Sabtu, 31 Mei 2025

Apa Jadinya Jika Para Pemimpin Gak Punya Pendidikan Memadai? (2)

Kalau seorang pemimpin kurang berpendidikan, dampaknya bisa fatal—bukan cuma buat organisasi yang mereka pimpin, tapi juga masyarakat luas. Pendidikan yang kurang memadai bisa bikin pemimpin kehilangan banyak kemampuan penting.
Pemimpin yang memiliki Pendidikan yang kurang memadai seringkali punya pandangan terbatas soal isu-isu penting kayak ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mereka mungkin kurang paham kerumitan masalah yang ada atau gak ngelihat kaitan antara berbagai faktor. Akibatnya? Keputusannya dangkal dan gak efektif.
Pendidikan melatih kita buat menganalisis informasi dengan tajam dan mengevaluasi opsi yang ada. Tanpa pendidikan yang baik, pemimpin bisa kesulitan memahami akar masalah, bikin keputusan yang masuk akal, dan merancang strategi yang inovatif. Yang ada, mereka cuma ngandelin intuisi atau sumber informasi yang meragukan.
Pemimpin harus bisa ngomong dan nulis dengan jelas. Kalau kurang pendidikan, bisa jadi susah buat nyampein visi dan ide dengan cara yang persuasif, mendengarkan tim, atau membangun hubungan baik dengan pihak luar. Hasilnya? Banyak miskomunikasi, kurang motivasi, bahkan konflik.
Pendidikan, apalagi yang melibatkan studi sosial dan kemanusiaan, bisa bikin seseorang lebih sadar diri dan paham emosi orang lain. Pemimpin yang kurang terdidik bisa nggak ngerti kelebihan dan kelemahannya sendiri, sulit mengelola emosi, dan kurang peduli sama perasaan orang lain—yang akhirnya bikin suasana kerja nggak sehat.
Pendidikan seringkali membentuk nilai moral dan etika yang kuat. Pemimpin yang kurang pendidikan bisa lebih mudah terjebak dalam korupsi, nepotisme, atau keputusan yang merugikan karena kurang paham dampak etis dari tindakan mereka. Ini bisa merusak reputasi organisasi dan kepercayaan public.
Pemimpin tanpa pendidikan cenderung takut sama inovasi dan perubahan. Mereka lebih nyaman dengan status quo dan nggak terbuka sama ide-ide baru. Akibatnya, organisasi atau masyarakat bisa mandek, kehilangan daya saing, dan tertinggal jauh.
Dunia sekarang penuh dengan tantangan yang kompleks dan saling berhubungan. Pemimpin tanpa pendidikan bisa kewalahan saat harus mengelola situasi yang rumit, mengambil keputusan penting di bawah tekanan, atau menghadapi krisis.
Pemimpin yang kurang pendidikan seringkali kurang dihormati sama timnya, rekan kerja, bahkan masyarakat. Ini bikin otoritas mereka lemah dan sulit menginspirasi serta memotivasi orang lain.
Singkatnya, kurangnya pendidikan dalam kepemimpinan bisa menciptakan masalah besar—hambatan pertumbuhan, ketidakadilan, bahkan merugikan semua pihak. Pendidikan adalah pondasi penting untuk menjadi pemimpin yang efektif, bertanggungjawab, dan visioner!

Bagaimana jika seorang kepala negara tidak memiliki pendidikan yang memadai? Kalau seorang Kepala Negara kurang berpendidikan, dampaknya bisa parah banget—nggak cuma buat stabilitas dalam negeri, tapi juga citra negara di mata dunia.
Tanpa pendidikan yang memadai, Kepala Negara bisa aja salah langkah dalam kebijakan ekonomi, politik, hukum, dan hubungan internasional. Keputusan yang nggak berdasar bisa fatal—dari krisis ekonomi sampai hubungan diplomatik yang kacau!
Jadi pemimpin bukan cuma soal jabatan, tapi juga kemampuan strategi, komunikasi, dan organisasi. Tanpa dasar pendidikan yang kuat, pemimpin bisa gagal menyusun visi jelas, bingung atur birokrasi, dan nggak bisa membangkitkan semangat rakyatnya.
Pemimpin tanpa wawasan luas bisa mudah banget dikibulin 'ama penasihat yang nggak kompeten atau punya agenda tersembunyi. Kalau nggak bisa memilah informasi dan menilai saran dengan kritis, negara bisa terjebak dalam kebijakan yang ngawur.
Kepala Negara harus tegak lurus 'ama hukum! Kalau nggak paham aturan negara, bisa seenaknya ambil keputusan, melanggar konstitusi, atau bahkan menyalahgunakan kekuasaan. Dampaknya? Demokrasi bisa terganggu dan supremasi hukum makin luntur.
Di era global, pemimpin harus jago diplomasi. Kalau kurang pendidikan, bisa kesulitan bangun aliansi, menyelesaikan konflik, atau bahkan bikin malu negara di forum internasional. Negara pun jadi kurang dihormati di kancah dunia.
Pemimpin tanpa wawasan ekonomi bisa bikin kebijakan yang merugikan rakyat—pengangguran naik, inflasi kacau, dan kesenjangan sosial makin parah. Ekonomi negara butuh pemimpin yang paham konsep ekonomi dan strategi pembangunan!
Kepala Negara itu simbol otoritas. Kalau pemimpin nggak kompeten atau sering bikin blunder, rakyat bisa kehilangan kepercayaan dan stabilitas politik bisa terganggu. Ujung-ujungnya? Negara bisa masuk fase chaos!
Pemimpin adalah wajah negara di dunia internasional. Kalau sering bikin keputusan absurd atau nggak bisa berargumen dengan baik, negara bisa dipandang rendah. Ini bisa pengaruh ke investasi asing, pariwisata, bahkan hubungan diplomatik.
Pendidikan itu bukan sekadar gelar, tapi fondasi utama buat jadi pemimpin yang kompeten, bertanggung jawab, dan bisa membawa negara maju! 
Anggapan bahwa "pemimpin itu nggak perlu pinter-pinter amat, bisa belajar pas udah megang jabatan", jujur aja, agak kontroversial sih. Memang bener banget, setiap pemimpin itu wajib terus belajar dan adaptasi pas doi udah megang kekuasaan—justru itu inti dari kepemimpinan yang efektif—tapi ide kalau doski nggak punya dasar kecerdasan atau pendidikan yang mumpuni dari awal, itu ide yang berisiko banget.
Kenapa "Belajar Sambil Jalan" aja nggak cukup?
Pertama, peran pemimpin, apalagi di level tertinggi, itu seringkali ngurusin keputusan yang super kompleks dan punya banyak sisi. Ini bukan masalah sepele yang bisa beres cuma dengan belajar sebentar; ini nuntut loe udah punya fondasi critical thinking, skill analisis, dan pemahaman luas tentang sejarah, ekonomi, sama dinamika sosial dari awal. Kalau pemimpin nggak punya "perkakas intelektual" ini dari awal, kemungkinan besar doi bakal bikin kesalahan penilaian dan pilihan strategi yang buruk yang bisa punya dampak fatal buat organisasi atau bahkan seluruh negara.
Kedua, kepemimpinan yang efektif itu nggak cuma soal nyerap fakta; ini tentang nyambungin informasi, nebak tantangan ke depan, dan nyari solusi inovatif. Ini bukan skill yang bisa loe comot gitu aja cuma dengan ngeliat-liat. Pendidikan yang bagus itu bantu ngasah kemampuan seseorang buat mikir yang abstrak, nyambungin ide-ide yang beda, dan mikirin masa depan—kualitas-kualitas yang susah banget didapat cuma dari pengalaman "belajar sambil jalan" yang reaktif.
Terlebih lagi, pemimpin yang nggak cukup siap secara intelektual itu bisa jadi terlalu bergantung sama penasihatnya, bahkan bisa jadi nggak punya daya kritis buat ngevaluasi nasihat yang dia terima. Kerentanan ini bisa bikin dia gampang dimanipulasi atau malah ngambil kebijakan yang salah cuma gara-gara dia nggak punya latar belakang yang cukup buat nanyain atau nguji informasi itu. Ini bikin seluruh entitas yang dia pimpin dalam bahaya besar.
Terakhir, kecepatan dan tuntutan peran pemimpin itu jarang banget ngasih kemewahan buat belajar dasar yang ekstensif selama menjabat. Pemimpin itu diharapkan langsung tancap gas, bikin keputusan berisiko tinggi di bawah tekanan. Kalau doi sibuk ngejar ketinggalan di pemahaman dasar terus, efektivitasnya bakal terganggu parah, dan doski mungkin gak bisa ngasih kepercayaan diri atau arahan tegas yang seringkali dibutuhkan. Jadi, meskipun belajar terus-menerus itu penting, semestinya dibangun di atas fondasi yang kokoh, bukan buat nutupin kekurangan dasar.

