Rabu, 27 Maret 2024

Ramadan Mubarak (13)

“Sepasang suami istri sedang duduk kalem di sebuah kedai kopi. Sang suami memperhatikan pasangan paruh-baya di seberang kedai. Ia menunjuk ke arah mereka dan berkata kepada istrinya dengan kata-kata renungan, 'Itulah kita sepuluh tahun lagi.'
Istrinya mendongak, tertawa, menundukkan kepalanya kembali, dan berkata, 'Itulah kita sekarang karena yang papa lihat itu, pantulan bayangan kita.'"

“Ada sekitar 50 negara di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, meski jumlah pastinya bisa berbeda-beda tergantung sumbernya,” ucap Yasmin saat melintas di depan Masjid Istiqlal, Jakarta. Perkataan Arab 'Istiqlal', bermakna 'kemerdekaan', dibangun dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia, dibuka untuk umum pada tanggal 22 Februari 1978, menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara dan terbesar kesembilan di dunia dalam hal kapasitas jemaah.

“Yang namanya Arab Spring pada tahun 2011, yakni serangkaian 'uprising' spontan di beberapa negara terotoriter di dunia, telah meningkatkan minat terhadap persoalan apakah, bagaimana atau kapan gelombang demokratisasi baru akan terjadi, yang berpusat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Perjuangan menggantikan para diktator yang telah terguling di Mesir, Irak, Tunisia dan Libya, telah membangkitkan kembali minat terhadap negara-negara Islam—terutama Indonesia dan Turki—yang langkah-langkahnya menuju demokratisasi relatif berhasil. Semua ini, memunculkan pula intensitas perdebatan yang lebih filosofis mengenai kebersesuaian Islam dan demokrasi. Telah lama menjadi domain para teolog dan beberapa pakar bidang kajian khusus, problem ini benar-benar menjadi perhatian akademik dan politik usai peristiwa 11 September 2001 (juga dikenal 9/11) dan tanggapan Barat yang terjadi setelahnya di Afghanistan dan Irak.
Banyak pakar yang berupaya menemukan korelasi antara Arab Spring dan demokratisasi. Menurut Laurence Whitehead, berdasarkan kesepakatan umum, 'Arab Spring' bisa terjadi pada bulan Januari 2011, ketika protes massal mengakibatkan larinya diktator Tunisia, Zine Abedine Bin Ali, yang tak terduga, sehingga memicu demonstrasi di seluruh wilayah yang dampaknya segera menjatuhkan rezim Mubarak di Mesir, dan destabilisasi penguasa otoriter di Libya, Suriah, dan Yaman, serta menimbulkan dampak politik yang lebih luas di kawasan MENA—Middle East and North Africa (Timur Tengah dan Afrika Utara).
Menurut Sayre dan Yousef, kawasan MENA berada pada titik kritis. Dimulai dengan aksi bakar diri terhadap pedagang kaki lima Mohammed Bouazizi di kota provinsi Sidi Bouzid di pedalaman Tunisia, wilayah MENA telah menyajikan protes jalanan, revolusi, kemajuan demokrasi yang terbatas, keruntuhan politik hingga perang saudara, dan konflik lokal yang mengancam akan melanda seluruh kawasan. Namun, sebelum protes terjadi, kaum muda di wilayah tersebut telah mengalami pengucilan ekonomi dan sosial selama bertahun-tahun. Di wilayah ini, tingkat pengangguran kaum muda tertinggi di dunia selama beberapa dekade sebagai akibat dari kekakuan kelembagaan, sistem pendidikan yang tak mampu memberikan keterampilan yang sesuai, dan 'bulge youth' demografis yang meningkatkan tekanan pasokan pada sistem pendidikan dan pasar tenaga kerja. Tatkala generasi muda ini akhirnya mendapatkan pekerjaan, kekakuan institusional menghalangi mereka melakukan transisi penuh menuju masa dewasa karena hambatan yang timbul dari pasar perkawinan dan perumahan di wilayah tersebut. Faktanya, dalam konteks meningkatnya jumlah pemuda di kawasan ini, dampak negatif tersebut telah berlangsung selama beberapa dekade, dimana kaum muda menghadapi pengucilan secara sosial, ekonomi, dan politik. Mulai bulan Desember 2010, rasa frustrasi yang timbul akibat pengucilan ini, nampak semakin meningkat, dan kaum muda di seluruh kawasan telah berada di garis depan dalam kerusuhan sosial yang dengan cepat dijuluki Arab Spring.

