Jumat, 15 Maret 2024

Ramadan Mubarak (5)

"Orang Rusia dan orang Indonesia sedang membanggakan negara masing-masing.
Orang Rusia: Negara kami dikenal dengan 'Mati Ketawa cara Rusia.
Orang Indonesia: Negara kami dikenal dengan 'Mati Ketawa cara Pemilu.'"

“Manusia yang terlahir bebas, akan kehilangan kebebasan yang sama, bila ia terjerumus pada daya tarik kesenangan yang berlebihan dan hedonisme, yang juga merupakan sifat alaminya, dan dapat menyeretnya ke dalam kerusakan, penindasan, dan kejahatan,” lanjut Yasmin sambil memperhatikan para santri yang masing-masing membawa obornya. Obor yang menyala merupakan simbol ilmu, pencerahan, kebenaran, dan optimisme intelektual—keyakinan bahwa cahaya kebenaran dan akal budi, mengalahkan gelapnya kebodohan. Nyala api obor yang menyala terang ini, melambangkan perjuangan berkelanjutan bagi kebebasan, dan kebutuhan terus-menerus agar berwaspada terhadap kekuatan yang berusaha memadamkannya.
“Sebaliknya, mereka yang memanfaatkan kebebasannya dengan baik, melengkapi martabat alamiahnya dengan martabat etika, akan membedakan dirinya dalam sejarah dan akan sepenuhnya mengalami konvergensi tertinggi dengan Sang Ilahi.

Hidup sebagai makhluk bebas, kata Jan Frazier, engkau tak lagi merasakan dirimu sebagai pusat alam semesta. Ketika engkau hidup dalam kebebasan, keadaan batinmu tak lagi ditentukan oleh situasi yang engkau alami. Engkau merasakan perasaan yang nyata akan hal yang nyata—sensasi keberadaan—yang tak mudah berfluktuasi.
Menjadi bebas berarti bebas dari waktu. Engkau bebas dari keyakinan bahwa sesuatu yang penting dapat terjadi pada waktunya. Dalam artian bahwa masa depan berpotensi memperbaiki keadaan, atau ada sesuatu yang perlu ditakutkan dalam kemungkinan adanya perubahan atau kerugian. Engkau bebas dari ambisi, gagasan bahwa engkau perlu waktu hingga akhirnya mencapai kepuasan, dan juga bebas dari perasaan terus-menerus bahwa engkau tak punya cukup waktu. Engkau terbebas dari beban masa lalu, dari segala beban yang telah diberikannya kepadamu: dari beban ingatan, dari beban pengondisian, dari pola, dari penderitaan yang belum terselesaikan.

Terkadang istilah 'freedom' dan 'liberty' cenderung digunakan secara bergantian. Adakalanya terdapat perbedaan tipis antara 'freedom' dan 'liberty'. Konsep 'liberty' dapat berarti yang berbeda-beda tergantung konteksnya. 'Liberty' dapat didefinisikan sebagai keadaan bebas dalam masyarakat dari pembatasan opresif yang dikenakan oleh otoritas terhadap cara hidup, perilaku, atau pandangan politik seseorang. Sedangkan 'freedom' merupakan kekuatan atau hak untuk bertindak, berbicara, dan berubah sesuai keinginan seseorang tanpa hambatan atau pengekangan. Freedom sering dikaitkan dengan liberty dan otonomi dalam makna 'pemberian kepada seseorang, hukumnya sendiri'.
'Freedom' berbeda dengan 'independence': dimana freedom mengacu pada posisi individu dalam suatu kelompok, maka independence digunakan untuk merujuk pada kelompok itu sendiri. Freedom bermakna kekebalan individu dari tindakan sewenang-wenang dan ilegal yang dilakukan oleh pemerintah, dan haknya turut serta dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, independence mengacu pada kedudukan suatu kelompok dalam kaitannya dengan kelompok lain.