Ide kalo pemimpin, kayak Presiden, itu bisa "tinggal nyewa konsultan" — politik, ekonomi, dll. — buat ngejalanin fungsinya, itu argumen yang lumayan sering nongol, tapi sebetulnya cuma setengah cerita doang. Emang bener banget, minta saran ahli itu penting dan masuk akal buat pemimpin mana pun, tapi ini nggak otomatis ngehapus kebutuhan sang pemimpin itu sendiri buat punya pendidikan yang kuat dan otak yang jalan.
Kenapa konsultan nggak bisa gantiin otak pemimpin?
Pertama, konsultan itu ngasih saran, bukan keputusan. Seorang Presiden, walau udah didampingin konsultan paling top sekalipun, tetep aja doi yang punya tanggungjawab buat bikin keputusan final. Kalo doski nggak punya dasar pemahaman, skill mikir kritis, atau kapasitas otak buat ngevaluasi, nyambungin, dan bahkan ngelawan saran yang seringkali ribet dan kadang saling bertentangan itu, ya konsultan sehebat apa pun bisa jadi nggak berguna. Bayangin aja dikasih brief teknis yang tinggi tapi loe nggak punya pengetahuan dasar buat ngerti maksudnya; loe bakalan bikin pilihan sambil ngitung kancing baju.
Kedua, konsultan biasanya jago di bidang yang spesifik, kadang terkotak-kotak. Nah, peran Presiden itu nuntut pemahaman yang menyeluruh tentang gimana berbagai kebijakan bisa saling nyambung dan ngaruh ke berbagai aspek negara atau organisasi. Konsultan ekonomi mungkin ngasih saran finansial yang keren banget, tapi kalau Presidennya nggak ngerti dampak sosial atau politik dari saran itu, doi bisa aja ngelakuin kebijakan yang malah bikin rugi daripada untung. Pemahaman yang terintegrasi inilah yang ditumbuhin lewat pendidikan luas, bikin pemimpin bisa nyambungin titik-titik antar bidang.
Lagian, visi strategis dan kompas moral seorang pemimpin itu nggak bisa di-outsourcing. Walaupun konsultan bisa bantu ngerumusin strategi, visi fundamental buat negara atau organisasi itu harus dateng dari Presidennya sendiri. Visi ini sangat dipengaruhi sama nilai-nilainya, pemahamannya tentang sejarah, dan wawasannya tentang aspirasi masyarakat—semuanya dibentuk kuat sama pendidikan dan perkembangan dirinya. Pemimpin yang nggak punya kompas internal ini bisa aja ngambil strategi yang secara teknis oke tapi moralnya busuk atau bener-bener nggak sejalan 'ama kepentingan jangka panjang rakyat.
Terakhir, legitimasi dan kepercayaan publik yang didapat seorang pemimpin itu bukan cuma dibangun dari aksesnya ke para ahli, tapi dari kelihaian dan integritas yang terlihat. Kalau Presiden cuma dianggap sebagai boneka yang tinggal nge-stempel keputusan dari konsultan, wibawanya bisa rontok. Rakyat berharap pemimpinnya itu nggak cuma dengerin saran, tapi juga beneran ngerti dan bisa ngejelasin alasan di balik tindakannya, nunjukkin kalau doski sendiri paham betul tantangan dan solusinya. Pemimpin yang selalu harus ngandelin orang lain buat pemahaman dasar itu risikonya kelihatan lemah dan ketinggalan jaman.
Jadi, walaupun konsultan atau penasehat itu jelas alat yang sangat berharga buat pemimpin mana pun, mereka ada buat nambahin dan nyempurnain keputusan, bukan buat nutupin kekosongan otak yang fundamental. Pemimpin yang bener-bener efektif itu gunain kecerdasan yang udah diasah dan pendidikan komprehensifnya buat mimpin para ahlinya, bukan cuma sekadar diikuti sama mereka.

Bagaimana cara mengenali seorang pemimpin itu gak punya Pendidikan yang memadai? Kalau mau tahu pemimpin itu pendidikannya kurang mumpuni atau nggak, ada beberapa gelagat yang bisa kita lihat, yang nunjukkin dia kurang wawasan luas dan skill yang diasah dari pendidikan bagus.
Salah satu bendera merahnya yalah wawasannya sempit dan susah nangkep hal yang ribet. Doski mungkin cuma fokus ke masalah yang ada di depan mata doang, nggak mikirin dampak luas dari keputusannya, atau doi nyederhanain masalah rumit sampai detail pentingnya ilang. Loe bakal sering nemuin dia bikin keputusan yang kelihatan asal-asalan atau reaktif, bukan berdasarkan pemahaman mendalam yang analitis.
Loe juga mungkin ngeliat doski susah mikir kritis dan analitis. Pas dihadepin masalah, doski beneran kesulitan buat ngebedah masalahnya, nimbang pilihan-pilihan secara logis, atau nyari akar masalahnya. Malah, doski mungkin lebih ngandelin feeling, cerita-cerita yang nggak jelas sumbernya, atau cuma ngulang apa kata orang, bukannya nunjukkin proses berpikir yang matang.
Skill komunikasi yang jelek juga jadi tanda umum lainnya. Pemimpin yang pendidikannya kurang mungkin kesulitan nyampein idenya dengan jelas, nggak bisa dengerin pendapat orang lain secara aktif, atau susah bangun hubungan baik dan nyemangatin timnya secara efektif. Pesan-pesannya bisa jadi mbulet, bikin salah paham dan tim jadi nggak jelas arahnya.
Selain itu, pemimpin yang pendidikannya nggak cukup mungkin nunjukkin kurangnya kesadaran diri dan kecerdasan emosional. Doi bisa jadi susah ngerti kekuatan dan kelemahannya sendiri, susah ngatur emosi, atau kurang empati sama perasaan dan kebutuhan rekan kerjanya. Ini seringkali bisa bikin lingkungan kerja jadi nggak enak atau nggak suportif, yang ujung-ujungnya bisa nurunin semangat kerja.
Loe juga bisa ngeliat kecenderungan bikin keputusan yang kaku atau cuma mikir jangka pendek, kadang bahkan ngarah ke pilihan yang nggak etis. Tanpa pondasi prinsip etika atau pemahaman luas tentang norma sosial, dia bisa jadi lebih gampang kena bujuk rayu nepotisme, korupsi, atau bikin keputusan yang cuma nguntungin dia atau kroni-kroninya, bukannya kebaikan bersama. Doski juga mungkin resisten 'ama ide-ide baru atau inovasi, lebih suka cara lama, yang bisa bikin stagnasi.
Akhirnya, pemimpin kayak gitu mungkin kesulitan buat dapet respek dan legitimasi yang tulus dari bawahan, rekan kerja, bahkan masyarakat umum. Walaupun doski punya jabatan, kurangnya pengetahuan yang kelihatan, mikir kritis, atau wawasan luas bisa ngerusak kredibilitasnya, bikin doski susah banget buat bener-bener ngasih inspirasi dan mimpin orang lain secara efektif di masa-masa sulit. Seringkali jadi jelas banget kalau dia kelihatan kewalahan pas ngadepin situasi yang rumit atau menantang.

Ada observasi yang lumayan umum dan fenomena yang sering banget dibahas kalau calon politisi atau pemimpin yang kelihatan punya latar belakang pendidikan kurang mumpuni itu emang cenderung lebih sering ngandelin "buzzer", "influencer" bayaran, 'ama konsultan politik. Ini sih bukan aturan yang terbukti secara universal ya, tapi ada hubungan logisnya kok, karena alat-alat ini seringkali buat nutupin kekurangan di area tertentu yang mungkin nggak dipunyai sang pemimpin.
Kenapa Pemimpin yang kurang Pendidikan mungkin lebih ngandelin Kampanye Digital dan Konsultan?
Pertama, kalau pemimpin itu kurang paham detail kebijakan yang ribet atau kurang jago ngomongin ide-ide yang kompleks, para operator media sosial bayaran ("buzzer" atau "influencer") bisa jadi super efektif buat nyederhanain pesan jadi soundbite yang gampang dicerna dan nyentuh emosi. Orang-orang ini jago banget bikin konten viral yang ngehindarin diskusi kebijakan yang detail, malah milih daya tarik yang umum atau retorika emosional yang nggak butuh pemahaman intelektual mendalam dari audiens, atau bahkan dari si pemimpinnya sendiri. Ini bantu bangun citra populer tanpa harus nyelamin seluk-beluk pemerintahan.
Kedua, pemimpin yang nggak jago mikir kritis atau ngelihat jauh ke depan (skill yang biasanya diasah lewat pendidikan komprehensif) itu mungkin bakal sangat bergantung 'ama konsultan politik buat strategi kampanye dan pesan utama mereka. Konsultan ini seringkali nyediain "kerangka intelektual" yang mungkin nggak dimiliki sI pemimpin itu sendiri, bikin narasi, nentuin target demografi, dan ngerancang rencana komunikasi yang tujuannya ningkatin popularitas, bukan buat ngedukasi publik soal isu-isu kompleks. Mereka jadi "otak" di balik operasi itu, nyediain kerja keras intelektual yang mungkin susah dilakukan sendiri 'ama si pemimpin.
Lagipula, di era dimana persepsi publik jadi yang paling utama, pemimpin yang kesulitan berargumen secara persuasif berdasarkan fakta dan data itu bisa ngerasa influencer media sosial nggak ternilai harganya. Influencer ini bisa ngebangun citra yang relate dan otentik, nyambung sama pemilih secara emosional tanpa perlu debat kebijakan yang substansial. Buat pemimpin yang mungkin kesulitan ngejelasin argumen kompleks atau terlibat dalam diskusi mendalam, manfaatin influencer ini bisa jadi cara buat ngejaga popularitas tanpa harus nunjukkin pengetahuan atau daya nalar yang mendalam secara langsung.
Terakhir, ketergantungan ini juga bisa dateng dari kurangnya kepercayaan diri si pemimpin akan kemampuan analisisnya sendiri. Kalau dia nggak yakin buat ngebedah laporan ekonomi, ngerti kerangka hukum, atau debat soal kebijakan luar negeri yang rumit, dia mungkin secara naluriah bakal ngedeleggasi pembentukan diskursus publik ke orang-orang yang profesional di bidang komunikasi dan strategi. Artinya, pesan yang disampein itu dirancang sangat teliti sama orang lain biar nyambung sama massa, bukannya jadi cerminan otentik dari pemahaman mendalam si pemimpin itu sendiri.
Intinya, meskipun konsultan sama juru kampanye digital itu alat yang dipake sama pemimpin dari berbagai latar belakang pendidikan, yang pendidikannya kurang kuat itu mungkin bakal ngandelin mereka secara lebih fundamental. Bukan cuma buat nyempurnain, tapi sebagai cara utama buat nyambung 'ama pemilih dan ngebangun citra kompetensi yang mungkin nggak sepenuhnya berasal dari diri sendiri. Ini soal nutupin lubang yang mungkin ada di "perkakas" intelektual dan komunikasi mereka.

Dalam buku The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (2011, Penguin Press), Eli Pariser membongkar bagaimana dunia maya sekarang ini disetel secara otomatis untuk menampilkan hanya apa yang ingin kita lihat. Lewat algoritma yang belajar dari apa yang kita klik, suka, dan cari, internet menciptakan "gelembung informasi" pribadi—semacam dunia kecil yang sesuai dengan selera dan pandangan kita sendiri. Masalahnya, semakin lama kita berada di dalam gelembung ini, kita jadi jarang banget ketemu informasi atau sudut pandang yang berbeda. Akibatnya? Kita makin yakin bahwa pandangan kita paling benar, dan dunia terasa lebih hitam-putih dari kenyataannya.
Nah, para pemimpin atau tokoh publik yang nggak punya landasan intelektual kuat sering banget (sadar atau enggak) memanfaatkan fenomena ini. Entah karena insting politik mereka memang populis, atau karena tim media mereka jago main algoritma, mereka jadi tahu cara ngomong yang tepat sasaran ke masing-masing kelompok. Bukan ngomong pakai logika dan data, tapi pakai emosi—takut, marah, bangga, atau nostalgia. Pokoknya yang bikin orang langsung klik, share, dan percaya tanpa mikir panjang.
Algoritma di balik media sosial sebenarnya cuma pengen satu hal: bikin loe betah scroll terus. Jadi mereka ngasih loe konten yang "kamu banget"—yang loe setuju, yang bikin loe ngakak, atau yang bikin loe kesel banget. Di sinilah para buzzer dan influencer main peran. Mereka bikin konten yang sederhana tapi nendang, penuh drama, dan gampang viral. Bukan karena isinya bermutu, tapi karena emosinya dapet. Mereka tahu cara main di kepala (dan hati) netizen, bikin isu rumit jadi sesimpel tagar. Lama-lama, diskusi publik pun jadi kayak sinetron: penuh konflik, penuh tokoh baik-lawan-jahat, dan minim logika.
Singkatnya, internet sekarang bukan lagi ruang publik buat tukar pikiran, tapi semacam panggung sandiwara algoritma, dimana siapa yang paling dramatis, dialah yang paling didengar.