John L. Esposito [dkk] menulis bahwa banyak pengamat Barat terkejut ketika negara-negara Arab mulai melakukan pemberontakan terbuka terhadap pemerintah mereka pada bulan Desember 2010. Pemerintahan otoriter telah menjadi kenyataan sejak lama sehingga ada yang menganggapnya sebagai, jika bukan bentuk pilihan di antara mereka, setidaknya kenyataan yang diharapkan dan diterima. Beberapa analis berpendapat bahwa pemberontakan yang nampak terjadi secara spontan ini, merupakan dampak tak terduga dari tumpuan 'bulge youth'—mayoritas penduduk berusia di bawah 30 tahun, menganggur, dan biasanya, berpendidikan lebih baik dibanding orang tua mereka—dan fasilitas mereka dengan dunia cyber publik yang baru. Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sama dengan negara-negara berkembang lainnya, dengan fakta bahwa mayoritas penduduknya berusia di bawah 30 tahun. Keadaan ini mencerminkan keberhasilan dalam mengurangi angka kematian bayi dan meningkatkan layanan kesehatan secara keseluruhan. Fenomena ini menyebabkan tekanan sosial yang sangat besar di negara-negara yang tak mampu menyediakan kesempatan kerja bagi generasi muda mereka yang bergolak. Pemuda pengangguran di rezim otoriter dapat menjadi kekuatan yang teramat kuat, terutama dalam konteks teknologi media sosial baru yang seringkali dikaitkan dengan generasi muda. Media sosial digital telah memungkinkan terbangunnya ruang publik virtual baru, yang memungkinkan para aktivis mengabaikan larangan pemerintah otoriter terhadap kebebasan berbicara, pers, dan berserikat. Ruang publik virtual menetralkan perbedaan kelas, gender, dan bahkan sektarian, sehingga memungkinkan munculnya aktivisme sosial jenis baru, yang tak memerlukan pemimpin karismatik atau pelopor, hanya jumlah saja. Pada dekade pertama abad ke-21, partisipasi dalam ruang publik virtual ini, mendekati masa kritis.
Tiada transisi yang tak terelakkan dari 'popular uprising'—youth bulge dan media sosial baru atau tidak—menjadi gerakan sosial atau politik yang berkelanjutan. Agar 'uprising' dapat menjadi sebuah gerakan yang berkelanjutan, terdapat banyak prasyarat, termasuk jaringan sosial yang tersebar, bentuk-bentuk aksi kolektif yang lazim, kerangka budaya yang dimiliki bersama secara luas di seluruh populasi, dan peluang politik. Seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kembali kontrol militer, di Mesir dan Suriah, peluang politik masih kurang. Di Libya, patut dipertanyakan apakah ada elemen gerakan sosial yang ada. Bagaimanapun, jumlah pemuda yang turut dalam protes terhadap Presiden terpilih Mesir, Mohammad Morsi, sama banyaknya dengan jumlah pemuda yang terlibat dalam demonstrasi yang mendukungnya, dan dalam milisi Suriah dan Libya. Survei Pew yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hampir dua pertiga warga Mesir lebih menyukai model pemerintahan Saudi dibandingkan model sekuler Turki. Dan, seperti yang ditunjukkan oleh antrean video ISIS, tak semua generasi muda yang paham teknologi, pro-demokrasi.

