Sabtu, 23 Maret 2024

Ramadan Mubarak (10)

"Seorang turis Indonesia sedang mengunjungi kawan lamanya yang bekerja di Wina dan membawanya ke Währinger Ostfriedhof. Tatkala sedang berjalan di pekuburan, ia mendengar Simfoni Ketiga diputar mundur. Setelah usai, Simfoni Kedua mulai dimainkan, juga mundur, dan kemudian Simfoni Pertama. Akan tetapi, ia tak dapat mendengarkan dengan baik An die Freude atau Ode to Joy-nya Schiller.
'Apaan tuh?' tanyanya pada sang rekan.
'Oh don't worry-lah, biasa, itu Beethoven,' jawab sang teman, 'doi lagi menggubah ulang simfoninya.'”

"Ketika sampai pada banyak persoalan tentang fakta, absolutisme model lama masih mengalahkan relativisme model baru," ucap Yasmin seraya memperhatikan bentangan karpet merah diiringi simfoni Marche en rondeau-nya Charpentier.
"Namun, kata Julian Baggini, jika menyangkut nilai-nilai, relativisme punya lebih banyak penganut sejati. Mengangkat tangan adalah respons yang dapat dimengerti jika kita yakin bahwa penilaian moral melibatkan fakta tentang benar dan salahnya suatu tindakan. Fakta ditetapkan melalui bukti dan observasi. Tiada fakta yang tak sesuai dengan kebenaran. Jalan menuju kebenaran bukanlah dengan mencari pandangan netral yang mustahil dan membawa kita keluar dari jaringan kepercayaan tertentu. Kekuasaan tak berbicara pada kebenaran; kebenaran semestinya bicara pada kekuasaan. Baggini menambahkan bahwa agar menjadi lebih cerdik, kita hendaknya menyadari betapa kurangnya pengetahuan kita. Bagi moralitas yang lebih baik, kita memerlukan ilmu yang lebih baik, ia perlu dipahami secara holistik.

Pada tahun 1908, A. O. Lovejoy mengambil esai William James tahun 1898 tentang 'Philosophical Conceptions and Practical Results' menandai pengukuhan pragmatisme sebagai doktrin yang lengkap.
Terma pragmatisme, pragmatik, dan pragmatis, umumnya digunakan untuk menunjukkan komitmen terhadap keberhasilan dalam urusan praktis, guna 'menuntaskan sesuatu'. Menurut Robert B. Talisse dan Scott F. Aikin, para pragmatis tak didorong oleh prinsip, melainkan oleh kehendak mencapai tujuan mereka. Oleh sebab itu, kaum pragmatis tak begitu tertarik pada abstraksi, idealisasi, hingar-bingarnya argumen, atau teori apa pun; mereka tak punya waktu melakukannya lantaran terpaku pada beban-beban praktis. Karenanya, seorang pragmatis adalah seorang bargainer, negosiator, pelaku, bukan seorang pencari kebenaran, orang yang kepo, atau pemikir. Maka, kita dapat mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kebalikan dari filosofi.
Teori filosofiskah pragmatisme itu? Gak juga sih. Sulit menunjuk pada satu klaim filosofis yang dianut oleh seluruh penganut pragmatis. Ia juga tak terikat pada lingkungan budaya atau sejarah tertentu. Pragmatisme dalam hal yang menjadi perhatian kita, merupakan sebutan bagi sesuatu yang berbeda dengan filosofi, kata Talisse dan Aikin. Apakah pragmatisme merupakan aliran filsafat yang diorganisasikan berdasarkan satu doktrin sehingga kita dapat mengatakan bahwa, misalnya, Stoicisme itu sebuah haluan? Kagak. Kendati terdapat persamaan doktrinal dan saluran pengaruh di antara seluruh filsuf pragmatis, perbedaan di antara mereka membuat sulit melihatnya sebagai sebuah haluan.

