'Kami disini, bergiliran bikin kopi,' kata sang mandor. 'Loe bisa kan bikin kopi?''Bisa pak,' kata sang pelamar.'Trus, loe bisa kan ngendarain forklift?', tanya sang mandor lagi.'Lha kok? Maaf pak mandor, seberapa gedhe sih, cofee makernya?'“Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, yang menjadi penentu kemanusiaannya, demikian konsepsi Islam tentang Kemanusiaan,” kata Yasmin sembari menilik ‘Bouquet de Mains’, cetakan tangan di dinding Gua Ilas Kenceng yang terletak di Kalimantan Timur."Saat lahir, manusia dianugerahi dengan watak alami, yang berkaitan erat dengan asprasi yang lebih tinggi, mencari makna dan yang bersifat transenden, sebuah cita-cita yang akan berkembang seiring dengan kedewasaannya mencapai usia akal dan kesadaran diri. Inilah watak alami yang disebut fiṭrah, dan dijelaskan dalam Al-Qur'an sebagai 'watak alami'. Allah berfirman,فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ'Maka, hadapkanlah wajahmu [yakni dirimu] dengan lurus kepada agama itu (Islam), condonglah pada kebenaran. [Berpegang-eratlah pada] fiṭrah [kecenderungan bawaan manusia menyembah Penciptanya sebelum sifatnya rusak oleh pengaruh eksternal. Dengan demikian, monoteisme Islam digambarkan sebagai agama fiṭrah—yaitu agama yang lekat pada umat manusia] kepada Allah yang menciptakan (seluruh) manusia (berdasarkan fitrah tersebut). Tiada perubahan pada ciptaan Allah itu [yakni manusia tetap tegak-lurus pada fiṭrahnya dalam agama Islam]. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tak mengetahui.' [QS. Ar-Rum (30):30]Fiṭrah mengingatkan kembali pada cikal-bakal umat manusia dan merupakan bagian integral dari unsur esensial umat manusia. Allah berfirman,وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ'(Ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Rabbmu?' Mereka menjawab, 'Ya, betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.' (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat engkau (tidak) mengatakan, 'Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini'." [QS. Al-A'raf (7):172]Dengan demikian telah tersegel perjanjian orisinal antara Allah dan umat manusia, yang menemukan ekspresi materialnya dalam watak alami ini, rasa ketertarikan ini, percikan dalam keberadaan setiap individu yang mendorongnya berangkat mencari makna—pertanyaan tentang 'mengapa (aku berada di sini)?'—yang direpresentasikan oleh Al-Qur'an sebagai cita-cita alami menuju Ketuhanan.Seluruh anak di bawah umur yang berada di bawah akil-balig, mereka dijamin masuk surga, saat mereka lahir dalam keadaan fiṭrah dan meninggal sebelum usia balig, kesucian mereka menjamin keselamatan mereka.Terlahir dalam kesucian dan berwatak alami yang menuntun mereka menuju pencarian kebenaran dan makna, umat manusia juga terpecah antara dua aspirasi yang bertentangan: yang satu menuju kebaikan, yang lain menuju kejahatan. Allah berfirman,وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ'Dan demi jiwa serta penyempurnaan-nya, lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.' [QS. Asy-Syams (91):9]Demikianlah dua dorongan yang bertentangan, yang bergumul dalam diri kita dan tumbuh serta berkembang dalam kehidupan kita di dunia. Keduanya hidup berdampingan dalam fitrah sampai kita mencapai usia balig, namun perubahan terjadi ketika kesadaran terbangun, dan manusia menjadi sadar akan realitas dunia, dan dengan demikian, memikul tanggungjawab—mukallaf [akil-balig, bertanggungjawab atas tindakannya]—atas pilihan yang dibuatnya. Aspirasi bawaan menuju transendensi ditumbangkan oleh ketegangan