Sabtu, 09 Maret 2024

Cerita Kembang Senduro: Ketika Rakyat Angkat Bicara (6)

"Sepasang tempat pangkas rambut saling berhadapan dan bersaing ketat. Yang satu memasang papan iklan, 'POTONG RAMBUT CUMAN GOCENG'. Pesaingnya memasang papan bertuliskan, 'KAMI MEMPERBAIKI POTONGAN RAMBUT GOCENGAN'."

“George Orwell bilang bahwa para pembela setiap jenis rezim mengklaim bahwa rezim mereka itulah sebuah demokrasi,” lanjut Senduro seraya memandangi potret seorang lelaki berkumis kecil bergaya sikat gigi: 'Toothbrush moustache'.
"Memang tak mengherankan, kata benda 'demokrasi' menghasilkan keganjilan, sampai-sampai empat suku kata, 'de–mo-kra-si', kala dilontarkan dengan lantang ke khalayak ramai, bakalan dengan mudah melucuti lawan-lawannya dan menepis seluruh pengkritiknya, kata Tomislav Sunic. Perkataan ini, apalagi jika dicantumkan pada panji sistem liberal modern, juga bisa menjadi kedok ideal bagi kejahatan politik yang amat keji. Dalam sejarah terkini, ia berguna sebagai alibi, yang dirancang khusus untuk melakukan pembunuhan berantai terhadap aktor politik (yang dituduh) 'non-demokratis'. Atau, dalam hal ini, ungkapan yang lebih santun, semisal ‘memperjuangkan demokrasi’, bisa menjadi tempat yang aman guna mengebom seluruh negara yang (didakwa) ‘non-demokratis’ agar tunduk. Kementerengan yang disiratkan oleh kata benda umum ini, berdasarkan waktu dan tempat spesifik penggunanya, dapat bermakna segalanya, dan pada saat yang sama, tak berarti apa-apa. Kata benda ini, dan kualifikasi demokratisnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gudang leksikal setiap politisi.

Ketika mempersoalkan suatu sistem politik, 'kebaikan' hakiki tak dapat dibuktikan. Tiada sistem politik yang lebih disukai di segala zaman, keadaan, dan tempat bersejarah. Berargumentasi bahwa bentuk pemerintahan terbaik adalah yang paling memenuhi kepentingan rakyat semata berarti mengalihkan perhatian dari persoalan ini, sebab terdapat beragam cara yang saling bertentangan dalam mendefinisikan 'kepentingan' kolektif (seperti kemakmuran, kebahagiaan, kekuasaan, dan takdir).
Jika kita mengambil contoh demokrasi, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah sistem pemerintahan ini, dapat diterapkan di seluruh dunia. Demokrasi telah dijadikan sasaran dua jenis kritik. Yang pertama ditujukan terhadap prinsip demokrasi itu sendiri dan umumnya berinspirasi anti-demokrasi. Sebaliknya, yang kedua, penyesalan akan kenyataan bahwa praktik demokrasi jarang sejalan dengan cita-cita atau teori demokrasi, dan menyarankan solusi yang mungkin untuk memperbaiki situasi tersebut.
Kritik klasik dari para penulis ternama, demokrasi merupakan pemerintahan divisi, ketidakstabilan, dan ketidakmampuan terhadap keunggulan yang setara—kediktatoran angka atau penjumlahan dan keadaan biasa-biasa saja. Sistem kepartaian, menurut pendapat tersebut, mengancam persatuan nasional dengan melahirkan ‘perang saudara endemik’. Melalui pemilu dan parlementerisme, orang yang paling biasa-biasa saja, bisa berkuasa. Karena jumlah orang yang mengambil bagian dalam proses politik lebih tinggi di negara-negara demokrasi, permainan politik hanya menjadi bentrokan antara kepentingan-kepentingan tertentu yang berlawanan. Hal ini pada gilirannya menumbuhkan demagogi, membuat masyarakat kehilangan pandangan terhadap kepentingan umum. Karena mereka harus dipilih kembali, para pemimpin tak mampu mengembangkan proyek jangka panjang dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan namun tidak populer. Apa yang mereka lakukan adalah, mendorong sejumlah kelompok membuat pernyataan yang bertentangan dengan kepentingan umum; mereka berbicara dalam ‘bahasa massa’ dan, demi memuaskan sebagian besar orang, mereka menggunakan naluri yang paling rendah. Demokrasi pasti mengarah pada anarki, hedonisme massal, dan materialisme egaliter. Kebaikan umum yang merosot menjadi hal biasa.‘Berkuasanya kebebasan’ menunjukkan dirinya tak lain hanyalah kekuasaan kuantitas. Demokrasi menghabiskan apa yang telah dihasilkan oleh zaman-zaman sebelumnya. Kekuasaan satu orang digantikan oleh kediktatoran dan tirani opini publik. Dukungan individu 'rata-rata' menyebabkan penurunan level secara umum.