Para filsuf yang menganut terma pragmatisme, tak setuju dengan persoalan filosofis yang sentral dan substantif. Mereka juga berbeda pendapat tentang apa itu pragmatisme. Ada yang mengatakan bahwa pragmatisme adalah tesis tentang makna, acuan, komunikasi, atau bahasa itu sendiri. Yang lain menyatakan bahwa pragmatisme merupakan usulan epistemologis, penjelasan tentang ilmu, keyakinan, pembenaran, penyelidikan, atau kebenaran. Beberapa orang berpendapat bahwa ia adalah perspektif metafisik, pandangan tentang realitas, alam, apa yang ada, apa yang harus kita katakan ada, atau apa yang harus kita katakan tentang apa yang menurut sains ada. Yang lain lagi menolak bahwa pragmatisme itu penjelasan filosofis tentang sesuatu yang khusus. Di antara para filsuf tersebut, ada yang mengatakan pragmatisme ialah metode dalam berfilosofi. Yang lain menyatakan bahwa ia merupakan sikap yang mungkin diambil seseorang terhadap masalah-masalah filosofis tradisional. Menurut sebagian orang, pragmatisme itu sikap yang diambil seseorang terhadap filosofi itu sendiri. Beberapa orang berpendapat bahwa pragmatisme adalah sejenis terapi intelektual, penangkal terhadap dorongan manusia yang terobsesi pada pertanyaan-pertanyaan tradisional tentang filosofi.
Mengingat semua ini, Talisse dan Aikin mufakat dengan Richard Rorty, yang mengamati bahwa pragmatisme ialah ‘sebuah kata yang samar-samar, ambigu, dan terlalu berlebihan’.

Mengetahui itu, hubungan antara yang mengetahui dan sebuah kebenaran. Pertanyaan tentang kebenaran berimplikasi pada pertanyaan tentang hakikat ilmu. Mengejar pandangan yang jernih tentang kebenaran bukan sekadar alat menuntut ilmu. Kebenaran itu sendiri secara intrinsik menarik dan patut dijelaskan. Keyakinan kita merupakan hal-hal yang kita pandang benar. Kebenaran merupakan terma kesuksesan. Maknanya, disaat kita berkeyakinan yang benar, kita telah melakukan sesuatu dengan benar, dan dikala kita berkeyakinan yang keliru, kita telah melenceng dari tujuan. Pemikiran yang mengatur lebih lanjut mengenai kebenaran ialah bahwa kebenaran tak hanya tak boleh saling bertentangan, melainkan pula seyogyanya bersatu dalam cara yang koheren. Kebenaran, sebagai sesuatu yang baik, tak dapat dipahami kecuali kebenaran itu diintegrasikan dalam hidup kita.
Pragmatisme merupakan jenis empirisme—pandangan bahwa segala ilmu bersumber dari pengalaman; selain itu, semua pragmatisme mendukung beberapa gaya naturalisme—pandangan bahwa dunia yang dikaji oleh sains empiris merupakan satu-satunya dunia yang ada. Pragmatisme juga berkaitan dengan tindakan. Kaum pragmatis berkepentingan menjadikan tindakan lebih berhasil. Kata Ingglisy 'pragmatic' telah ada sejak tahun 1500-an, sebuah kata yang dipinjam dari bahasa Perancis dan akhirnya berasal dari bahasa Yunani melalui bahasa Latin. Kata Yunani pragma, yang bermakna bisnis, perbuatan, atau tindakan, merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja prassein, yang bermakna melakukan.