Seorang pakar hukum Muslim pernah menulis beberapa abad yang lalu tentang Islam dan pemerintahan, memulai risalahnya dengan membedakan tiga jenis sistem politik. Yang pertama, ia gambarkan sebagai sebuah sistem alamiah—semisal keadaan alam yang primitif, sebuah dunia yang tak beradab dan anarkis, dimana kelompok yang teramat berkuasa menindas kelompok lain. Alih-alih hukum, yang ada hanyalah kebiasaan; alih-alih pemerintah, yang ada hanyalah tetua suku yang akan dipatuhi selama mereka tetap menjadi yang terkuat.
Sang pakar kemudian menjelaskan sistem kedua, yang diatur oleh seorang pangeran atau raja yang perkataannya adalah hukum. Karena hukum ditetapkan berdasarkan kehendak penguasa yang sewenang-wenang dan rakyat akan mematuhinya karena kebutuhan atau paksaan, sistem ini pun akan bersifat tiran dan tak terlegitimasi.
Sistem ketiga dan yang terbaik ialah kekhalifahan, yang berdasarkan pada hukum Syari'ah—sebuah kumpulan hukum agama Islam yang didasarkan pada Al-Qur'an dan tindakan serta pernyataan Rasulullah (ﷺ). Menurut para pakar hukum Muslim, hukum Syari'ah memenuhi kriteria keadilan dan legitimasi serta mengikat baik yang diperintah maupun yang memerintah. Karena didasarkan pada supremasi hukum, dan dengan demikian, menghilangkan kesewenang-wenangan terhadap sesama manusia, sistem khilafah dipandang lebih unggul dibanding sistem lainnya. Tapi, pemerintahan seperti apakah kekhalifahan itu, apalagi di zaman modern ini? Apa sih makna istilah tersebut? Dapatkah konsepnya kita interpretasikan dan gunakan saat ini?

Konsep kekhalifahan mempunyai banyak penafsiran dan realisasi yang berbeda-beda selama berabad-abad, namun yang mendasar dari semuanya, bahwa konsep ini menawarkan gagasan kepemimpinan yaitu tentang tatanan masyarakat Muslim yang adil sesuai kehendak Allah. Jabatan tersebut, atau mungkin peran yang lebih akurat, memiliki otoritas berdasarkan kitab suci dan penguasa mana pun mungkin akan dengan senang hati mengikuti suksesi kedua hal tersebut. Tapi apa makna kata itu? Akar bahasa Arab khalafa, asal kata Arab khalīfa, telah dikenal luas, namun seperti banyak kata Arab lainnya, kata ini memiliki beragam padanan. Pada dasarnya bermakna mensukseskan atau mewakili seseorang atau dalam hal ini, untuk Allah. Kata ini digunakan dalam konteks administratif dan sekuler biasa dengan makna tersebut. Namun, seperti banyak ayat dalam Al-Qur’an, makna tepatnya di sini sulit ditentukan. Jelas tak bisa berarti penerus, karena Allah itu kekal dan oleh karenanya, menurut definisinya, tak dapat dimaknai punya penerus, jadi seyogyanya, bermakna wali atau wakil Allah di muka bumi.
Istilah ini sepertinya telah digunakan pada zaman Rasulullah (ﷺ). Ketika beliau (ﷺ) meninggalkan Madinah untuk ekspedisi militer atau karena alasan lain, beliau (ﷺ) akan menunjuk seorang wakil (khalīfa) selama beliau (ﷺ) tak ada. Kita mengetahui nama-nama dari setidaknya beberapa dari mereka dan, anehnya, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang tak dikenal yang tak berperan dalam sejarah institusi tersebut di kemudian hari dan kekuasaan mereka sangat terbatas. Hanya Utsmān, radhiyallahu 'anhu, khalifah ketiga, yang termasuk di antara mereka, dan baik Abū Bakr maupun Umar, radhiyallahu 'anhum, dua khalifah pertama, tak ditunjuk. Namun demikian, mungkin karena penggunaan istilah inilah umat Islam secara alami mengadopsinya pada saat Rasulullah (ﷺ) tiada (secara permanen).

