Minggu, 03 Maret 2024

Cerita Kembang Senduro: Ketika Rakyat Angkat Bicara (2)

"Seorang guru sejarah, di akhir masa baktinya, memberikan pidato terakhir kepada murid-muridnya, 'Ingat, jokes dan sejarah itu, sama saja—keduanya selalu mengulang dirinya sendiri."

“Pemerintah membuat kebijakan yang mencerminkan preferensi rakyat dan terdapat hubungan yang cukup kuat antara opini publik dan kebijakan pemerintah,” lanjut Senduro sembari mencermati arca kembar Dwarapala, garda gerbang Manjushri Grha yang dikenal dengan Candi Sewu—walaupun kompleksnya terdiri dari 249 candi, nama berbahasa Jawa ini jika diterjemahkan bermakna 'seribu candi', yang berasal dari cerita rakyat Rara Jonggrang—dibangun pada akhir abad kedelapan, pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran dan rampung pada masa pemerintahan penerusnya, Dharanindra, dinasti Sailendra yang merupakan Imperium Mataram di Jawa Tengah dan Sriwijaya di Sumatera Selatan.

"Para pemimpin politik perlu mengetahui jenis kebijakan dan inisiatif apa yang didukung oleh pemilih, namun kelompok dan individu lain memerlukan pula pengetahuan mengenai opini publik. Para pemimpin kelompok kepentingan harus memutuskan usaha apa yang seyogyanya dilakukan dan cara terbaik memobilisasi pendukung potensial. Jurnalis, yang merupakan pemain kunci dalam mengukur dan mengkomunikasikan opini publik, berupaya keras memberikan informasi kepada kita, yang pingin tahu tentang sikap sesama warga negara dan memahami apa yang diinginkan audiensnya. Para eksekutif perusahaan harus memperhatikan tren budaya suatu negara—apa yang dipikirkan konsumen, apa yang mereka beli, dan secara umum, bagaimana mereka memilih agar dapat hidup.

Kecenderungan mewakili preferensi publik telah meningkat lantaran politik telah menjadi jalur karier selama abad ke-20, dan para politisi (oleh keinginan agar dipilih kembali) semakin tertarik menyenangkan para pemilih. Para politisi juga punya minat yang besar mewakili publik dan cara-cara yang dilakukan, sepertinya mengarah ke sana.
Keterwakilan juga menjadi inti perdebatan politik sehari-hari, kata Stuart N. Soroka dan Christopher Wlezien. Warga negara peduli dengan apa yang mereka peroleh dari pemerintah, baik itu pemotongan pajak, tunjangan obat resep, atau subsidi pendidikan. Mereka demikian peduli dengan sejauh mana tindakan pemerintah sesuai dengan preferensi mereka dalam berbagai hal, baik itu jumlah layanan kesehatankah, ketersediaan aborsikah, perlindungan lingkungankah, maupun akan berperang.
Tentu saja, tak semua politik secara eksplisit berkaitan dengan kebijakan. Rakyat peduli pula terhadap hasil, dan banyak yang berargumen bahwa hal ini lebih berlaku saat ini dibanding sebelumnya. Rakyat menginginkan pertumbuhan ekonomi, jalanan yang aman, dan layanan kesehatan berkualitas tinggi. Tentu saja, kebijakan mempunyai pula implikasinya. Politisi tak punya tongkat ajaib–mereka mempengaruhi hasil dengan menggunakan kebijakan. Politisi menawarkan rencana memecahkan masalah-masalah penting, seperti perekonomian yang sedang mengalami kesulitan. Ada kebijakan untuk mengurangi kejahatan, meningkatkan pendidikan, memperbaiki layanan kesehatan, dan sebagainya, dan ketika keadaannya membaik, para politisi tak mengaku beruntung. Mereka secara eksplisit memuji kebijakan tersebut, misalnya ketika mereka menyatakan bahwa 'Kebijakan pemotongan pajak kami, membuat perekonomian bergerak kembali,' atau bahwa 'Kami menempatkan lebih banyak polisi di jalanan, maka kejahatan menurun.' Kebijakan jelas penting bagi hasil dan politik. Kita menginginkan sesuatu, dan melalui kebijakan, para politisi berusaha mewujudkannya.