Dalam The Political Brain: The Role of Emotion in Deciding the Fate of the Nation (2007, PublicAffairs), Drew Westen menjelaskan bahwa keputusan politik itu sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh emosi daripada logika. Kita suka mikir kalau orang memilih berdasarkan data, program, atau debat yang masuk akal, tapi kenyataannya otak manusia—apalagi dalam urusan politik—lebih sering jalan pakai rasa daripada nalar. Menurut Westen, yang bikin orang tertarik dan akhirnya memilih bukan angka-angka atau policy paper, tapi cerita yang nyambung 'ama hati mereka. Cerita yang bikin mereka merasa dimengerti, diterima, atau bahkan merasa jadi bagian dari perjuangan yang lebih besar.
Di tengah suasana politik yang emosional ini, peran buzzer dan influencer jadi super penting. Mereka kayak tukang sulap digital—kerjanya memainkan emosi publik lewat narasi yang gampang dipahami, penuh simbol, dan kadang bumbu drama yang bikin geram atau terharu. Mereka nggak kasih penjelasan panjang lebar, tapi kasih potongan kalimat atau video pendek yang langsung ngena. Di balik layar, ada konsultan politik dan digital strategist yang kerjaannya ngulik data: siapa yang takut apa, siapa yang marah sama apa, lalu bikin pesan yang bisa memicu reaksi itu. Semua dihitung, semua dimodifikasi supaya pas kena sasaran.
Nah, buat pemimpin yang secara intelektual kurang dalam—yang nggak kuat di debat, kurang nyambung kalau ngomong soal sejarah atau kebijakan rumit—strategi ini kayak jalan tol menuju popularitas. Mereka nggak perlu susah-susah menjelaskan kebijakan, cukup tampil dramatis, pakai kata-kata yang menyentuh emosi massa, dan boom—responnya luar biasa. Di zaman digital ini, mereka bisa tampil meyakinkan bukan karena mereka paling paham, tapi karena mereka paling bisa menyentuh hati (atau memancing emosi) lewat layar.
Singkatnya, politik sekarang lebih mirip reality show daripada forum ilmiah. Yang penting bukan siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling bisa bikin penonton merasa terlibat—entah itu lewat haru, marah, takut, atau bangga. Dan di panggung ini, pemimpin yang cerdas secara emosional—meski miskin argumen—bisa tetap jadi bintang utama.

Seorang pemimpin yang beneran punya pendidikan yang cukup itu biasanya punya beberapa ciri khas yang bikin dia bisa ngadepin situasi rumit dengan jauh lebih jago dan visioner.
Salah satu yang langsung kelihatan itu wawasannya luas dan rasa ingin tahunya tinggi. Pemimpin kayak gini nggak cuma jago di satu bidang doang; dia punya pemahaman yang dalem di berbagai area kayak sejarah, ekonomi, dinamika sosial, 'ama teknologi. Ini bikin dia bisa ngerti gimana masalah itu saling terkait dan ngeliat solusi dari banyak sisi, nunjukkin kalau dia punya kapasitas buat mikir secara holistik bukan cuma fokus yang sempit.
Selain itu, loe juga bakal sering ngeliat daya kritis dan kemampuan analisisnya yang super matang. Pemimpin yang terdidik itu nggak cuma nerima info mentah-mentah; doski bakal ngecek data dengan teliti, nyari asumsi yang mungkin tersembunyi, dan dengan lihai ngebedah masalah rumit jadi bagian-bagian yang lebih gampang dikelola. Doi jago banget bikin keputusan yang masuk akal, berbasis bukti dan logika, bukan cuma ngikutin emosi atau opini populer.
Skill komunikasinya juga biasanya juara, baik dalam nyampein visinya sendiri maupun dalam dengerin orang lain. Doi bisa ngejelasin ide-ide yang rumit dengan jelas dan meyakinkan ke berbagai kalangan, bikin orang gampang ngerti dan ikut. Yang penting, doski juga nunjukkin empati yang tulus dan keterbukaan sama berbagai perspektif, aktif nyari dan ngehargain pandangan yang beda buat ngebentuk keputusannya, bukannya cuma ngumpulin "yes-man".
Pemimpin dengan latar belakang pendidikan yang kuat itu seringkali punya kesadaran diri yang tinggi dan kecerdasan emosional yang bagus. Doi ngerti kekuatan dan kelemahannya sendiri, bisa ngatur emosinya dengan baik di bawah tekanan, dan sangat menghargai dampak tindakannya ke orang lain. Ini bikin dia bisa bangun tim yang lebih solid dan nyiptain lingkungan kerja yang positif dan saling menghormati.
Terakhir, pemimpin kayak gini biasanya dicirikan ama kemampuan adaptasinya dan komitmennya yang kuat buat terus belajar. Doski nyaman ama ketidakpastian, bisa muter arah dengan efektif kalau situasinya berubah, dan aktif nyari pengetahuan serta ide-ide baru. Doski nggak malu ngakuin kalau doi nggak tahu sesuatu; malah, doski ngeliat itu sebagai kesempatan buat belajar, nunjukkin kerendahan hati intelektual dan sikap proaktif buat ngadepin tantangan yang muncul. Pertumbuhan intelektual yang terus-menerus ini ngejamin kepemimpinannya tetep relevan dan efektif di dunia yang selalu berubah.

So, kalau mau milih pemimpin, apalagi buat posisi penting, ada beberapa ciri-ciri umum kandidat yang harus bikin kita langsung pasang bendera merah, dan mungkin nunjukin kalau dia emang nggak cocok buat posisi itu.
Salah satu tanda bahaya yang utama itu kelihatan nggak punya integritas atau kompas etikanya diragukan. Kalau si calon punya riwayat nggak jujur, walau cuma masalah kecil, atau kalau tindakan masa lalunya nunjukin dia rela ngorbanin prinsip moral demi keuntungan pribadi atau urusan politik, dia kemungkinan besar bakal ngerusak kepercayaan dan berpotensi bikin korupsi di institusi yang dia pimpin. Loe nggak bisa bangun organisasi atau negara yang kuat dan dihormati di atas fondasi etika yang goyah, Bro.
Ciri lain yang bikin khawatir itu jelas-jelas nggak bisa dengerin atau nggak mau mikirin sudut pandang yang beda. Pemimpin yang bagus itu ngerti dia nggak punya semua jawaban dan aktif nyari masukan dari orang lain. Kalau si calon itu konsisten nolak pendapat yang beda, cuma mau dengerin "yes-man", atau nggak punya minat tulus buat ngerti pandangan lain, dia kemungkinan besar bakal bikin keputusan yang terisolasi, salah arah, dan ngejauhin sebagian besar orang yang seharusnya dia layani. Ini seringkali sejalan sama keras kepalanya dia buat nggak mau ngakuin kesalahan, padahal itu penting banget buat berkembang dan belajar.
Loe juga kudu waspada 'ama calon yang nunjukkin pengaturan emosi yang buruk atau temperamen yang gampang meledak-ledak. Kepemimpinan itu nuntut ketenangan dan kestabilan, apalagi di saat krisis. Orang yang gampang marah, terlalu defensif, atau sering ngamuk di depan umum bisa ngikis kepercayaan, bikin lingkungan yang nggak sehat, dan bikin keputusan irasional pas di bawah tekanan. Ketidakstabilan emosinya bisa jadi liabilitas serius.
Terlebih lagi, kurangnya empati tulus atau nggak nyambung sama kesulitan rakyat biasa itu jadi kekurangan yang signifikan. Pemimpin itu seharusnya wakilin dan ngelayanin publik, dan kalau si calon nunjukkin kurang pemahaman atau belas kasihan sama tantangan yang dihadapi masyarakat umum, kebijakannya kemungkinan besar bakal nggak nyambung dan nggak efektif. Ini seringkali kelihatan dari ketidakmampuan dia buat berinteraksi atau berkomunikasi secara otentik sama berbagai kelompok orang.
Terakhir, calon yang nunjukkin kemalasan intelektual atau sikap meremehkan bukti dan keahlian itu harus jadi perhatian utama. Walaupun dia nggak perlu jadi ahli di segala hal, seorang pemimpin harus menghargai pengetahuan, nyari fakta, dan rela berubah pikiran kalau dikasih bukti yang meyakinkan. Kalau dia sering ngabaikan data, ngandelin klaim yang nggak berdasar, atau nggak punya minat buat terus belajar, kepemimpinannya bakal dibangun di atas fondasi yang rapuh, berpotensi ngarahin ke kebijakan yang keliru dan gak bisa beradaptasi ama tantangan baru.
Intinya, mengenali ciri-ciri ini pada calon itu penting banget buat bikin pilihan yang cerdas, karena ciri-ciri itu seringkali jadi prediksi kalau pemimpinnya bakal kesulitan buat ngatur secara efektif, ngejaga kepercayaan publik, dan ngebawa negara atau organisasi ke arah yang positif.

Jumat, 30 Mei 2025

Metode Berpikir Qur'ani

Adakah metode berpikir dalam Al-Qur'an? Ya, ada metode berpikir dalam Al-Qur'an—bahkan boleh dikata bahwa Al-Qur'an tak semata memberi isi dan ajaran, tapi mengajarkan pula cara berpikir. Metode berpikir Qur’ani ini dikenal oleh banyak ulama dan pemikir Islam sebagai manhaj at-tafkir al-Qur'ani (منهج التفكير القرآني) atau metode berpikir Al-Qur’an. Metode berpikir Al-Qur’an adalah cara pandang dan cara bernalar yang ditanamkan Al-Qur’an kepada manusia agar menggunakan akalnya, merenung, melihat realitas secara utuh, dan mengambil pelajaran berdasarkan petunjuk Allah, bukan hawa nafsu atau asumsi belaka.