Empat khalifah pertama, Abū Bakar (632–44), Umar bin al-Khattāb (634–44), Utsmān bin Affān (644–56) dan Alī bin Abī Tālib (656–61), digambarkan sebagai Rasyidin. Sumber sejarah memberikan beragam informasi tentang keempat lelaki ini, namun yang pasti, mereka bukanlah raja, mereka dihormati karena kemampuannya dalam menerapkan ajaran Islam. Di era mereka, tiada perbedaan kasta, para Sahabat bebas menyuarakan saran dan pendapatnya.
Ketika khalifah Bani Umayyah yang pertama, Muāwiya ibn Abī Sufyān menjadi khalifah pada tahun 661 hampir secara default. Hugh Kennedy menulis bahwa sebelum Muāwiya meninggal pada tahun 680, ia telah melakukan tindakan yang menimbulkan pertentangan sengit dan membayangi tahun-tahun terakhirnya. Ia memproklamirkan putranya, Yazīd, sebagai ahli warisnya, penggantinya sebagai khalifah. Tampaknya ia mengetahui bahwa penerapan suksesi turun-temurun untuk menentukan kekhalifahan akan menjadi hal yang kontroversial dan ia telah mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dilakukan guna memastikan bahwa bay’at kepada putranya, menimbulkan kontroversi seminimal mungkin.
Dengan demikian, Kekhalifahan Umayyah merupakan dinasti Islam besar pertama yang mulai berkuasa. Bani Umayyah Spanyol adalah dinasti Muslim pertama yang memerintah di Spanyol. Kekhalifahan Abbasiyah merupakan dinasti Islam besar kedua dan salah satu dinasti yang paling lama berkuasa. Samanid adalah dinasti asli Persia pertama yang memerintah Iran setelah runtuhnya kekaisaran Sasanian dan penaklukan Muslim Arab. Seljuk adalah orang Turki yang berasal dari Asia Tengah. Almoravid dan Almohad adalah dinasti Berber yang memerintah Spanyol selatan setelah runtuhnya rezim Umayyah Spanyol pada tahun 1032. Seljuk Rum adalah bagian dari dinasti Seljuk di Iran yang memisahkan diri dan menguasai sebagian besar Anatolia. Ilkhanids didirikan oleh keturunan penakluk Mongol Jenghis Khan. Dinasti Nasrid, berpusat di ibu kota mereka, Granada. Mamluk awalnya merupakan kekuatan militer Turki yang mengabdi pada dinasti Mesir sebelumnya. Kekaisaran Ottoman adalah salah satu dinasti yang bertahan paling lama dalam sejarah dunia. Timurid adalah orang Turki yang menaklukkan sebagian besar Iran Raya dan Asia Tengah. Safawi adalah dinasti Syiah yang garis keturunannya berasal dari seorang mistikus sufi yang penting. Mughal dapat ditelusuri garis keturunannya hingga penguasa Mongol di Iran.

Dalam mendukung supremasi hukum dan pemerintahan terbatas, para cendekiawan Muslim klasik menganut elemen-elemen inti dari praktik demokrasi modern. Namun, pemerintahan terbatas dan supremasi hukum hanyalah dua elemen dalam sistem pemerintahan yang berklaim legitimasi terkuat saat ini. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga suatu negara berkedaulatan, dan—dalam demokrasi perwakilan modern—mengekspresikan kedaulatannya dengan memilih wakil-wakilnya. Dalam demokrasi, rakyat merupakan sumber hukum, dan hukum pada gilirannya menjamin hak-hak dasar yang melindungi ketenteraman dan kepentingan masing-masing anggota kedaulatan.
Bagi Islam, demokrasi merupakan tantangan yang berat. Para pakar hukum Muslim berpendapat bahwa hukum yang dibuat oleh raja yang berdaulat, tidaklah sah lantaran hukum tersebut menggantikan kedaulatan Allah dengan otoritas manusia. Namun hukum yang dibuat oleh warga negara yang berdaulat juga menghadapi masalah legitimasi yang sama. Dalam Islam, Allah-lah Yang berdaulat dan sumber utama hukum yang sah. Lalu, bagaimana konsepsi demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diselaraskan dengan pemahaman Islam tentang Otoritas Allah? Menjawab pertanyaan ini, sangatlah penting namun juga sangat sulit oleh alasan politik dan konseptual. Dari sisi politik, demokrasi menghadapi beberapa kendala praktis di negara-negara Islam—tradisi politik otoriter, sejarah pemerintahan kolonial dan imperial, serta dominasi negara atas perekonomian dan masyarakat.