Menurut Mohammad Hashim Kamali, ada sebuah kata untuk 'freedom' yakni 'hurriyyah', namun ia merujuk pada kondisi orang merdeka (hurr) sebagai lawan dari 'budak'. Kata 'hurr' dalam bahasa Arab klasik mengandung arti 'bebas', kata ini juga digunakan sebagai istilah kualitatif yang menunjukkan kemuliaan asal usul dan karakter. Guna menekankan makna moral dari hurr, kata ini sering dipasangkan dengan karim (mulia, murah hati); al-hurr al-karim bermakna lelaki sejati, orang yang suci martabat kemanusiaannya, orang yang berintegritas, berhati nurani yang bebas dan tak dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan materiil. Nampaknya kata 'hurriyyah' tak lazim digunakan oleh para fuqaha klasik seperti yang kini digunakan oleh para penulis modern dalam bahasa Arab. Kata 'ikhtiyar' (pilihan, kehendak bebas) lebih umum digunakan dalam tulisan-tulisan para mistikus dan filosof Muslim dibandingkan 'hurriyyah'. Secara historis, para ahli hukum Islam belum membahas persoalan kebebasan secara komprehensif. Daripada memajukan pemahaman teoritis tentang konsep umum kebebasan, mereka sering berbicara tentang beberapa manifestasinya, seperti kebebasan berpendapat, berkeyakinan, dan kepemilikan. Para filsuf Muslim seperti al-Farabi dan Ibnu Rusyid hanya sedikit memperhatikan kebebasan sebagai sebuah istilah politik.
'Hurriyyah' didefinisikan sebagai 'kebalikan dari perbudakan dan watak mandiri dari orang yang bijak agar mengatur urusannya sendiri berdasarkan kehendak bebasnya sendiri; kemampuannya, dengan kata lain, mengatur urusan pribadinya sesuai keinginannya, bebas dari pertentangan dan permusuhan orang lain. Dengan demikian, hurriyyah jelas terfokus pada kebebasan individu guna mengatur urusan pribadinya tanpa campur tangan orang lain. Dalam Islam, kepasrahan manusia kepada Allah merupakan sarana yang dengannya manusia memutuskan segala rantai ketundukan atau perbudakan lainnya. Oleh karenanya, tiada kekuatan di muka-bumi yang berhak memalak takdirnya.

Islam melarang praktik primitif menangkap orang merdeka dan mengubahnya menjadi budak atau menjualnya sebagai budak. Allah berfirman,
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
''Aku akan menjadi musuh dari tiga macam orang pada hari kiamat: seseorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu mengingkarinya; seseorang yang menjual orang yang telah merdeka, lalu memakan hasil penjualannya (harganya); dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, namun ia tak memberikan upahnya.' [Hadits Qudsi; Sahih Al-Bukhari]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebebasan merupakan hak kodrati yang dimiliki setiap orang sejak lahir. Ia bersifat inheren dan tiada henti, serta tiada manusia yang punya wewenang mengambil apa yang telah Allah berikan sebagai hak kodratnya. Mengatakan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan bebas secara kodratnya merupakan suatu penegasan, bukan saja atas kebebasan sebagai keadaan normatif dan asali, melainkan pula atas kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh kodrat manusia—dan bahwa kemampuan alamiah yang paling khas dari manusia adalah kemampuan bernalarnya. Cara penyebaran Islam, semuanya tunduk pada kebebasan dasar untuk memilih.

