Rabu, 20 Maret 2024

Ramadan Mubarak (8)

"Seorang lelaki menemui rekannya yang juga pengacaranya, 'Pokoknya, gua mo minta cere. Udah nem bulan, gua dicuekin ma bini gua.”
'Baiknya, loe mikir-mikir lagi deh,' tanggap sang pengacara, 'susah lho dapetin bini seperti itu!'"

“Air merupakan materi yang amat penting bagi kelangsungan hidup manusia, karenanya, kualitas dan kejernihan air, sangatlah penting,” lanjut Yasmin seraya memandang takjub panorama Air Terjun Tumpak Sewu Lumajang, sebuah gugusan air terjun, walau tak sederas dan seluas bentangan Air Terjun Niagara.
“Manakala kita memikirkan tentang air, kata ‘kebersihan’, ‘kesucian’, dan ‘higiene’ memperantarai tiga dimensi sejarah yang saling bertumpuk, tumpang tindih seiring berjalannya waktu. ‘Kebersihan’ mungkin terletak di dasar segalanya, dan sepertinya menghadirkan sisi hewani dan kemanusiaan kita—tak semata tuntutan biologis antik kita, namun juga kecintaan kita terhadap perawatan, keteraturan, dan keindahan yang sangat 'Neolitik'. 'Kesucian' mungkin buatan manusia, namun juga terletak pada tingkat waktu yang dalam sebagaimana psikologi yang menghasilkan ideologi keagamaan, atau supranatural tertentu, tentang kesempurnaan Ilahi dan polusi yang secara sosial diterapkan pada sifat hewan dan dunia materi. 'Higiene' berasal dari kata Yunani klasik untuk kebaikan dan kesehatan manusia, yang kemudian menjadi sebuah istilah singkat bagi ilmu pengetahuan alam Yunani tentang melestarikan dan memperpanjang kehidupan. Pemahaman Yunani kuno, yang dikenal sebagai 'resimen kesehatan'—apa yang 'telah' kita lakukan (dan sedang lakukan) bagi diri kita sendiri guna menjaga tubuh kita, dengan atau tanpa dokter terlatih, atau di fasilitas umum yang tersedia. Dikau boleh menyebutnya sebagai sejarah sosial dan budaya pengobatan preventif.
Banyak sekali sejarah manusia yang mengelompokkan keyakinan bahwa kotoran itu ‘buruk’, dan bahwa menghilangkan kotoran (pembersihan) selalu ‘baik’. Kotoran hanyalah materi yang tak pada tempatnya, bisa dibilang buruk, bisa pula dianggap baik. Alam tak peduli dengan apa yang kita pikirkan, atau bagaimana kita berekasi terhadapnya, dalam segala bentuknya. Namun sebagai spesies, kita sangat peduli dengan kelangsungan hidup kita sendiri. Tiada yang dapat membantah hubungan antara pembersihan dan kelangsungan hidup. Kelangsungan hidup merupakan tujuan utama organisme. Selain serangan atau kecelakaan eksternal, ancaman sangat biasa dan konstan terhadap kelangsungan hidup adalah keracunan internal dan pembusukan dini. Tubuh mempertahankan diri darinya.