batin yang mendorong dua cinta kodrati menjadi kontradiksi: yang pertama, yang mengundang umat manusia agar tetap setia pada watak utamanya dan mendamaikan diri dengannya melalui pilihan hati-nurani; dan yang kedua, yang menyerunya tunduk pada naluri alaminya, yang pada akhirnya akan mengaburkan, menyelubungi dan membungkam watak aslinya, dan dengan demikian, membelenggunya pada hasrat dan nafsunya.Dalam Islam, jiwa dan raga tidaklah jahat. Dalam kesadaran penuh, manusia harus memilih antara yang baik dan yang jahat dengan akal budi, hati nurani, niat, dan qalbu. Dikala mereka mengatasi dorongan alami yang merendahkan martabatnya, mereka melepaskan belenggu kekuatan spiritualitas dan kebaikan yang selalu ada dalam dirinya laksana percikan, sebuah aspirasi. Kini, dikuatkan dengan iman, keadaannya menjadi sebuah penyingkapan, cahaya, dan pembebasan yang membawa mereka lebih dekat kepada Sang Ilahi. Terminologi Al-Qur'an di sini sangat jelas: orang yang mengingkari Allah adalah 'orang yang ingkar dan qalbunya terselubung'. Makna etimologis dari istilah Arab kufur adalah ‘terselubung’, ‘tertutup’, atau ‘terkunci’. Orang mukmin yang telah mengarahkan pandangan dan langkahnya menuju Sang Ilahi, akan berdamai dengan hakikat asli dirinya saat kembali kepada Allah dengan 'qalbu yang sehat' (qalbun salim: keadaan sehat dan suci yang sebenarnya), usai secara sadar dan melalui nalar, berdamai dengan dirinya sendiri. Inilah kedamaian yang dirasakan oleh anak-anak yang mengalami ketegangan batinnya secara tak sadar, dan dipilih menerimanya karena fitrahnya. Rasa damai orang dewasa yang sadar, akan bergantung pada pengesahan iman dan keputusan mengejar kebaikan.Dalam perspektif Islam, ciri yang menonjol dan bawaan dari manusia adalah martabat [dignity], atau kemuliaan, Allah berfirman,وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا ࣖ'Dan Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.' [QS. Al-Isra (17):70]Dalam masyarakat modern, khususnya masyarakat Barat, menurut Remy Debes, martabat—yaitu martabat manusia—mengacu pada nilai atau status moral mendasar yang dianggap dimiliki oleh semua orang secara setara. Istilah ini relatif baru, hingga sekitar tahun 1830–1850, baik istilah Ingglisy 'dignity', maupun akar kata Latinnya dignitas, ataupun istilah Perancisnya dignité, tak bermakna 'nilai yang melekat atau tak diperoleh dari semua orang'. Sebaliknya, 'martabat' berkonotasi prestasi yang konvensional, seperti 'pangkat yang lebih tinggi'. Dengan kata lain, hingga lebih dari satu abad yang lalu, martabat bermakna status sosial yang berkaitan dengan kebangsawanan, kekuasaan, sikap sopan, atau keistimewaan dalam gereja—bukan status moral yang fundamental, tak layak, dan dimiliki secara setara di antara manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan cerminan jelas dari fakta bahwa makna moral martabat telah menjadi normal pada tahun 1948: manusia adalah 'bebas dan setara dalam martabat dan hak' atau mereka bermartabat yang 'tak dapat diganggu gugat' dan (oleh sebab itu) hak yang 'tak dapat diganggu gugat dan tak dapat dicabut'.Ungkapan bahasa Arab yang setara dengan ‘martabat manusia’ adalah karamat al-insan. Dalam ayat tersebut bahwa 'Dan Kami telah memuliakan anak cucu Adam (karramna Bani Adam)' menandakan bahwa Allah satu-satunya sumber karam, Dialah yang menganugerahkan karam kepada manusia. Dengan kata lain: karamat bukanlah kualitas bawaan manusia; ia adalah anugerah istimewa dari Allah.Umat manusia menikmati kedudukan istimewa dalam konstruksi ciptaan yang lebih luas