Kamis, 21 Maret 2024

Ramadan Mubarak (9)

"Seorang pasien datang menemui dokternya, 'Dokter, saya ada masalah. Saya sering banget lupa.'
'Sudah berapa lama Anda mengalami masalah ini?' tanya sang dokter.
Diam sejenak, sang pasien berkata, 'Maaf dokter, masalah apa ya?'”

"Manusia menjadi spesies kunci dalam ekologi api. Mereka membawa api di tempat yang berkembang pesat secara alami, membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah diketahui sebelumnya, dan di mana pun mengubah pola berbiaknya api," ucap Yasmin sembari mengamati kaldera Gunung Bromo dengan lebar diameter hingga 800 meter membentang dari Selatan ke Utara, kurang lebih 600 meter jika diukur dari Barat ke Timur, dan terbentuk akibat letusan Gunung Tengger. Nama Bromo diambil dari nama dewa Hindu, Brahma, dewata berwajah empat yang menghadap ke empat penjuru mata angin.

“Johan Goudsblom berpendapat bahwa pengendalian manusia terhadap api menghasilkan transformasi pertama dalam kehidupan manusia. Manusia purba kini bukan lagi predator: pengendalian api memungkinkannya mengurung hewan dan membuka lahan. Tanpa hal ini, pertanian—transformasi kedua—takkan mungkin terjadi. Pengendalian atas api juga memperkenalkan kemungkinan memasak, yang membedakan manusia dari margasatwa dan dapat dipandang sebagai asal mula ilmu pengetahuan. (Penggunaan asap mungkin juga merupakan bentuk komunikasi yang pertama.) Pengendalian terhadap api, tentu saja, mengarah pula pada pembuatan kue, keramik, dan peleburan ('budaya kembang api'), yang memungkinkan pembuatan belati dan pedang dari logam. Namun transformasi besar ketiga, dan yang paling penting, setelah pertanian, kata Goudsblom, ialah industrialisasi, penyatuan api dengan air, guna menghasilkan uap, memanfaatkan bentuk energi baru yang memungkinkan mesin-mesin dengan ukuran dan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk melakukan keterampilan rutin tertentu, yang jauh lebih baik dan lebih cepat dibanding yang dapat dilakukan dengan tangan.
Klaim telah dibuat mengenai penggunaan api sejak 1,42 juta tahun yang lalu. Setidaknya tiga belas situs di Afrika memberikan bukti, yang paling awal ialah Chesowanja di Kenya, yang berisi tulang binatang bersama peralatan Oldowan dan tanah liat yang terbakar. Sebanyak lima puluh keping tanah liat yang terbakar ditemukan dan, bagi beberapa ahli paleontologi, tata letak batu-batu tertentu menunjukkan adanya perapian. Menariknya, tak ada tanah liat terbakar yang ditemukan di luar area sempit ini dan pengujian terhadap tanah liat itu sendiri, menunjukkan bahwa tanah tersebut telah terbakar hingga suhu sekitar 400°, kira-kira seperti suhu api unggun. Peralatan batu telah ditemukan terkait dengan sisa-sisa hewan yang terbakar di beberapa situs di Tiongkok, yang berasal dari sebelum satu juta tahun yang lalu. Johan Goudsblom menyatakan bahwa tak ada spesies satwa yang dapat mengendalikan api seperti halnya manusia. Beberapa ahli prasejarah meyakini bahwa manusia purba mungkin menganut api, sebab daging hewan yang dipanggang lebih awet (simpanse telah diamati mencari biji afzelia setelah kebakaran hutan; biasanya terlalu sulit dimakan, karena mudah hancur setelah kebakaran). Arkeolog C. K. Brain mengajukan gagasan bahwa kendali manusia terhadap apilah yang membantu mengubah manusia dari mangsa kucing besar menjadi pemangsa—api memberikan perlindungan yang tak dimiliki manusia sebelumnya. Dan di Spanyol terdapat bukti penggunaan api sebagai cara untuk mengurung gajah ke dalam rawa, tempat mereka disembelih. Di kemudian hari, menjaga agar api tetap menyala mendorong organisasi sosial. Bukti terbaru melaporkan adanya api unggun, dengan pecahan batu api yang terbakar, dalam kelompok-kelompok kecil, menunjukkan adanya perapian, yang berasal dari 790.000 tahun yang lalu, di Gesher Benot Ya|aqov di Israel utara. Oleh karenanya, pengendalian dan penggunaan api dapat dipandang sebagai gagasan yang pertama kali dipelajari oleh manusia primitif.

