Selasa, 26 Maret 2024

Ramadan Mubarak (12)

"Seorang lelaki disetop polisi sekitar jam 2 pagi. Sang petugas bertanya mau kemana doi pergi selarut itu.
Sang lelaki menanggapi, 'Saya sedang dalam perjalanan menghadiri ceramah tentang penyalahgunaan miras dan dampaknya terhadap tubuh manusia, serta merokok dan keluar rumah hingga larut malam.'
Pak polisi jadi kepo, 'Oh ya? Siapa sih yang ngasih ceramah malam-malam gini?'
Sang lelaki menjawab, 'Mmmm, istri saya pak.' 
"Walau, katakanlah, salah satu dari beberapa pasang kandidat presiden telah memenangkan pemilu dengan meraih suara lima puluh persen lebih, namun masih terdapat empat puluh persen lebih suara yang tak memilihnya, dengan kata lain, tak sepakat dengannya. Itu berarti bahwa—sekalipun mereka yang terpilih menyatakan bahwa mereka bakalan mejadi pemimpin yang baik bagi semua pihak—masih terdapat pihak yang—kendati tak membenci diri-pribadinya dan sesuai aturan main diharuskan mengakui pemenangnya—secara ideologis, politis, bahkan mungkin secara moral, tak bersetujuan dengannya. Itulah salah satu sebab mengapa demokrasi selalu bersifat opposisional. Sepanjang mereka yang beroposisi ini melakukannya dalam kerangka pengakuan hak-hak individu dan kelompok, serta sebagai warga negara dan kendali penuh rakyat terhadap sistem politik, tindakan mereka tetap dianggap legal," ungkap Yasmin saat melewati Monumen Pemuda Membangun di gerbang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

"Tak semua bunga itu sedap dipandang mata, tak semua jeruk itu manis rasanya, tak semua apa yang kita pandang baik bagi diri kita itu baik bagi semua, maka, tak semua oposisi itu jahat. Dari perspektif Islam, dalam sejarahnya, Esposito dan Voll mengungkapkan bahwa gerakan aktivis Islam, menentang rezim tertentu, dan mendukung rezim lainnya. Kepentingan politik kelompok revivalis Islam mungkin membawa mereka ke dalam oposisi revolusioner terhadap pemerintahan yang ada, atau gerakan tersebut, boleh jadi, berpartisipasi dalam sistem politik yang ada, sebagai gerakan oposisi. Dalam beberapa peristiwa, gerakan Islam merupakan bagian dari pemerintah atau merupakan kekuatan yang berkuasa dalam sistem politik. Spektrum luas ini, memberikan empat dimensi umum yang berbeda di mana revivalisme Islam dan demokratisasi berinteraksi. Aktivisme Islam berikut inilah sebagai, pertama, perlawanan revolusioner terhadap sistem politik yang ada; kedua, oposisi yang legal atau bekerjasama, yang beroperasi dalam sistem politik yang ada; ketiga, partisipasi aktif dalam pemerintahan dalam aliansi atau koalisi dengan kekuatan politik lainnya; dan terakhir, kekuatan pengendali dalam sistem politik yang ada. Pengalaman terkini dalam masing-masing situasi ini, membentuk sifat cita-cita demokrasi yang muncul di dunia Islam dan berkembangnya tatanan politik baru yang dipengaruhi oleh Islam. Demokratisasi dalam masyarakat Muslim, melibatkan segala isu yang lebih luas, yang ada di seluruh masyarakat, dalam menetapkan dan membangun sistem politik demokratis.
Seluruh umat Islam tak selalu sepakat dengan penguasanya dan, kata Esposito dan Voll, masyarakat Muslim punya tradisi oposisi yang serupa dengan masyarakat lainnya. Pengalaman seperti ini, telah ada sejak masa awal Islam, di zaman Rasulullah (ﷺ) pada awal abad ketujuh. Pengalaman umat Islam semasa hidup Rasulullah (ﷺ), membentuk pola-pola yang kemudian dipandang normatif oleh banyak umat Islam di kemudian hari. Pengalaman-pengalaman ini, tak semata menjadi model bagi keyakinan dan praktik umat Islam mengenai hakikat hukum, negara, dan masyarakat, namun pula, membangun contoh bagi konsep oposisi Islam yang merupakan bagian dari warisan yang dimiliki umat Islam masa kini. Oleh karena pengalaman spesifik dan perkembangan sejarah umat Islam, kaum Muslimin memiliki konsep dan ajaran yang dapat diterapkan pada banyak konteks berbeda bagi oposisi.