Al-Qur'an bukan sekadar kitab petunjuk ilahi dalam hal etika, ibadah, dan hukum; ia juga merupakan panduan mendalam untuk berpikir. Al-Qur'an mengajarkan cara pandang tertentu terhadap dunia, suatu metode penalaran yang berakar pada wahyu ilahi. Metode berpikir Qur'ani ini, mendorong pandangan dunia yang menyatukan akal (ʿaql) dan spiritualitas (rūḥ), mengintegrasikan nalar dan wahyu secara holistik. Berbeda dengan beberapa filosofi modern yang meninggikan akal di atas segalanya atau beberapa sikap tradisionalis yang menekan pencarian ilmu atas nama ketaatan buta, Al-Qur'an mengukir jalan tengah. Al-Qur'an menegaskan kemuliaan akal manusia seraya memperingatkan terhadap keangkuhan dan kesesatan bila akal tersebut terpisah dari Cahaya Ilahi.

Salah satu ciri paling menonjol dari cara berpikir Qur’ani adalah dimulainya segala sesuatu dengan konsep Tauhid—pengakuan atas keesaan Allah—yang bukan hanya sebuah dogma, tetapi kerangka memahami realitas. Segala yang ada di alam semesta—fenomena alam, peristiwa sejarah, emosi manusia—disebut sebagai āyāt (tanda-tanda) yang menunjuk kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karenanya, Al-Qur’an tak hanya mengajak manusia untuk percaya, tapi juga untuk merenung, mengamati, dan mengambil pelajaran. Misalnya, dalam Surah Al-Ghashiyah dan Surah Al-Mulk, manusia diajak untuk "melihat unta, bagaimana ia diciptakan" atau "apakah kamu tak memperhatikan bagaimana langit diciptakan?" Ini bukan sekadar retorika, melainkan seruan untuk menggunakan akal dalam ibadah yang bersifat intelektual.

Lebih jauh lagi, Al-Qur’an mendorong penggunaan akal yang didasarkan pada bukti dan logika. Ia mengkritik orang-orang yang mengikuti kebiasaan nenek moyang tanpa berpikir atau mempertanyakan. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 111, Allah menantang mereka yang membuat klaim kosong: “Tunjukkan bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar!” Ayat ini memperlihatkan bahwa klaim keimanan atau kebenaran tak boleh didasarkan pada dogma buta, melainkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Namun Al-Qur’an juga tak mengkultuskan akal. Ia menekankan bahwa akal hendaknya berjalan dalam kerangka wahyu, bukan menggantikannya. Dr. Taha Jabir al-Alwani dalam bukunya The Qur’anic Worldview (IIIT, 2004) menjelaskan bahwa metode berpikir Qur’ani menolak fanatisme dan menjunjung dialog berbasis argumentasi yang sehat. Ia menyebut bahwa Al-Qur’an menanamkan metode berpikir yang etis, terbuka, dan bersandar pada prinsip ijtihad—berusaha memahami makna wahyu secara kontekstual dan mendalam.

Pemikiran Qur’ani juga berorientasi pada hikmah dan tujuan. Ia tak hanya menekankan apa yang terjadi, tetapi mengapa itu terjadi dan apa pelajaran moralnya. Menurut Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (University of Chicago Press, 1982), Al-Qur’an mendorong suatu etika berpikir yang tidak berhenti pada data, melainkan terus bergerak menuju kesadaran spiritual. Dalam pandangan Rahman, Qur’an adalah kitab yang menyatukan wahyu dengan realitas sejarah, membentuk cara berpikir yang aktif dan bertanggungjawab.

Al-Qur’an juga menggunakan perumpamaan dan simbol untuk mendidik imajinasi moral dan intelektual. Ini bukan sekadar gaya bahasa, tapi metode untuk mendorong manusia berpikir di luar permukaan. Sebagaimana dijelaskan Toshihiko Izutsu dalam Ethico-Religious Concepts in the Qur’an (McGill-Queen’s University Press, 2002), istilah-istilah Qur’ani bersifat konseptual dan bersifat etis—menuntut pembaca agar menafsirkan tanda-tanda Allah dengan hati yang hidup dan pikiran yang jernih.

Dalam kitab Islam and Secularism (ISTAC, 1978), Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan bahwa ilmu dalam Islam tak cukup hanya benar secara rasional, tetapi juga harus mengarah pada adab dan tazkiyah (penyucian jiwa). Ia menyebut bahwa ilmu dalam perspektif Qur’ani harus membawa manusia kepada pengenalan terhadap Allah dan kedamaian batin, bukan hanya pada kecerdasan teknis atau akademik.

Demikian pula Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin (Fons Vitae, terjemahan Inggris) menegaskan pentingnya tafakkur (perenungan) sebagai ibadah akal. Ia menjelaskan bahwa berpikir bukan sekadar proses logis, tetapi dapat menjadi bentuk dzikir yang paling tinggi bila dilakukan dengan niat mendekat kepada Allah.

So, sekali lagi, Al-Qur’an bukan sekadar kitab yang berisi perintah dan kisah; ia merupakan sebuah kerangka berpikir yang utuh—sebuah jalan menuju pembentukan akal dan qalbu manusia. Ia tak semata menawarkan isi, melainkan pula metodologi berpikir—suatu cara pandang yang menumbuhkan ketajaman nurani, membangkitkan kesadaran, dan mengarahkan tindakan. Model berpikir Qur’ani ini berjalan melalui lima proses spiritual dan intelektual yang saling terkait: Tafakkur (تفكر), Tadzakkur (تذكر), Ta’abbur (تدبر), Ta’aqqul (تعقل), dan Istinbāṭ (استنباط). Setiap tahap menunjukkan gerak batin dan akal yang saling mendukung, semuanya berakar dalam wahyu dan diperkaya oleh para ulama klasik. 
Perjalanan ini bermula dari Tafakkur, yakni perenungan melalui pengamatan. Al-Qur’an berulangkali mengajak pembacanya merenungkan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, serta diri manusia sendiri. Tanda-tanda ini bukan untuk dinikmati semata, melainkan agar membangkitkan kesadaran akan kekuasaan dan hikmah Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Āli ‘Imrān:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۝ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi...” [QS, Āli ‘Imrān (3):190–191]
Imam Fakhr ad-Dīn ar-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr menjelaskan bahwa bentuk tafakkur seperti ini merupakan awal dari kesadaran spiritual. Ia mengubah pengamatan inderawi menjadi perenungan batin, membangunkan jiwa agar menyadari pola dan tatanan yang mengisyaratkan tujuan, desain, dan keberadaan Sang Pencipta.

Proses ini lalu berlanjut menuju Tadzakkur, yaitu mengingat kembali kebenaran yang telah diwahyukan dan mengaitkan pengamatan kita dengan pesan ilahi. Dalam Islam, manusia tak hanya mengamati alam, tetapi menghubungkannya dengan wahyu. Tadzakkur menjembatani antara āyāt kauniyyah (tanda-tanda di alam semesta) dan āyāt qur’āniyyah (tanda-tanda dalam Al-Qur’an). Firman Allah:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” [QS. Al-Qamar 54:17]
Imam al-Qurṭubī dalam al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān menjelaskan bahwa tadzakkur tak semata bermakna mengingat secara kognitif, tapi juga mencakup kesadaran spiritual. Inilah proses menghubungkan kembali pengalaman hidup dengan panduan Allah—semisal kala melihat badai petir, hati segera teringat akan kekuasaan dan keadilan-Nya.

Setelah itu, seseorang diajak agar lebih mendalam melalui Ta’abbur, yakni perenungan yang penuh makna. Ini bukan sekadar membaca atau memahami secara permukaan, melainkan merenungi dengan sengaja, mendalam, dan berulang terhadap makna dan hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an? Ataukah hati mereka telah terkunci?” [QS. Muḥammad 47:24]
Ibnu Katsīr dalam Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm menegaskan bahwa ayat ini mencela orang-orang yang hanya membaca Al-Qur’an secara lahiriah tanpa memahami maksud dan maknanya. Ia menjelaskan bahwa ta’abbur adalah inti dari interaksi dengan wahyu—yang mengubah ibadah menjadi pencerahan, dan yang biasa menjadi luar biasa. Ibnu al-Qayyim bahkan menyebut tadabbur sebagai kehidupan hati, sebagaimana dijelaskan dalam Miftāḥ Dār as-Sa‘ādah—tanpa ta’abbur, Al-Qur’an seperti cahaya yang tak terlihat oleh mata yang buta.

Langkah keempat ialah Ta’aqqul, yakni penggunaan akal dalam kerangka wahyu. Al-Qur’an berkali-kali memuji mereka yang menggunakan akalnya, seringkali dengan ungkapan yaʿqilūn—mereka yang berpikir secara mendalam. Salah satu contohnya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. An-Naḥl (16):12]
Imam al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūmuddīn menggambarkan akal sebagai pelita dan wahyu sebagai minyaknya. Tanpa minyak, pelita tidak bisa menyala; demikian pula akal yang tidak dibimbing wahyu akan kehilangan arah. Ibnu Taymiyyah dalam Dar’ Ta‘āruḍ al-‘Aql wa al-Naql menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara akal yang sehat dan wahyu yang benar. Ta’aqqul sejati tidak mengagungkan rasionalisme di atas iman, tetapi menyelaraskan keduanya—menggunakan akal untuk memahami dan mengamalkan wahyu.

Proses ini berpuncak pada Istinbāṭ, yaitu pengambilan kesimpulan, baik hukum, etika, maupun hikmah. Inilah tahap ketika seorang pemikir, usai mengamati, mengingat, merenung, dan menggunakan akal, tiba pada hikmah yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Al-Qur’an menyatakan:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang dapat mengambil kesimpulan (istinbāṭ) dari mereka akan mengetahuinya.” [QS. An-Nisā’ 4:83]
Imam as-Shāṭibī dalam al-Muwāfaqāt memperluas konsep ini, bahwa istinbāṭ tak hanya terbatas pada pengambilan hukum, tetapi juga mencakup pemahaman terhadap nilai-nilai sosial dan tujuan syariat (maqāṣid as-syarīʿah). Istinbāṭ sejati lahir dari pemahaman mendalam terhadap teks, konteks, dan maslahat, bukan sekadar penarikan dalil secara literal.
Kelima tahap ini—Tafakkur, Tadzakkur, Ta’abbur, Ta’aqqul, dan Istinbāṭ—bersama-sama membentuk metodologi berpikir Qur’ani yang utuh. Ia mengajarkan bahwa wahyu bukan untuk diterima secara pasif, melainkan dihayati secara aktif—melalui akal, qalbu, dan jiwa. Al-Qur’an bukan sekadar kitab untuk dibaca, melainkan semesta yang hendaknya dijelajahi, dipahami, dan dihidupi. Di tengah dunia yang dipenuhi informasi dan kebisingan, metode berpikir Qur’ani menjadi jalan untuk kembali pada kejernihan, kebijaksanaan, dan keterhubungan dengan Sang Ilahi.

