"Serius, IPK Mulyono 3.05? Gile bener." seru Budi, matanya melotot ke layar laptop. Di hadapannya, Dinda menyeruput es teh dengan tatapan skeptis. Mereka berdua, duo detektif IPK tak resmi, sedang menyelidiki kasus paling membingungkan di kampus: Indeks Prestasi Kumulatif Mulyono yang legendaris. "Nggak masuk akal, Bud. Nggak masuk akal sama sekali," Dinda menggerutu, jarinya mengetuk-ngetuk kertas transkrip nilai Mulyono yang udah lecek. "Denger ya, rekapannya udah jelas banget. Doski cuma punya tiga nilai A. TIGA! Itu pun kayaknya sisa mata kuliah wajib filsafat sama etika yang tinggal tidur juga lulus."
Budi mengangguk setuju. "Terus, nilai B ada sepuluh. Nah, ini lumayanlah. Artinya doi masih ada usaha dikit di beberapa mata kuliah."
"Usaha dikit kepaksa kayaknya," sela Dinda sinis. "Yang bikin gue sakit kepala itu ini nih: doski punya tiga belas nilai C! TIGA BELAS, Bud! Itu artinya sebagian besar mata kuliah dia, pas-pasan banget, kayak cuman nempel di dinding kelulusan."
Budi menyambar transkrip itu lagi, "Dan jangan lupa, enam nilai D. ENAM! Artinya, enam mata kuliah doski udah di ujung tanduk, cuma butuh satu sentuhan lagi buat ngulang semester depan."
Hening sejenak. Angka-angka itu berdansa di benak mereka, sebuah simfoni ketidaksesuaian yang absurd. Tiga A, sepuluh B, tiga belas C, dan enam D. Total 32 mata kuliah.
"Oke, mari kita hitung pakai rumus IPK sakti mandraguna," kata Budi, tangannya sudah lincah menekan kalkulator. "A itu 4.0, B itu 3.0, C itu 2.0, D itu 1.0. Mata kuliah rata-rata 3 SKS deh, biar gampang."
Dinda mencomot pulpen dan mulai mencoret-coret di balik (fotocopy bukan asli) transkrip Mulyono yang malang.
"Tiga A: 3×4.0=12.0"
"Sepuluh B: 10×3.0=30.0"
"Tiga belas C: 13×2.0=26.0"
"Enam D: 6×1.0=6.0"
Mereka menjumlahkan angka-angka itu.
"Total nilai: 12.0+30.0+26.0+6.0=74.0," gumam Budi.
"Total SKS: 32×3=96 SKS," tambah Dinda.
"Sekarang dibagi," Budi menggeser kalkulatornya ke depan Dinda. "Total nilai dibagi total SKS. 74.0/96..."
Layar kalkulator menampilkan angka: 0.770833333.
Mata Dinda membelalak. "Nol koma tujuh puluh tujuh? Ini sih IPK buat mahasiswa yang cuma datang pas ujian trus molor!"
Budi garuk-garuk kepala. "Tapi kok di transkripnya tertulis... 3.05?"
Mereka saling pandang, kebingungan tergambar jelas di wajah. Ini bukan hanya masalah matematika; ini masalah metafisika IPK. Bagaimana mungkin seseorang dengan jejak rekam nilai yang begitu medioker bisa menghasilkan angka yang cukup "aman"?
"Jangan-jangan Mulyono punya mata kuliah siluman, Bud?" Dinda berspekulasi, nada suaranya bercampur antara frustrasi dan teori konspirasi. "Atau jangan-jangan, nilai A dia bukan A biasa. Mungkin A+++ super Saiyan?!"
Budi menggelengkan kepala. "Nggak mungkin. Atau... jangan-jangan sistem perhitungan SKS-nya beda? Mungkin A dia itu SKS-nya 100, sementara D cuma 1 SKS?"
Tawa getir pecah dari Dinda. "Mungkin Mulyono ini punya 'system konversi karma' pribadi. Setiap kali dia bantu dosen fotokopi atau beliin kopi, nilai C dia langsung jadi A."
