Senin, 25 Maret 2024

Ramadan Mubarak (11)

“Seorang dokter sedang mendiagnosis pasiennya dan bertanya, 'Apa Anda selalu mendengkur?'
'Enggak dok, hanya sewaktu tidur ajah,' jawab sang pasien."

"Sedikit sekali atau bahkan tiada tayangan yang diberikan melalui saluran kelembagaan, yang ditawarkan oleh negara-negara demokratis, manakala warga negara menyuarakan kebenaran dan logika, di jalan-jalan atau berkumpul di ruang pertemuan atau berbagi ide-ide mereka melalui pers minoritas,” lanjut Yasmin sembari mengamati karya Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro.
“Wacana-wacana seperti ini, menyajikan strategi retoris baru guna mengekspresikan keinginan, kebutuhan, dan emosi warga negara yang tak disadari dan tak beralamat. Ia juga menawarkan dorongan bagi bentuk-bentuk musyawarah-mufakat dan tindakan yang terinformasi, yang dapat menghasilkan perubahan realitas politik.

Ketika negara-negara demokrasi menjadi lebih demokratis, mereka akan mengembangkan dirinya dan  'political well-being' para anggotanya. Meningkatnya demokratisasi semakin membuka ruang publik terhadap beragam pendapat, dan dengan demikian, menawarkan para aktornya, peningkatan kepentingan dalam pengambilan keputusan secara musyawarah-mufakat. Para aktor dapat berharap bahwa ketertarikan dan wawasan yang mereka ungkapkan akan benar-benar diakui dan dilibatkan oleh orang-orang penting lain, sehingga mereka termotivasi memanfaatkan peluang guna memberikan masukan yang berarti terhadap hal-hal yang penting bagi mereka sendiri dan generasi penerusnya. Semua ini dan lebih banyak hal lainnya, akan menimbulkan dampak positif di seluruh lanskap politik yang berujung pada aksi politik yang lebih terinformasi dan refleksif.
Gagasan mengenai peningkatan demokratisasi dan pentingnya keterlibatan partisipatif para aktor lembaga-lembaga politik menggarisbawahi perlunya perluasan arena wacana publik. Pentingnya wacana bagi demokrasi menunjukkan adanya ketegangan antara cita-cita peningkatan demokratisasi, yang diwujudkan dalam arena musyawarah yang diperluas, dan realitas demokrasi yang tak sempurna, yang seringkali berjalan berlawanan dengan cita-cita tersebut. Di satu sisi, pemilihan umum yang bebas, perwakilan proporsional, dan pemerintahan mayoritas semuanya membuktikan kemajuan negara-negara demokratis dan, tentu saja, berfungsi sebagai penyangga diskursif bagi legitimasi pengaturan dan praktik kelembagaan negara yang ada: program-program aksi yang saling bersaing diperdebatkan; kehendak rakyat diungkapkan melalui pemilu; tampuk pemerintahan seringkali tertukar; konflik sosial diselesaikan dengan cara damai. Di sisi lain, hasil-hasil tersebut dan bagaimana hasil-hasil tersebut direpresentasikan secara diskursif dapat menyamarkan kecenderungan negara-negara demokratis menekan masukan dari beberapa aktor sebagai cara melindungi atau memajukan kepentingan pihak-pihak yang memiliki hak istimewa: perdebatan mengenai program aksi yang bersaing mungkin hanya bersifat parsial dan pengecualian terhadap beberapa (mungkin sebagian besar) calon peserta; kehendak rakyat mungkin tak lebih dari opini mayoritas yang diungkapkan secara terbatas dalam agregasi hasil pemilu atau pembagian keterwakilan; klaim resolusi konflik mungkin sebenarnya mengalihkan perhatian dari kesenjangan kronis dalam distribusi kekuasaan.

Hubungan antara para penguasa dan orang-orang yang mungkin berbeda pendapat dengan mereka, merupakan bagian standar dari pengalaman politik setiap rakyat. Tiada pemerintahan yang sepenuhnya didukung oleh seluruh rakyat yang diklaimnya sebagai penguasa, dan salah satu tugas utama sistem politik ialah menemukan cara menyeimbangkan pemerintahan dan oposisi. Pada saat yang sama, gagasan mengenai oposisi politik yang terorganisasi sebagai sebuah komponen yang normal dan bermanfaat dalam sebuah pemerintahan, merupakan sebuah gagasan yang mengejutkan, dan nampaknya tak sesuai dengan pemikiran tradisional dalam spekulasi politik: pencarian negara yang baik berdasarkan kesetiaan universal pada prinsip dan praktik yang benar. Bahkan dalam sistem parlementer yang sudah mapan seperti di Inggris, masih terdapat keraguan di benak setidaknya beberapa intelektual terkemuka abad kesembilan belas—dan awal abad kedua puluh—tentang gagasan oposisi yang diterima secara formal dan sah. Upaya dalam teori dan praktik politik tradisional adalah membuat sistem politik terbaik, dan oposisi kerapkali dipandang sebagai kekuatan yang mengganggu ketimbang konstruktif, dalam proses kreatif tersebut.