Mengapa ini penting? Metode berpikir Qur’ani membentuk seorang Muslim agar hidup dengan kejernihan, ketelitian, dan integritas yang mendalam. Ia melatih seorang mukmin agar tak mudah tertipu oleh tampilan luar, tren sesaat, atau retorika yang menyesatkan. Alih-alih terbawa emosi atau menerima klaim tanpa verifikasi, cara berpikir Qur’ani menumbuhkan sikap kritis yang rendah hati. Ia melindungi qalbu dari fanatisme buta dan kebencian tanpa dasar, karena Al-Qur’an sendiri menolak taqlid ‘ama (ikut-ikutan tanpa ilmu) dan menuntut agar setiap keyakinan disertai bukti, perenungan, dan bimbingan wahyu.
Lebih dari itu, metode ini membekali seorang Muslim dengan kemampuan membaca realitas zaman secara jernih—menghubungkan apa yang tampak di dunia dengan apa yang diwahyukan dalam Al-Qur’an. Pendekatan ini mencegah seseorang dari hidup secara reaktif atau dalam ketidaktahuan menghadapi tantangan modern. Yang paling utama, metode berpikir Qur’ani menjadikan seorang mukmin sebagai pemikir yang merdeka secara intelektual—seseorang yang merenung secara mendalam dan bertindak dengan kearifan—namun tetap terikat erat pada cahaya wahyu. Di dalam keseimbangan antara akal dan wahyu inilah terletak kedewasaan moral dan spiritual yang ingin dibentuk oleh Al-Qur’an.

Akhirnya, kita dapat menyimpulkan bahwa metode berpikir Qur’ani merupakan bentuk nalar spiritual yang menyeimbangkan antara kecerdasan dan keimanan. Ia menjadikan akal sebagai pelayan wahyu, bukan penguasanya. Ia mengajak manusia menjadi pencari kebenaran dengan kerendahan hati—berpijak pada iman, berpikir secara kritis, dan selalu mengejar hikmah yang bermakna. Wallahu a'lam.

Kamis, 29 Mei 2025

Apa Jadinya Jika Para Pemimpin Gak Punya Pendidikan Memadai? (1)

"Seorang guru bijak pernah bilang ke murid-muridnya, pemimpin yang gak mau belajar itu kayak tukang bangunan yang bikin rumah tanpa gambar disain. Meski bahan bangunannya kuat, fondasinya pasti retak, dan rumahnya bakal ambruk—sama kayak negara yang dipimpin orang gak ngerti apa-apa.
Ada nih sebuah kampung yang milih kepala desa cuman gara-gara doi paling vokal doang, gak mikir doski punya ilmu apa nggak. Eh, gak lama air sumur pada kering, panen gagal, dan orang-orang mulai ribut mulu. Jadi kelihatan banget, pemimpin tanpa ilmu itu kayak nyetir kapal tapi gak punya kompas—bingung mau kemana, ujung-ujungnya bencana.
Di sebuah negara, ada presiden yang pernah bilang kalau doski gak suka baca buku, lebih menikmati “komik” daripada fakta dan riset. Lama-lama kebijakan buruk dan korupsi makin merajalela. Warga baru nyadar kalo pemimpin yang gak berpendidikan itu bukan cuma beban, tapi bisa bikin masa depan negara jadi berantakan.
Sejarah itu penuh ama raja-raja yang naik tahta cuman karena kekuatan atau pesona, tapi gak punya ilmu buat mimpin negara. Banyak dari mereka ninggalin kekacauan, ekonomi hancur, dan rakyat yang cuma bisa berharap perubahan. Ini ngebuktiin bahwa jadi pemimpin gak cuma soal gaya doang—ilmu dan pendidikan itu pondasi kekuasaan yang beneran kuat dan tahan lama."

Pendidikan tuh punya segudang fungsi keren—kayak fondasi utama buat tumbuh kembangnya seseorang sekaligus kemajuan sebuah masyarakat. Intinya, pendidikan itu kayak bekal hidup: pendidikan ngajarin kita ilmu, skill, ama kemampuan mikir kritis biar kita gak gampang kemakan hoax, bisa ngambil keputusan yang waras, dan ngerti cara hidup di dunia yang makin ribet ini.
Pendidikan ada karena manusia tuh emang punya potensi buat terus belajar, dan masyarakat butuh sistem biar gak jalan di tempat atau makin kacau. Buat personal, pendidikan bikin otak kita makin kepo, wawasan makin luas, dan bikin kita ngerasa hidup kita punya arah—gak cuma rebahan doang nunggu takdir. Dari sisi masyarakat, pendidikan itu kayak mesin inovasi: bikin ekonomi naik level, bantu orang hidup rukun, dan ngejaga budaya biar gak ilang digerus zaman.
Pendidikan juga ngebentuk tenaga kerja yang siap tempur, bikin orang mau peduli sama lingkungan sekitarnya, dan nguatkan nilai-nilai demokrasi yang sehat. Singkatnya, pendidikan itu bukan cuma perjalanan pribadi buat jadi “versi terbaik dari diri kita”, tapi juga proyek rame-rame buat ngebangun masa depan yang lebih pinter, adil, dan sejahtera bareng-bareng.

Pendidikan itu punya peran super penting buat ngebentuk seseorang jadi pemimpin—dan ini bukan cuma soal dapet gelar doang, tapi soal gimana doski ngasah otak, hati, dan skill-nya dari berbagai sisi.
Pertama, pendidikan ngasih kita bekal ilmu yang luas banget, mulai dari sejarah, politik, ekonomi, sampai isu-isu sosial. Semua itu bikin kita ngerti konteks dunia nyata—kayak kenapa harga cabai naik, atau kenapa rakyat bisa protes. Dan ini penting banget buat pemimpin, biar gak asal ambil keputusan tanpa paham akar masalah.
Kedua, pendidikan ngelatih kita mikir kritis dan analitis. Kita diajarin buat gak langsung telan mentah-mentah info, tapi belajar ngecek fakta, nemuin masalah, terus cari solusi yang masuk akal. Nah, ini skill wajib buat pemimpin: biar pas ngadepin situasi ribet, dia gak panik, tapi bisa mikir jernih dan ngambil langkah yang rasional.
Ketiga, di sekolah atau kampus biasanya kita ikut kerja kelompok, presentasi, atau diskusi kelas. Ini bukan cuma tugas semata—tapi latihan komunikasi, cara kerja bareng orang lain, gimana nyampein ide dengan jelas, dengerin pendapat orang, sampai bikin tim semangat jalan bareng. Semua itu esensi dari leadership yang jalan, bukan yang cuma teriak-teriak.
Keempat, makin tinggi jenjang pendidikan, makin dituntut buat mandiri dan punya inisiatif. Kita harus bisa ngatur waktu sendiri, bikin target, dan tanggung jawab sama progres kita. Nah, ini penting buat jadi pemimpin yang bisa mimpin diri sendiri dulu sebelum mimpin orang lain.
Kelima, pendidikan juga ngebentuk karakter dan nilai-nilai hidup. Lewat pelajaran kayak etika, filsafat, atau interaksi sama orang dari latar belakang beda-beda, kita belajar soal integritas, empati, dan tanggung jawab sosial. Pemimpin yang oke itu yang punya hati, gak cuma otak, dan yang mikirin kepentingan orang banyak, bukan cuma diri sendiri.
Terakhir, di luar kelas, pendidikan juga kasih panggung buat langsung latihan jadi pemimpin. Entah itu ikut organisasi kampus, komunitas, atau kegiatan sosial—semua itu tempat yang aman buat trial-error, belajar dari gagal, dan pelan-pelan tumbuh jadi pemimpin yang pede dan bisa diandalkan.
Singkatnya, pendidikan itu bukan cuma soal ijazah, tapi perjalanan lengkap yang bikin seseorang jadi pinter, punya empati, kuat mental, dan siap turun langsung jadi pemimpin yang beneran ngerti, bukan cuma gaya-gayaan doang.

Bayangin deh, sebuah negara itu kayak kapal gede yang lagi ngapung di lautan luas. Nah, pemimpinnya itu kayak kapten kapal yang harus bawa semua penumpang ke tujuan dengan selamat. Tapi gimana jadinya kalau kaptennya gak tahu cara baca peta, gak ngerti arah angin, atau bahkan gak ngerti cara nyalain kompas? Bisa-bisa kapal itu malah nyasar, muter-muter, atau lebih parah lagi, nabrak karang dan bikin semua orang celaka.
Nah, itu kira-kira yang terjadi kalau pemimpin sebuah negara gak punya pendidikan yang memadai. Mari kita coba ngebahas dampak serius dari pemimpin yang kurang wawasan, kenapa itu bahaya banget buat masa depan bangsa, dan gimana hal ini ngaruh ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Pemimpin tanpa pendidikan memadai akan berujung pada kebijakan yang amburadul. Dalam "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty", Daron Acemoglu dan James A. Robinson jelasin bahwa negara maju tuh biasanya dipimpin oleh orang-orang yang ngerti struktur ekonomi dan politik, dan itu biasanya datang dari pendidikan yang mumpuni. Sebaliknya, kalau pemimpinnya kurang wawasan, apalagi asal comot jabatan, yang terjadi malah kebijakan ngawur dan sistem negara yang cuma nguntungin segelintir orang doang.
Dalam "Leadership and the Problem of Bogus Empowerment" yang masuk dalam The Leadership Studies Reader (2008, Routledge), Keith Grint jelasin gimana pemimpin yang nggak cukup "belajar" biasanya ngandelin gimmick doang, misalnya populisme atau gaya meyakinkan doang tapi isi kebijakannya bodong. Tanpa dasar berpikir kritis dan pemahaman yang dalam soal sistem sosial atau ekonomi, ya kebijakannya jadi asal tempel dan nggak tahan lama.
Lalu, dalam The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization (1990, Doubleday), Peter Senge bilang bahwa pemimpin yang ngerti pentingnya pembelajaran terus-menerus dan mikir secara sistemik bakal bikin kebijakan yang lebih tahan banting dan adaptif. Tapi kalau pemimpinnya nggak punya dasar pendidikan yang kuat, biasanya doski mikirnya jangka pendek banget, kayak tambal sulam doang, nggak nyentuh akar masalah.
So, pemimpin tanpa pendidikan yang cukup sering bikin keputusan yang asal-asalan. Bukan karena jahat, tapi karena mereka bener-bener kagak ngerti kompleksitas dunia nyata. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan bisa ngawur, nyusahin rakyat, dan ngerusak masa depan negara.
Pendidikan itu bukan cuma soal gelar atau ijazah, tapi soal kemampuan memahami masalah, menganalisa data, dan bikin keputusan yang tepat. Kalau pemimpin gak punya itu, ya keputusan yang diambil bisa ngawur. Misalnya, dalam ekonomi, mereka bisa salah ambil langkah, bikin kebijakan yang malah bikin inflasi tinggi atau lapangan kerja susah dibuka. Ketika krisis datang—entah pandemi, bencana alam, atau krisis politik—pemimpin yang gak punya ilmu yang cukup bakal kelabakan, salah strategi, dan ujung-ujungnya rakyat yang susah.
Gak jarang juga, pemimpin yang gak paham ilmu dan etika malah cenderung jadi otoriter. Karena gak bisa meyakinkan rakyat lewat data dan argumentasi, mereka pilih cara represif: nyensor media, bungkam kritik, dan pakai propaganda supaya tetap bertahan di kursi kekuasaan.