Kitalah makhluk api yang unik, di planet api yang unik, kata Stephen J. Pyne. Benda planet lain di tata surya yang berunsur api—Jupiter bersumber penyalaan dari petir; Mars sedikit beroksigen bebas; Titan punya bahan bakar berbasis metana. Hanya Bumi yang memiliki semua elemen penting dan jika digabungkan—cuma Bumi yang berkehidupan. Kehidupan laut memasok oksigen ke atmosfer, dan kehidupan darat memenuhi benua dengan bahan bakar karbon.
Sejak saat itu, api dan kehidupan telah menyatu secara biotik, sebuah keterkaitan yang dilambangkan dengan pinus Ponderosa, yang ditumbuhkan dalam debu api, dipangkas oleh panas api, diberi nutrisi yang dilepaskan oleh api, dan mungkin dikonsumsi oleh nyala api terakhir. Maka, bumi—lahannya dipenuhi bahan bakar organik, atmosfernya jenuh dengan oksigen, permukaannya disambar petir—metastabil. Yang lebih meresahkan lagi, makhluk planet ini, tak semata mampu beradaptasi terhadap kehadiran api, atau bahkan cenderung mengeksploitasi dan mendorong terjadinya api, namun pula, makhluk yang mampu memicu dan menghentikannya. Makhluk api mendominasi planet api. Sejarah planet ini, tak dapat dipahami, tanpa sejarah api.
Konsep dunia api, sebagaimana hampir semua praktik dan keyakinan terhadap api, memiliki dasar dalam realitas ekologi. Bumi merupakan dunia api, namun terlebih lagi, bagi manusia, api telah memungkinkan adanya hubungan istimewa dengan dunia tersebut. Api dan manusia telah berevolusi bersama, seperti untaian molekul DNA yang terikat. Prevalensi manusia sebagian besar disebabkan oleh pengendalian mereka terhadap api; dan distribusi serta karakteristik api menjadi amat bergantung pada manusia. Api dan kemanusiaan menjadi hal yang tak terpisahkan dan sangat diperlukan. Bersama-sama keduanya telah berulangkali mereka-ulang bumi.

Api telah memberi lingkungan hidup sebuah ikonografi yang jelas dan berdaya tarik yang luas. Apa pun pesan pembinasaan yang mereka sampaikan, para aktivis berusaha menghidupkannya dengan api, di televisi atau jurnal foto. Hasil yang dapat diprediksi, bahwa mengasosiasikan api dengan berbagai jenis kehancuran telah mengidentifikasi api itu sendiri sebagai sebuah penghancur. Tatanan api dunia baru tampaknya merupakan tatanan yang di desain di atas api.
Api merupakan tujuan sekaligus sarana. Terimalah bahwa baik bumi maupun umat manusia, tak dapat melepaskan api dan menjadi seperti apa adanya, dan geografi api masa kini punya penafsiran yang berbeda. Api dihasilkan oleh biokimia khusus—yang terkadang merupakan katalisator praktik antropogenik, namun terkadang merupakan produk reaksi yang dikatalisasi oleh manusia. Terlalu banyak api sama saja dengan terlalu sedikitnya api, dan terlalu sedikit api bisa sama merusaknya dengan terlalu banyak api. Permasalahan kebakaran di bumi salah satunya adalah maldistribusi. Terdapat terlalu banyak jenis kebakaran yang salah di tempat atau waktu yang salah, dan tak terdapat cukup jenis kebakaran yang tepat pada tempat dan waktu yang tepat. Mungkin apinya terlalu sedikit dan pembakarannya terlalu banyak. Bertentangan dengan kepercayaan umum, hampir pasti bahwa jumlah kebakaran di planet ini jauh lebih sedikit dibandingkan saat Columbus berlayar.

