. Ia terkadang diperlukan, namun seperti yang disiratkan oleh metafora militer, ia justru memicu antagonisme. Upaya pemersatu yang lebih besar adalah mempertahankan nilai-nilai bersama yang kita tempatkan pada kebenaran, kebajikan-kebajikan yang menuntun kita menuju kebenaran, dan prinsip-prinsip yang membantu kita mengidentifikasinya. Mereka yang mendukung hal ini, sedang membuka pintu, sebab pada akhirnya kita semua menyadari bahwa kebenaran bukanlah abstraksi filosofis. Melainkan, ia penting dalam cara kita menjalani dan memahami diri kita sendiri, dunia, dan orang lain, hari demi hari. Dan pada puncaknya, semuanya berpulang kembali pada 'Values.'Pada sesi berikutnya, kita akan teruskan topik ini dan topik lainnya. Bi 'idznillah."Seperti biasa, sebelum bergeser ke episode selanjutnya, Senduro bersenandung,In my mind, in my head,[Dalam benakku, dalam kepalaku,]this is where we all came from[dari sinilah kita semua berasal]The dreams we had, the love we shared,[Impian yang kita miliki, cinta yang kita bagi,]this is what we're waiting for *)[inilah yang kita nantikan]
Kutipan & Rujukan:
- Julian Baggini, A Short History of Truth, 2017, Quercus
- Hector Macdonald, Truth: How the Many Sides to Every Story Shape Our Reality, 2018, Hachette
- Matthew d’Ancona, Post-Truth: The New War on Truth and How to Fight Back, 2017, Penguin
- James Ball, Post-Truth: How Bullshit Conquered the World, 2017, Biteback Publishing
*) "In My Mind" written by Georgina Kingsley, Ivan Gough, Robert Conley, Aden Forte & Joshua Soon