Ketika para pemimpin gak menghargai pendidikan, itu bakal nular ke masyarakat. Orang-orang jadi males mikir kritis, gak pengen tahu lebih dalam, dan gampang percaya sama informasi seadanya. Inovasi pun jadi mandek karena gak ada budaya belajar dan riset yang kuat. Rakyatnya lebih milih ikut-ikutan tren atau berita hoaks yang viral, daripada belajar dari sumber yang valid.
Kalau masyarakat di sebuah negeri makin malas mikir kritis, dampaknya nggak berhenti di situ aja—ini kayak efek domino yang ujung-ujungnya bikin orang jadi anti sama yang namanya intelektualisme. Dan ini bukan cuma teori doang, udah ada banyak buku kece yang ngebahas soal ini.
Contohnya buku legendaris "Anti-Intellectualism in American Life" karya Richard Hofstadter. Doski nunjukin gimana budaya di Amerika lama-lama jadi curiga sama kaum intelektual, lebih milih omongan emosional daripada penjelasan yang dalam. Katanya sih, kalau masyarakat nggak terbiasa mikir jernih dan logis, akhirnya mereka lebih gampang termakan narasi dramatis yang dangkal. Nah, dari situ muncul rasa benci atau sinis sama orang-orang yang dianggap “terlalu pintar”.
Anti-intelektualisme itu nggak jatuh dari langit. Doski tumbuh dari kebiasaan masyarakat yang ogah mikir susah, maunya yang praktis dan konfirmasi opini sendiri. Lama-lama, masyarakat kayak gini lebih suka pemimpin yang gaya doang daripada yang mikir dalam. Yang penting bisa bikin heboh, bukan bikin solusi.
Ini juga bikin masyarakat gampang diadu domba, mudah dipengaruhi propaganda, dan akhirnya memilih pemimpin yang lebih jago nge-jargon ketimbang yang bener-bener kompeten. Akibatnya, politik jadi kayak tontonan drama yang penuh intrik, bukan arena diskusi yang sehat.

Pemimpin yang kurang pendidikan biasanya ngandelin pesona, gaya ngomong yang meyakinkan, dan janji manis buat narik simpati. Tapi itu cuma kayak makeup doang—luarannya keren, tapi isinya kosong. Populisme ini kadang bikin rakyat lupa, bahwa kemampuan pemimpin itu harusnya dilihat dari hasil kerja dan integritas, bukan dari siapa yang paling jago bikin sensasi.
Di dunia politik zaman now, apalagi di negara-negara yang masyarakatnya makin males mikir kritis, yang menang seringkali bukan isi kebijakan atau visi jangka panjang, tapi pencitraan dan gaya populis. Para pemimpin populis biasanya naik daun bukan karena argumen kuat atau solusi realistis, tapi karena mereka jago mainin emosi publik. Mereka janjiin solusi instan buat masalah super kompleks, seakan merekalah "wakil rakyat sejati" yang sedang melawan elit jahat nan licik. Isi pidatonya? Bukan data atau rencana detail, tapi slogan catchy, drama penuh amarah pura-pura, dan soundbite yang gampang viral di medsos.
Di suasana seperti ini, pencitraan adalah segalanya. Para pemimpin lebih sibuk mikirin angle kamera, gaya ngomong, dan seberapa hits mereka di TikTok, daripada beneran mikirin solusi buat harga pangan atau pendidikan. Feed Instagram yang estetik atau video yang FYP bisa punya efek politik lebih gede dari proposal ekonomi yang udah diteliti matang. Akhirnya, yang dihargai adalah karisma, bukan kapabilitas. Yang dielu-elukan adalah tampilan, bukan pencapaian.
Hasilnya, diskusi politik jadi kayak panggung sandiwara. Pemilih bukan lagi menilai program kerja, tapi lebih tergoda sama branding emosional dari kandidat. Tokoh populis paham banget trik ini dan mereka manfaatin habis-habisan: pakai baju rakyat jelata, ngomong pakai bahasa nongkrong, atau nge-post meme lucu biar kelihatan relatable. Sementara itu, kerjaan pemimpin yang sesungguhnya—kayak negosiasi, analisis masalah, tanggung jawab publik—disingkirin ke belakang panggung. Yang penting tampil kece dan dramatis.
Tren ini makin bahaya di negara-negara yang sistem pendidikannya gagal ngajarin literasi media atau kemampuan berpikir kritis. Ketika publik nggak diajarin buat bedain mana tontonan dan mana substansi, para populis makin berjaya. Mereka nutupin minimnya kualitas diri dengan mengalihkan perhatian rakyat ke isu musuh bersama, krisis yang dilebih-lebihkan, atau nasionalisme yang dibakar-bakar. Ujung-ujungnya? Demokrasi jadi rapuh, partisipasi publik menurun, dan kebijakan cuma dibikin biar kelihatan keren di layar, bukan karena beneran ngasih dampak nyata. Tanpa pondasi ilmu yang kuat, kebijakan yang dibuat bisa jadi sekadar janji kosong, yang ujung-ujungnya bikin masalah baru.
Salah satu rujukan paling kuat yang mendukung argumen ini ialah Populism and Image Over Substance in Politics adalah "How Democracies Die" (2018) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka menjelaskan gimana demokrasi nggak selalu mati lewat kudeta berdarah, tapi seringkali mati pelan-pelan gara-gara pemimpin populis yang lebih sibuk jaga pencitraan ketimbang ngejaga norma demokrasi. Para pemimpin ini suka banget tampil bak selebriti, tapi kalau soal isi kebijakan? Nihil. Yang penting tampil meyakinkan di TV atau medsos, bikin publik terbius, walau sebenarnya minim isi.
Ada juga esai kece berjudul "The Age of Spin: The Rise of Image Politics in America" yang ditulis Mark Crispin Miller dalam karya Seeing Through Movies. Esai ini ngebahas gimana dunia politik makin mirip dunia entertainment—yang penting viral, yang penting trending, soal isi belakangan. Politisi sekarang lebih kayak influencer: kampanye pakai filter, janji-janji manis kayak caption Instagram, dan rakyatnya? Banyak yang auto-like tanpa ngecek fakta.
Trus, ada juga karya klasik nan dalem dari Guy Debord berjudul "The Society of the Spectacle" (1967). Ini buku jadul tapi relevan banget buat zaman kekinian. Debord jelasin gimana dunia modern—terutama lewat media dan kapitalisme—bikin masyarakat lebih peduli sama penampilan luar ketimbang isi. Jadi, jangan heran kalau politisi lebih fokus ke pencitraan, karena mereka tahu: rakyat lebih gampang terpukau sama tampilan daripada kerja nyata.
Karya-karya ini kalau digabung, jadi seperti kaca pembesar buat ngeliat kenapa dunia politik sekarang makin mirip reality show. Yang penting gaya, bukan substansi. Yang penting bisa viral, bukan bisa mikir. Rakyat akhirnya lebih sibuk debat soal gaya rambut pemimpin daripada kebijakan pajaknya.

Pendidikan itu penting banget buat ngebentuk seseorang jadi pemimpin top. Pendidikan itu kayak ngasih loe "map" atau peta yang super lengkap. Loe jadi punya wawasan luas tentang sejarah, politik, ekonomi, dan isu-isu social. Dengan bekal ini, loe bisa ngertiin seluk-beluk tantangan dan peluang yang dihadapi organisasi atau masyarakat. Nah, wawasan ini pondasi krusial banget buat bikin keputusan yang nggak kaleng-kaleng sebagai pemimpin.
Pendidikan itu juga aktif ngembangin skill mikir kritis dan analitis loe. Selama proses belajar, kita diajarin buat ngecek info, nemuin masalah, terus ngerumusin solusi yang jitu. Kemampuan ini penting banget biar seorang pemimpin bisa menganalisis situasi yang ribet, bikin penilaian yang masuk akal, dan mimpin tim ngadepin rintangan.
Pendidikan formal sering ngasih kita pengalaman kolaborasi dan interaksi yang seru, kayak proyek kelompok, presentasi, atau diskusi kelas. Pengalaman-pengalaman ini bantu banget ngembangin skill komunikasi dan interpersonal yang efektif. Jadi, loe bisa nyampein ide dengan jelas, dengerin orang lain secara aktif, bangun relasi, dan nyemangatin orang. Skill-skill ini inti dari kepemimpinan yang sukses.
Pendidikan, apalagi di level yang lebih tinggi, sering nuntut kita buat mandiri dan punya inisiatif. Mahasiswa atau pelajar itu diharapkan bisa ngatur waktu sendiri, nentuin target, dan bertanggungjawab atas proses belajarnya. Kualitas-kualitas ini penting banget buat pemimpin yang harus proaktif, bertanggungjawab, dan bisa mimpin dirinya sendiri sebelum mimpin orang lain.
Pendidikan juga bisa ngebentuk karakter dan nilai-nilai seseorang. Lewat belajar etika, filosofi, dan humaniora, plus interaksi 'ama berbagai sudut pandang, individu bisa ngembangin pemahaman yang lebih dalam tentang prinsip moral, integritas, dan tanggungjawab sosial. Pemimpin yang oke itu, mereka yang bertindak etis dan peduli 'ama well-being orang lain.
Terakhir, pendidikan sering ngasih kesempatan buat nyoba jadi pemimpin langsung lewat kegiatan ekstrakurikuler, organisasi mahasiswa, atau proyek komunitas. Pengalaman-pengalaman ini ngasih kita ruang buat latihan skill kepemimpinan di lingkungan yang relatif aman, belajar dari kesalahan, dan bangun pede kita sebagai calon pemimpin masa depan.