Apa yang kita sebut api merupakan sebuah reaksi kimia, yang menjadikannya sebuah pemindah-bentuk. Api adalah faktor yang dihasilkan oleh lingkungannya. Tak seperti air, tanah, dan udara, ia tak memiliki berat, tak dapat berubah dari menit ke menit, dan tak dapat berpindah dengan sendirinya, dan tak dapat dipompa atau dibuang ke tempat lain. Dikau tak menggalang api seperti halnya dirimu menggotong udara, air, atau tanah: engkau menatang bahan-bahan yang memungkinkannya bereaksi. Dengan mengubah pengaturan api, maka engkau mengalihkan ekspresi api. Ia dapat terjadi dalam satu peristiwa, sebagaimana api yang membara menembus lahan organik, berkobar di rerumputan dan semak-semak kering, dan menerjang kanopi tumbuhan runjung. Sepercik api, jamak wujudnya.
Kita jarang mempelajari api itu sendiri; melainkan kita memahami api dalam konteks disiplin ilmu lain. Reaksi oksidasinya dikaji dalam kimia. Mekanisme pemanasannya termasuk dalam bidang fisika atau teknik mesin. Asap dan gumpalannya muncul dari meteorologi. Dampak ekologisnya berasal dari biologi. Pembakaran tertutup termasuk dalam bidang teknik; pembakaran terbuka, di bidang kehutanan. Oleh karenanya, penentuan kita tentang api, bergantung pada tapak kita menempatkan subjeknya. Dalam satu konteks, kimia, dalam kerangka lain, fisika, dalam keadaan lain biologi, atau bahkan antropologi. Kita mengetahuinya saat kita melihatnya, namun cara kita melihatnya, menentukan cara kita menetapkan apa yang kita kira, kita ketahui.

Api bukanlah reaksi kimia yang terjadi bebas di planet ini dan terkadang meletup menjadi nyala api yang membumbung tinggi. Ia merupakan proses yang tertanam secara integral dalam kehidupan di bumi. Kehidupan menimbulkan api, kehidupan memelihara api, dan kehidupan secara bertahap menyerap api dalam jaringan ekologisnya.
Perilaku api terletak pada batas yang tak jelas antara fisik dan biologis. Kehidupan memasok oksigen mentah dan biomassa, dan matriks tanaman hidup—dan mati—mengintegrasikan reaksi tersebut; namun angin, kestabilan atmosfer, panas matahari, kemiringan lereng, jurang, mesa, dan kondisi geografis fisik suatu lokasi, baik kecil maupun besar, membentuk zona api saat ia melayang ke atas, meluncur melewati lereng bukit, melambat, mendaga hembusan angin, membara di lahan gambut atau kilatan api melalui padang rumput yang terpanggang. Terlebih lagi, kehidupan tak mengontrol sumber penyulutnya.