Charles Peirce, seorang polimat Amerika, merupakan orang pertama yang mengidentifikasi pragmatisme. Pragmatisme dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1870-an. Asal usulnya sering dikaitkan dengan filsuf Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Yang terakhir disebut, berpandangan bahwa pragmatisme mengharuskan ‘democracy is a way of life’. 'Cara hidup' seperti apa demokrasi itu?
Demokrasi Deweyan melewati karakterisasi sebagai berikut: Demokrasi Deweyan bersifat substantif karena menolak segala upaya memisahkan politik dan etika. Dewey berpendapat bahwa tatanan politik demokratis pada dasarnya tatanan moral, dan lebih jauh lagi, partisipasi demokratis merupakan unsur penting dari ‘cara hidup yang benar-benar manusiawi’. Dewey menolak gagasan bahwa partisipasi hanya terdiri dari pemungutan suara dan petisi demi kepentingan seseorang. Dengan demikian, Dewey berpendapat bahwa partisipasi demokratis pada dasarnya bersifat komunikatif, terdiri dari kesediaan warga negara turut-serta dalam aktivitas yang dengannya mereka dapat ‘meyakinkan dan diyakinkan dengan alasan’ dan menyadari ‘nilai-nilai yang dihargai bersama’. Dewey berpendapat bahwa proses komunikatif seperti itu, tak seperti bentuk perfeksionisme lainnya, yang berpendapat bahwa proyek pembentukan disposisi warga negara adalah tugas negara saja, perfeksionisme Dewey, seperti konsepsinya tentang demokrasi, lebih dalam; maknanya, dalam pandangan Deweyan, proyek perfeksionis merupakan kewajiban seluruh cara pergaulan manusia. Dewey berpendapat bahwa ‘Perjuangan bagi demokrasi harus dipertahankan di berbagai bidang seperti halnya aspek budaya: politik, ekonomi, internasional, pendidikan, sains dan seni, serta agama’. Ia melihat tugas demokrasi adalah ‘menjadikan politik, industri, pendidikan, dan kebudayaan kita secara umum sebagai pelayan dan perwujudan cita-cita demokrasi yang terus berkembang’. Karenanya, bagi Dewey, seluruh asosiasi sosial harus ditujukan pada realisasi visi khasnya tentang kemajuan umat manusia. Aspirasi ini ditemukan di seluruh korpus Dewey; dalam tulisannya mengenai politik, pendidikan, psikologi, agama, budaya, dan seni, kita diberitahu bahwa pertumbuhan merupakan puncak tujuan dan akhir yang tepat.

Lantas, tahukah kita apa gunanya manusia bertumbuh? Mengingat kondisi pengetahuan moral kita, belum ada seorang pun yang tahu konsep mana yang benar tentang pertumbuhan manusia. Talisse dan Aikin berpendapat bahwa negara yang memaksakan konsepsi yang keliru atau cacat mengenai pertumbuhan manusia kepada warganya, akan menimbulkan kerugian moral yang gawat bagi mereka. Proyek melembagakan ‘democracy is a way of life’ dengan merancang seluruh lembaga perkumpulan manusia sehingga dapat mendorong pertumbuhan merupakan hal yang terlalu prematur.
Pragmatisme memandang bahasa dan pemikiran sebagai alat memprediksi, memecahkan masalah, dan bertindak, bukan menggambarkan, mewakili, atau mencerminkan fakta. Penganut pragmatis berpendapat bahwa sebagian besar topik filosofis—seperti hakikat ilmu, bahasa, konsep, makna, keyakinan, dan sains—sebaiknya semata dilihat dari segi kegunaan praktis dan keberhasilannya. Pragmatisme tak melihat perbedaan mendasar antara dalil praktis dan teoritis, maupun perbedaan ontologis antara fakta dan nilai. Etika pragmatis secara umum bersifat humanis karena tak melihat ujian akhir moralitas melebihi apa yang penting bagi kita sebagai manusia.