Umat Islam berawal dari kelompok minoritas yang teraniaya di kota Mekah pada abad ketujuh, dan pesan-pesan mereka merupakan tantangan yang kuat terhadap keseluruhan sistem politik dan kepercayaan elit dominan Mekah yang ada. Kemudian, tatkala Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat, radhiyallahu 'anhum, pindah ke kota Yatsrib, yang kemudian disebut Madinah, mereka menetapkan 'konstitusi' bagi masyarakat pluralistik. Akhirnya, dengan keberhasilan misi Rasulullah (ﷺ) dan perluasan komunitas dan negara Islam, umat Islam harus menentukan keberagaman apa yang diperbolehkan dan oposisi apa yang merepresentasikan hukum pembangkangan. Keberagaman pengalaman ini, memberikan dasar bagi kumpulan konsep yang efektif ,yang menetapkan ketidaksepakatan dan oposisi yang terlegitimasi dalam masyarakat.
Pada tahun-tahun pertama setelah dimulainya wahyu kepada Rasulullah (ﷺ) di Mekah, jumlah para sahabat bertambah secara perlahan. Seiring berjalannya waktu, umat Islam dilecehkan dan mereka yang tak memiliki kerabat kuat, yang dapat melindungi mereka, kerapkali diserang dan dianiaya. Pesan Islam mewakili tantangan besar terhadap tatanan sosial dan politik yang ada. Namun, kelompok Muslim saat itu, tak terlibat dalam peperangan atau konflik yang disertai kekerasan, melainkan menggunakan metode dakwah, persuasi, dan perpindahan agama sebagai respons terhadap permusuhan mayoritas. Kala umat Islam hijrah berkelompok ke kota tetangga, Madinah, mereka mewakili kelompok kekuatan yang sangat berarti dalam konteks pluralis. Konteks baru ini, ditentukan oleh sebuah kesepakatan yang dalam sejarah Islam disebut sebagai 'Konstitusi atau Piagam Madinah'. Perjanjian ini menguraikan hak-hak dan prosedur penyelesaian konflik dan tindakan komunitas di kalangan umat Islam (baik dari Mekah dan Madinah) dan non-Muslim. Kaum Muslim modern berpendapat bahwa dokumen ini, dan pengalaman di Madinah, memberikan preseden bagi sistem sosiopolitik pluralistik yang sesuai dengan tradisi dan wahyu Islami.

Masyarakat Muslim 'klasik' berabad-abad setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ) memberikan konteks dimana penetapan formal hukum Islam, Syariah, terjadi. Dalam konteks mayoritas Islam, inilah konsep dasar dan simbol warisan politik Islam berkembang. Pada era inilah gagasan konsensus (ijma), musyawarah (syura), dan ijtihad dirumuskan secara operasional. Selain itu, selama tahun-tahun ini, konsep-konsep yang lebih spesifik terkait dengan isu-isu oposisi politik berkembang. Hal ini memberikan warisan penting bagi para pemikir dan pemimpin Islam kontemporer manakala mereka bekerja mengatasi isu-isu dalam menghadapi oposisi di era tekanan global menuju demokratisasi.
Warisan luas dari kumpulan tradisi Islam dan hukum itu sendiri, yang lebih formal memberikan landasan bagi pengembangan konsep tatanan hukum yang diistimewakan di atas para penguasa dan pemerintah, yang dengannya para pemimpin dapat dinilai. Hukum Islam, dalam pemahaman ini, mewakili tatanan 'konstitusional' bagi masyarakat Muslim. Inilah seperangkat aturan dasar yang diterima oleh sebagian besar orang dalam masyarakat politik sebagai hal yang sah dan berwibawa. Di era modern, prinsip-prinsip dasar tersebut telah ditentukan dalam beragam cara, sebagian pemikir berkonsentrasi pada sumber-sumber dasar, Al-Qur'an dan Sunnah, dan sebagian lagi memanfaatkan seluruh kumpulan hukum Syariah sebagaimana ditetapkan oleh para ulama abad pertengahan. Namun, gagasan bahwa prinsip-prinsip dasar Islam mewakili sebuah 'konstitusi' bagi masyarakat Muslim didukung oleh banyak pemikir.

