Jumat, 08 Maret 2024

Cerita Kembang Senduro: Ketika Rakyat Angkat Bicara (5)

“Kok kucing loe menggeram sewaktu gua lagi makan yaq?” tanya Minnie Mouse pada Daisy Duck. 'Apa doi pingin gua ngasih makan?'
'Kagak,' jawab Daisy. 'Doi ngambek, soalnya loe makan pake piring kesayangannya.'"

"Fenomena satire 'Kebenaran-Baru' telah mendunia, tak terkecuali Indonesia, negeri yang berubah jadi Wakanda atau Konoha kala rakyatnya sedang mempersoalkan isu 'pinggir jurang'—dikau dipastikan berurusan dengan aparat hukum. Sungguh, keadaan ini memprihatinkan, sesuatu yang tak membanggakan bagi pihak mana pun, negeri asuhan 'Bunda Prithvi'—yang kini sedang lara—ini, lagi gak sehat. Negeri Sabuk Khatulistiwa nan indah, telah menjadi negeri Cosplay, pagi hari, engkau bermain sebagai superhero, siang hari mengenakan kostum anti-hero, dan sore hari siap-siap bertukar lakon dengan Sulaeman Harsono, memerankan 'Bolot'—lelaki tunarungu dan hanya dapat mendengar jika topiknya berkisar wanita, uang dan makanan—di pentas malam," ucap Senduro sambil mengocok sebundel kartu remi, membaginya, mengambil salah satunya, dan vwalah, the 'Joker'.

"Selain itu, pemimpin barisan terdepan Indonesia dan para pendukungnya, bergerak menuju politik 'post-truth'. 'Truthiness' terus dipelihara guna mempertahankan kekuasaan. Menurut Elizabeth Suhay [et al], tatakelola demokratis bertumpu pada asumsi bahwa warga negara mengetahui apa yang benar. Pemahaman bersama mengenai realita, teramat penting guna pengambilan keputusan yang tepat, baik di bilik pemungutan suara maupun di lembaga-lembaga politik. Apabila asumsi tersebut keliru—yakni jika benak masyarakat dipenuhi dengan misinformasi dan 'fakta alternatif'—maka rakyat akan kesulitan memberikan suara yang mencerminkan kepentingan dan nilai-nilai mereka, serta meminta pertanggungjawaban para pemimpin. Demikian pula, jika kebenaran seringkali digantikan oleh 'truthiness' [sesuatu yang nampak atau terasa sebagai kebenaran, kendati belum tentu benar] dalam wacana publik, maka 'pasar mistis gagasan', kemungkinan semata menjadi pasar loak konseptual. Alih-alih gagasan terbaik muncul melalui pertimbangan yang kuat namun masuk akal, sudut pandang yang terlantang tapi murahan, kemungkinan besar bakalan menang.
Bila kita tengok ke Barat, kebenaran terus diperdebatkan sepanjang sejarah Barat, kata Alan Levine. Nietzsche menggambarkan perjuangan demi kebenaran sebagai 'politik yang benar-benar mewah', sebab kebenaran menetapkan bagaimana rakyat seharusnya hidup dan jenis tatanan politik yang dapat dibenarkan. Tatkala kebenaran metafisik utama telah terbangun, ia membatasi kemungkinan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kecil. Rakyat punya perdebatan, namun pada masa-masa normal, sebuah konsepsi tentang kebenaran membingkai perdebatan tersebut, dan masyarakat berfungsi dengan relatif lancar, sebab perjuangannya tercakup dalam beberapa parameter bersama.
Partisan, perang budaya, dan bangkitnya iliberalisme, semakin mengasingkan kita, imbuh Levine. Realitas keterbelahan kita semakin melebar, dan komitmen kita terhadap pemahaman bersama tentang kebenaran itu sendiri, dipertanyakan. Satu pihak mencemooh 'fakta alternatif' sebagai sebuah titik terendah dalam politik 'kebenaran-baru' yang tak tahu malu, sementara pihak lain mengecam 'fake-news' dan media 'lamestream' [media cetak dan penyiaran tradisional, ketika dipandang kurang berimbang, kreatif, dan lain-lain]. Walau amarah dari kedua belah pihak menunjukkan bahwa kita masih ingin percaya pada kebenaran yang melampaui keberpihakan, saling tuduh telah membuat pertanyaan tentang kebenaran menjadi kegemasan yang mendesak secara politis.