Demokrasi melindungi hak dan kebebasan rakyat, dan mengakui kemerdekaan rakyat mengekspresikan pandangannya. Namun, 'kehendak rakyat' acapkali bersifat plural, dan tradisi demokrasi memberikan banyak cara berbeda dalam menetapkan dan mengelola oposisi. Prinsip demokrasi menyangkut hak individu dan kelompok bila berbeda pendapat dengan pemerintah. Namun, selalu ada rasa keberatan terhadap perselisihan tersebut. Meskipun banyak definisi demokrasi, semisal mengakui hak, dan dalam beberapa definisi bahkan kebutuhan, keberadaan partai oposisi, frasa 'politik partisan' membawa implikasi negatif, bahkan dalam perbincangan orang-orang yang sangat yakin akan perlunya kompetisi sistem politik multipartai. Secara lebih luas lagi, terdapat ketegangan mendasar dalam masyarakat politik antara keinginan mencapai keharmonisan dan stabilitas, serta kebutuhan menyediakan sarana mengekspresikan ketidaksepakatan.
Oposisi dapat beragam bentuknya, mulai dari advokasi revolusioner guna menggulingkan sistem yang ada hingga berbagai derajat ketidaksepakatan dengan orang-orang yang berkuasa dalam suatu sistem politik. Tak ada pemerintah yang membolehkan aktivitas terbuka yang bertujuan menggulingkannya dengan cara kekerasan. Namun, terdapat pula pemerintahan yang telah mengorganisir, atau setidaknya bekerja sama, sebagai bagian dari upaya demokratisasi, agar mengakhiri sistem politik yang ada dan menggantinya dengan sistem yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda. Sebagian besar rezim otoriter dan satu partai di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, terlibat dalam peleburan-diri secara kooperatif di bawah tekanan gerakan oposisi populer (dan ilegal) yang masif. Pemerintahan militer di Afrika, berulangkali mengumumkan dimulainya upaya memulihkan demokrasi sipil, dengan berbagai tingkat komitmen dan keberhasilan. Namun, persyaratan minimum dasar yang diterapkan pemerintah kepada pihak oposisi iaalah mereka tak terlibat aktif dalam tindakan kekerasan guna menggulingkan pemerintah.

Sebagian besar pemerintah menerapkan pembatasan tambahan terhadap kelompok oposisi. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, di banyak negara bagian di Amerika Serikat, misalnya, salah satu syarat untuk bekerja di suatu lembaga negara adalah pengambilan sumpah yang menyatakan bahwa calon pegawainya 'tak pernah dan tak akan menjadi' anggota suatu organisasi. kelompok yang menganjurkan penggulingan pemerintah Amerika Serikat dengan kekerasan, kendati pun individu dimaksud tak pernah secara pribadi turut dalam aktivitas tersebut. Dalam konteks ini, standar dasar penilaian merupakan penerimaan aturan-aturan fundamental sistem politik oleh pihak oposisi. Pada awal tahun 1960-an, dikala rezim militer menjadi hal yang lumrah di berbagai belahan dunia, sering dikutip dalam observasi Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa politik itu 'ibarat permainan kartu: para pemainnya harus sepakat kartu mana yang menjadi kartu truf. Dengan perbedaan ini, ia menambahkan, bahwa dalam politik, ketika tak ada kartu lain yang disepakati, maka klublah yang menjadi pemenangnya.' 'Aturan main' harus diterima oleh pihak oposisi; jika tidak, 'klub' akan menjadi basis kekuasaan.
Walau penerimaan demokrasi sebagai sistem politik yang baik masih relatif baru dan telah lama ada keraguan (setidaknya di pihak penguasa) mengenai penentangan terhadap rezim yang ada, terdapat banyak batasan struktural dan informal terhadap kekuasaan penguasa di seluruh dunia. sejarah. Tidak ada penguasa yang memiliki kendali mutlak atas segala sesuatu sepanjang waktu. Masyarakat dan peradaban mengembangkan konseptualisasi penting untuk membatasi kekuasaan para tiran, dan konsep-konsep ini mencerminkan warisan khas masyarakat yang berbeda. Meskipun konsep Mandat Surga, misalnya, mungkin didefinisikan sebagai cara untuk melegitimasi klaim kekuasaan dinasti Chou kuno dan merupakan bagian penting dari konsep legitimasi kekaisaran Tiongkok, hal ini juga memberikan alasan pada abad-abad berikutnya. untuk revolusi melawan dinasti kekaisaran di saat ketidakstabilan dan kesulitan.