Dalam hal kebebasan politik, tiada ketaatan dalam dosa, ketaatan semata diwajibkan dalam keshalihan. Maka, ketika penguasa memberikan perintah yang melanggar prinsip Islam, maka individu tak wajib menaatinya. Hal ini, pada dasarnya, memberikan dasar legitimasi bagi perlawanan rakyat terhadap pelanggaran hukum dan despotisme. Dalam hal ini, Syariah merupakan satu-satunya tradisi hukum yang memberikan kebebasan politik tertinggi. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
'Jihad terbaik di jalan Allah adalah (mengucapkan) kata-kata keadilan kepada penguasa yang menindas.' [Sunan Abi Daud; Sahih menurut Al-Albani]
Rasulullah (ﷺ) memerintahkan pula umatnya agar ‘mengatakan kebenaran walau itu tak menyenangkan’. Beliau (ﷺ) bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Wajib bagimu mengatakan kebenaran, karena kebenaran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga, dan orang yang terus-menerus mengatakan kebenaran dan berusaha mengatakan kebenaran, pada akhirnya akan dicatat sebagai siddiq di sisi Allah, dan berhati-hatilah mengatakan kebohongan, karena berbohong mendatangkan kekejian, dan kekejian mengarah ke Neraka, dan orang yang terus-menerus berbohong, dan berusaha berbohong, dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.' [Shahih Muslim]
Ciri lain dari martabat primordial umat manusia adalah ilmu. Allah berfirman,
وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
'Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, 'Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!'.' [QS. Al-Baqarah (2):31]
Para Malaikat menyadari keterbatasan mereka, namun manusia, melalui ilmu mereka, punya sarana yang dapat mereka gunakan mengatur kebebasan mereka. Hanya ilmu yang bisa menuntun pada kebebasan; hanya ilmu yang benar-benar dapat membebaskan umat manusia. Kebodohan itu, pemenjaraan belaka. Faktanya, Wahyu Al-Qur'an dimulai dengan seruan belajar dan mengenali, sebagaimana dijelaskan dalam surah pertama yang diterima Rasulullah (ﷺ),
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
'Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Rabbmulah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tak diketahuinya.' [QS. Al-'Alaq (96):1-5]
Ilmu tentang nama dan benda merupakan ciri martabat primordial manusia dalam pencarian kebenaran; Allah telah memberi mereka sarana untuk melampaui diri mereka sendiri dalam dua kemampuan mengenali: akal dan qalbu.

Sebagai makhluk bebas yang dianugerahi kekuatan ilmu, manusia hendaknya menggunakan kekuatan ini semaksimal mungkin. Statusnya merupakan hak istimewa, dan sebagai konsekuensinya, mereka harus memikul tanggungjawab yang lebih besar, dan berdiri di jantung seluruh Ciptaan. Dengan kebebasan dan kemampuan ilmu yang merupakan inti dari martabat primordialnya, manusia seyogyanya berusaha belajar, memahami dirinya sendiri dan dunia, untuk mendukung kebaikan dan berjuang mencapai kedudukan tertinggi yang paling mengekspresikan martabat spiritualnya. Mereka seyogyanya terus-menerus mengingat bahwa mereka bukanlah pemilik bumi dan alam semesta—'Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi'—melainkan mereka semata berperan sebagai wakil penguasa (khalifah) dan bertanggungjawab kepada Allah atas pengelolaan diri mereka, dan pengelolaan seluruh umat manusia beserta alam.
Simpanan iman telah dipercayakan kepada umat manusia. Mereka hendaklah memanfaatkan, mengalami, mengkaji dan mendalaminya, dibantu dengan kebebasan hati nurani dan ilmu. Ini adalah amanah yang memberi manusia status istimewa, namun juga membebani mereka dengan tanggungjawab yang sepadan.