Para pemikir lawas dan abad pertengahan berusaha memahami realitas fisik dan kehidupan yang baik dan bermoral. Singkatnya, mereka kepo mengetahui bagaimana seharusnya manusia hidup. Mereka yakin bahwa pertanyaan tentang kebenaran moral amatlah penting, dan hal ini menimbulkan tuduhan dogmatisme terhadap mereka. Dakwaan ini tak berimbang sebab mereka tak yakin bahwa jawabannya dapat diperoleh. Mereka terbuka terhadap kemungkinan bahwa beberapa orang mungkin bisa menemukan kebenaran tersebut (walaupun hal ini masih belum pasti), namun mereka ragu seluruh masyarakat bisa menemukan kebenaran tersebut. Mereka ingin menunjukkan seperti apa konsepsi kebenaran yang utuh dan mendesak perhatian terhadap hal tersebut sebanyak mungkin, sekaligus menawarkan nasihat yang berguna secara politis tentang bagaimana hidup tanpa adanya kebenaran tersebut. Yang terpenting, mereka menekankan perlunya mencari kebenaran, sebagai praktik yang memanusiakan manusia, sebagai pengekang impuls kita yang terburuk, sebagai respons paling rasional terhadap paradoks keadilan dan pengetahuan, dan sebagai kehidupan terbaik itu sendiri.
Penekanan pada kebenaran moral universal umumnya dipandang dimulai oleh Socrates. Para filsuf sebelum Socrates membedakan antara fisis dan nomos. Fisis merupakan kata Yunani kuno untuk alam (darimana kita memperoleh ilmu Fisika), dan nomos, kata yang bermakna mufakat. Para pemikir pra-Socrates mencatat bahwa beberapa hal nampak benar secara universal dan yang lainnya tidak. Memang benar bahwa dimana-mana, seluruh makhluk hidup akan mati, api berkobar, dan benda-benda jatuh ke bawah, namun hukum, agama, dan pedoman moral, berbeda-beda di setiap tempat. Dari pengamatan ini, mereka menyimpulkan bahwa kebenaran universal, ada bagi hal-hal fisik tetapi tidak bagi hal-hal moral; hal-hal moral dibuat oleh manusia dan hanya ada berdasarkan mufakat. Socrates dianggap sebagai pemikir pertama yang memandang kritis terhadap keberadaan kebenaran moral universal, kebenaran moral bagi manusia.

Pemikiran abad pertengahan juga menempatkan kebenaran di atas segalanya, namun tak seperti para filsuf kuno, para pemikir abad pertengahan harus berhadapan dengan klaim wahyu dan orang-orang yang menafsirkannya. Tradisi keagamaan mempunyai standar kebenaran yang berbeda dengan para filsuf pagan kuno. Batu ujian mereka bukanlah alam melainkan Tuhan. Tuhan dikenal melalui wahyu, kebenaran yang diwahyukan-Nya kepada para nabi-Nya, tercatat dalam kitab suci. Singkatnya, para filsuf kuno dan abad pertengahan memandang serius kebenaran moral universal berdasarkan sifat rasional umat manusia. Kebajikan manusia berkembang dalam komunitas politik. Meskipun individu mungkin melampaui komunitasnya dalam hal kearifan. Para pemikir kuno dan abad pertengahan mendesak kita agar memajukan keadilan dengan saksama, tanpa merugikan komunitas yang merupakan sumber dari begitu banyak manfaat kemanusiaan.
Paham modern beralih dari konsepsi kebenaran moral kuno dan abad pertengahan, disiapkan oleh Machiavelli, yang sering dipandang sebagai pemikir politik modern pertama oleh sikap barunya terhadap kebenaran moral. Para pemikir modern, seperti rekan-rekan mereka di zaman dahulu dan abad pertengahan, sangat menyukai kebenaran, namun konsepsi tentang kebenaran di era yang berbeda sangatlah berbeda. Masyarakat modern mengutamakan kebebasan dan kreativitas manusia serta hendak menggunakan pengetahuan mereka agar menjadikan dunia milik kita. Gerakan modern berupaya menaklukkan alam berkontribusi pada kemajuan sains dan teknologi, namun mereduksi kebenaran moral menjadi sekadar nilai subjektif yang berpuncak pada era nihilisme moral.