Oposisi revolusioner terhadap sistem politik yang ada, bukanlah hal yang dimaksud dalam sebagian besar perbincangan mengenai 'oposisi politik'. Dengan sikapnya yang khas, G.K. Chesterton mengutarakan persoalan ini dengan jelas, 'Bakalan absurd jika meminta Pemerintah memberikan oposisi. Dirimu tak bisa menemui Sultan dan berkata dengan nada mencela: 'Tuanku Sultan tak berencana agar saudaramu melengserkanmu dan merebut Kekhalifahan.' Engkau tak dapat menemui raja abad pertengahan dan berkata: 'Mohon pinjamkan hamba dua ribu tombak dan seribu pemanah, karena hamba ingin memberontak melawan yang mulia.' Dalam banyak standar pemikiran politik Barat, 'oposisi' yang sah dalam konteks demokrasi, dipahami dengan cara yang spesial. Sebagian besar saran menekankan bahwa oposisi mensyaratkan persetujuan pada hal-hal mendasar, yaitu kesepakatan pada tingkat komunitas dan rezim. Yang ditentang oleh pihak oposisi adalah pemerintahan, bukan sistem politiknya.
Konsep oposisi ini bergantung pada konsep dasar 'konstitusi', atau seperangkat aturan dasar yang diterima sah oleh semua orang dalam sistem politik, termasuk oposisi. Munculnya gagasan pemerintahan konstitusional merupakan elemen penting dalam perkembangan negara modern, namun merupakan perkembangan yang relatif baru di Barat. Konsep 'tatanan hukum atau konstitusional yang impersonal dan memiliki hak istimewa, sering dikaitkan dengan gagasan tentang negara dalam pemikiran politik Barat modern, namun tak menjadi objek perhatian utama hingga akhir abad ke-16, dan gagasan tentang batasan struktur kekuasaan dari pemisahan penguasa dan yang dikuasai dengan yurisdiksi tertinggi atas suatu wilayah menjadi sebuah fenomena modern.

Dalam standar pemikiran politik modern Barat, oposisi yang dapat diterima dalam sistem demokrasi sangat terkait dengan konsep pemerintahan konstitusional, yang di dalamnya terdapat konsensus fundamental dan mendasar mengenai 'aturan main' politik. Oposisi merupakan ketidaksepakatan yang legal terhadap kebijakan tertentu dari pemimpin tertentu dalam kerangka prinsip-prinsip dasar konstitusi yang diterima bersama, baik tertulis atau berdasarkan praktik yang sudah lama ada. Namun, dalam pengalaman politik modern Barat, terdapat pula oposisi radikal tradisional yang terekspresikan ke dalam beraneka bentuk revolusioner.
Dalam sejarah politik modern Eropa Barat, terdapat ketegangan yang telah berlangsung lama antara dua pemahaman berbeda mengenai demokrasi, dan masing-masing pemahaman ini mewakili pertentangan yang saling revolusioner. Dua visi yang bersaing adalah visi yang menekankan hak-hak individu dan pembatasan terhadap pemerintah, dan visi lain yang menekankan kehendak rakyat dan struktur kolektif komunitas. Hal ini merupakan perdebatan yang terus berlanjut dalam tradisi politik Barat dan inti dari setiap pembicaraan mengenai demokrasi.