Mohammed Abed al-Jabri mengemukakan bahwa Demokrasi saat ini bukan sekedar subjek sejarah, namun juga merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia modern yang bukan lagi sekedar figur, melainkan warga negara yang identitasnya ditentukan oleh sejumlah besar hak. Hak-hak tersebut ialah hak-hak demokratis, seperti hak memilih penguasa, memantau perilaku mereka, dan memecat mereka; hak atas kebebasan berpendapat, mengadakan pertemuan dan membentuk partai, serikat pekerja, dan masyarakat; hak atas pendidikan dan pekerjaan; hak atas kesempatan yang sama di segala bidang politik, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karenanya, demokrasi seyogyanya dipandang bukan sebagai sebuah proses yang dapat diterapkan dalam satu masyarakat atau masyarakat lainnya, namun sebagai sebuah proses penting yang hendaklah dibangun dan diterapkan. Inilah satu-satunya suasana dimana hak-hak warga negara dapat dinikmati oleh rakyat, di satu sisi, sementara hal ini memungkinkan para penguasa menikmati legitimasi yang membenarkan pemerintahannya, di sisi lain.
Demokrasi dilaksanakan dalam masyarakat, dan masyarakat bukan sekedar sejumlah individu; ia merupakan hubungan, kepentingan, kelompok, perselisihan, dan persaingan, yang jamak. Oleh karenanya, demokrasi merupakan cara yang sehat dan positif mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat secara rasional, mengarahkan perjuangan menuju kemajuan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka penikmatan hak-hak warga negara.
Saat ini, legitimasi demokratis adalah satu-satunya legitimasi yang dapat diterima; tiada alternatif lain selain itu. Legitimasi revolusioner, yang menyerukan penundaan demokrasi politik, dengan dalih memberikan prioritas pada tujuan-tujuan lain, sebagai persiapan menuju ‘demokrasi yang sesungguhnya’, telah gagal dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Entah kegagalan tersebut disebabkan faktor internal atau intervensi asing, satu-satunya kesimpulan saat ini ialah penegasan perlunya demokrasi sebagai hak yang tak dapat ditangguhkan atau dikompromikan oleh pihak mana pun. Tujuan apa pun yang ditetapkan oleh negara saat ini, tak dapat dikesampingkan di atas ‘hak asasi manusia dan warga negara’. Sebaliknya, seluruh tujuan hendaknya berasal dari hak-hak ini dan sesuai dengan hak-hak tersebut. Apa yang disebut sebagai legitimasi sejarah yang diklaim oleh beberapa penguasa sudah berlalu; yakni, ia tak lagi mampu membenarkan dirinya sendiri di zaman sekarang. Hal ini hanya bisa dibenarkan jika mereka ingin menggabungkan diri dengan legitimasi demokratis dan beradaptasi dengan keputusan yang diambil. Inilah satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, jika kita memandang demokrasi sebagai sebuah prinsip, atau sebuah sistem di mana manusia dapat menikmati hak-hak kewarganegaraannya, maka demokrasi akan lebih diutamakan ketimbang saluran dan institusi tempat hak-hak tersebut dilaksanakan.