Ide tentang post-truth menjadi semakin penting dalam menggambarkan kehidupan politik saat ini pada khususnya, dan beberapa perubahan penting dalam masyarakat secara lebih luas. Konsep ini sendiri, dimaksudkan merujuk pada, tergantung pada penafsirannya, keunggulan klaim-klaim yang tak diverifikasi atau dibuat-buat dalam debat politik, kurangnya penghargaan umum terhadap kebenaran dalam masyarakat kontemporer, dominasi emosi dengan mengorbankan ilmu, dan lain-lain. Demikian pula dengan evaluasi post-truth berkisar dari penolakan langsung, persetujuan, hingga keresahan yang dramatis.
Satire kebenaran-baru ini, merupakan zaman dimana politik tak lagi berfungsi melalui wacana rasional, melainkan pernyataan-pernyataan politik yang diperhitungkan secara cermat agar mendapat perhatian, kata Ignas Kalpokas. Jelas bahwa dalam lingkungan kebenaran-baru, ‘fakta’ tak lagi memberikan realitas yang dapat disepakati. Agak berparadoks, perkembangan ini dapat dilihat sebagai efek samping dari 'politik berbasis bukti' dan cara-cara lain yang sarat fakta dalam mengelola perdebatan politik dan proses pengambilan keputusan: terdapat begitu banyak fakta dan produsen fakta dimana penyederhanaan merupakan konsekuensi yang wajar; kelebihan pasokannya telah menyebabkan depresiasi nilai.
Semua ini dapat dilihat dalam konteks promosionalisme yang lebih luas, yang menandakan keadaan hubungan komoditas dan nilai pasar diperluas hingga mencakup setiap bidang kehidupan; ketika logika mendominasi dan promosi menjadi norma, maka orang itu sendiri, hubungannya dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas, dan juga kandidat politik, menjadi benar-benar post-truth, lantaran kejujuran dan kebohongan, keaslian dan kepalsuan, kehilangan makna pastinya: lagipula, semuanya menjadi promosi diri. Ia bukan semata isu politik: dalam masyarakat yang ditandai oleh persaingan yang memerlukan 'pencitraan diri yang sangat kompetitif, kesombongan-diri, hiperbola', semua orang tenggelam dalam serangkaian permainan kebenaran-baru yang melibatkan tenunan narasi dari pernyataan dan representasi yang dibuat guna mencapai hasil yang diinginkan, bukan oleh hubungannya dengan fakta yang dapat diverifikasi. Sementara itu, media sosial didasarkan pada promosi diri: dirimulah apa yang engkau tampilkan (yaitu caramu mempromosikan diri), dan promosi diri yang terus-menerus inilah, yang mendorong pembuatan konten, agar pengguna lain terhibur.
Dengan maraknya media sosial dan meningkatnya polarisasi partisan, kekhawatiran terhadap penyebaran misinformasi dan 'fake-news' semakin besar. Adanya rumor politik, teori konspirasi, dan informasi faktual yang tak benar, yang beredar bebas melalui situs web dan platform media sosial, yang kredibilitasnya meragukan, membuat lingkungan politik dipenuhi dengan informasi yang cenderung menyesatkan masyarakat.

