Senin, 04 Maret 2024

Cerita Kembang Senduro: Ketika Rakyat Angkat Bicara (3)

"Seorang cewek sedang ngobrol bareng bestienya:
Cewek: Gua denger, loe mutusin tunangan loe ya. Ada ape sih?
Bestie: Oooh, perasaan gua ma doi doang yang berubah.
Cewek: Trus cincinnya, loe balikin?
Bestie: Oooh, enggak doong. Perasaan gua ma cincinnya, tetep gak berubah."

“Secara umum, opini publik merujuk pada, kata Oskamp dan Schultz, pendapat dan sikap bersama dari sekelompok besar orang (publik) dengan karakteristik bersama tertentu,” lanjut Senduro dengan menelusuri Prambanan, UNESCO World Heritage Site, situs candi Hindu terluas di Indonesia dan terluas kedua di Asia Tenggara setelah Angkor Wat. Bangunan pertama selesai dibangun pada pertengahan abad ke-9 dan kemungkinan besar dimulai oleh Rakai Pikatan dan diresmikan oleh penerusnya Raja Lokapala atau Rakai Kayuwangi. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa candi tersebut, boleh jadi dimaksudkan menandingi candi Budha Borobudur.

“Values (nilai-nilai) dan attitudes (sikap) memegang peranan penting dalam pengembangan opini publik. Sebuah value merupakan tujuan hidup atau kondisi masyarakat yang diinginkan seseorang. Values biasanya merupakan konsep abstrak yang luas, semisal kebebasan, keadilan, keindahan, kebahagiaan, atau saling melayani, meski terkadang lebih konkrit, seperti uang atau harta benda. Values lebih merupakan tujuan, bukan sarana—tujuan yang ingin dicapai seseorang, bukan metode yang mereka gunakan untuk mencapainya.
Karena values merupakan tujuan atau standar hidup seseorang, maka jelaslah bahwa individu akan bersikap positif yang kuat terhadap nilai-nilai yang dianutnya. Dengan demikian, nilai-nilai dapat dipandang sebagai objek-objek sikap yang sangat istimewa—nilai-nilai ini melibatkan sikap-sikap yang amat disukai, yang diarahkan pada konsep-konsep abstrak, yang berkaitan dengan tujuan-tujuan utama seseorangbagi dirinya sendiri atau untuk dunia. Selain itu, nilai-nilai sangat penting dan sentral dalam keseluruhan sistem sikap dan keyakinan seseorang—yaitu, nilai-nilai tersebut resisten terhadap perubahan, dan mempengaruhi banyak keyakinan dan sikap lainnya. Misalnya, jika dirimu lebih mengutamakan nilai-nilai kebajikan, ia akan berpengaruh pada pandanganmu tentang banyak konsep dan isu agama, serta sikapmu terhadap pemimpin nasional, teman, aktivitas, dan sebagainya. Di sisi lain, jika patriotisme merupakan nilai utamamu, dirimu menyukai aktivitas dan kepemimpinan yang berbeda: engkau mengibarkan bendera, berparade, dan bersorak menyanjung pidato patriotik.
Nilai-nilai dianggap sebagai aspek dasar sistem keyakinan individu dan penting dalam budaya kelompok sosial tertentu dan di negara tertentu. Orang mempunyai nilai-nilai yang ingin mereka tekankan dalam kehidupan mereka sendiri (berpusat pada diri sendiri) tetapi juga nilai-nilai yang ingin mereka tekankan dalam lingkungan sosial mereka (berpusat pada masyarakat). Diferensiasi ini dapat diperluas ke berbagai domain dimana kita dapat berbicara tentang nilai-nilai keluarga, nilai-nilai pekerjaan, nilai-nilai birokrasi, nilai-nilai politik, dan lain-lain. Nilai-nilai mungkin terfokus pada intra-pribadi atau antar-pribadi. Beberapa nilai mungkin berhubungan dengan kehidupan individu, sementara nilai lainnya berhubungan dengan masyarakat atau bahkan bidang politik. Nilai-nilai terakhir ini kemudian dapat dianggap sebagai nilai-nilai politik. Nilai-nilai Politik Baru dapat dikonseptualisasikan dalam tiga dimensi yang berbeda: Konflik nilai antara nilai-nilai lingkungan hidup versus nilai-nilai pertumbuhan ekonomi berakar kuat dalam pikiran masyarakat, dan di banyak negara Eropa Barat, konflik mengenai nilai-nilai lingkungan tampaknya merupakan ekspresi paling nyata dari konflik 'Politik Baru'.