Pertanyaan apakah Islam kompatibel dengan demokrasi, telah menjadi tanda-tanya bagi sebagian orang dan menjadi sumber kekesalan bagi sebagian lainnya. Agama telah kembali memasuki dunia politik dalam banyak hal di sebagian besar belahan dunia. Penanda sejarah kebangkitan ini termasuk penggulingan Shah Iran dan upaya mengembangkan pemerintahan lokal yang bertanggungjawab di Aljazair. Meskipun Islam yang aktif secara politik mendapat perhatian terbesar dari media dan kebijakan, Islam bukan satu-satunya yang mengalami pembaruan keterlibatan politik. Agama Katolik berperan penting dalam penggulingan rezim komunis di Polandia; Agama Buddha berperan secara politik di Sri Lanka; konflik antar kelompok agama di India membentuk agenda politik di sana; dan Protestan Pantekosta telah memasuki dunia politik, dimulai di Amerika Serikat pada awal tahun 1980an.
Kebangkitan agama yang tak terduga dan masuknya kembali agama ke dunia politik, yang dimulai pada kuartal terakhir abad ke-20 dan semakin pesat sejak saat itu, menjadikan kita perlu menguraikan falsafah politik dan sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Qur'an dan mengkaji Sirah Nabawiyyah, biografi Rasulullah (ﷺ). Eksposisi sistematis mengenai politik Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an menjadi semakin diperlukan karena perdebatan yang kini terjadi di Barat mengenai Islam dan hak asasi manusia serta kemampuan negara-negara demokrasi Barat memasukkan komunitas minoritas Muslim dalam jumlah besar. Pertanyaannya, ‘Selaraskah Islam dengan demokrasi? Sejalankah Islam dengan hak asasi manusia?’ Beberapa reaksi memperjelas bahwa mereka menganggap hak asasi manusia Islam atau demokrasi Islam sebagai sesuatu yang oxymoronic [nampak bertentangan]. Hubungan antara agama dan pemerintahan dalam masyarakat Muslim telah menjadi fokus perdebatan di kalangan ulama Islam. Ada yang memandang Islam hanya sekedar agama tanpa hak memerintah atau mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Namun ada juga yang memandang Islam bukan sekedar agama, melainkan pula sistem dan tatanan sosial yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk negara dan hukum. Mereka mendasarkan argumennya pada Al-Qur’an dan menunjukkan konotasi politis dari banyak istilah Al-Qur’an seperti mulk (kekuasaan), ummah (bangsa) dan istilah-istilah lain yang berkonotasi politis. Misalnya, kata Arab sultan, yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur'an, merupakan kata benda abstrak yang bermakna otoritas dan pemerintahan, dan digunakan sejak masa awal Islam guna menunjukkan pemerintahan. Demikian pula, istilah hukm (memerintah dan mengadili) dan turunannya seperti 'gubernur, penguasa, dan hakim' terdapat dalam Al-Qur'an, secara eksplisit lebih dari 250 kali dan masing-masing punya konotasi politisnya.

Hukum Islam tak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari; ia tak memisahkan agama dari politik; politik dari moral; atau moral dari negara. Dalam Hukum Islam, aktivitas individu dan hubungannya dengan negara, berlandaskan metafisik dan keagamaan. Islam merupakan suatu sistem praktis kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Islam menganut konsep ideal dan meyakinkan, yang menguraikan hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan, alam semesta, seluruh kehidupan, dan umat manusia. Ia menguraikan hakikat alam semesta dan menentukan kedudukan umat manusia di alam semesta ini, serta tujuan akhir umat manusia. Ini mencakup doktrin-doktrin dan organisasi-organisasi praktis yang berasal dari dan bergantung pada cita-cita ini, dan menjadikannya kenyataan yang tercermin dalam kehidupan umat manusia sehari-hari.
Mengingat konsepsi hidup Islam merupakan koordinasi dan harmonisasi antara jiwa dan raga, maka masuk akal memandang adanya hubungan yang amat erat antara agama dan politik, antara masjid dan tempat perlindungan. Di satu sisi, Islam membahas tentang kemanusiaan seutuhnya, sebagaimana adanya dalam realitas, bukan memperlakukan kemanusiaan sebagai sebuah konsep intelektual. Berbeda dengan Idealisme, Positivisme, dan gagasan serupa, Islam tak berurusan dengan proposisi yang tak berealitas praktis. Di sisi lain, Islam tak memandang manusia semata sebagai ruh atau materi belaka. Manusia bukanlah makhluk yang sekedar berakal, melainkan makhluk jasmani, mental, dan spiritual yang terpadu, yang kecakapannya merupakan bagian dari satu kesatuan yang utuh, fungsional, dan bertanggungjawab.