Opini publik tak henti-hentinya dibahas dalam politik dan budaya. Presiden, anggota Dewan, calon pejabat publik, pemimpin kelompok kepentingan, jurnalis, dan eksekutif perusahaan, serta warga negara biasa, secara rutin bertanya, 'Apa pendapat publik?'
Bagaimana kita semua dapat memperoleh informasi mengenai opini publik? Ada banyak sumber. Indikator opini publik yang kemungkinan paling jelas adalah survei sampel atau jajak pendapat. Data kuantitatif dari survei seringkali dapat memberi kita gambaran tentang bagaimana perasaan masyarakat terhadap isu-isu kebijakan, praktik sosial, atau isu gaya hidup. Hasil pemilu dan referendum terkadang mengungkapkan preferensi warga negara dengan cara yang sangat dramatis; sering dikatakan bahwa pemilu adalah satu-satunya pemilu yang penting. Namun para penggiat politik harus melampaui teknik-teknik yang sudah jelas ini dan mempertimbangkan semua 'tempat' dimana opini masyarakat dapat ditemukan: dalam naskah program televisi; pada rapat umum politik, rapat kota, atau dengar pendapat dewan kota; dalam retorika jurnalisme; dalam dialog antar teman yang sering mengunjungi kedai kopi atau bar di lingkungan sekitar; dalam diskusi politik yang dilihat di Internet dan media sosial atau didengar di radio.