Sejarah tentang kebersihan dapat kita mulai dari cerita tentang 'ellu', sebuah kata Mesopotamia kuno yang bermakna semacam indahnya kebersihan yang berkilau dan bercahaya—sebuah gambaran keelokan yang kuat dan non-asketis, yang sepenuhnya resik. Rutinitas kosmetik yang sekarang disebut 'memanjakan'—mandi, wewangian, perawatan wajah, manikur, pedikur, tata rambut, dan kostum, yang dilakukan di lingkungan yang sensual dengan atau tanpa sekelompok teman—muncul di kedua pucuk Eurasia selama Zaman Perunggu dari c. 4000 SM, bersama dengan sebagian besar peralatan dan bahan mentah yang diperlukan. Kosmetik merupakan inti dari kebersihan diri, yang biasanya diabaikan, kerapkali dicerca, namun kini kosmetik merupakan bagian penting dari perawatan kesehatan pribadi dan identitas diri.
Orang-orang Yunani biasanya merupakan tempat dimulainya sejarah Higiene. Higiene Yunani adalah filosofi hidup yang lebih dari sekadar perawatan yang baik. Atas nama para dewi muda, para putri, atau para pendeta tinggi kesehatan Hygieia, orang-orang Yunani pada akhirnya membawa lapisan makna permanen lainnya pada gagasan kebersihan. Kini, kita semua higienis.
Pemandian dan saluran air Romawi membersihkan dan menjelajahi lebih banyak orang di Eurasia barat. Kebersihan di pemandian Romawi merupakan bagian integral dari 'proses peradaban' Romawi, dan tubuh yang sangat bersih dan terawat adalah lencana dan simbol kewarganegaraan mereka. Namun mandi hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan perawatan dan dandanan diri yang higienis.

Perubahan higienis selama lima puluh tahun pertama abad kedelapan belas sebagian besar masih bersifat personal dan ekonomi—sebagian besar terjadi dalam pikiran masyarakat dan di dalam rumah. Hasilnya merupakan pasar baru bagi layanan kesehatan. Industri kesehatan dan rekreasi yang berkembang pesat pada abad ke-18 jelas-jelas terhubung dengan ‘roda mode’ yang mengalami percepatan pesat. Citra utama Eropa abad ke-18 merupakan keanggunan tertinggi: gaya hidup 'berkualitas' yang sempurna dari kaum aristokrat, kaum bangsawan, dan kelas menengah terpelajar, yang memandang kebersihan dan ketertiban diri, menjadi tanda yang sangat nyata sebagai 'beradab'.
Abad ke-20 dan ke-21 sejauh ini merupakan abad yang paling terdokumentasi dan mungkin paling menarik sepanjang sejarah pembersihan-diri. Abad kedua puluh sendiri mungkin merupakan era paling higienis dan sadar akan kebersihan yang pernah tercatat di seluruh negara industri. Ia diselingi oleh dua perang dunia, yang keduanya mengarah pada periode transisi sosial yang cukup berarti. Kebersihan Yunani masih bersama kita, berubah menjadi industri global (atau lebih tepatnya, banyak industri). Kita masih menyukai mandi dan memanjakan diri ala Romawi. Kaum wanita masih mendominasi pasar kosmetik di semua negara, dengan sebagian besar membeli produk perawatan kulit dan rambut, diikuti kosmetik wewangian dan pewarna; namun perempuan di pasar negara maju, kini lebih menyukai barang-barang ‘bernilai tambah’ yang berkualitas tinggi.