"Atau, dia menemukan rumus Rahasia dimana jumlah SKS mata kuliah yang nilainya D itu sebenernya nggak dihitung?" Budi menambahkan, mencoba masuk ke alam semesta Mulyono. "Atau mungkin dia punya koneksi langsung ke server fakultas?"
Mereka akhirnya nyerah, kepala pening menghadapi misteri yang lebih rumit dari rumus relativitas Einstein. IPK 3.05 Mulyono tetap menjadi anomali, sebuah bukti bahwa di dunia akademik, terkadang angka bisa menjadi lebih misterius dari ilusi optik. Mungkin, pikir mereka, Mulyono memang punya keajaiban tersendiri, atau mungkin... ada 'sesuatu' yang mereka lewatkan dalam persamaan nilai yang jauh lebih kompleks dari sekadar A, B, C, D. Yang jelas, mereka tak akan pernah memandang IPK dengan cara yang sama lagi.
Sepanjang sejarah, memang ada banyak banget pemimpin negara yang hobi ngibul—mulai dari bohong terang-terangan, setengah-setengah, sampai manipulasi fakta yang rapi jali. Dalam dunia politik, kebohongan sering jadi senjata pamungkas buat dapet kekuasaan, jaga citra, atau ngebungkam suara lawan. Tapi sejarah udah buktiin berkali-kali: kebohongan boleh menang di awal, tapi biasanya tamatnya tragis atau memalukan.
Ambil contoh Richard Nixon, mantan Presiden Amerika Serikat. Doi terkenal karena skandal Watergate, dimana doski nutup-nutupin aksi penyadapan yang dilakukan timnya terhadap lawan politik. Awalnya doi ngotot nggak terlibat, tapi lama-lama kebenaran kebuka juga. Akhirnya doi jadi presiden pertama yang resign sebelum dipecat. Reputasinya? Hancur lebur. Nama “Nixon” sekarang udah jadi sinonim buat “skandal politik”.
Kalau yang satu ini lebih ekstrem: Adolf Hitler. Doi naik ke puncak kekuasaan dengan membangun kebohongan besar-besaran—salah satunya dengan nyalahin orang Yahudi atas semua masalah Jerman. Dengan propaganda yang gila-gilaan, doski cuci otak rakyatnya buat percaya omong kosong itu. Tapi akhirnya, perang dunia meledak, jutaan orang tewas, dan Hitler bunuh diri di dalam bunker pas Jerman di ujung kehancuran. Kebohongannya literally ngebakar dunia.
Kalau ditanya, gimana nasib pemimpin yang suka bohong? Ya jarang yang happy ending. Entah lengser dengan aib, dibenci rakyat, diadili sejarah, atau tumbang karena kebenaran akhirnya kebuka juga. Bisa aja mereka nikmatin kuasa sesaat, tapi sejarah tuh sabar… dan teliti.
Kita bisa simpulin: bohong itu mungkin bisa jadi shortcut ke puncak, tapi juga jalan tol ke jurang. Dan kalau kebenaran udah mulai “pakai sepatu dan keluar rumah”, hati-hati, karena doi bakal ngejar dan ngegulingin siapa pun yang berdiri di atas kebohongan.
Kalau kita bicara soal pemimpin yang suka bo'ong, ini bukan cuma soal politik basi. Dari kacamata filsosofi, dusta yang dilakukan oleh seorang pemimpin itu ibarat virus moral—pelan-pelan bisa merusak seluruh tubuh bangsa.
Zaman dulu, Plato dalam bukunya The Republic, pernah nyebut soal “noble lie” alias kebohongan mulia. Katanya, kadang pemimpin perlu ngibul dikit demi menjaga ketertiban sosial. Tapi ya itu—kalau rakyat sampai tahu bohongnya, bisa-bisa kepercayaan langsung ambrol kayak tumpukan domino. Jadi, “mulia” di sini bukan berarti boleh bebas nge-prank rakyat seenaknya.