Rabu, 28 Mei 2025

Bila Seorang Pemimpin Berlaku Tidak Jujur

"Serius, IPK Mulyono 3.05? Gile bener." seru Budi, matanya melotot ke layar laptop. Di hadapannya, Dinda menyeruput es teh dengan tatapan skeptis. Mereka berdua, duo detektif IPK tak resmi, sedang menyelidiki kasus paling membingungkan di kampus: Indeks Prestasi Kumulatif Mulyono yang legendaris.
"Nggak masuk akal, Bud. Nggak masuk akal sama sekali," Dinda menggerutu, jarinya mengetuk-ngetuk kertas transkrip nilai Mulyono yang udah lecek. "Denger ya, rekapannya udah jelas banget. Doski cuma punya tiga nilai A. TIGA! Itu pun kayaknya sisa mata kuliah wajib filsafat sama etika yang tinggal tidur juga lulus."
Budi mengangguk setuju. "Terus, nilai B ada sepuluh. Nah, ini lumayanlah. Artinya doi masih ada usaha dikit di beberapa mata kuliah."
"Usaha dikit kepaksa kayaknya," sela Dinda sinis. "Yang bikin gue sakit kepala itu ini nih: doski punya tiga belas nilai C! TIGA BELAS, Bud! Itu artinya sebagian besar mata kuliah dia, pas-pasan banget, kayak cuman nempel di dinding kelulusan."
Budi menyambar transkrip itu lagi, "Dan jangan lupa, enam nilai D. ENAM! Artinya, enam mata kuliah doski udah di ujung tanduk, cuma butuh satu sentuhan lagi buat ngulang semester depan."
Hening sejenak. Angka-angka itu berdansa di benak mereka, sebuah simfoni ketidaksesuaian yang absurd. Tiga A, sepuluh B, tiga belas C, dan enam D. Total 32 mata kuliah.
"Oke, mari kita hitung pakai rumus IPK sakti mandraguna," kata Budi, tangannya sudah lincah menekan kalkulator. "A itu 4.0, B itu 3.0, C itu 2.0, D itu 1.0. Mata kuliah rata-rata 3 SKS deh, biar gampang."
Dinda mencomot pulpen dan mulai mencoret-coret di balik (fotocopy bukan asli) transkrip Mulyono yang malang.
"Tiga A: 3×4.0=12.0"
"Sepuluh B: 10×3.0=30.0"
"Tiga belas C: 13×2.0=26.0"
"Enam D: 6×1.0=6.0"
Mereka menjumlahkan angka-angka itu.
"Total nilai: 12.0+30.0+26.0+6.0=74.0," gumam Budi.
"Total SKS: 32×3=96 SKS," tambah Dinda.
"Sekarang dibagi," Budi menggeser kalkulatornya ke depan Dinda. "Total nilai dibagi total SKS. 74.0/96..."
Layar kalkulator menampilkan angka: 0.770833333.
Mata Dinda membelalak. "Nol koma tujuh puluh tujuh? Ini sih IPK buat mahasiswa yang cuma datang pas ujian trus molor!"
Budi garuk-garuk kepala. "Tapi kok di transkripnya tertulis... 3.05?"
Mereka saling pandang, kebingungan tergambar jelas di wajah. Ini bukan hanya masalah matematika; ini masalah metafisika IPK. Bagaimana mungkin seseorang dengan jejak rekam nilai yang begitu medioker bisa menghasilkan angka yang cukup "aman"?
"Jangan-jangan Mulyono punya mata kuliah siluman, Bud?" Dinda berspekulasi, nada suaranya bercampur antara frustrasi dan teori konspirasi. "Atau jangan-jangan, nilai A dia bukan A biasa. Mungkin A+++ super Saiyan?!"
Budi menggelengkan kepala. "Nggak mungkin. Atau... jangan-jangan sistem perhitungan SKS-nya beda? Mungkin A dia itu SKS-nya 100, sementara D cuma 1 SKS?"
Tawa getir pecah dari Dinda. "Mungkin Mulyono ini punya 'system konversi karma' pribadi. Setiap kali dia bantu dosen fotokopi atau beliin kopi, nilai C dia langsung jadi A."
"Atau, dia menemukan rumus Rahasia dimana jumlah SKS mata kuliah yang nilainya D itu sebenernya nggak dihitung?" Budi menambahkan, mencoba masuk ke alam semesta Mulyono. "Atau mungkin dia punya koneksi langsung ke server fakultas?"
Mereka akhirnya nyerah, kepala pening menghadapi misteri yang lebih rumit dari rumus relativitas Einstein. IPK 3.05 Mulyono tetap menjadi anomali, sebuah bukti bahwa di dunia akademik, terkadang angka bisa menjadi lebih misterius dari ilusi optik. Mungkin, pikir mereka, Mulyono memang punya keajaiban tersendiri, atau mungkin... ada 'sesuatu' yang mereka lewatkan dalam persamaan nilai yang jauh lebih kompleks dari sekadar A, B, C, D. Yang jelas, mereka tak akan pernah memandang IPK dengan cara yang sama lagi.

Sepanjang sejarah, memang ada banyak banget pemimpin negara yang hobi ngibul—mulai dari bohong terang-terangan, setengah-setengah, sampai manipulasi fakta yang rapi jali. Dalam dunia politik, kebohongan sering jadi senjata pamungkas buat dapet kekuasaan, jaga citra, atau ngebungkam suara lawan. Tapi sejarah udah buktiin berkali-kali: kebohongan boleh menang di awal, tapi biasanya tamatnya tragis atau memalukan.
Ambil contoh Richard Nixon, mantan Presiden Amerika Serikat. Doi terkenal karena skandal Watergate, dimana doski nutup-nutupin aksi penyadapan yang dilakukan timnya terhadap lawan politik. Awalnya doi ngotot nggak terlibat, tapi lama-lama kebenaran kebuka juga. Akhirnya doi jadi presiden pertama yang resign sebelum dipecat. Reputasinya? Hancur lebur. Nama “Nixon” sekarang udah jadi sinonim buat “skandal politik”.
Kalau yang satu ini lebih ekstrem: Adolf Hitler. Doi naik ke puncak kekuasaan dengan membangun kebohongan besar-besaran—salah satunya dengan nyalahin orang Yahudi atas semua masalah Jerman. Dengan propaganda yang gila-gilaan, doski cuci otak rakyatnya buat percaya omong kosong itu. Tapi akhirnya, perang dunia meledak, jutaan orang tewas, dan Hitler bunuh diri di dalam bunker pas Jerman di ujung kehancuran. Kebohongannya literally ngebakar dunia.
Kalau ditanya, gimana nasib pemimpin yang suka bohong? Ya jarang yang happy ending. Entah lengser dengan aib, dibenci rakyat, diadili sejarah, atau tumbang karena kebenaran akhirnya kebuka juga. Bisa aja mereka nikmatin kuasa sesaat, tapi sejarah tuh sabar… dan teliti.
Kita bisa simpulin: bohong itu mungkin bisa jadi shortcut ke puncak, tapi juga jalan tol ke jurang. Dan kalau kebenaran udah mulai “pakai sepatu dan keluar rumah”, hati-hati, karena doi bakal ngejar dan ngegulingin siapa pun yang berdiri di atas kebohongan.

Kalau kita bicara soal pemimpin yang suka bo'ong, ini bukan cuma soal politik basi. Dari kacamata filsosofi, dusta yang dilakukan oleh seorang pemimpin itu ibarat virus moral—pelan-pelan bisa merusak seluruh tubuh bangsa.
Zaman dulu, Plato dalam bukunya The Republic, pernah nyebut soal “noble lie” alias kebohongan mulia. Katanya, kadang pemimpin perlu ngibul dikit demi menjaga ketertiban sosial. Tapi ya itu—kalau rakyat sampai tahu bohongnya, bisa-bisa kepercayaan langsung ambrol kayak tumpukan domino. Jadi, “mulia” di sini bukan berarti boleh bebas nge-prank rakyat seenaknya.
Lain cerita ama Immanuel Kant, filsuf asal Jerman yang punya prinsip tegas: berbohong itu salah dalam kondisi apa pun! Menurutnya, begitu kita bohong, kita udah gak nganggep orang lain sebagai manusia seutuhnya—melainkan alat. Jadi kalau pemimpin bohong, itu artinya doi udah anggap rakyatnya cuma pion buat maenin narasi.
Tapi di sisi lain, ada juga Machiavelli yang agak “dark mode.” Dalam bukunya El Principe, doski bilang, pemimpin tuh harus pintar jaga image walaupun isinya palsu. Gak apa-apa bo'ong, asal demi stabilitas kekuasaan. Ini nih yang jadi biangnya “politik pencitraan.” Pokoknya asal rakyat happy, meski hidup di ilusi.
Masuk ke era modern, Hannah Arendt langsung ngasih warning keras. Katanya, kalau pemimpin terus bo'ong, lama-lama rakyat jadi gak bisa bedain mana fakta, mana fiksi. Ini kayak hidup di dunia Truman Show—semua terasa nyata, padahal itu cuma set panggung. Kalau udah kayak gini, rakyat jadi cuek, apatis, bahkan males mikir. Demokrasi bisa mati bukan karena perang, tapi karena rakyat udah gak peduli lagi sama kebenaran.
Nah, filsuf pop seperti Jean Baudrillard malah bilang kita sekarang hidup di era “hyperreality.” Maksudnya, yang palsu malah terasa lebih real dari yang asli. Jadi pas pemimpin bohong didukung buzzer, media, dan pencitraan, kita kayak nonton sinetron politik 24 jam—penuh dramatisasi, twist plot, dan ending yang kadang bikin greget. Bedanya, ini bukan tontonan. Ini kenyataan yang dimodifikasi.
Dampaknya? Ya jelas gawat: Kepercayaan rakyat runtuh. Etika publik lebur. Kebohongan jadi hal biasa. Bangsa kehilangan arah moral.
Tapi tenang, filosofi juga kasih harapan. Kata Kierkegaard, kebenaran itu mesti diperjuangkan bareng-bareng, bukan ditunggu turun dari langit. Artinya, rakyat perlu bangkitin akal sehat kolektif—berani mikir kritis, rajin nanya, dan gak gampang termakan pencitraan.
Karena pada akhirnya, ketika pemimpin suka bo'ong, yang dipertaruhkan bukan cuma kursi kekuasaan, tapi jiwa bangsa itu sendiri.