Balik ke topik kita tentang air. Dalam perspektif Islam, air sangatlah penting. Ia dipandang sebagai karunia Allah, yang memberi dan menopang kehidupan, serta mensucikan umat manusia dan bumi. Seluruh umat manusia bergantung pada air bagi kehidupan dan kesehatan yang baik, namun bagi umat Islam, air bermakna istimewa sebab digunakan dalam wudhu (yakni bersuci sebelum shalat) dan ghusl (mandi).
Umat Islam meyakini bahwa memastikan keadilan sosial, atau kesetaraan, dalam masyarakat adalah landasan Islam, dan menjaga keadilan, tak terkecuali hal-hal yang berkaitan dengan air. Hal ini berlaku pada keinginan akan air bersih dan segar dalam jumlah yang cukup, serta hal lainnya. Seorang muslim tak boleh menimbun air berlebih, melainkan ia wajib membolehkan orang lain mengambil manfaat dari air tersebut. Rasulullah (ﷺ) bersabda bahwa di antara tiga orang yang diabaikan Allah pada hari kiamat adalah:
رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِطَرِيقٍ يَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيلِ
'... seseorang yang memiliki air berlebih di tengah perjalanan dan ia menyembunyikannya dari ibnu sabil (musafir atau orang-orang yang sedang melakukan perjalanan jauh termasuk pekerja dan pelajar di tanah perantauan).' [Shaih Al-Bukhari]
Al-Quran memperingatkan umat manusia terhadap distribusi yang tak adil dengan menyatakan bahwa harta-benda di dunia ini milik Allah, para Nabi-Nya, para anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir, dan bahwa kekayaan ini, tak boleh semata 'bersikulasi di antara orang-orang kaya di antara kamu.' Ternyata, pengakuan terhadap air sebagai sumber daya yang vital, dimana setiap orang berhak mendapat bagian yang adil, secara efektif menjadikan air sebagai sumber daya publik dimana semua orang, baik kaya maupun miskin, berhak atas air tersebut. Rasulullah (ﷺ) bersabda,
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
'Umat Islam punya bagian yang sama dalam tiga hal: rumput (padang rumput), air dan api (bahan bakar).' [Sunan Abi Dawud; Shahih menurut Al-Albani]
Para ulama telah sepakat bahwa prioritas hak guna air ialah: pertama, haq al-syirb, faslsafah air sebagai sumber kehidupan, untuk melepas dahaga atau hak manusia untuk minum; kedua, haq al-shafa, hak atas ternak dan hewan rumah tangga; dan ketiga, hak irigasi. Lingkungan hidup punya hak yang jelas dan tak keliru dalam Islam. Margasatwa tak boleh dibiarkan mati kehausan, dan air yang tersisa setelah manusia melepaskan dahaganya, hendaklah diberikan kepada mereka. Air disediakan Allah agar seluruh makhluk hidup mendapat dukungan sesuai kebutuhannya, baik manusia, fauna, maupun flora. Spesies bukan manusia berhak atas air yang cukup dengan kualitas yang 'baik' karena air tersebut harus sesuai untuk 'menutrisi tetumbuhan' dan minuman bagi margawatwa.

Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Ia mengatur hubungan antara Allah, manusia, dan alam. Menurut Islam, alam diciptakan Allah bagi kepentingan manusia. Hubungan manusia dengan alam dilandasi keharmonisan lantaran seluruh makhluk menaati Sunnatullah. Manusia dituntut mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Aspirasi skema kehidupan Islam berisi seperangkat hak dan kewajiban. Secara garis besar, hukum Islam membebankan empat jenis hak dan kewajiban pada setiap orang: pertama, hak Allah; kedua, hak pribadi atas dirinya sendiri; ketiga, hak orang lain atas dirinya; dan keempat, hak-hak ciptaan yang telah Allah anugerahkan kepada manusia guna dimanfaatkan demi kepentingannya.
Manusia punya otoritas atas sumber daya, termasuk air. Namun kewenangan tersebut, haruslah berpedoman pada rasa tanggungjawab dan akuntabilitas, baik terhadap makhluk hidup maupun alam. Manusia tak boleh menyia-nyiakan sumber daya untuk usaha yang sia-sia atau merusaknya secara tak perlu. Saat manusia menggunakan sumber daya dalam baktinya, mereka hendaknya menggunakan metode yang terbaik dan yang paling sedikit mudaratnya, dalam memperoleh manfaat dari sumber daya tersebut.