Tatanan sosial Islam didasarkan pada ‘prinsip universal persaudaraan manusia dan upayanya demi menjamin kebahagiaan, kemakmuran, dan kebaikan bagi individu dan masyarakat. Tiada tempat bagi perang kelas dalam bentuk apa pun antara individu dan masyarakat dalam sistem ini.' Dalam sistem sosialnya, Islam bersifat komunal, lebih memilih kehidupan sosial, dan menuntut ibadah secara kolektivitas—berjamaah dimana setiap orang menuju satu otoritas puncak [bukan penguasa], satu arah, dan satu pusat. Sebagai contoh, berpuasa satu bulan pada waktu yang sama di seluruh belahan bumi, dan menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada waktu yang sama sebagai salah satu kewajiban pokok seluruh umat Islam. Ia juga menekankan tanggungjawab pribadi dan tak melupakan perkembangan individu, namun ia mengatur seluruh individu menjadi satu kesatuan: masyarakat Muslim. Undang-undang yang sama mengatur urusan alam semesta, kehidupan, dan umat manusia, apapun golongannya dan dimanapun negaranya. Terlebih lagi, penguasa menduduki jabatannya hanya melalui pemilihan umum yang bebas, lalu bersumpah, yang akan menjadi tanggungjawabnya di hadapan rakyat.
Mengenai hubungan antara Islam dan politik, Sayyid Qutb dan Abu al-A’la Mawdudi, keduanya menyatakan bahwa Islam, pada hakikatnya, 'political religion'. Ulama dan hakim ‘Ali Abd al-Raziq menyatakan ‘Aku tak meyakini bahwa Hukum Islam hanya bersifat spiritual’. [...] Islam merupakan agama legislatif. Penerapan Hukum Islam adalah wajib bagi umat Islam. Inilah perintah Allah kepada mereka semua. [...] Umat Islam hendaknya membentuk pemerintahan untuk memikul beban ini. Allah tak memaksakan kepada umat Islam jenis atau bentuk pemerintahan tertentu, namun mereka bebas memilih apa yang lebih baik bagi kemakmuran rakyatnya, kapan saja.' Para penafsir sebelumnya seperti Ibnu Katsir, dalam tafsirnya atas ayat Al-Qur'an Surat An-Nisa (4):59, menandaskan 'yang berdaulat adalah Allah, hanya Dialah Pembuat undang-undang'. Ulama kontemporer al-Azhar, Muhammad al-Ghazali, menekankan bahwa ‘Allah-lah satu-satunya Pembuat undang-undang dan bangsa (ummah) seyogyanya membentuk pemerintahan yang bersifat musyawarah (syurah)’. Menurut al-Qurtubi, ‘tiada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai Allah Yang Maha Pembuat Undang-Undang, dan Negara harus ada’. Demikian pula, al-Mawardi menegaskan bahwa ‘kepemimpinan ditentukan untuk meneruskan kenabian sebagai sarana melindungi agama dan mengatur urusan dunia. Ada konsensus pendapat bahwa orang yang menjalankan tanggungjawab posisi ini (kepemimpinan) hendaknya mengambil kontrak kepemimpinan umat.’