Pada akhir abad kedua puluh, revolusi, sesuai dengan tradisi lama kekerasan radikal, tak lagi dipraktikkan dan efektif dalam konteks globalisasi politik demokratisasi. Dalam kondisi dunia saat ini, revolusi demokratis seperti yang terjadi pada abad ke-19 hanya mungkin terjadi jika rezim politik mempertahankan posisi anti-demokrasi di hadapan tuntutan demokratisasi yang besar dari masyarakat. Di sebagian besar negara pada tahun 1990an, bahkan oposisi radikal pun beroperasi dalam kerangka konseptual yang sama. Jika terdapat perbedaan mendasar dalam kosmologi fundamental, seperti perbedaan antara teori politik humanis sekuler dan teori politik yang dibangun berdasarkan asumsi religius, maka terdapat kemungkinan terjadinya revolusi yang disertai kekerasan dan antisistemik, namun dalam banyak kasus, terdapat penerimaan yang luas terhadap asumsi fundamental tersebut. tentang perlunya kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi politik kerakyatan dalam bentuk yang bermakna.
Namun, konsensus yang luas tak menghilangkan kemungkinan adanya oposisi atau bahkan perasaan perlunya melanjutkan oposisi jika ingin demokrasi sukses. Dalam versi yang paling bersih dalam konteks demokrasi liberal, terdapat desakan bahwa landasan pemerintahan demokratis adalah hak untuk menyelenggarakan 'free and fair elections' [didefinisikan oleh ilmuwan politik Robert Dahl sebagai pemilu yang 'pemaksaan tak terjadi secara komparatif'. Pemaksaan melibatkan tekanan pada suatu pihak agar bertindak secara tak sukarela dengan menggunakan ancaman, termasuk intimidasi menggunakan kekerasan terhadap pihak tersebut. Hal ini terkait dengan serangkaian tindakan paksa yang melanggar kehendak bebas individu agar menimbulkan respons yang dikehendaki. Tindakan ini termasuk pemerasan, gertakan penyanderaan, atau bahkan penyiksaan dan kekerasan seksual. Free and fair elections menyangkut kebebasan politik dan proses yang adil menjelang pemungutan suara, penghitungan yang adil terhadap pemilih yang memenuhi syarat, yang memberikan suaranya (termasuk aspek-aspek seperti kecurangan pemilu atau eksploitasi para pemilih), dan penerimaan hasil pemilu oleh semua pihak. Boleh jadi, sebuah pemilu sebagian memenuhi standar internasional free and fair elections, atau mungkin memenuhi beberapa standar namun tak memenuhi standar lainnya], bahwa pemilu tersebut harus terbuka bagi banyak pihak, dan bahwa pihak yang menang harus dapat berpartisipasi membentuk pemerintahan yang mampu memenuhi mandatnya. Pemerintah juga harus bersedia melepaskan kekuasaannya, jika hasil pemilu berikutnya, mengharuskan demikian. Namun, dalam visi pihak oposisi, terdapat batasan yang ketat: ketika pihak tersebut berkuasa, tak diperbolehkan mengubah ketentuan dasar konstitusi dalam upaya merebut kekuasaan ekstra-konstitusional atau menghentikan pemilu baru.

Diskripsi yang lebih luas mengenai perlunya oposisi dalam sistem demokrasi berasumsi bahwa tiada sistem pemerintahan yang sempurna, walau demokrasinya berfungsi dengan baik. Karena 'pemerintahan selalu berubah', upaya 'reinventing government' tak semata sesuatu yang diidam-idamkan, namun dalam banyak pandangan, memang perlu dilakukan. Kritik yang konstruktif dan oposisi, menjadi bagian penting dalam demokrasi, baik dalam hal perlunya mekanisme yang memungkinkan oposisi terus mengakses posisi kepemimpinan, maupun dalam makna yang lebih radikal.
Oposisi sebagai pernyataan simpel ketidaksepakatan dengan para pemimpin dalam suatu sistem politik merupakan fenomena lama. Dulu, oposisi umumnya diungkapkan melalui gerakan menggulingkan atau menjatuhkan pemerintah dan, tentu saja, tak diakui sebagai pilihan politik yang sah oleh para penguasa. Kini, oposisi sebagai pilihan yang dapat diterima oleh sistem politik, dalam banyak hal merupakan fenomena yang relatif baru dalam sejarah dunia. Hal ini terutama diidentikkan dengan munculnya ide-ide demokrasi modern.

Oposisi demokratis modern mengimplikasikan sejumlah asumsi dasar. Secara umum, terdapat asumsi konsensus di antara seluruh sistem mengenai konstruksi fundamental sistem politik tersebut. Jika konsensus tersebut tiada, diasumsikan bahwa oposisi yang sah takkan mengarah pada upaya kekerasan dan militer untuk meruntuhkan sistem yang ada, dan bahwa setiap oposisi yang berkuasa takkan mengubah sistem sehingga tak dapat dipulihkan melalui cara-cara bukan-kekerasan. Oposisi yang sah mungkin bersifat radikal, liberal, atau konservatif, yang berupaya melakukan transformasi sistem, pengembangan sistem, atau pemeliharaan sistem dalam jangka panjang, namun mereka harus melakukannya dalam kerangka pengakuan hak-hak individu dan kelompok, serta kendali penuh rakyat dalam sistem politik.

Pragmatisme tentang 'democracy is a way of life' yang dipandang sebagai sesuatu yang masih terlalu prematur, telah kita bicarakan pada sesi sebelumnya, dan di episode selanjutnya, akan kita bincangkan tentang demokrasi, dan juga oposisi, dalam perspektif Islam, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Michael Huspek (Ed.), Oppositional Discourses and Democracies, 2010, Routledge
- John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy, 1996, Oxford University Press