Prinsip mendasar dalam menangani sumber daya yang menghasilkan kekayaan dalam Islam ialah memerangi distribusi yang tak adil agar tak menimbulkan perputaran semata di antara orang kaya. Yurisprudensi Islam berupaya menyeimbangkan imbalan kerja dan kepentingan masyarakat dalam mengelola sumber daya, terutama air.
Rasulullah (ﷺ) tak menganjurkan penjualan air. Utsman bin Affan, radhiyallahu 'anhu, pernah meriwayatkan, 'Aku bersujud kepadamu demi Dzat yang tiada ilah selain Dia, bukankah Rasulullah (ﷺ) bersabda: Barangsiapa membeli sumur Rumah, maka Allah akan mengampuninya. Maka aku membelinya dengan harga sekian dan sekian, kemudian aku mendatangi Rasulullah (ﷺ) dan memberitahunya, dan beliau bersabda (ﷺ), 'Berikanlah itu untuk memberi air kepada kaum muslimin, dan pahalanya menjadi milikmu? '
Sumur Rumah (بئر رومة), juga dikenal sebagai Sumur Utsman bin Affan (بئر عثمان بن عفان), adalah sebuah sumur bersejarah di kota Madinah. Pernah, di sebuah lokasi di Madinah, ada sebuah sumur milik seorang Yahudi. Itulah satu-satunya sumber air di area tersebut, dan orang Yahudi memungut biaya air yang sangat mahal bagi umat Islam. Utsman menawarkan membeli sumur tersebut, namun orang Yahudi tersebut menolak. Utsman kemudian mengusulkan membeli setengah dari sumur tersebut, dengan kesepakatan bahwa masing-masing sumur akan diambil pada hari yang bergantian. Orang Yahudi itu mengenal Utsman sebagai seorang pengusaha yang pandai dan merasa tersanjung karena ia menjadi mitra bisnisnya, demikian ia mengira bahwa hal itu bakal meningkatkan penjualannya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, tak ada lagi yang membeli air darinya.
Utsman membuka sumur itu karena Allah, sehingga orang-orang bisa mengambil seberapapun yang mereka inginkan. Orang-orang akan mengambil persediaan untuk dua hari pada hari itu dan mengabaikan hari orang Yahudi. Dengan putus asa, orang Yahudi itu menawarkan kepada Utsman separuh bagian lainnya, yang dibeli Utsman seharga 20.000 dirham.
Beberapa tahun kemudian, seorang sahabat hendak membeli sumur tersebut dari Utsman. Ia, radhiyallahu 'anhu, menolak, mengatakan bahwa ada yang telah menawar lebih banyak. Orang tersebut terus menaikkan tawarannya, dan Utsman tetap menolak dengan dalih bahwa ia telah ditawari lebih banyak. Karena bingung, orang tersebut bertanya kepadanya siapa yang telah menawarkan sebanyak itu, dan berapa banyak yang telah ditawarkan. Utsman berkata, 'Allah telah menawarkan sepuluh kali lipat pahala sedekah yang diberikan kepada umat Islam.'
Riawayat ini menunjukkan bahwa sumur bisa diperdagangkan, begitu pula airnya. Oleh sebab itu, para Ulama menyimpulkan bahwa air, seperti halnya kayu dan komoditas publik lainnya, dapat dijual dan diperdagangkan. Lebih khusus lagi, mayoritas Ulama membagi sumber daya air untuk tujuan perdagangan menjadi tiga kategori: barang pribadi, barang publik terbatas, dan barang publik.

Air yang disimpan dalam wadah pribadi, sistem distribusi swasta, dan waduk dianggap sebagai barang pribadi. Juga termasuk air yang diambil dari sumur dan sungai dengan menggunakan peralatan khusus atau diperoleh melalui perusahaan distribusi air. Air ini milik pemiliknya dan tak dapat digunakan tanpa seizinnya. Pemiliknya berhak menggunakannya, memperdagangkannya, menjualnya, atau menghibahkannya. Meski air ini milik pribadi, namun orang yang membutuhkan, boleh menggunakannya setelah meminta izin pemiliknya. Demikian pula, air yang diolah dapat diperdagangkan karena organisasi yang bertanggungjawab atas pengolahan tersebut telah mengeluarkan uang dan menginvestasikan tenaga di dalamnya (nilai tambah atau imbalan atas pekerjaan). Aturan ini dapat mencakup air dari instalasi pengolahan, air yang diangkut dan disimpan secara pribadi, dan air apa pun yang diperoleh dengan usaha, infrastruktur, dimana ilmu telah diinvestasikan.
Kumpulan air seperti danau, aliran air, dan mata air yang terletak di lahan pribadi dipandang sebagai barang publik terbatas. Air ini bukan milik pemiliknya dalam makna kepemilikan yang luas; sebaliknya, pemilik hanya memiliki hak dan keistimewaan khusus dibandingkan pengguna lain. Contohnya, pengguna lain dapat menggunakan air tersebut untuk diminum dan kebutuhan pokok, namun mereka tak boleh menggunakannya bagi keperluan pertanian dan industri tanpa seizin pemiliknya. Akan tetapi, mazhab Syafi’i meyakini bahwa siapa pun yang menggali sumur adalah pemilik airnya, yang oleh karenanya, dipandang termasuk dalam kategori pertama–barang pribadi.
Air di sungai, danau, gletser, akuifer, dan laut, serta dari salju dan curah hujan merupakan barang publik. Siapapun berhak menggunakannya (secara wajar) untuk minum dan untuk tujuan pertanian dan industri selama hal tersebut tak mengganggu kesejahteraan lingkungan atau masyarakat. Air ini dapat dialirkan melalui pipa, saluran, dan wadah bagi keperluan pribadi. Pemerintah tak boleh mencegah penggunaannya kecuali dapat membuktikan bahwa penggunaannya akan menimbulkan kerugian terhadap kesejahteraan masyarakat, kerusakan lingkungan, penggunaan yang berlebihan, atau perdagangan yang tidak adil. Air yang termasuk dalam kategori ini, tak boleh diperjualbelikan atau dibeli untuk kepentingan pribadi. Namun, jika ada nilai tambah, seperti pengolahan, penyimpanan, dan transportasi, air menjadi barang pribadi, dan dapat dijual guna menutup biaya dan menghasilkan keuntungan.