Lalu, bagaimana dengan attitude atau sikap? Awalnya, terma 'sikap' mengacu pada posisi atau postur tubuh seseorang, dan terkadang masih digunakan dengan cara ini—misalnya, 'Doi duduk bersandar dengan sikap sedih.' Namun dalam ilmu sosial, terminologi ini bermakna 'postur pikiran', bukan tubuh. Ciri utama dari sebagian besar definisi sikap adalah gagasan kesiapan untuk menanggapi. Artinya, suatu sikap bukanlah perilaku, bukan sesuatu yang dilakukan seseorang; melainkan merupakan persiapan berperilaku, suatu kecenderungan merespons objek sikap dengan cara tertentu. Terma objek sikap digunakan mencakup benda, orang, tempat, gagasan, tindakan, atau situasi, baik tunggal maupun jamak. Contohnya, benda dapat berupa sekelompok orang (misalnya remaja), suatu benda mati (misalnya taman kota), suatu tindakan (misalnya makan bakso), suatu konsep abstrak (misalnya hak-hak sipil), atau suatu gagasan yang menghubungkan beberapa konsep (misalnya hak para remaja makan bakso di taman kota).
Sebuah sikap merupakan satu-kesatuan, namun mempunyai tiga aspek atau komponen: afektif, behavioral atau perilaku, dan kognitif. Komponen afektif (emosional) mengacu pada perasaan dan emosi yang dimiliki seseorang terhadap objek. Misalnya, 'Naik sepeda motor itu menyenangkan.'
Komponen perilaku, terdiri dari kecenderungan tindakan seseorang terhadap objek. Misalnya, 'Gua naik motor setiap ada kesempatan.'
Komponen kognitif, terdiri dari gagasan dan keyakinan yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap. Misalnya, 'Naik motor lebih hemat bensin daripada mobil.'
Kebiasaan dapat dengan mudah dibedakan dari sikap. Kebiasaan merupakan pola perilaku yang sering diulang, sedangkan sikap bukanlah perilaku itu sendiri, kendati sikap dapat ditunjukkan dalam respons perilaku. Kebiasaan biasanya cukup otomatis dan terstandar dalam cara pelaksanaannya, namun memerlukan kehadiran objek stimulus yang sesuai agar dapat terjadi (misalnya, mengatakan 'pak' kepada atasan). Sebaliknya, sikap dapat diekspresikan dalam berbagai cara, dan bahkan tanpa adanya objek stimulus. Seperti kebanyakan sikap, kebiasaan dipelajari melalui pengalaman; namun, tidak seperti sikap, kebiasaan seringkali bersifat non-evaluatif.

Opini atau pendapat merupakan suatu konsep yang penting dan berkaitan erat dengan konsep sikap. Terkadang kedua istilah ini digunakan secara sinonim, akan tetapi, lebih sering terjadi pembedaan antara sikap dan opini. Opini bersejajar dengan beliefs (keyakinan)—seringkali merupakan evaluative beliefs (keyakinan evaluatif)—yakni keyakinan yang menyatakan sebuah pertimbangan nilai terhadap suatu objek. Beliefs atau keyakinan merupakan pernyataan yang menunjukkan kemungkinan subjektif seseorang bahwa suatu benda berciri tertentu.