dalam dua cara: pertama, berdasarkan sifat dan konstitusinya, dan kedua, berdasarkan peran yang ditakdirkan mereka mainkan di muka-bumi, antara Allah, jagad-raya, sesama umat manusia, dan alam.Dalam hal ini, yang patut dipertanyakan adalah: siapakah yang akan diberi karam oleh Allah? Jawabannya tak mengejutkan, Allah berfirman,يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ'Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakanmu dari seorang lelaki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa [atqa; 'orang yang paling bertaqwa', secara harafiah bermakna kesadaran dan rasa takut kepada Allah, ketaqwaan dan keshalihan]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.' [QS. Al-Hujurat (49):13]Kata ‘atqa’ bermakna ‘paling bertaqwa’, 'yang paling takut kepada Allah'. Demikianlah Allah memberikan karam kepada seluruh manusia, namun ada yang mendapat sedikit, ada pula yang lebih banyak, sesuai derajat baktinya.Lalu, 'karam' itu berwujud apa? Allah mengisahkan tentang Firaun, karena mengejar Nabi Musa, alaishissalam, dan Bani Israil, Firaun dan bala tentaranya telah keluar dari negeri mereka dengan meninggalkan 'maqam karim' mereka: kerajaan, kebesaran, kemewahan, dan sebagainya. Allah berfirman,فَاَخْرَجْنٰهُمْ مِّنْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍ ۙ وَّكُنُوْزٍ وَّمَقَامٍ كَرِيْمٍ ۙ'Kami keluarkan mereka (Fir‘aun dan kaumnya) dari (negeri mereka yang mempunyai) taman, mata air, harta kekayaan, dan tempat tinggal yang bagus (maqam karim). [Allah menyebabkan mereka meninggalkan kekayaan dan harta benda mereka demi mengejar bani Israil].' [QS. Asy-Syu'ara (26):57-58]Ungkapan maqam karim diterjemahkan sebagai ‘tempat tinggal yang menyenangkan’, atau ‘tempat tinggal yang nyaman’. Namun ungkapan tersebut jelas mengandung makna kehidupan yang aman, bebas dari bahaya, sejahtera dan nyaman. Inilah yang layak diterima oleh orang yang shalih di sisi Allah sebagai manusia dan makhluk yang takut kepada Allah.Kedudukan tinggi (maqam karim) manusia menyiratkan kehendak bebas. Maknanya, dalam berbagai situasi kehidupan, manusia bebas menentukan apakah ia akan melakukan sesuatu atau tidak. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara manusia dan malaikat. Yang disebut terakhir hanyalah hamba tanpa kebebasan mengambil keputusan. Para malaikat tak punya pilihan: mereka hanya bisa menaati perintah Allah. Namun manusia sebagai makhluk rasional selalu mempunyai pilihan, yang menjadi sandaran martabatnya. Jika ia menaati Allah, maka ia akan mendapat kehormatan, namun jika ia mengingkari perintah Allah, maka ia akan mendapat hukuman. Perintah-perintah Allah yang diwahyukan kepada makhluk pilihan-Nya, dapat ditemukan dalam Al-Quran, dan oleh karenanya, Al-Quran memberikan pedoman kepada setiap orang tentang cara mencapai martabat manusia. Gagasan ini diungkapkan dalam bahasa simbolik Al-Quran, Allah berfirman,وَكَمْ قَصَمْنَا مِنْ قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَّاَنْشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا اٰخَرِيْنَ فَلَمَّآ اَحَسُّوْا بَأْسَنَآ اِذَا هُمْ مِّنْهَا يَرْكُضُوْنَ ۗ لَا تَرْكُضُوْا وَارْجِعُوْٓا اِلٰى مَآ اُتْرِفْتُمْ فِيْهِ وَمَسٰكِنِكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْـَٔلُوْنَ قَالُوْا يٰوَيْلَنَآ اِنَّا كُنَّا ظٰلِمِيْنَ فَمَا زَالَتْ تِّلْكَ دَعْوٰىهُمْ حَتّٰى جَعَلْنٰهُمْ حَصِيْدًا خٰمِدِيْنَ وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاۤءَ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لٰعِبِيْنَ'Betapa banyak (penduduk) negeri yang zalim telah Kami binasakan dan