Jika kita kilas balik ke era demokrasi Yunani, orang-orang Yunani, pada dasarnya membedakan demokrasi dengan dua sistem lainnya: tirani dan aristokrasi. Demokrasi mengandaikan tiga kondisi: isonomi (kesetaraan di depan hukum), isotimi (persamaan hak mengakses seluruh jabatan publik), dan isegory (kebebasan berekspresi). Inilah demokrasi langsung, yang juga dikenal sebagai demokrasi ‘face to face’, sebab seluruh warga negara dapat mengambil bagian dalam ekklesia, atau pertemuan. Musyawarah dipersiapkan oleh boule (dewan), tetapi majelis rakyatlah yang merupakan badan pengambil keputusan yang sebenarnya. Majelis tersebut menunjuk duta besar, memutuskan masalah perang dan perdamaian, meluncurkan dan mengakhiri ekspedisi militer, mengkaji kinerja hakim, mengeluarkan dekrit, meratifikasi undang-undang, memberikan hak kewarganegaraan, dan mempertimbangkan masalah keamanan publik. Singkatnya, ‘rakyatlah yang memerintah, bukan diperintah oleh individu-individu terpilih’.
Gagasan tentang kewarganegaraan, kebebasan, dan persamaan hak politik, serta kedaulatan rakyat, saling terkait erat di era Yunani. Kewarganegaraan sebagai suatu fungsi, dengan demikian berasal dari gagasan kewarganegaraan, suatu status yang merupakan hak prerogatif eksklusif sejak lahir. Menjadi warga negara berarti, dalam makna yang seutuhnya, menjadi bagian dari tanah air—yakni, tanah air dan masa lalu. Seseorang terlahir sebagai orang Athena—seseorang tak menjadi sepertinya (walaupun ada pengecualian yang jarang terjadi).

Dalam bahasa Yunani, kebebasan berasal dari asal usul seseorang. Orang yang bebas, eleutheros, pada dasarnya orang yang termasuk dalam ‘kawanan’ tertentu (kata Latin liberi, ‘anak-anak’). 'Dilahirkan dari kawanan yang baik berarti bebas'. Asal makna dari kata ‘kebebasan’ sama sekali tak menyiratkan gagasan ‘sebebas-bebasnya’ sebagai emansipasi dari suatu komunitas tertentu. Sebaliknya, ia menyiratkan suatu bentuk kepemilikan—dan inilah yang memberikan kebebasan. Oleh karenanya, manakala orang-orang Yunani berbicara tentang kebebasan, yang mereka maksudkan bukanlah hak lari dari pengawasan kota, atau hak melepaskan diri dari batasan-batasan yang mengikat setiap warga negara. Yang ada dalam pikiran mereka adalah hak—dan kemampuan politik—yang dijamin oleh undang-undang untuk berpartisipasi dalam kehidupan kota, memberikan suara dalam majelis, memilih hakim, dan lain-lain. Kebebasan tak melegitimasi pemisahan diri, namun memberikan sanksi yang justru sebaliknya: jalinan yang mengikat setiap orang pada kotanya. Ia bukanlah kebebasan sebagai otonomi, namun kebebasan sebagai partisipasi. Ia tak dimaksudkan meluas ke luar komunitas, melainkan dipraktikkan semata dalam kerangka polis. Kebebasan menyiratkan kepemilikan.
Ketika Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan politik’ dan makhluk sosial, ia menyarankan agar manusia tak lepas dari perannya sebagai warga negara—sebagai orang yang hidup dalam komunitas terorganisir, polis, atau civitas. Pandangan ini bertentangan dengan konsep liberalisme modern, yang berasumsi bahwa individu melampaui rakyat dan bahwa orang itu, sebagai individu, sekaligus lebih dari sekedar warga negara. Di kalangan masyarakat Yunani, kesetaraan semata sarana menuju demokrasi, bukan tujuan demokrasi. Kesetaraan politik berasal dari kewarganegaraan—dari kepemilikan seseorang terhadap suatu masyarakat tertentu.