Bayangkan dikau bertemu seseorang untuk pertama kalinya. Saat dirimu pertama kali melihatnya, engkau akan mengenalinya sebagai seorang manusia dan seorang wanita, dan dikau memperhatikan fakta-fakta tertentu tentang dirinya—mungkin tinggi badannya, bentuk tubuhnya, dan warna rambutnya, atau jenis pakaian yang dikenakannya. Dikau juga dapat menyimpulkan fakta lain tentangnya—memperkirakan usia dan aktivitasnya berdasarkan perilakunya, atau menebak di mana ia tumbuh besar berdasarkan aksennya. Selain itu, engkau mungkin akan membuat penilaian lain yang lebih subyektif tentang dirinya—kepribadiannya, minatnya, daya tariknya, kecerdasannya, keramahannya, dan sebagainya. Beberapa penilaianmu mungkin dipengaruhi oleh stereotip yang engkau miliki tentang berbagai kategori orang—tentang orang Selatan, orang yang kelebihan berat badan, tipe atletik, atau sosialita. Meskipun engkau baru saja bertemu dengannya, dirimu sudah punya ekspektasi dan opini tentang dirinya.
Seluruh jenis persepsi dan penilaian ini, masuk ke dalam ranah social cognition (kognisi atau pemahaman sosial). Kognisi sosial mengacu pada proses berpikir kita tentang orang lain, diri kita sendiri, dan keadaan sosial—yaitu, bagaimana kita memahami dan mengenali stimulus sosial. Kognisi sosial mencakup cara orang mengumpulkan informasi sosial, mengaturnya, dan menafsirkannya. Ia erat kaitannya dengan topik sikap, sebab persepsi sosial, keyakinan, dan atribusi merupakan komponen kognitif yang menjadi dasar sikap.
Persepsi terhadap manusia berbeda dengan persepsi terhadap objek. Kita memandang manusia (dan terkadang hewan, tetapi bukan benda mati) sebagai agen penyebab. Mereka melakukan hal-hal tertentu, dan mereka punya berbagai niat dan sifat pribadi, sedangkan objek tak dipandang memiliki khasiat, niat, atau sifat sebab-akibat yang intrinsik.

Masyarakat menggunakan jalan pintas yang nyaman dalam pemikiran dan pengambilan keputusannya, salah satu jalan pintas yang paling umum adalah penggunaan stereotip. Istilah stereotip telah digunakan secara luas, hanya sebagai gambaran mental atau seperangkat keyakinan umum, yang dianut seseorang tentang sebagian besar anggota kelompok sosial tertentu. Masyarakat seringkali mengembangkan stereotip tentang kelompoknya sendiri dan juga tentang kelompok luar yang bukan miliknya. Stereotip berkembang dan bertahan karena berguna. Prinsip-prinsip tersebut mereduksi kompleksitas dunia di sekitar kita menjadi beberapa garis panduan sederhana, yang dapat kita gunakan dalam pemikiran dan pengambilan keputusan kita sehari-hari. Jika kita 'mengetahui' bahwa 'semua politisi jahat', kita bisa mengabaikan skandal pemerintah tanpa harus berpikir keras tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah atau mengendalikannya. Demikian pula, jika kita yakin bahwa 'perempuan itu tak rasional', kita takkan mempekerjakannya menjadi pengacara kita. Sayangnya, semakin sederhana dan nyaman suatu stereotip, semakin besar kemungkinan stereotip tersebut tak akurat, paling tidak, sebagian.
Seperti keyakinan dan sikap lainnya, stereotip yang dimiliki seseorang acapkali bukan merupakan hasil pengalaman pribadi dengan kelompok yang bersangkutan. Ia juga mungkin sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu atau lebih hal berikut ini: Pengajaran secara eksplisit, terutama ketika anak-anak masih kecil, mereka kerapkali diberikan informasi stereotip yang eksplisit oleh orangtuanya ketika diajari tentang kehidupan ('kucing itu baik,' ' politisi sialan,' 'komite kotor,' 'polisi jujur,' atau 'kebrutalan polisi'). Nantinya, teman sebaya dan guru juga bisa menularkan stereotip secara langsung.
Pembelajaran insidentil, khususnya dari media massa. Biasanya merupakan proses pembelajaran asosiatif, dimana anggota suatu kelompok sosial berulangkali dipasangkan dengan karakteristik pribadi tertentu. Misalnya, dari waktu ke waktu, gambar-gambar di film-film lama menampilkan orang kulit hitam sebagai orang yang malas atau bodoh, atau orang Arab atau Muslim adalah para teroris.