Para Ulama menganjurkan pemberian air secara gratis, yang menunjukkan bahwa Allah akan memberi pahala kepada mereka yang melakukannya. Namun, aturan ini menunjukkan bahwa pemilik air pribadi tak boleh dipaksa menyediakan air secara gratis kecuali dalam keadaan yang memaksa, dan manakala sumber air lain tak tersedia. Bahkan dalam kondisi seperti itu, pemilik seyogyanya mendapat kompensasi yang adil atas air tersebut. Meskipun yurisprudensi Islam tak membahas secara spesifik penetapan peraturan statis mengenai penetapan harga atau pengendalian pasar, yurisprudensi Islam mengedepankan serangkaian prinsip umum yang memandu penetapan harga barang yang diperdagangkan termasuk air.
Karena pasar menentukan harga, mayoritas Ulama sepakat bahwa pemerintah seyogyanya melakukan intervensi untuk menetapkan harga oleh kelakuan pedagang merugikan pasar atau kesejahteraan masyarakat. Para ulama menyatakan pula bahwa ketika kepentingan pedagang dan konsumen berbenturan, maka kepentingan konsumen harus diutamakan. Para ulama sepakat bahwa Islam mengharamkan spekulasi dan manipulasi pasar untuk menaikkan harga dan meningkatkan keuntungan.

Jika air diyakini sebagai berkah Ilahi, maka api dipandang sebagai kuasa Ilahi. Api juga sering digunakan untuk melambangkan kearifan, ilmu, dan kekuatan. Api merupakan sesuatu yang unik di Bumi dan perebutan kita akan keunikannya bagi umat manusia. Meskipun penjelajahan ruang angkasa telah mengungkap bahwa planet-planet lain menyimpan beberapa komponen pembakaran, tiada satupun yang memiliki semuanya atau konteks yang dapat digunakan untuk mencampurkan bahan bakar, oksigen, dan percikan api ke dalam reaksi letupan yang kita sebut api. Demikian pula, kendati seluruh spesies membatasi tempat tinggal mereka dan banyak spesies yang dapat membatasi lingkungan api, hanya manusia yang dapat sekehendaknya, dalam batasan tertentu, menyalakan dan menghentikan api. Organisme lain dapat merusak hutan, mencabut semak belukar, menggunduli rumput, menumbuhkan bibit, dan memilih satu tanaman ketimbang yang lain. Terdapat organisme berkembang biak di arang segar, ada yang mencari makan di antara debu dan berburu di sepanjang sisi api dan melalui kepulan asap, beberapa dikaruniai kemampuan membakar diri sebagai keuntungan selektif dibandingkan tetangganya yang tak terlalu mudah terbakar, beberapa seperti tarsius Filipina mungkin bahkan menggenggam bara api dengan cakarnya atau seperti nurung layang-layang Australia yang menangkap bara api dengan cakarnya dan menyimpannya kembali di tempat lain, mungkin secara tak sengaja, mungkin dengan sengaja. Simpanse yang kecanduan nikotin akan bermain-main dengan rokok yang dibakar. Namun hanya manusia yang dapat menyalakan api, memeliharanya, dan menyebarkannya ke luar habitat alaminya. Bagi biosfer, cuma umat manusia yang menjadi penjaga api kehidupan. Kisah Api merupakan kisah Bumi dan, sebagaimana ditegaskan dalam mitos, waritanya, cerita tentang kita.