Liberalisme dan demokrasi bukanlah hal yang bersinonim. Demokrasi merupakan sebuah ‘-krasi’, yaitu sebuah bentuk kekuasaan politik, sedangkan liberalisme adalah sebuah ideologi yang membatasi seluruh kekuasaan politik. Demokrasi didasarkan pada kedaulatan rakyat; liberalisme, tentang hak-hak individu. Demokrasi perwakilan liberal menyiratkan pendelegasian kedaulatan, yang sebenarnya sama saja dengan turun takhta oleh rakyat. Dalam sistem perwakilan, rakyat memilih wakil-wakil yang memerintah mereka: para pemilih melegitimasi kekuasaan sejati yang secara eksklusif berada di tangan para wakilnya. Dalam sistem kedaulatan rakyat sejati, calon terpilih hanya dipercaya untuk mengutarakan kehendak rakyat dan bangsa; mereka tak mewujudkannya.
Pengalaman menunjukkan—dan ini merupakan pernyataan yang lumrah, namun perlu diwaspadai—bahwa rezim demokratis juga bisa menjadi rezim penindasan, kolonialisme, dan teror. Kita harus menghadapi kenyataan: tiada prosedur demokrasi yang bisa menjadi jaminan mutlak melawan otokrasi dan despotisme. Pemerintahan yang populer bisa menjadi tiran. Keotoriteran gak melulu mewakili monarki atau oligarki, melainkan, ia merepresentasikan kerusakan yang selalu mungkin terjadi dan mengancam—dengan berbagai cara—seluruh sistem politik.

Prinsip dasar demokrasi, menurut Alain de Benoist, lebih bersifat ‘holistik’, yaitu: pengakuan terhadap fakta bahwa rakyat punya hak prerogatif politik. Persamaan hak tak mencerminkan persamaan alamiah apa pun; melainkan hak yang berasal dari kewarganegaraan, yang pelaksanaannya memungkinkan partisipasi individu.
Dalam sistem demokrasi, seluruh warga negara memiliki hak-hak politik yang sama, bukan karena hak-hak yang tak dapat dicabut, yang dimiliki oleh ‘pribadi manusia’, melainkan karena mereka semua merupakan bagian dari komunitas nasional dan masyarakat yang sama–yaitu, berdasarkan kewarganegaraannya. Dasar demokrasi bukanlah gagasan tentang ‘masyarakat’, namun tentang komunitas warga negara yang semuanya merupakan pewaris sejarah yang sama dan/atau ingin meneruskan sejarah itu, menuju tujuan yang sama. Prinsip dasar demokrasi bukanlah ‘satu orang, satu suara’, namun ‘satu warga negara, satu suara’.

Gagasan utama demokrasi bukanlah angka, hak pilih, pemilu, atau perwakilan, melainkan partisipasi. Demokrasi adalah partisipasi rakyat dalam menentukan nasibnya. Bentuk pemerintahan inilah yang mengakui hak setiap warga negara mengambil bagian dalam urusan publik, khususnya dengan menunjuk pemerintah dan memberikan atau menolak persetujuannya terhadap pemerintahan tersebut. Jadi, bukanlah institusi yang membuat demokrasi, melainkan partisipasi rakyat dalam institusi. Maksimum demokrasi tak terjadi bersamaan dengan ‘kebebasan maksimum’ atau ‘kesetaraan maksimum’, namun dengan partisipasi maksimum.
Di Indonesia, dan bagi orang Indonesia, gagasan partisipasi ini, telah ada sejak tempo dulu, dalam budaya, dalam perjuangan meraih kemerdekaan, kemudian dirangkum ke dalam setiap alinea Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai nilai-nilai bersama dan prinsip-prinsip, yang mempersatukan dan menuntun mereka menuju kebenaran, hingga akhir zaman.

Ada banyak hal terkait demokrasi yang bisa kita bicarakan, semisal 'Human Rights' ataupun 'Hate Speech', namun perkenankan daku rehat sejenak. Betewe, Ramadhan telah menjelang, maka di episode selanjutnya, bestieku Yasmin, akan bercerita tentang Ramadhan.
Kurasa, untuk sementara kita cukupkan dulu perbincangan kita, insya Allah kita bertemu kembali. Dan, Allahu a'lam."

Kemudian Senduro pun bersenandung,

Yo, listen up, here's a story
[Yo, dengerin, gini critanya]
About a little guy
[Tentang 'little guy']
that lives in a blue world
[yang hidup dalam dunia biru]
And all day and all night
[Dan sepanjang siang dan malam]
and everything he sees is just blue
[dan segala yang dilihatnya hanyalah warna biru]
like him, inside and outside *)
[seperti dirinya, dalam dan luar]
Kutipan & Rujukan:
- Alain de Benoist, The Problem of Democracy, 2011, Arktos Media
- James S. Fishkin, When the People Speak: Deliberative Democracy and Public Consultation, 2009, Oxford University Press
*) "A Decade in Blue (Da Ba Dee)" karya Maurizio Lobina, Jeffrey Jey & Gabry Ponte