Seberapa banyak yang dirimu ketahui tentang Urusan Publik? Sebagai orang terdidik, belajar itu bagian dari hidupmu. Dirimu terbiasa menerima informasi setiap hari, membahasnya, dan (kita berharap) menggunakannya dalam aktivitas rutinmu. Sebagian besar temanmu, barangkali, merupakan pula individu terpelajar yang tertarik dengan isu terkini. Ada beberapa fakta yang diketahui hampir semua orang. Salah satu jenis informasi yang banyak dimiliki adalah pemaparan terhadap istilah-istilah dan isu-isu, berbeda dengan pengetahuan tentang isu-isu tersebut. 'Ya, gua tahu, pernah denger sih,' dan bukannya memberikan informasi yang benar mengenai topiknya. Akibatnya, persentase orang yang hanya 'mengetahui' topik, biasanya jauh lebih tinggi dibandingkan pertanyaan yang memerlukan informasi yang benar jawabannya. Daripada sekadar memaparkan istilah-istilah atau isu-isu, salah satu kategori informasi yang banyak diketahui adalah nama-nama pemimpin nasional tingkat paling atas.
Karena sikap merupakan suatu kecenderungan untuk memberikan tanggapan positif atau negatif terhadap suatu objek tertentu (orang, ide, dll.), engkau tak dapat bersikap sampai dirimu punya perasaan terhadap objeknya, dan perasaan biasanya didasarkan pada setidaknya beberapa informasi yang terpisah-pisah. Oleh karenanya, suatu sikap dapat terbentuk jika pengalaman awalmu dengan suatu objek memunculkan perasaan menyenangkan atau tak menyenangkan terhadap objek tersebut. Namun, seringkali pengalaman dan informasi awal mengenai suatu objek, tak disertai dengan perasaan evaluatif, dan jika demikian, belum ada sikap terhadap objek tersebut.

Ada situasi dimana orang lebih cenderung menerima argumen berdasarkan emosi dan keyakinannya, dibanding berdasarkan fakta, dan keadaan ini dikenal sebagai Post-Truth. Wikipedia menerjemahkannya sebagai Pascakebenaran, namun daku lebih suka meminjam ungkapan Dahlan Iskan, mantan CEO Jawa Pos Group, yang menyebutnya sebagai satire 'Kebenaran Baru'.
Fenomena 'post-truth', kata Lee C. McIntyre, menjadi perhatian publik pada bulan November 2016, ketika Oxford Dictionaries menobatkannya sebagai kata terbaik tahun 2016. Setelah melihat lonjakan penggunaan sebesar 2.000 persen selama tahun 2015, pilihannya tampak jelas. Di antara pesaing lain yang masuk dalam daftar tersebut adalah 'alt-right' dan 'Brexiteer', yang menyoroti konteks politik pemilihan tahun tersebut. Sebagai ungkapan umum, 'post-truth' sepertinya menangkap perkembangan zaman. Mengingat pengaburan fakta, pengabaian standar pembuktian dalam penalaran, dan kebohongan yang terjadi pada pemungutan suara Brexit tahun 2016 dan pemilihan presiden AS, banyak orang merasa terkejut.
Usai pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, Trump mengklaim bahwa ia sebenarnya telah memenangkan suara populer (yang diraih Hillary Clinton dengan hampir 3 juta suara), jika dikurangi jutaan orang yang telah memilih secara ilegal. Dan ia menggandakan klaimnya bahwa—meskipun ada konsensus dari tujuh belas badan intelijen Amerika—Rusia tak meretas pemilu Amerika. Salah seorang kepercayaannnya, nampak menerima kekacauan ini dengan berargumen bahwa 'sayangnya, gak ada lagi fakta seperti itu.'
Setelah dilantik sebagai presiden pada tanggal 20 Januari 2017, Trump melontarkan serangkaian kebohongan baru: bahwa ia meraih kemenangan elektoral terbesar sejak Reagan (padahal kagak); bahwa kerumunan orang pada pelantikannya, yang terbesar dalam sejarah AS (bukti foto menyangkalnya, dan catatan Metro di Washington, DC menunjukkan jumlah penumpang kereta bawah tanah pada hari itu); bahwa pidatonya di CIA mendapat tepuk tangan meriah (ia tak pernah meminta para pejabat duduk). Pada awal bulan Februari, Trump mengklaim bahwa tingkat pembunuhan di AS berada pada titik tertinggi dalam empat puluh tujuh tahun (padahal sebenarnya Uniform Crime Report dari FBI menunjukkan angka tersebut berada pada titik terendah dalam sejarah). Hal terakhir ini, sepertinya amat membagongkan sebab mengambil contoh kebohongan yang pernah disampaikan Trump pada konvensi Partai Republik, saat ia sedang mencari cara mendorong gagasan bahwa kejahatan sedang meningkat.