Demokrasi sebagaimana yang kita kenal, merupakan sebuah upaya yang menginspirasi, namun selalu bermasalah, sebuah perjuangan yang sulit dan berkelanjutan tanpa hasil yang jelas, kata John Medearis. Ketika Anthony Trollope menulis Phineas Finn—novel politik Inggris tahun 1860-an, bercerita tentang reformasi pemungutan suara, pemungutan suara rahasia, wilayah kecurangan, dan hak penyewa Irlandia, serta kisah cinta Finn dengan wanita kaya, yang akan menjamin masa depan finansialnya—banyak masalah demokrasi berpusat pada pewaris radikal Chartisme yang menantang dominasi politik kelas borju dan kelas atas. Upaya-upaya ini cukup mengancam sehingga mendorong kaum Liberal dan Konservatif bersaing keras mendapatkan dukungan kelas pekerja.
Jika ambisi demokrasi merupakan pengelolaan lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan yang membentuk kehidupan kita secara kolektif dan egaliter, setiap keadaan tersebut, mengandung elemen yang berlawanan, yaitu hilangnya kendali atau ketidakmampuan melaksanakannya. Bila mengatakan bahwa tiada kekuatan demokratisasi mungkin merupakan hal yang keliru. Berbagai gerakan, politisi, dan masyarakat umum telah berusaha mendapatkan kembali kendali demokratis terhadap keuangan, dan masyarakat dengan gelisah menetapkan batasan terhadap raksasa militer. Namun, demokrasi sepertinya merupakan perjuangan berkelanjutan melawan fenomena seperti ini, bukan kemenangan atas fenomena tersebut. Tak ada alasan untuk merasa kecewa, menarik-diri, atau melakukan penghematan dalam menghadapi permasalahan demokrasi ini. Jalur demokrasi, menurut pandangan ini, hanyalah upaya oposisi yang terus-menerus, tanpa harapan akan kemenangan yang transenden.
Visi politik seperti ini, yang menekankan perjuangan terus-menerus merebut kembali kekuatan-kekuatan sosial yang tak terkendali, dimana pun kita menemukannya—yang menekankan pada oposisi, konflik, dan ketegangan—mungkin bagi sebagian orang, seperti karakter Trollope, Jane Bunce, sebagai sebuah janji bahwa demokrasi takkan pernah menawarkan lebih dari 'roti kering dan ujaran tak pantas.' Di Phineas Finn, suami Bunce, seorang pekerja harian, anggota serikat pekerja, dan reformis, bertahan hidup dengan makanan di penjara selama seminggu usai ditangkap selama protes di luar Parlemen untuk pemungutan suara rahasia. Pengalaman ini juga merupakan inti dari perjuangan demokrasi.

Tindakan demokratis, kata Medearis, merupakan respons terus-menerus terhadap perang yang, tampaknya, tak dapat dijinakkan, birokrasi yang buruk, sistem kasta rasial, dan pasar yang tak terkendali. Hal ini masih terus berlangsung dengan tak nyaman bersama dengan institusi dan kekuatan yang tak dapat diandalkan, yang menolak dan membuat demokrasi berada dalam kondisi yang genting. Struktur dan kekuatan sosial semacam ini dianggap terasing. Hal-hal tersebut sangat menutupi kapasitas masyarakat agar bertindak, dan pada saat yang sama, memberikan sarana bagi sebagian orang, menindas yang lain. Pada saat yang sama, yang terpenting, kekuatan-kekuatan dan institusi-institusi ini, bukanlah kekuatan-kekuatan dan institusi-institusi eksternal, yang berhadapan dengan banyak orang dari luar, namun merupakan produk sampingan dari beragam aktivitas kolektif orang-orang tersebut. Mereka, dalam bahasa ilmu sosial tertentu, direproduksi melalui aktivitas-aktivitas ini. Karena aksi demokrasi terus-menerus berjuang mempertahankan kontrol egaliter atas dunia sosial yang terus-menerus direproduksi oleh aktivitas kita bersama—sebab institusi dan kekuatan yang terasing merupakan tantangan yang terus-menerus dan lebih lanjut diperbarui—demokrasi selalu bersifat oposisional.
Kata ‘oposisi’ digunakan sehari-hari untuk menjelaskan berbagai perkembangan; namun banyak maknanya yang belum dikaitkan secara sistematis dengan perbedaan di antara sistem politik dunia, kata Jean Blondel. Sementara itu, banyak analisis di berbagai negara yang mengkaji sifat oposisi politik dalam setiap kasus tertentu. Oposisi merupakan sebuah konsep yang ‘berketergantungan’. Maknanya, karakter oposisi terikat dengan karakter pemerintah. Dengan demikian, gagasan tentang oposisi bersifat parasit terhadap gagasan tentang pemerintahan, tentang aturan, tentang otoritas: tentu saja, keberadaan negara merupakan syarat yang diperlukan bagi keberadaan oposisi dan memang dapat ditambahkan bahwa pembedaan harus dibuat, antara negara-negara kuat dan lemah, antara negara-negara yang bisa dan negara-negara yang tidak bisa sepenuhnya melaksanakan keputusannya. Oleh karenanya, seseorang mungkin berhak menarik kesimpulan bahwa satu-satunya cara mengetahui karakter oposisi yang sebenarnya adalah dengan menilik terlebih dahulu pemerintahan, aturan, otoritas, atau negara.