Lain cerita ama Immanuel Kant, filsuf asal Jerman yang punya prinsip tegas: berbohong itu salah dalam kondisi apa pun! Menurutnya, begitu kita bohong, kita udah gak nganggep orang lain sebagai manusia seutuhnya—melainkan alat. Jadi kalau pemimpin bohong, itu artinya doi udah anggap rakyatnya cuma pion buat maenin narasi.
Tapi di sisi lain, ada juga Machiavelli yang agak “dark mode.” Dalam bukunya El Principe, doski bilang, pemimpin tuh harus pintar jaga image walaupun isinya palsu. Gak apa-apa bo'ong, asal demi stabilitas kekuasaan. Ini nih yang jadi biangnya “politik pencitraan.” Pokoknya asal rakyat happy, meski hidup di ilusi.
Masuk ke era modern, Hannah Arendt langsung ngasih warning keras. Katanya, kalau pemimpin terus bo'ong, lama-lama rakyat jadi gak bisa bedain mana fakta, mana fiksi. Ini kayak hidup di dunia Truman Show—semua terasa nyata, padahal itu cuma set panggung. Kalau udah kayak gini, rakyat jadi cuek, apatis, bahkan males mikir. Demokrasi bisa mati bukan karena perang, tapi karena rakyat udah gak peduli lagi sama kebenaran.
Nah, filsuf pop seperti Jean Baudrillard malah bilang kita sekarang hidup di era “hyperreality.” Maksudnya, yang palsu malah terasa lebih real dari yang asli. Jadi pas pemimpin bohong didukung buzzer, media, dan pencitraan, kita kayak nonton sinetron politik 24 jam—penuh dramatisasi, twist plot, dan ending yang kadang bikin greget. Bedanya, ini bukan tontonan. Ini kenyataan yang dimodifikasi.
Dampaknya? Ya jelas gawat: Kepercayaan rakyat runtuh. Etika publik lebur. Kebohongan jadi hal biasa. Bangsa kehilangan arah moral.
Tapi tenang, filosofi juga kasih harapan. Kata Kierkegaard, kebenaran itu mesti diperjuangkan bareng-bareng, bukan ditunggu turun dari langit. Artinya, rakyat perlu bangkitin akal sehat kolektif—berani mikir kritis, rajin nanya, dan gak gampang termakan pencitraan.
Karena pada akhirnya, ketika pemimpin suka bo'ong, yang dipertaruhkan bukan cuma kursi kekuasaan, tapi jiwa bangsa itu sendiri.
Dalam ilmu psikologi, ada yang namanya “microexpression”—ekspresi singkat yang muncul tanpa sadar. Jadi, ketika seseorang bohong, walau mulutnya lancar jaya, wajahnya bisa aja “bocor”. Mungkin ada senyum yang terlalu kaku, mata yang gerak-gerik nggak tenang, atau rahang yang mendadak kaku. Itu tanda batin lagi konflik, otak lagi ngatur skenario, tapi badan nggak bisa bohong.
Nah, kalau bo'ongnya keseringan, apalagi sambil nahan rasa bersalah atau takut ketahuan, itu bisa bikin stres berkepanjangan. Dan tahu sendiri, stres itu bisa nyerang kulit. Hormon kortisol naik, kulit jadi sensitif, jerawat bisa muncul, apalagi kalau tidurnya kurang dan makan nggak teratur. Tapi, ini efek nggak langsung ya—bukan karena bohongnya, tapi karena beban mentalnya.
Tapi ya, nggak semua pembohong merasakan itu. Ada juga yang hatinya udah kebal dosa—kayak karakter “antagonis utama” di sinetron, mukanya glowing, tapi isinya dusta. Mereka bisa bohong sambil senyum, tanpa keringat setitik pun.
Kalau masuk ke dunia spiritual dan kepercayaan lama, ada istilah yang bilang bahwa “dosa bikin wajah jadi gelap, dan kebenaran itu memancarkan cahaya.” Dalam Islam dan banyak budaya Timur, orang yang jujur biasanya punya “nur” atau aura di wajahnya. Tapi kalau suka bo'ong, walau wajahnya dipoles skincare jutaan, auranya bisa hilang. Orang ketemu doi bawaannya was-was, nggak nyaman, atau langsung “dapet feeling aneh”.