Dalam mengemban amanah tersebut, mereka seyogyanya memperoleh ilmu, mendidik dan membenahi diri dari segi spiritual, intelektual, kemanusiaan dan sosial. Mereka haruslah meningkatkan martabat kesadaran akan kebaikan alam, dan dengan demikian, sepenuhnya memikul kebebasan dan tanggungjawab.
Dalam tradisi Islam, tugas tersebut tak dapat diselesaikan kecuali melalui keputusan bebas dan sadar untuk mendamaikan diri dengan Allah, masuk ke dalam kedamaian-Nya, dengan menjawab panggilan-Nya dan selalu memilih kebajikan dan moral.
Iman yang telah menobatkan qalbu juga telah menyebabkan terjadinya pertobatan kecerdasan melalui qalbu, yang melihat dan memahami dengan cara yang berbeda. Ketika manusia akhirnya memahami rahasia doa unsur-unsur alam, mereka berdiri di ambang martabat yang lebih besar yang ditandai dengan tiga rekonsiliasi—yang tenang dan damai—bersama Allah, diri sendiri dan dengan alam semesta. Perdamaian, yang menjadi akar kata ‘Islam’, menantang kita agar memahami, dengan akal dan qalbu kita, bahwa kita tak dapat melindungi martabat yang melekat pada diri kita, kecuali dengan melawan sisi gelapnya. Bagaimana? Melalui komitmen permanen, yang dibuat dengan kerendahan hati dan tekad, agar membuat perbedaan moral.

Ajaran syariah ditujukan terutama kepada manusia yang menjadi pusat penciptaan. Seluruhnya dapat ditafsirkan dalam lima cara yang sangat eksplisit. Yang pertama adalah asal usul kita yang sama, karena lelaki dan perempuan muncul dari wujud asli yang sama. Kedua, perempuan dan lelaki memiliki martabat asli yang sama, tanpa memandang agamanya, warna kulitnya, asal usulnya atau status sosialnya. Ketiga, umat manusia adalah satu, yang dikehendaki Allah, dengan keberagaman bangsa dan suku yang mencerminkan keberagaman bahasa dan warna kulit. Keberagaman dalam inti persatuan umat manusia memerlukan rasa hormat terhadap kehendak Allah dan komitmen untuk saling mengenal dengan lebih baik, agar menambah ilmu tentang agama, bahasa, dan budaya lain. Fungsi pluralisme bangsa dan budaya adalah untuk menjaga keseimbangan di antara keduanya, agar terhindar dari kerusakan di muka bumi. Namun pluralisme juga—inilah poin keempat—mengajak umat manusia agar turut-serta dalam kompetisi positif mencapai perbuatan baik. Kelima dan terakhir, kita hendaknya menjaga penilaian terhadap suatu bangsa dan negara, penilaian hanya milik Allah. Oleh karenanya, seluruh manusia hendaklah berusaha menjadi individu yang bermartabat, menghormati kesetaraan spiritual antara lelaki dan perempuan—Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa lelaki dan perempuan adalah setara di sisi Allah—dan berusaha melakukan perbuatan baik dengan cara terbaik.

Alam seyogyanya dilindungi, kendati pun di masa perang. Manusia takkan pernah lupa bahwa setiap elemen ciptaan melantunkan puji-pujian kepada Sang Ilahi, bahwa ia dikelilingi oleh kesucian dan bahwa ia hendaklah menghormati karunia Allah. Inilah ajaran dasar Islam yang mencakup seluruh satwa dan elemen alam—air, pohon buah-buahan, dll—tanpa kecuali.
Kita bahas lingkungan hidup di episode berikutnya, bi 'idznillah."

Dan seperti sebelumnya, Jasmine berdendang,

Decisions as I go, to anywhere I flow.
[Keputusan yang kutempuh, kemana pun kumengalir]
Sometimes I believe, at times I'm rational.
[Terkadang kupercayai, saat aku rasional]
I can fly high, I can go low.
[Kubisa terbang tinggi, kubisa terbang rendah]
Today I got a million,
[Hari ini kuperoleh sejuta]
Tomorrow, I don't know *)
[Esok, ku tak tahu]
Kutipan & Rujukan:
- Jan Frazier, The Freedom of Being at Ease with What is, 2012, Weiser Books
- Mohammad Hashim Kamali, Freedom, Equality and Justice in Islam, 2002, The Islamic Texts Society
*) "Reality" karya Felix de Laet, Janieck van de Polder & Radboud Miedema