Sherry Devereaux Ferguson menyebutkan bahwa sebagai filsuf besar pertama yang menggunakan istilah l'opinion publique, Jean-Jacques Rousseau berbicara tentang pentingnya opini publik, dampaknya terhadap penguasa, dan perlunya kemampuan mempengaruhi dan mengontrol opini. Menurut Mitch Horowitz, opini publik merupakan hasil agregat dari opini-opini individu—kadang seragam, kadang saling bertentangan—dari lelaki dan perempuan yang membentuk masyarakat atau kelompok masyarakat mana pun. Dalam perdebatan modern, beberapa orang menyatakan bahwa karya Lippmann, a bridge into the modern age, menggeser penekanan dari risalah filosofis tentang opini publik ke studi ilmiah tentang opini. Pernyataan ini hanya sebagian benarnya. Pentingnya opini publik telah sama tuanya dengan demokrasi itu sendiri: para filsuf Yunani kuno meyakini bahwa agar lembaga-lembaga demokrasi bisa efektif, semestinya didasarkan pada analisis yang kuat terhadap sentimen masyarakat. Para penulis seperti Plato, Hobbes, Hamilton, dan Madison mengungkapkan keraguan mengenai potensi rata-rata warga negara memberikan kontribusi yang berarti terhadap jalannya pemerintahan.
Kelompok filsuf lain menganut pandangan bahwa meskipun masyarakat luas hanya mempunyai sedikit kontribusi terhadap pemerintah, para pemimpin terpilih tak boleh mengabaikan pandangan mereka. Dengan kata lain, mereka memandang keterlibatan warga sebagai suatu hal yang perlu dilakukan. Sebagai contoh, dalam Il Principe, Niccolo Machiavelli menulis bahwa opini publik dapat mendukung ambisi individu atau, alternatifnya, kebaikan kolektif. Dalam Il Principe, Machiavelli menyatakan bahwa opini publik berubah-ubah, didorong oleh fakta bahwa manusia 'tak tahu berterima kasih, banyak bicara, suka menyembunyikan diri, ingin menghindari bahaya, dan tamak akan keuntungan; selama engkau memberi manfaat kepada mereka, mereka jadi milikmu. Agar tetap berkuasa, penguasa harus memanipulasi atau mengakomodasi opini publik.
Kelompok filsuf ketiga menganut pandangan bahwa opini publik berperan penting dalam masyarakat demokratis. Aristoteles mengakui potensi keunggulan kecerdasan kolektif, 'Mereka mungkin melampaui—secara kolektif dan sebagai suatu badan, meskipun tak secara individu—kualitas beberapa orang terbaik'. Ia optimis bahwa debat dan diskusi publik dapat menjadi sarana pengambilan keputusan yang cerdas dan terinformasi. John Locke berpendapat bahwa mereka yang berkuasa berkewajiban melindungi hak-hak yang diperintah. Ia mengatakan bahwa masyarakat pada akhirnya merupakan 'kekuatan tertinggi', dan bahwa hukum opini publik sama pentingnya dengan hukum sipil dan hukum keilahian.
Kesimpulannya, aliran filsuf pertama (pesimis) memandang keterlibatan warga sebagai hal yang tak diinginkan dan tak perlu. Aliran pemikiran kedua (pragmatis) memandang keterlibatan warga negara sebagai sesuatu yang tak diinginkan namun perlu. Kelompok filsuf ketiga (optimis) memandang keterlibatan warga sebagai hal yang diinginkan dan perlu. Pokok-pokok perdebatan ini belum berubah, dan banyak pemimpin masyarakat yang yakin bahwa mereka menghadapi situasi yang tiada pemenangnya. Mereka akan durhaka jika 'melakukannya' dan durhaka pula bila 'tidak'. Jika para pemimpin mengikuti opini publik, para kritikus akan mengatakan bahwa mereka tak punya kualitas kepemimpinan—mereka hanya mengikuti keinginan publik, yang berubah setiap hari. Namun, jika para pemimpin mengabaikan opini publik, para kritikus akan melabeli mereka sebagai elitisme dan arogansi. Kelompok yang teramat sinis berpendapat bahwa pemerintah memantau opini publik untuk mengetahui cara terbaik mempengaruhi dan memanipulasi opini. Akan tetapi, permasalahan yang dihadapi para pemimpin adalah seberapa besar prioritas yang harus diberikan pada opini publik. Menurut perspektif kaum Populis, kajian opini publik berperan penting dalam masyarakat demokratis karena menyediakan sarana bagi masyarakat luas untuk berpartisipasi dan mempengaruhi pemerintah.
Carroll J. Glynn [dkk] menyebutkan empat dalil umum mengapa begitu banyak cendekiawan dan pejabat publik mempelajari dan peduli terhadap opini publik: legitimasi dan stabilitas pemerintah bergantung pada dukungan publik, jika warga menarik dukungannya, pemerintah tak punya legitimate powers; opini publik membatasi (atau semestinya membatasi) para pemimpin politik; opini publik memberikan petunjuk tentang budaya; meskipun para pemimpin politik mungkin dibatasi oleh opini publik, mereka juga berusaha mempengaruhinya.

Kata 'publik' tumbuh dari pertentangannya dengan jenis formasi sosial lainnya, yang paling menonjol adalah 'the crowd' (kerumunan) dan 'the mass' (massa). Pada awal abad kedua puluh, ilmu baru 'crowd psychology' (cikal bakal psikologi sosial) berkembang untuk menjelaskan bagaimana individu dapat terjebak dalam perilaku massa dan bertransformasi. Kerumunan umumnya ditentukan oleh 'kesatuan pengalaman emosional'. Menurut peneliti opini kontemporer Vincent Price, 'Kerumunan berkembang sebagai respons terhadap emosi bersama.'
Kerumunan ditentukan oleh pengalaman emosional mereka bersama, namun 'massa' ditentukan oleh isolasi interpersonal mereka. Sosiolog Herbert Blumer menyatakan bahwa massa terdiri dari individu-individu anonim yang terlibat dalam interaksi atau komunikasi yang sangat sedikit. Suatu massa 'hanya terdiri dari kumpulan individu-individu yang terpisah, lepas, tanpa identitas,' yang bereaksi sesuai kebutuhan mereka sendiri.
Publik muncul dan dipertahankan melalui wacana mengenai suatu kontroversi. Memasuki kerumunan semata membutuhkan 'kemampuan merasakan dan berempati'—berbagi emosi—sedangkan bergabung dengan publik juga memerlukan, 'kemampuan berpikir dan bernalar dengan orang lain.' Publik mungkin dipengaruhi oleh dorongan emosi yang sama, namun 'ketika publik tak lagi bersikap kritis, ia akan bubar atau berubah menjadi kerumunan,' yang memunculkan 'sentimen publik' dan bukan opini publik. Berbeda dengan massa, suatu 'publik', sadar diri dan interaktif.