Di dunia fiksi dan pop kultur, kebohongan sering digambarkan lewat perubahan fisik. Kayak si Pinokio, setiap bohong hidungnya tambah panjang. Simbolnya jelas: makin sering bohong, makin kelihatan juga aslinya. Bahkan di film atau drama, tokoh-tokoh yang manipulatif sering ditampilkan dengan ekspresi licik, senyum yang gak tulus, atau sorot mata yang gak bisa dipercaya. “Face reveal” bukan soal penampilan, tapi soal karakter.
Kesimpulannya: bo'ong gak langsung bikin wajah rusak secara fisik, tapi bisa ninggalin jejak dalam bentuk lain—entah itu kerutan dari stres, kehilangan ketulusan di senyuman, atau “cahaya” yang perlahan padam. Dan kadang, orang nggak bisa jelasin kenapa mereka gak suka sama si A, padahal dari luar doski ramah. Mungkin karena wajahnya bawa cerita yang gak kelihatan: cerita tentang kebohongan yang disimpan terlalu lama.
Dalam Telling Lies (edisi revisi 2009, W.W. Norton & Company), Paul Ekman menjelaskan bahwa sebisa apapun seseorang menutupi kebohongannya, wajah, suara, dan gerakan tubuh mereka tuh sering "bocor" tanpa sengaja. Jadi, meski mulutnya bilang “aku baik-baik aja” atau “aku nggak ngelakuin itu,” badan dan ekspresinya bisa bilang hal yang sebaliknya.
Ekman ngenalin konsep yang namanya “microexpression”—yaitu ekspresi super cepat yang muncul di wajah saat seseorang lagi nyoba nyembunyiin emosi aslinya. Kayak misalnya, loe lagi bilang “Aku seneng kok kamu dapet promosi,” tapi dalam sepersekian detik, wajah loe nunjukin jijik atau kecewa sebelum senyum palsu itu nongol. Nah, itu dia microexpression. Cepat banget, tapi bisa kebaca, apalagi sama orang yang peka.
Nggak cuma wajah, suara juga bisa jadi sinyal. Nada bicara yang tiba-tiba tinggi, ngomong terlalu cepat, atau malah banyak jeda dan “eh… hmm…” bisa jadi tanda kalau otak loe lagi kerja keras bikin cerita palsu. Dan tubuh? Gerakan kecil kayak garuk-garuk, megang leher, atau duduk nggak tenang bisa nunjukin kegelisahan yang muncul waktu loe bo'ong.
Menurut Ekman, bohong itu butuh energi besar. Loe harus inget cerita, jaga ekspresi wajah, atur suara, dan gerakin tubuh supaya nggak keliatan aneh—semuanya sekaligus! Makanya, makin gede bo'ongnya, makin berat bebannya, dan makin besar kemungkinan “kebocoran emosional” itu terjadi.
Tapi bukan berarti semua orang gampang ke-gap bohong. Ada juga yang jago nutupin emosi, kayak aktor profesional atau orang dengan gangguan psikopati—mereka bisa nyamarin emosi kayak pake topeng. Tapi buat kebanyakan orang, pura-pura itu capek, bro. Dan biasanya, cepet atau lambat, tubuh mereka kasih kode ke semesta: “Gue lagi gak jujur, nih!”
Intinya, menurut Ekman: raga itu gak bisa diajak bo'ong bareng mulut. Kalau loe nggak jujur, biasanya bakal ada bagian dari diri loe—entah wajah, suara, atau gerakan kecil—yang ngomongin kebenaran tanpa izin.