Sifat kehidupan yang berdasarkan fotosintesis menjamin hal berikut akan terjadi: api akan terbentuk kecuali ada sesuatu yang menghalanginya. Segala sesuatu yang mempengaruhi evolusi dan ekologi kehidupan, akan menyebabkan api. Namun saling ketergantungan yang mendalam muncul dari semua ini, sebab kendati kehidupan membangun kondisi bagi api, api juga membentuk kembali dunia kehidupan. Ia memilih kebugaran evolusioner; ia memberi kekuatan dan mendaur ulang ekosistem. Api dapat membuat kondisi yang menyebabkan lebih banyak atau lebih sedikit api. Sama seperti panasnya yang mengawali proses penyebarannya, sejarahnya pun mempengaruhi kondisi yang memungkinkannya menyebar sepanjang waktu. Hanya satu aspek yang masih berada di luar kendali kehidupan, yaitu peletupnya. Namun pada akhirnya, hal tersebut juga akan terjadi, dan karakter hibrida dari api yang menyala-nyala, akan terdorong lebih jauh, dari sifat fisik ke biologisnya.
Sebagaimana api dan kehidupan saling mengakomodasi, interaksi keduanya membentuk pola yang dapat dikenali—yang kemudian disebut rezim api. Namun, api tak seperti spesies yang bermigrasi dan kembali ke suatu tempat secara musiman: api terus-menerus tersulut kembali, di dan oleh, tempat tersebut. Ia lebih seperti badai; dan seperti halnya suatu tempat yang mungkin mengalami berbagai jenis badai, namun berbeda dengan tempat lain, demikian pula halnya dengan Api. Api bagi suatu rezim laksana badai dalam sebuah iklim. Karenanya, rezim dan iklim merupakan gabungan statistik; berguna, dapat dipahami, dan tak stabil.
Yang terpenting bukanlah ada atau tidaknya api, melainkan pola pembakarannya. Suatu organisme beradaptasi bukan terhadap api, melainkan terhadap rezim api. Perubahan rezim dan api, mungkin lebih bersifat merugikan daripada bersifat menolong. Pemadaman api di tempat-tempat yang telah lama diketahui akan menimbulkan dampak yang sama buruknya secara ekologis dengan jika dilakukan di tempat-tempat yang sebelumnya tak ada api. Paracelsus sudah lama mengamati, sebuah racun bergantung pada dosisnya. Terlalu banyak sinar matahari atau terlalu sedikit atau terlalu janggal distribusinya—semuanya bisa membahayakan. Begitu juga dengan air. Demikian pula dengan api.

Konsepsi budaya mereposisi api dalam lingkungan sosial—yang secara harafiah berarti lanskap, lahan yang dibentuk oleh pikiran dan tangan umat manusia—semuanya terletak pada hubungannya dengan manusia. Fondasi api ditemukan dalam gagasan dan institusi. Ia mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan serta mekanisme sosial bagi penyelesaiannya—semuanya berada di tangan masyarakat.
Permasalahan api, dengan demikian, bersifat budaya: merepresentasi gangguan dalam cara masyarakat hidup di suatu lahan. Kebakaran besar yang tak diinginkan—yang merupakan 'social judgement' karena ‘tak dikehendaki’—lebih menyerupai episode kerusuhan sosial semisal huruhara atau pemberontakan dibandingkan peristiwa yang murni alamiah. Jawaban terbaik bagi permasalahan ini ialah melalui tindakan penanggulangan budaya; melalui reformasi kebijakan, melalui penelitian atau pendidikan yang lebih baik, melalui pelaksanaan yang lebih ketat di lembaga-lembaga yang berdedikasi pada pengelolaan api. Apa yang diintegrasikan oleh api ialah penataan sosial.

Kemanusiaan tak mencipta api. Kita menemukan cara menangkap, menjinakkan, dan mengalihkan tujuan kita sendiri, sebuah proses yang telah ada sejak awal masa Devonian, Zaman Ikan, yang menghasilkan berbagai jenis ikan yang mengagumkan. Bahkan memberikan rentang waktu yang sangat lama bagi hominin (katakanlah, Homo erectus) semata berarti kurang dari setengah persen waktu api yang terjadi di bumi. Namun, sejak saat itu, api dan umat manusia telah berevolusi bersama dalam sebuah simbiosis yang saling menguatkan.
Namun pada akhirnya, hubungan tersebut sangat tidak setara. Mematikan api, dan umat manusia bakal seketika musnah. Menyingkirkan manusia, maka api akan beradaptasi dan membangun kembali rezim yang stabil. Daya tembak umat manusia bergantung pada kekuatan api yang liar; sifat-sifat api jinak berasal dari induknya yang liar. Manusia membentuk kembali api dan memanfaatkan kehadirannya di planet ini, namun dengan atau tanpa manusia, api akan tetap ada sebagai sifat intrinsik dan unik di muka bumi.