Banyak umat Islam yang secara aktif turut-serta dalam mendefinisikan demokrasi Islam. Mereka meyakini bahwa proses global kebangkitan agama dan demokratisasi dapat saling melengkapi, dan dalam problema dunia Islam. Dalam sejarah Islam, terdapat sejumlah konsep dan gambaran penting yang membentuk visi kontemporer tentang bagaimana seharusnya masyarakat manusia yang adil. Inilah landasan persepsi Islam terhadap demokrasi.
Dalam perdebatan tradisional dan modern mengenai sifat kekhalifahan, lembaga ini pada dasarnya dipandang dari sudut pandang monarki. Namun, terdapat makna yang sangat berbeda dari istilah ini, yang semakin mendapat perhatian pada paruh kedua abad ke-20. Selain konotasi 'penerus' yang terdapat dalam istilah Arab khalifah, terdapat juga pengertian bahwa khalifah adalah wali, wakil, atau agen. Ada kemungkinan menafsirkan beberapa bagian Al-Quran sebagai mengidentifikasi manusia secara umum sebagai agen Allah (khalifah) di muka bumi, dan pengelolaan manusia atas ciptaan Allah sebagai makna kosmis khilafah yang lebih luas.

Otoritas khilafah diberikan kepada seluruh kelompok masyarakat, secara keseluruhan, yang siap memenuhi syarat-syarat keterwakilan usai menganut prinsip Tauhid. Masyarakat seperti ini memikul tanggung jawab kekhalifahan secara keseluruhan dan masing-masing masyarakat bertanggungjawab terhadap Kekhalifahan Ilahi. Di sinilah titik awal demokrasi dalam Islam. Setiap orang dalam masyarakat Islam, menikmati hak dan kekuasaan kekhalifahan Allah dan dalam hal ini, seluruh individu adalah setara.
Identifikasi 'khalifah' dengan kemanusiaan secara keseluruhan, bukan dengan seorang penguasa atau institusi politik, ditegaskan dalam the Universal Islamic Declaration of Human Rights, sebuah dokumen yang dibuat oleh the Islamic Council of Europe. Dalam kerangka ini, fase pertama dari 'pemenuhan Khilafah sosial-politik' adalah 'pembangunan komunitas insan beriman', sedangkan fase kedua 'adalah mencapai tingkat self-government.' Persepsi 'khalifah' ini menjadi landasan bagi konsep tanggungjawab manusia dan perlawanan terhadap sistem dominasi. Hal ini juga memberikan dasar guna membedakan antara demokrasi dalam istilah Barat dan Islam.

Dalam mempresentasikan demokrasi dalam kerangka konseptual Islam yang luas, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek spesifik dari operasi sosial dan politik. Secara khusus, demokrasi Islam dipandang sebagai penegasan konsep-konsep Islam yang sudah lama ada mengenai musyawarah (syura), konsensus (ijma), dan pertimbangan penafsiran independen (ijtihad).
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik dari prinsip khilafah umat manusia. Kekhalifahan rakyat di negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah-mufakat (syura). Karena seluruh Muslim dewasa yang waras, baik lelaki maupun perempuan, merupakan khalifah (wakil Allah), merekalah yang mendelegasikan wewenangnya kepada penguasa, dan pendapatnya juga harus diminta dalam penyelenggaraan negara. Pentingnya musyawarah sebagai bagian dari sistem pemerintahan Islam telah diakui secara luas.
Konsep operasional yang sama pentingnya ialah konsensus atau ijma. Konsensus telah lama diterima sebagai konsep validasi formal dalam hukum Islam, khususnya di kalangan Muslim Sunni. Konsep operasional ketiga yang sangat penting adalah ijtihad atau pelaksanaan penilaian independen dan berdasarkan informasi. Dalam benak banyak pemikir Muslim, inilah kunci terlaksananya kehendak Allah pada waktu dan tempat tertentu.