Manusia senantiasa menentang aturan yang tak adil dan mengubah perilaku moral mereka dalam beragam situasi. Terkadang kita melakukannya dengan benar, kadang tidak. Namun kekeliruan tersebut tak dapat dikaitkan dengan relativisme moral. Hannah Arendt, membahas sesuatu yang sangat penting saat ia menulis bahwa satu-satunya argumen yang meyakinkan menentang pembunuhan adalah bahwa 'Gue gak pingin hidup di hadapan seorang pembunuh.' Cara kita menjalani hidup dengan tindakan moral kita, sama pentingnya, atau bahkan lebih penting dibanding apa pun. Kondisi kita bersifat interpretatif, dan karena kita tak bisa lepas dari kondisi ini, dan kondisi kita melibatkan pula kehidupan di antara orang lain dalam komunitas politik, maka masuk akal merangkulnya dalam cara kita berpikir tentang politik.
Pilihan politik adalah tentang tak berdiam diri dan mengakui bahwa sebagai anggota masyarakat yang beragam, kita semua wajib saling mendengarkan paparan masing-masing dan menghargai bagaimana tindakan kita berkonsekuensi yang tak langsung. Tanggungjawab politik mengharuskan kita mengambil beban utama yang terkait dengan tindakan kita (kita bertanggungjawab atas keputusan dan perilaku kita), namun pilihan kita berpengaruh pula pada dampak sosial dan politik yang lebih luas. Dalam hal ini, dengan siapa kita bersekutu, mengharuskan kita menerima konsekuensi non-linear dari tindakan tersebut.

Dalam politik, keputusanlah yang mengubah aktivitas berpikir dan menjadikannya publik. Melalui keputusan itulah seseorang masuk ke dalam lingkaran hermeneutik [sebuah metode interprestasi], dan secara publik. Karena politik tentang bertindak bersama orang lain dan tak bisa semata berupa aktivitas berpikir, tak masalah jika kita menganggap diri kita berbeda dari apa yang disarankan oleh tindakan kita.
Sistem politik kita yang sebagian besar rusak, adalah akibat dari jauhnya sistem tersebut dari kehidupan rakyat biasa. Sangat sulit berperan didalamnya. Kita hendaknya mempermudah rakyat agar berpartisipasi dalam politik, menghapus peran private money dan corporate influence. Kita perlu memberdayakan rakyat, namun memastikan pula bahwa rakyat kita punya sumber daya dan alat untuk berpartisipasi.
Kelas politik kita gagal karena kita membiarkan para pembohong dan penipu ikut serta dalam politik, terlepas dari apakah kita benar-benar berpikir merekalah orang yang tepat atau tidak. Tiada kesetaraan kesempatan tanpa adanya kesetaraan kondisi. Kita perlu menyediakan sistem pelayanan yang kuat dan universal hingga sebanyak mungkin orang memiliki kesempatan berpartisipasi dengan cara yang bermakna.