Kemana pun manusia pergi, api juga mengikuti sebagai pemandu, pekerja, pramuka, dan penulis kronik, namun bahaya api sebanding dengan kekuatannya. Jika tak dijaga, walau bila dijinakkan, api dapat menjadi liar. Meluasnya api yang dahsyat, yang membuat api amat bermanfaat secara universal, mengancam pula kemampuan umat manusia mengendalikannya. Hubungan ini benar-benar simbiosis. Jika manusia mengendalikan api, maka api juga mengendalikan manusia, memaksa sang spesies, hidup dengan cara tertentu, baik merebut kekuatan api atau menghindari wabah liar. Kekuatan api semata dapat dirasakan manusia jika mereka memikul tanggungjawab memelihara api. Bahaya kepunahan selalu ada. Api liar selalu mengintai dalam bayang-bayang.
Dengan kekuasaan muncullah pilihan, dan dengan pilihan, api antropogenik memasuki alam semesta moral. Kapasitas manusia menghasilkan kekuatan besar melalui api tak berkapasitas yang setara untuk mengendalikannya. Manusia secara genetis cenderung mampu menangani api, namun kita tak terprogram mengetahui cara menggunakannya. Kondisi lingkungan membatasi kemampuan lahan untuk menerima api, dan masyarakat masih menetapkan parameter lain yang dapat digunakan oleh budaya mereka guna menyerap api. Namun pilihan yang ada masih sangat beragam, dan pilihan individu tak jelas dan tak tunggal. Pilihan-pilihan tersebut mencerminkan nilai-nilai, institusi, keyakinan, dan segala hal yang berkaitan dengan sejarah tradisional. Penangkapan api menjadi paradigma seluruh interaksi manusia dengan alam.

Kita hidup di masa yang ditandai dengan perubahan cepat, komprehensif, dan seringkali sangat besar. Lanskap sosial, budaya, hukum, dan fisik sedang berubah. Ekosistem, perekonomian, dan bahkan iklim mengalami perubahan yang sangat luas dan kompleks. Di dunia seperti ini, terdapat kecenderungan yang nyata di antara masyarakat manusia menghadapi perubahan-perubahan ini secara kontraproduktif, tak mampu mengatasi ketidakpastian dan variabilitas yang melekat pada kehidupan modern kita.
Menjelang akhir abad kedua puluh, futuris Alvin Toffer menjelaskan beberapa penyebab impotensi masyarakat kita, 'Dalam menggambarkan perubahan yang semakin cepat saat ini, media memberikan banyak informasi yang tak berkaitan dengan kita. Para ahli mengubur kita di bawah tumpukan monografi yang sangat terspesialisasi. Para peramal populer menyajikan daftar tren-tren yang tak ada hubungannya, tanpa model apa pun yang dapat menunjukkan kepada kita keterkaitan tren-tren tersebut atau kekuatan-kekuatan yang mungkin membalikkan tren-tren tersebut. Akibatnya, perubahan itu sendiri dipandang sebagai sesuatu yang anarkis, bahkan tak waras.' Akibat dari kekacauan ini, terlalu sering bahwa manusia tak sanggup membedakan faktor-faktor yang bisa dan tak bisa kita pengaruhi dalam hidup kita. Dihadapkan pada banyaknya permasalahan yang tak teratasi, kita jarang dapat memfokuskan perhatian kita mengambil langkah-langkah paling mendasar sekalipun menuju mitigasi. Alih-alih mengatasi masalah-masalah mendasar dan mudah diatasi, dimana kita punya kemampuan dan pengetahuan memecahkannya, kita justru berupaya membalikkan kekuatan alam yang tak dapat dihindari. Kita menanggapi ketakutan kita terhadap siklus normal banjir dan kekeringan dengan membangun saluran air raksasa yang memungkinkan masyarakat hidup dan berkembang di dataran banjir, gurun, dan wilayah pesisir, namun kita mengabaikan perencanaan skala kecil dan jangka panjang, yang diperlukan untuk melindungi masyarakat saat kekeringan dan banjir selama ratusan tahun melanda sistem tersebut. Kita memfokuskan sistem medis kita demi menghindari kematian dengan cara apa pun, walau banyak orang di negara kita yang hidup dalam kondisi kesehatan yang buruk, menjadi korban penyakit yang mudah dicegah. Kita mengatasi masalah dengan dana trilliunan rupiah, 'perbaikan' berteknologi tinggi, dan tekad menghilangkan segala risiko, dan dalam prosesnya, kita melemahkan pendekatan yang lebih bermakna, realistis, dan terjangkau untuk menyelesaikannya.
Maka, dalam upaya kita yang ragu menyelesaikan setiap masalah secara tuntas dan mengenyahkan segala risiko, kita memasrahkan kepentingan kita sendiri. Tekad kita menyelesaikan suatu masalah secara permanen dan menyeluruh—yang kerapkali merupakan tujuan yang tak realistis—dapat membutakan kita dalam melakukan mitigasi yang efektif. Pada akhirnya, kita harus mengakui bahwa kekuatan dan perubahan yang menghantui kita, tak dapat sepenuhnya dicegah atau dipecahkan.