Pembahasan opini publik, kata Maxwell McCombs, biasanya berpusat pada distribusi opini: berapa banyak yang mendukung, berapa banyak yang menentang, dan berapa banyak yang ragu-ragu.
Walter Lippmann telah lama mencatat, ‘Dunia yang harus kita hadapi secara politik berada di luar jangkauan, di luar pandangan, di luar pikiran.’ Pada masa Walter Lippmann, koran harian merupakan sumber utama informasi mengenai public affairs. Saat ini, kita mempunyai saluran komunikasi yang sangat luas, namun inti permasalahannya tetap sama. Hampir semua kekhawatiran dalam agenda publik, warga negara berhadapan dengan realitas tangan-kedua, sebuah realitas yang disusun berdasarkan laporan jurnalis mengenai peristiwa dan keadaan yang ada.
Berita harian mengingatkan kita akan peristiwa-peristiwa terkini dan perubahan-perubahan dalam lingkungan yang lebih luas di luar pengalaman langsung kita. Namun media berita tak hanya memberi sinyal adanya peristiwa dan isu besar. Melalui pemilihan dan penayangan berita sehari-hari, jurnalis memusatkan perhatian kita dan mempengaruhi persepsi kita tentang isu-isu terpenting saat ini. Peran media berita dalam mengidentifikasi isu-isu dan topik-topik utama saat ini dan kemampuannya agar mempengaruhi pentingnya isu-isu dan topik-topik dalam agenda publik disebut sebagai peran agenda-setting media berita.
Itulah sebabnya media berita dan khalayaknya, imbuh McCombs, begitu terpesona dengan jajak pendapat publik, khususnya selama kampanye politik. Orang punya pendapat tentang banyak hal, tapi hanya sedikit topik yang benar-benar penting bagi mereka. Peran media berita dalam menentukan agenda adalah pengaruhnya terhadap arti-penting sebuah isu, pengaruh terhadap apakah sejumlah besar orang menganggap penting mempunyai opini mengenai isu tersebut. Meskipun banyak isu yang bersaing mendapatkan perhatian publik, hanya sedikit yang berhasil, dan media memberikan pengaruh yang berarti terhadap persepsi kita tentang isu-isu apa saja yang teramat penting saat ini.