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap Kedaulatan dan Konstitusi? Dari sudut pandang hukum internasional, kedaulatan suatu negara merupakan inti dari identitasnya. Dalam Hukum Islam, kedaulatan merupakan sifat Ilahi yang pemerintahannya langsung, dan perintah-perintahnya, seperti dalam Al-Qur’an, mewujudkan dan memandu hukum dan konstitusi bangsa dan negara.
Ada yang berpendapat bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber yurisprudensi (fiqh) dan ekspresi syariah. Sayed Khatab dan Gary D. Bouma mengemukakan bahwa yurisprudensi Islam hanyalah pendapat pribadi mengenai penafsiran syariat. Umat Islam telah menyepakati syariat, namun belum menyepakati sepenuhnya hukum fiqh. Implikasi hukumnya bahwa pemerintahan dalam Islam terikat oleh Konstitusi yang diilhami Sang Ilahi dan masyarakat Muslim menyepakatinya. Oleh sebab itu, pemerintahan dalam Islam bukanlah suatu bentuk pemerintahan absolut, juga bukan suatu bentuk pemerintahan otokrasi atau otoriter; ia merupakan pemerintahan yang terbatas pada Konstitusi. Para pakar politik menyatakan bahwa ‘pembatasan kekuasaan pemerintah, dalam mengatur urusan masyarakat, merupakan prinsip utama pemerintahan konstitusional. Metode dan cara yang menjelaskan batasan-batasan ini, disebut pemerintahan konstitusional.
Bahwa kedaulatan milik Allah semata, bukan dalam makna Allah menurunkan diri-Nya untuk memerintah, melainkan mewahyukan hukum-Nya bagi pemerintahan. Di sini, otoritas merupakan hukum, dan aturan hanyalah aturan hukum. Dalam Islam, administrasi dan pemerintahan ada guna memfasilitasi penerapan hukum. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi penerapan hukum. Keterbatasan pemerintahan pada hukum menjadikan gagasan negara teokrasi atau negara agama, tak dapat diterapkan dalam Islam. Dalam pandangan Islam tentang negara, mereka yang memegang kendali suatu urusan tak dipandang sebagai kelas istimewa yang dimuliakan ataupun dikucilkan dari masyarakat umum. Mereka tak memerintah menggantikan Allah, namun semata menafsirkan dan menerapkan hukum yang diberikan Allah kepada mereka, hukum yang tersedia dan diketahui oleh seluruh umat Islam. Mereka tidaklah istimewa, baik terhadap dirinya maupun dalam hukum yang mereka tafsirkan dan terapkan. Mereka bukan pula klergi dalam pemahaman teokrasi Barat, yang merupakan pemerintahan absolut yang dikendalikan oleh para klergi. Singkatnya, ciri-ciri teokrasi, dan semacamnya, tak berlaku dalam pemerintahan Islam.

Dari sudut pandang ini, terlihat jelas ciri-ciri sebagai berikut: sistem pemerintahan dalam Islam kompatibel dengan demokrasi, dan kedua sistem tersebut mengandung unsur kesamaan yang substansial. Perbedaan kedua sistem tersebut—jika dimaknai berdasarkan perspektif agama—juga mendukung unsur-unsur yang mirip dengan demokrasi: pemerintahan dalam Islam bersifat Konstitusional; pemerintahan Islam tak bersifat teokratis atau otokratis; perubahan bentuk pemerintahan takkan mengubah jati diri Islam dalam suatu negara, sepanjang pemerintah memfasilitasi ordinansi atau tatacara hukumnya. Sebagai contoh di Indonesia, Departemen Agama dibentuk guna memfasilitasi dan menangani hukum-hukum dan keperluan-keperluan tersebut. Oleh karenanya, gagasan bahwa Kantor Urusan Agama sebagai tempat pelayanan pencatatan perkawinan semua agama, merupakan pandangan yang kurang tepat.

Lantas, bagaimana dengan bentuk pemerintahan, organ dan fungsi negara dalam perspektif Islam? Akan kita bicarakan pada episode selanjutnya, bi 'idznillah."

Seraya berehat sejenak, Yasmin bersenandung,

Allah, You're the Source of life and You're the Source of truth
[Duhai Allah, Engkaulah Sumber kehidupan dan Engkaulah Sumber kebenaran]
To obey You, I strive and my aim is pleasing You
[Untuk menaati-Mu, aku berjuang dan tujuanku beroleh rida-Mu]
Allah, You are the only One, Your promises always true
[Duhai Allah, Engkaulah Yang Mahaesa, janji-janji-Mu selalu terwujud]
You don't need anyone, but we're all in need of You *)
[Engkau tak membutuhkan siapa pun, tapi kami semua membutuhkan-Mu] *)
Kutipan & Rujukan:
- Sayed Khatab & Gary D. Bouma, Democracy In Islam, 2007, Routledge
- Mohammed Abed al-Jabri, Democracy, Human Rights and Law in Islamic Thought, 2009, Centre for Arab Unity Studies
*) "Radhitubillahi Rabba" karya Bara Kherigi & Maher Elzein