Pemerintahan dalam Islam merupakan salah satu bidang sistem Islam. Teori pemerintahan Islam didasarkan pada landasan yang sama, yang mendasari seluruh bidang sistem Islam. Pertama adalah kesatuan umat manusia dalam ras, alam, dan asal usul. Kedua, Islam mempunyai penerapan universal; sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, Allah Maha Berdaulat atas alam semesta, kehidupan dan umat manusia. Ide-ide ini diterapkan bukan semata pada bidang politik melainkan pula pada bidang ekonomi, sosial, intelektual, dan moral dalam sistem Islam. Setelah itu, pemerintahan dalam Islam didasarkan pada keadilan pihak pemerintah, ketaatan pada pihak pemerintah, dan musyawarah antara pemerintah dan yang diperintah. Dari garis dasar yang luas inilah, dicabangkan semua prinsip yang menjadi landasan, bentuk dan hakikat pemerintahan dalam Islam.
Berdasarkan garis besar tersebut, pemerintahan dalam Islam dapat berbentuk atau wujud apa pun. Islam tak memaksakan tipe atau bentuk pemerintahan tertentu. Aturan politik syariah tak menentukan bentuk spesifik yang harus dipatuhi oleh sebuah negara Islam. Dengan demikian, tak cuma ada satu bentuk negara Islam, tapi banyak bentuk, dan umat Islam di setiap periode harus menemukan bentuk yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka, berdasarkan syariat dan sesuai dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, bentuk pemerintahan tak berdampak pada identitas Islam suatu negara. Pemerintahan dalam Islam dapat dilakukan dalam beraneka bentuk guna melaksanakan keadilan dan kesetaraan berdasarkan syariat yang menjadi landasan peraturan perundang-undangan dalam bernegara.
Islam tak berurusan dengan manusia yang abstrak, melainkan dengan manusia yang berjalan dan bernafas di planet ini. Sang Pemberi Hukum mengetahui bahwa urusan manusia tidaklah tetap atau kaku, dan kekakuan bukanlah sifat kehidupan manusia. Keadaan ini memerlukan skema politik yang mampu diwujudkan pada setiap saat dan dalam segala kondisi kehidupan manusia. Jenis dan bentuk pemerintahan haruslah fleksibel dan tergantung pada nalar manusia; sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat; dalam kerangka prinsip-prinsip umum syariah. Semua ini bukan berarti bahwa hukum politik yang muncul dari syariah tak jelas. Hukum politik sangat jelas dan konkrit karena memberikan kita garis besar skema politik yang jelas. Namun justru karena dimaksudkan agar terwujudkan setiap saat dan dalam keadaan apa pun, maka skema tersebut ditawarkan hanya secara garis besar dan tak terperinci. Kebutuhan politik, sosial dan ekonomi manusia, terikat pada waktu, dan oleh karenanya, amat bervariasi.

Pada episode selanjutnya kita akan teruskan dengan organ dan fungsi negara dalam perspektif Islam. Bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- John L. Esposito, Tamara Sonn & John O. Voll, Islam and Democracy after the Arab Spring, 2016, Oxford University Press
- Edward A. Sayre and Tarik M. Yousef, Young Generation Awakening: Economics, Society, and Policy on the Eve of the Arab Spring, 2016, Oxford University Press
- Larbi Sadiki (Ed.), Routledge Handbook of the Arab Spring: Rethinking Democratization, 2015, Routledge
- Edward Schneier, Muslim Democracy: Politics, Religion and Society in Indonesia, Turkey and the Islamic World, 2016, Routledge
- Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy, 2004, Princeton University Press
- Hugh Kennedy, Caliphate: The History of an Idea, 2016, Basic Books
- Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, 2023, Routledge