Aspek partisipatif telah lama hadir dalam teori demokrasi dan gerakan sosial, kata Donatella della Porta. Proses pengambilan keputusan dimana, dalam kondisi kesetaraan, inklusivitas, dan transparansi, proses komunikatif berdasarkan kekuatan argumen yang baik, dapat mengubah preferensi individu, sehingga menghasilkan keputusan yang berorientasi pada kepentingan publik, disebut sebagai demokrasi partisipatif deliberatif. Secara khusus, demokrasi deliberatif [musyawarah-mufakat] pada kenyataannya ‘memerlukan wujud-wujud kesetaraan yang nyata di antara warga negara’, musyawarah terjadi di antara warga negara yang bebas dan setara (sebagai ‘musyawarah bebas di antara yang sederajat’). Minimal, 'seluruh warga negara hendaknya mampu mengembangkan kapasitas yang memberi mereka akses efektif terhadap ruang publik', dan 'saat berada di ruang publik, mereka seyogyanya diberikan penghormatan dan pengakuan yang cukup sehingga mampu mempengaruhi keputusan yang berdampak pada mereka ke arah yang menguntungkan'. Permusyawaratan semestinya mengecualikan kekuasaan yang berasal dari paksaan, namun juga tak memberikan bobot yang setara terhadap para peserta sebagai perwakilan organisasi dengan ukuran berbeda atau sebagai individu yang lebih berpengaruh.
Hal yang juga umum dalam konsepsi tradisional demokrasi partisipatif adalah penekanan pada inklusivitas. Seluruh warga negara yang berkepentingan dalam keputusan yang akan diambil, hendaknya dilibatkan dalam proses tersebut dan mampu mengekspresikan pandangan mereka. Artinya, proses musyawarah berlangsung dalam kondisi pluralitas nilai, termasuk orang-orang yang berbeda pandangan namun menghadapi permasalahan bersama. Ini juga merupakan premis sentral dari konsepsi musyawarah, karena musyawarah (atau bahkan komunikasi) didasarkan pada 'belief' (keyakinan). Selain itu, transparansi sejalan dengan demokrasi yang langsung dan partisipatif: pertemuan biasanya dilakukan secara terbuka dan merupakan ruang publik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu perkumpulan, yang urusan-urusannya diatur melalui musyawarah-mufakat para anggotanya.

Demokrasi deliberatif memerlukan transformasi preferensi dalam interaksi’; ia merupakan proses dimana preferensi awal diubah untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Dalam pengertian ini, demokrasi deliberatif berbeda dengan konsep demokrasi sebagai agregasi preferensi (yang dihasilkan secara eksogen [berasal dari atau disebabkan oleh faktor-faktor luar]). Pengaturan yang deliberatif memfasilitasi pencarian tujuan atau kebaikan bersama. Dalam model demokrasi ini, perdebatan politik diorganisir berdasarkan konsepsi alternatif mengenai kepentingan publik, dan, yang terpenting, perdebatan ini menarik identitas dan kepentingan warga negara dengan cara yang berkontribusi terhadap pembangunan publik atas kepentingan publik.
Secara khusus, demokrasi permusyawaratan ini, menekankan pada nalar, argumentasi, dan dialog: rakyat diyakinkan oleh kekuatan argumen yang lebih baik (dan tentu, bukan 'post-truth'). Musyawarah didasarkan pada arus komunikasi horizontal, daya-muatnya berlipat-ganda, peluang interaktivitas yang luas, perbandingan didasarkan pada argumentasi rasional, dan sikap mendengarkan secara timbal-balik. Keputusan bergantung pada argumen yang dipandang masuk akal oleh para peserta. Konsepsi ini, juga sering mengacu pada praktik konsensus, dimana keputusan dapat disepakati oleh seluruh peserta–berbeda dengan aturan mayoritas, dimana keputusan dilegitimasi melalui voting.

Kita terusin lagi Demokrasi Partisipatif ini dalam fragmen selanjutnya. Bi 'idznillah."

Dan sebelum masuk ke episode berikutnya, Senduro angkat suara,

In the day, in the night
[Di siang hari, di malam hari]
Say it right, say it all
[Ucapkan dengan benar, katakan semuanya]
You either got it or you don't
[Baik yang dikau peroleh maupun tidak]
You either stand or you fall *)
[Baik dikau tegak maupun terpuruk]
Kutipan & Rujukan:
- Ignas Kalpokas, A Political Theory of Post-Truth, 2019, Palgrave Pivot
- Elizabeth Suhay & David C. Banker (Eds.), The Politics of Truth in Polarized America, 2021, Oxford University Press
- Ilan Zvi Baron, How to Save Politics in a Post-Truth Era: Thinking Through Difficult Times, 2018, Manchester University Press
- Donatella della Porta, Democracy in Social Movements, 2009, Palgrave
*) "Say It Right" karya Timothy Mosley, Nelly Furtado & Floyd Nathaniel Hills
[Episode 6]
[Episode 4]