Nah, pertanyaannya adalah: Apakah saluran komunikasi internet berefek agenda-setting di kalangan publik? Dalam kajiannya, McCombs menyebutkan bahwa beragam saluran internet menunjukkan efek agenda-setting di kalangan masyarakat serupa dengan yang ditemukan selama beberapa dekade sejak surat kabar dan televisi. Misalnya saja di Amerika, pada pemilihan presiden Amerika tahun 2000, situs web kandidat mempengaruhi pentingnya isu-isu dalam agenda publik. Pentingnya rasisme sebagai sebuah isu meningkat di antara peserta yang berpaparan tinggi terhadap situs web eksperimental. Dan situs web kandidat pada pemilu Senat AS tahun 2010 mempengaruhi pentingnya tujuh isu di kalangan pemilih Indianapolis.
Beralih ke media berita online, semakin pentingnya isu-isu nasional di kalangan pemirsa CNN online dan isu-isu luar negeri di antara peserta eksperimen yang menonton New York Times online. Di Korea Selatan, dua layanan berita online alternatif, OhmyNews dan PRESSian mempengaruhi perhatian publik terhadap kematian dua siswi yang ditabrak kendaraan militer AS, sebuah isu yang mengakibatkan protes besar-besaran anti-AS.
Dengan transformasi lanskap komunikasi dalam beberapa dekade terakhir–pertama televisi kabel dan kemudian televisi satelit di antara media massa tradisional dan sekarang menjamurnya situs web dan personalisasi media sosial–beberapa pengamat memperkirakan akan berkurangnya, atau bahkan sirnanya, efek agenda-setting dalam skala tertentu.
Ketertarikan yang telah berlangsung lama terhadap efek media massa seringkali disertai dengan ketertarikan terhadap kekuatan relatif berbagai media komunikasi agar mencapai efek tersebut. Agenda-setting tak terkecuali. Begitu masyarakat memahami ide dasar agenda-setting, mereka akan segera bertanya media mana yang lebih ampuh dalam menetapkan agenda publik. Pada paruh kedua abad kedua puluh, perhatian diarahkan khususnya pada perbandingan antara surat kabar dan televisi. Sekarang kelengkapannya ditambah oleh media sosial.
Pada umumnya, pengaruh agenda-setting ini merupakan produk sampingan yang tak disengaja dari keharusan media berfokus pada beberapa topik dalam berita setiap harinya. Dan fokus yang ketat pada beberapa isu yang dilakukan oleh banyak media menyampaikan pesan yang kuat kepada audiens tentang topik apa yang paling penting saat ini. Agenda-setting mengarahkan perhatian kita pada tahap awal pembentukan opini publik, ketika sebuah isu muncul dan pertama kali menarik perhatian publik, sebuah situasi yang menghadapkan jurnalis dengan tanggungjawab etis yang kuat agar memilih secara cermat isu-isu dalam agenda mereka.

Tentu saja, ada sejumlah pengaruh penting lainnya yang membentuk sikap individu dan opini publik. Apa yang kita rasakan mengenai isu tertentu mungkin berakar pada pengalaman pribadi, budaya umum, atau paparan media. Tren opini publik terbentuk dari waktu ke waktu oleh generasi baru, peristiwa eksternal, dan media komunikasi. Kendati demikian, proposisi umum yang didukung oleh akumulasi bukti mengenai dampak agenda-setting adalah bahwa jurnalis memang mempengaruhi gambaran dunia khalayaknya secara berarti.

Terlepas dari agenda-setting, dan 'Fake-news’ bukanlah sesuatu yang baru, namun ada sesuatu yang terjadi di dunia sejak tahun 2016, meminjam perkataan James Ball, the power of bullshit conquered the world: Post-Truth.
Kita lanjutin perbincangan tentang Post-Truth ini dalam fragmen selanjutnya. Bi 'idznillah."

Lalu, Senduro bersenandung,

Is this a place that I call home?
[Inikah tempat yang kusebut rumah?]
To find what I've become
[Tuk temukan ku telah jadi apa]
Walk along the path unknown
[Berjalan di sepanjang jalur tak bertuan]
We live, we love, we lie *)
[Kita hidup, kita mencintai, kita berdusta]
Kutipan & Rujukan:
- Carroll J. Glynn, Susan Herbst, Mark Lindeman, Garrett J. O’Keefe & Robert Y. Shapiro, Public Opinion, 2018, Routledge
- Stuart N. Soroka & Christopher Wlezien, Degrees of Democracy: Politics, Public Opinion, and Policy, 2010, Cambridge University Press
- Sherry Devereaux Ferguson, Researching the Public Opinion Environment: Theories and Methods, 2000, Sage Publications
- Edward Bernays, Crystallizing Public Opinion, 2019, Gildan Media
- Maxwell McCombs, Setting the Agenda: The Mass Media and Public Opinion, 2014, Polity Press
*) "Spectre" karya Alan Walker, Jesper Borgen, Gunnar Greve, Tommy La Verdi, Marcus Arnbekk, Lars Rosness & Anders Froeen
[Episode 3]
[Episode 1]