Manusia selalu berjuang hidup dengan api dan risiko yang melekat padanya. Akan tetapi, semua ada batasnya. Matahari ada batasnya, udara ada batasnya, air ada batasnya, api ada batasnya, kelaparan ada batasnya, makanan ada batasnya, kehidupan ada batasnya, kesabaran ada batasnya, dan kearifan tahu batasan-batasannya. Ada keseimbangan. Singa punya keseimbangan tertentu dalam suara yang dihasilkannya. Gajah memiliki keseimbangan yang berbeda. Engkau tak dapat menderum bagaikan gajah atau mengaum laksana singa. Bila dikau melampauinya, ia bakal mengacaukanmu dan mendatangkan kesulitan, kesedihan, dan penyakit. Tanpa keseimbangan ini, benakmu akan bejat, penglihatanmu akan hilang, pendengaranmu akan terganggu, lidahmu akan ngoceh karena sarafmu tak berfungsi, tubuhmu akan lusuh, dan jantungmu akan soak. Keseimbangan hendaknya dijaga.
Kita teruskan renungan kita, di episode berikutnya, bi 'idznillah."

Sebelum melanjutkan, Yasmin bersenandung,

Close your eyes, give me your hand, darling
[Tutuplah matamu, ulurkankanlah tanganmu kasih]
Do you feel my heart beating?
[Dikau rasakankah jantungku berdetak?]
Do you understand? Do you feel the same?
[Mengertikah engkau? Apakah dirimu merasakan hal yang sama?]
Am I only dreaming?
[Semata bermimpikah daku?]
Is this burning an eternal flame? *)
[Inikah nyala api abadi?]
Kutipan & Rujukan:
- Stephen J. Pyne, Fire: Nature and Culture, 2012, Reaktion Books
- Stephen J. Pyne, World Fire: The Culture of Fire on Earth, 1997, University of Washington Press
- Peter Watson, Ideas: A History of Thought and Invention, from Fire to Freud, 2005, PerfectBound
- Sara E. Jensen Guy R. McPherson, Living with Fire: Fire Ecology and Policy for the Twenty-first Century, 2008, University of California Press
*) "Eternal Flame" karya Susanna Lee Hoffs, Thomas F. Kelly & Wiliam E. Steinberg