Dalam karyanya Lying: Moral Choice in Public and Private Life (Vintage Books, 1999), Sissela Bok bilang: "Kebohongan itu kayak rayap—pelan-pelan nggerogoti fondasi kepercayaan." Awalnya mungkin kecil, cuma bohong putih biar nggak ribet. Tapi lama-lama, kalau jadi kebiasaan, bukan cuma bikin orang lain nggak percaya sama loe—tapi loe sendiri bisa kehilangan jati diri. Menurut Bok, kejujuran itu bukan sekadar urusan pribadi, tapi kebutuhan publik. Maksudnya, kalau orang bohong cuma mikir "ah yang penting nggak ada yang tahu," mereka lupa bahwa tiap kebohongan itu kayak lem super yang makin lama malah ngerusak, bukan ngelekatin. Soalnya, masyarakat cuma bisa jalan kalau ada rasa percaya. Keluarga, pertemanan, kantor, bahkan negara—semuanya tumbuh di atas trust. Begitu kepercayaan itu runtuh, yang ada tinggal curiga, sinis, dan saling tuding.
Kebohongan yang terus-terusan, kata Bok, bisa bikin seseorang kehilangan integritasnya. Awalnya mungkin bohong karena takut, lalu mulai nyaman, lalu mulai nggak bisa bedain mana yang asli, mana yang ngarang. Sampai-sampai akhirnya jadi percaya sama kebohongannya sendiri. Dan saat itu terjadi, orang itu udah mulai kehilangan dirinya sendiri.
Sissela Bok juga ngeritik cara pikir "yang penting hasilnya baik, bohong dikit nggak apa-apa." Nah, dia bilang itu jalan licin yang berbahaya. Sekali lo ngerasa kebohongan bisa dibenarkan, lo bisa terus-terusan nyari alasan buat bohong—dan itu nggak bakal selesai. Akhirnya, lo hidup dalam realitas yang lo ciptain sendiri, bukan yang nyata.
Bok ngajak kita mikir panjang: emang sih, lebih gampang bohong, tapi kalau mau hubungan yang langgeng, karier yang sehat, atau negara yang stabil, kejujuran itu bukan pilihan kedua—itu fondasi.
Dalam The Lucifer Effect (Vintage Books, 1999), Philip Zimbardo nyampein ide yang lumayan "ngegas": orang baik bisa berubah jadi pembohong, manipulator, bahkan pelaku kejahatan, kalau udah masuk ke sistem atau keadaan sosial yang rusak atau korup. Jadi bukan cuma soal "orangnya jahat dari sananya", tapi lebih ke “lingkungannya yang busuk bikin orang baik jadi bengkok.”
Lewat eksperimen penjara Stanford yang terkenal banget itu, Zimbardo nunjukin gimana orang biasa—yang tadinya nggak neko-neko—bisa berubah jadi tukang tekan, tukang bohong, bahkan kejam, cuma karena dikasih sedikit kuasa, seragam, dan aturan yang mendukung kelicikan. Ketika loe dimasukin ke sistem yang ngedorong loe buat bertindak buruk, loe bakal kaget ngelihat diri loe sendiri berubah.
Di dunia politik atau sosial, ini kejadian banget. Orang-orang yang awalnya idealis dan pengen bawa perubahan, lama-lama bisa jadi raja drama, penuh taktik licik dan manipulatif. Awalnya bohong kecil buat "kepentingan rakyat", tapi lama-lama bo'ongnya jadi sistematis, udah kayak nafas. Mereka mulai mikir, “Yang penting hasilnya baik, cara nggak penting.” Dan dari situ, pelan-pelan, mereka kehilangan jati diri.
Zimbardo nyebut proses ini sebagai “deindividuasi”—dimana loe udah nggak mikir lagi sebagai individu yang punya nilai moral sendiri, tapi lebih mikir sebagai “peran” yang harus dijalani. Misalnya, karena loe pejabat, loe merasa harus tegas, keras, dan manipulatif. Lama-lama, itu bukan cuma akting, itu jadi diri loe yang baru.
Yang serem, loe bukan cuma bohong ke orang lain—loe mulai bohong ke diri sendiri. Loe ngeyakinin diri loe kalau loe nggak salah, loe cuma realistis. Sampai akhirnya, empati loe hilang, nurani loe mati rasa, dan loe cuma ngikutin permainan kuasa yang loe kira loe kendaliin—padahal sebenernya loe yang dikendalikan sistem.