Kami lahirkan generasi yang lain setelah mereka (sebagai penggantinya). Maka, ketika mereka menyadari (dekatnya) azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri darinya (negeri itu). Janganlah kamu berlari tergesa-gesa. Kembalilah engkau kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik) agar engkau dapat ditanya [tentang apa yang terjadi padamu. Hal ini dikatakan kepada mereka dengan sarkasme dan ejekan]. Mereka berkata, 'Betapa celaka kami! Sesungguhnya kami adalah orang-orang zalim.' Kemudian, (kalimat) itu selalu menjadi keluhan mereka hingga mereka Kami jadikan seperti tanaman yang telah dituai dan (seperti api yang) padam. Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala apa yang ada di antara keduanya dengan main-main.' [QS. Al-Anbya (21):11-16]Orang yang menaati perintah Allah diangkat ke derajat wakil-wakil-Nya (khulafa’) di muka bumi. Ini bermakna bahwa Al-Quran berbicara tentang martabat manusia biasanya dalam kaitannya dengan moral, dan bukan dalam kaitannya dengan hukum.Orang-orang shalih akan dimuliakan; orang-orang yang tak beriman akan dipermalukan. Martabat merupakan nilai terpuji dalam kehidupan manusia. Martabat manusia tak berasal dari deklarasi universal, resolusi internasional, perjanjian regional, atau konferensi antar negara. Komitmen terhadap hal tersebut dari perspektif Islam didasarkan pada doktrin, bukan pada kepentingan yang bersifat kebetulan atau manfaat sementara. Dengan demikian, landasan kokoh harkat dan martabat manusia sebenarnya adalah doktrin agama Islam yang bersumber dari Al-Quran. Unsur pokok harkat dan martabat manusia adalah keamanan dan keselamatan dalam kehidupan bermasyarakat dan ditaatinya Kode Etik yang tertulis maupun tak tertulis dalam kehidupan pribadi. Pelanggaran terhadap nilai etika yang sah dari mayoritas [mayoritas sebenarnya bukan dalam hal mayoritas suku, agama atau ras, melainkan mereka yang berada dalam posisi tertentu] dan toleransi terhadap gaya hidup menyimpang dari minoritas yang dipaksakan oleh otoritas negara (di beberapa negara) merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia.Kualitas manusia, yang membedakannya dari para Malaikat, yang pertama dan terpenting, bebas. Kebebasan merupakan kondisi—dan salah satu penyebab—martabat kita. Kita harus menerimanya dan memanfaatkannya dengan baik. Kendati para Malaikat benar ketika mengatakan bahwa umat manusia seringkali menyalahgunakan kebebasan, kebebasan tersebut tetap menjadi ciri keluhuran manusia, dan terlebih lagi di antara mereka yang secara sadar menolak kejahatan, kerusakan, dan kekerasan.Kita bahas soal Kebebasan ini dalam episode berikutnya, bi i'dznillah."Sambil istirahat, Yasmin pun berdendang,Yaa man sallayta bikullil anbiya’[Duhai dikau yang memimpin shalat seluruh nabi]Yaa man fii qalbika rahmatul linnas[Duhai dikau yang qalbunya berisi rahmat bagi ummat manusia]Ya man allafta quluuban bil Islam[Duhai dikau yang menyatukan qalbu melalui Islam]Yaa habiibii yaa shafii’i yaa Rasulallah *)[Duhai kekasih, duhai pemberi syafaat, duhai Rasulullah]
Kutipan & Rujukan:
- Tariq Ramadan, Islam: The Essentials, 2017, Pelican
- Remy Debes (Ed.), Dignity: A History, 2017, Oxford University Press
- Michael Rosen, Dignity: Its History and Meaning, 2012, Harvard University Press
- Marcus Duwell, Jens Braarvig, Roger Brownsword & Dietmar Mieth (Eds.), The Cambridge Handbook of Human Dignity: Interdisciplinary Perspectives, 2014, Cambridge University Press
*) "Rahmatun Lil’Alameen" karya Firas Chouchane, Maher Zain, Muad Muhammad & Bara Kherigi