Oposisi politik sangat bervariasi dalam kekuatan dan karakter, tak semata berada di tengah, melainkan terhadap rezim otoriter dan liberal. Dalam pemerintahan otoriter, pemerintah bisa bersikap brutal atau agak represif dan pada yang disebut terakhir, membiarkan beberapa kelompok dan bahkan partai menyatakan perbedaan pendapat (yang terbatas), hanya untuk melakukan aksi pembangkangan jika pertentangan tersebut melampaui batas yang dipandang 'dapat diterima'. Tingkat penindasan yang berbeda-beda dapat mengakibatkan sebagian besar oposisi dipaksa bersembunyi dan oposisi yang ditoleransi sebagian besar diwakili oleh kelompok-kelompok yang lemah. Di sisi lain, dalam politik liberal, institusi dan perpecahan sosial berdampak besar pada karakter oposisi: pada satu sisi, oposisi dapat mencerminkan keberadaan kelompok komunal, dimana partai hanya sekedar ‘epifenomena’ [efek sekunder]; di sisi lain, bila tak ada atau hampir tiada perpecahan komunal, dan perpecahan sosial bersifat lintas sektoral atau lemah, partai-partai cenderung kuat dan setidaknya beberapa kelompok penting cenderung bekerja sama dengan partai-partai tersebut.
Kekuatan oposisi bergantung pada kekompakannya. Dalam rezim otoriter, kekompakan cenderung rendah, kecuali dalam jangka waktu yang pendek, sebab manakala oposisi bersatu, rezim tersebut terancam runtuh. Lantaran oposisi cenderung tak kohesif, pembentukan oposisi, kemungkinan besar akan menimbulkan masalah besar dalam pembentukan institusi jika dan ketika sistem politik berpaling jauh dari otoritarianisme. Dalam politik liberal, oposisi politik cenderung bersifat kohesif bila hanya ada satu pusat pengambilan keputusan dan manakala institusi mendominasi sistem politik, bukan perpecahan sosial. Tak mengherankan jika pihak oposisi mendapat pengakuan penuh dalam situasi seperti ini, dan mereka dipandang berstatus yang hampir setara dengan pemerintah, yang dapat mereka tantang, dan bahkan, gantikan.
Kita teruskan lagi perbincangan kita pada episode berikutnya, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Robert B. Talisse & Scott F. Aikin, Pragmatism: A Guide for the Perplexed, 2008, Continuum International
- John Medearis, Why Democracy is Oppositional, 2015, Harvard University Press
- Jean Blondel, Political Opposition in the Contemporary World, Government and Opposition Journal, 1997, Vol. 3, Iss. 4, John Wiley and Sons