Zimbardo mau bilang: “Jangan ngerasa loe kebal dari perubahan.” Siapa pun bisa jadi monster kalau sistemnya salah. Makanya, bukan cuma individu yang harus dijaga, tapi lingkungan, struktur, dan budaya di sekelilingnya juga harus sehat.
Intinya, karya ini kayak alarm keras yang bilang:
“Bro, jangan main-main ama kekuasaan, kebohongan, dan pembenaran diri. Karena begitu loe masuk terlalu dalam, bisa-bisa loe lupa siapa loe sebenernya.”
So, kalo bos atau pemimpin kita ketahuan bo'ong, itu ibarat bom waktu yang meledak di tengah-tengah kita! Dampaknya nggak cuma bikin kesel sesaat, tapi bisa bikin segalanya amburadul, dari satu orang sampai satu negara.
Hilang kepercayaan dan hilang hormat, ini yang paling parah! Ibaratnya, kalau udah bo'ong, langsung deh dicoret dari daftar "orang yang bisa dipercaya". Pemimpin itu kan harusnya jadi panutan, kalau udah nggak jujur, gimana mau percaya lagi? Nggak cuma doi yang jadi bahan omongan, tapi semua orang bisa jadi ikutan sinis sama pemimpin lain. Reputasi yang dibangun susah payah bisa hancur berkeping-keping dalam sekejap, dan butuh waktu bertahun-tahun buat balikinnya, kalau bisa. Kayak bangun candi, tapi diruntuhin dalam sehari!
Bayangin, kalau pemimpinnya suka bo'ong, gimana mau bikin keputusan yang bener? Informasi yang dikasih bisa jadi abal-abal atau diputarbalikkan, akhirnya semua keputusan jadi ngaco, buang-buang duit, dan kesempatan hilang begitu aja. Kita yang di bawah juga jadi nggak berani ngomong jujur atau kasih masukan, karena takut dicap macem-macem. Lingkungan kerja atau negara jadi ngerasa nggak aman, dan itu bikin motivasi anjlok drastis. Orang-orang jadi males, produktivitas turun, dan ujung-ujungnya banyak yang milih "cabut" dari tempat kerja atau negara itu karena udah muak.
Lies create a culture of opaqueness. Kalau pemimpinnya doyan bohong, komunikasi jadi macet total. Orang-orang jadi saling curiga, ngomongin dari belakang, dan gosip dimana-mana lantaran nggak ada informasi yang bisa dipegang. Pemimpin mungkin bohong biar kelihatan "aman" sesaat, tapi itu cuma nunda masalah aja. Ibaratnya kayak nanah di dalam luka, kalau nggak dikeluarin, malah makin parah. Pas ada krisis, pemimpin yang suka bohong juga nggak bakal didengerin. Gimana mau mimpin di saat genting kalau rekam jejaknya tukang bo'ong?
A leader's dishonesty can set a dangerous precedent. Kebiasaan bohong dari seorang pemimpin bisa bikin standar etika jadi rendah di seluruh organisasi atau negara. Semua orang jadi mikir, "Oh, kalau doski bisa, kenapa gue enggak?" Nilai-nilai baik jadi luntur, dan lama-lama budaya di situ jadi busuk dari dalam. Nah, jangan lupa, bohong itu ada konsekuensi hukumnya! Bisa kena denda gede, masuk penjara, atau perusahaannya rugi miliaran karena ulah bosnya.
Di dunia politik, kalau pemimpinnya tukang bohong, demokrasi bisa rusak. Orang-orang jadi nggak percaya lagi 'ama pemerintah dan pemilu. Ini bisa bikin masyarakat jadi terpecah belah dan saling curiga. Yang paling parah, kalau pemimpin bohongnya terus-terusan tanpa konsekuensi, itu ngasih pesan ke generasi muda kalau bohong itu "nggak apa-apa" buat jadi sukses. Bahaya banget kan?
Intinya, kebohongan seorang pemimpin itu bukan cuma masalah sepele. Itu kayak efek domino yang bisa menghancurkan kepercayaan, menghambat kemajuan, dan ninggalin luka yang dalam buat semua orang yang dipimpinnya. Jadi, mending jujur aja deh, daripada semua jadi berantakan!