Bumi kita telah amat tua—bahkan sekitar 4,56 miliar tahun telah berlalu sejak kelahirannya. Tatkala dirimu berdiri di permukaan bumi, dikau dapat menyaksikan dengan takjub bagaimana komponen-komponen Sistem Bumi berinteraksi. Geosfer terdiri dari bagian padat planet kita. Engkau melihatnya dimana pun dirimu melihat bebatuan, sedimen, atau tanah. Sebagian besarnya terletak di bawah tanah, di lapisan dalam planet kita. Hidrosfer terdiri dari semua air cair di atau dekat permukaan bumi. Ia mengisi lautan, danau, pori-pori bawah tanah, dan terbentuk sebagai gas di atmosfer. Kriosfer terdiri dari air beku, sebagian besar di gletser. Biosfer terdiri dari organisme hidup, dari bakteri hingga paus. Atmosfer adalah selubung gas yang mengelilingi planet ini. Aliran udara dan laut memindahkan panas dan air ke seluruh planet.
Energi dalam yang timbul dari dalam dan energi luar yang masuk ke Bumi dari Matahari menjaga Sistem Bumi tetap dinamis, sehingga material berputar dari satu komponen ke komponen lainnya seiring berjalannya waktu. Masyarakat manusia mempunyai dampak yang semakin besar terhadap Sistem Bumi, dengan mengekstraksi sumber daya, membangun dan bertani di permukaan bumi, serta membuang limbah.

Menurut banyak mitos, kita menjadi manusia sejati hanya ketika kita memperoleh api. Maka, wajar bila mengasumsikan kebangkitan paralel di tempat kita tinggal. Sebaliknya, Bumi kemungkinan besar mengalami pemanasan selama lebih dari empat miliar tahun sebelum kaldu biotiknya mendidih. Beberapa komponen api yang diperoleh Bumi purba hanya setelah ribuan tahun. Yang lebih penting lagi, bahan-bahan tersebut memerlukan konteks yang tahan lama agar dapat dipadukan. Bagian-bagiannya harus digabungkan dan dilakukan secara konsisten. Pembakaran punya kisah penciptaannya sendiri. Api punya sejarahnya sendiri.
Cerita api ini, akan kita teruskan pada episode berikutnya, bi 'idznillah."

Yasmin pun bersenandung,

Well, you've got your diamonds
[Nah, dikau telah peroleh berlianmu]
And you've got your pretty clothes
[Dan dikau telah dapatkan pakaian indahmu]
And the chauffeur drives your car
[Dan sang sopir mengemudikan mobilmu]
You let everybody know
[Dikau biarkan semua orang tahu]
But don't play with me
[Tapi janganlah bermain denganku]
'Cause you're playing with fire *)
[Sebab dirimu sedang bermain api]
Kutipan & Rujukan:
- Naser I. Faruqui, Asit K. Biswas & Murad J. Bino, Water Management in Islam, 2001, United Nations University
- Virginia Smith, Clean: A History of Personal Hygiene and Purity, 2007, Oxford University Press
- Stephen J. Pyne, Fire: A Brief History, 2001, University of Washington Press
- Stephen Marshak, Earth: Portrait of a Planet, 2019, W. W. Norton & Company
*) "Play with Fire" karya Nanker Phelge