Kita amat mungkin membayangkan bursa yang tak kalah menakutkannya di ruang bawah tanah Kementerian Cinta di lembaran-lembaran novel dystopian karya George Orwell, 1984. Memang, sekarang orang khawatir bahwa kita sedang dalam perjalanan mewujudkan visi kelam itu, dimana kebenaran adalah korban pertama dalam pembentukan negara otoriter.
Oxford Dictionaries mendefinisikan 'post-truth' sebagai 'yang berkaitan dengan atau menunjukkan keadaan dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosi dan keyakinan pribadi.' Dalam hal ini, mereka menggarisbawahi bahwa awalan 'post' dimaksudkan agar menunjukkan bukan gagasan bahwa kita adalah 'past' truth dalam makna temporal (seperti dalam 'post war') namun dalam arti bahwa kebenaran telah hilang cahayanya—tak relevan lagi. Ia menjadi perdebatan bagi banyak filsuf, namun perlu dicatat bahwa ia lebih dari sekadar perselisihan akademis. Pada tahun 2005, Stephen Colbert memunculkan istilah 'truthiness' (didefinisikan sebagai teryakinkan oleh apakah sesuatu terasa benar, meskipun hal tersebut belum tentu didukung oleh fakta) sebagai respons terhadap sikap berlebihan George W. Bush yang mengandalkan 'nyalinya' pada keputusan besar—seperti pencalonan Harriet Miers pada Mahkamah Agung AS atau perang di Irak tanpa bukti yang memadai mengenai senjata pemusnah massal. Ketika terma ini terbentuk, 'truthiness' dipandang sebagai lelucon kakap, namun orang-orang tak tertawa lagi.

Dengan kampanye Brexit yang sebagian besar fact-free [tanpa mengindahkan kebenaran] di Inggris—dimana ratusan bus mengiklankan statistik palsu bahwa Inggris mengirimkan 350 juta euro per minggu ke UE—dan meningkatnya penggunaan kampanye disinformasi oleh politisi terhadap rakyat mereka sendiri di Hongaria, Rusia, dan Turki, banyak yang melihat post-truth sebagai bagian dari tren internasional yang berkembang dimana ada orang merasa berani berupaya membengkokkan fakta agar sesuai dengan pendapat mereka, dan bukan sebaliknya. Ini bukan berarti bahwa kampanye mengungkapkan fakta itu, tak penting, melainkan sebuah keyakinan bahwa fakta selalu dapat ternaungi, terpilih, dan tersajikan dalam konteks politik yang mendukung sebuah penafsiran kebenaran dibandingkan penafsiran lainnya. Mungkin inilah yang dimaksud oleh chief surrogate-nya Trump, Kellyanne Conway, dikala ia menyatakan bahwa sekretaris pers Sean Spicer bermaksud menyajikan 'fakta alternatif' mengenai jumlah hadirin pada saat pelantikan, ketika Trump tampak gregetan dengan foto resmi US Park Service, yang menunjukkan ribuan kursi kosong.
Jadi, semata tentang kebohongankah post-truth itu? Sekadar pemlintiran politikkah ia? Gak gitu-gitu amat sih, kata McIntyre. Seperti yang dipaparkan dalam perdebatan saat ini, kata 'post-truth' bersifat normatif. Ia merupakan ekspresi keprihatinan mereka yang peduli terhadap konsep kebenaran dan merasa bahwa konsep tersebut sedang diterjang. Namun bagaimana dengan mereka yang merasa bahwa mereka hanya mencoba menuturkan 'the other side of the story' mengenai topik kontroversial? Adakah benar-benar dalil guna mengajukan fakta alternatif? Gagasan tentang sebuah kebenaran objektif, tak pernah lepas dari kontroversi.
Kita terusin lagi topik 'post-truth' ini pada sesi selanjutnya. Bi 'idznillah."

Senduro pun bersenandung,

I wish I could escape
[Ku berharap ku dapat lepas]
I don't wanna fake it
[Ku tak ingin memalsukannya]
Wish I could erase it
[Ku berharap kudapat menghapusnya]
Make your heart believe
[Jadikan hatimu percaya]
But I'm a bad liar *)
[Tapi aku pendusta cendala]
Kutipan & Rujukan:
- Stuart Oskamp & P. Wesley Schultz, Attitudes & Opinions, 2005, Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
- Justin Fisher, Edward Fieldhouse, Mark N. Franklin, Rachel Gibson, Marta Cantijoch & Christopher Wlezien (Eds.), The Routledge Handbook of Elections, Voting Behavior and Public Opinion, 2018, Routledge
- Lee C. McIntyre, Post-Truth, 2018, Massachusetts Institute of Technology
*) "Bad Liar" karya Aja Volkman, Benjamin Arthur McKee, Daniel Coulter Reynolds, Daniel James Platzman, Daniel Wayne Sermon & Jorgen Michael Odegard