Dalam ilmu psikologi, ada yang namanya “microexpression”—ekspresi singkat yang muncul tanpa sadar. Jadi, ketika seseorang bohong, walau mulutnya lancar jaya, wajahnya bisa aja “bocor”. Mungkin ada senyum yang terlalu kaku, mata yang gerak-gerik nggak tenang, atau rahang yang mendadak kaku. Itu tanda batin lagi konflik, otak lagi ngatur skenario, tapi badan nggak bisa bohong.
Nah, kalau bo'ongnya keseringan, apalagi sambil nahan rasa bersalah atau takut ketahuan, itu bisa bikin stres berkepanjangan. Dan tahu sendiri, stres itu bisa nyerang kulit. Hormon kortisol naik, kulit jadi sensitif, jerawat bisa muncul, apalagi kalau tidurnya kurang dan makan nggak teratur. Tapi, ini efek nggak langsung ya—bukan karena bohongnya, tapi karena beban mentalnya.
Tapi ya, nggak semua pembohong merasakan itu. Ada juga yang hatinya udah kebal dosa—kayak karakter “antagonis utama” di sinetron, mukanya glowing, tapi isinya dusta. Mereka bisa bohong sambil senyum, tanpa keringat setitik pun.
Kalau masuk ke dunia spiritual dan kepercayaan lama, ada istilah yang bilang bahwa “dosa bikin wajah jadi gelap, dan kebenaran itu memancarkan cahaya.” Dalam Islam dan banyak budaya Timur, orang yang jujur biasanya punya “nur” atau aura di wajahnya. Tapi kalau suka bo'ong, walau wajahnya dipoles skincare jutaan, auranya bisa hilang. Orang ketemu doi bawaannya was-was, nggak nyaman, atau langsung “dapet feeling aneh”.
Di dunia fiksi dan pop kultur, kebohongan sering digambarkan lewat perubahan fisik. Kayak si Pinokio, setiap bohong hidungnya tambah panjang. Simbolnya jelas: makin sering bohong, makin kelihatan juga aslinya. Bahkan di film atau drama, tokoh-tokoh yang manipulatif sering ditampilkan dengan ekspresi licik, senyum yang gak tulus, atau sorot mata yang gak bisa dipercaya. “Face reveal” bukan soal penampilan, tapi soal karakter.
Kesimpulannya: bo'ong gak langsung bikin wajah rusak secara fisik, tapi bisa ninggalin jejak dalam bentuk lain—entah itu kerutan dari stres, kehilangan ketulusan di senyuman, atau “cahaya” yang perlahan padam. Dan kadang, orang nggak bisa jelasin kenapa mereka gak suka sama si A, padahal dari luar doski ramah. Mungkin karena wajahnya bawa cerita yang gak kelihatan: cerita tentang kebohongan yang disimpan terlalu lama.

Dalam Telling Lies (edisi revisi 2009, W.W. Norton & Company), Paul Ekman menjelaskan bahwa sebisa apapun seseorang menutupi kebohongannya, wajah, suara, dan gerakan tubuh mereka tuh sering "bocor" tanpa sengaja. Jadi, meski mulutnya bilang “aku baik-baik aja” atau “aku nggak ngelakuin itu,” badan dan ekspresinya bisa bilang hal yang sebaliknya.
Ekman ngenalin konsep yang namanya “microexpression”—yaitu ekspresi super cepat yang muncul di wajah saat seseorang lagi nyoba nyembunyiin emosi aslinya. Kayak misalnya, loe lagi bilang “Aku seneng kok kamu dapet promosi,” tapi dalam sepersekian detik, wajah loe nunjukin jijik atau kecewa sebelum senyum palsu itu nongol. Nah, itu dia microexpression. Cepat banget, tapi bisa kebaca, apalagi sama orang yang peka.
Nggak cuma wajah, suara juga bisa jadi sinyal. Nada bicara yang tiba-tiba tinggi, ngomong terlalu cepat, atau malah banyak jeda dan “eh… hmm…” bisa jadi tanda kalau otak loe lagi kerja keras bikin cerita palsu. Dan tubuh? Gerakan kecil kayak garuk-garuk, megang leher, atau duduk nggak tenang bisa nunjukin kegelisahan yang muncul waktu loe bo'ong.
Menurut Ekman, bohong itu butuh energi besar. Loe harus inget cerita, jaga ekspresi wajah, atur suara, dan gerakin tubuh supaya nggak keliatan aneh—semuanya sekaligus! Makanya, makin gede bo'ongnya, makin berat bebannya, dan makin besar kemungkinan “kebocoran emosional” itu terjadi.
Tapi bukan berarti semua orang gampang ke-gap bohong. Ada juga yang jago nutupin emosi, kayak aktor profesional atau orang dengan gangguan psikopati—mereka bisa nyamarin emosi kayak pake topeng. Tapi buat kebanyakan orang, pura-pura itu capek, bro. Dan biasanya, cepet atau lambat, tubuh mereka kasih kode ke semesta: “Gue lagi gak jujur, nih!”
Intinya, menurut Ekman: raga itu gak bisa diajak bo'ong bareng mulut. Kalau loe nggak jujur, biasanya bakal ada bagian dari diri loe—entah wajah, suara, atau gerakan kecil—yang ngomongin kebenaran tanpa izin.

Dalam karyanya Lying: Moral Choice in Public and Private Life (Vintage Books, 1999), Sissela Bok bilang: "Kebohongan itu kayak rayap—pelan-pelan nggerogoti fondasi kepercayaan." Awalnya mungkin kecil, cuma bohong putih biar nggak ribet. Tapi lama-lama, kalau jadi kebiasaan, bukan cuma bikin orang lain nggak percaya sama loe—tapi loe sendiri bisa kehilangan jati diri.
Menurut Bok, kejujuran itu bukan sekadar urusan pribadi, tapi kebutuhan publik. Maksudnya, kalau orang bohong cuma mikir "ah yang penting nggak ada yang tahu," mereka lupa bahwa tiap kebohongan itu kayak lem super yang makin lama malah ngerusak, bukan ngelekatin. Soalnya, masyarakat cuma bisa jalan kalau ada rasa percaya. Keluarga, pertemanan, kantor, bahkan negara—semuanya tumbuh di atas trust. Begitu kepercayaan itu runtuh, yang ada tinggal curiga, sinis, dan saling tuding.
Kebohongan yang terus-terusan, kata Bok, bisa bikin seseorang kehilangan integritasnya. Awalnya mungkin bohong karena takut, lalu mulai nyaman, lalu mulai nggak bisa bedain mana yang asli, mana yang ngarang. Sampai-sampai akhirnya jadi percaya sama kebohongannya sendiri. Dan saat itu terjadi, orang itu udah mulai kehilangan dirinya sendiri.
Sissela Bok juga ngeritik cara pikir "yang penting hasilnya baik, bohong dikit nggak apa-apa." Nah, dia bilang itu jalan licin yang berbahaya. Sekali lo ngerasa kebohongan bisa dibenarkan, lo bisa terus-terusan nyari alasan buat bohong—dan itu nggak bakal selesai. Akhirnya, lo hidup dalam realitas yang lo ciptain sendiri, bukan yang nyata.
Bok ngajak kita mikir panjang: emang sih, lebih gampang bohong, tapi kalau mau hubungan yang langgeng, karier yang sehat, atau negara yang stabil, kejujuran itu bukan pilihan kedua—itu fondasi.

Dalam The Lucifer Effect (Vintage Books, 1999), Philip Zimbardo nyampein ide yang lumayan "ngegas": orang baik bisa berubah jadi pembohong, manipulator, bahkan pelaku kejahatan, kalau udah masuk ke sistem atau keadaan sosial yang rusak atau korup. Jadi bukan cuma soal "orangnya jahat dari sananya", tapi lebih ke “lingkungannya yang busuk bikin orang baik jadi bengkok.”
Lewat eksperimen penjara Stanford yang terkenal banget itu, Zimbardo nunjukin gimana orang biasa—yang tadinya nggak neko-neko—bisa berubah jadi tukang tekan, tukang bohong, bahkan kejam, cuma karena dikasih sedikit kuasa, seragam, dan aturan yang mendukung kelicikan. Ketika loe dimasukin ke sistem yang ngedorong loe buat bertindak buruk, loe bakal kaget ngelihat diri loe sendiri berubah.
Di dunia politik atau sosial, ini kejadian banget. Orang-orang yang awalnya idealis dan pengen bawa perubahan, lama-lama bisa jadi raja drama, penuh taktik licik dan manipulatif. Awalnya bohong kecil buat "kepentingan rakyat", tapi lama-lama bo'ongnya jadi sistematis, udah kayak nafas. Mereka mulai mikir, “Yang penting hasilnya baik, cara nggak penting.” Dan dari situ, pelan-pelan, mereka kehilangan jati diri.
Zimbardo nyebut proses ini sebagai “deindividuasi”—dimana loe udah nggak mikir lagi sebagai individu yang punya nilai moral sendiri, tapi lebih mikir sebagai “peran” yang harus dijalani. Misalnya, karena loe pejabat, loe merasa harus tegas, keras, dan manipulatif. Lama-lama, itu bukan cuma akting, itu jadi diri loe yang baru.
Yang serem, loe bukan cuma bohong ke orang lain—loe mulai bohong ke diri sendiri. Loe ngeyakinin diri loe kalau loe nggak salah, loe cuma realistis. Sampai akhirnya, empati loe hilang, nurani loe mati rasa, dan loe cuma ngikutin permainan kuasa yang loe kira loe kendaliin—padahal sebenernya loe yang dikendalikan sistem.
Zimbardo mau bilang: “Jangan ngerasa loe kebal dari perubahan.” Siapa pun bisa jadi monster kalau sistemnya salah. Makanya, bukan cuma individu yang harus dijaga, tapi lingkungan, struktur, dan budaya di sekelilingnya juga harus sehat.
Intinya, karya ini kayak alarm keras yang bilang:
“Bro, jangan main-main ama kekuasaan, kebohongan, dan pembenaran diri. Karena begitu loe masuk terlalu dalam, bisa-bisa loe lupa siapa loe sebenernya.”

So, kalo bos atau pemimpin kita ketahuan bo'ong, itu ibarat bom waktu yang meledak di tengah-tengah kita! Dampaknya nggak cuma bikin kesel sesaat, tapi bisa bikin segalanya amburadul, dari satu orang sampai satu negara.
Hilang kepercayaan dan hilang hormat, ini yang paling parah! Ibaratnya, kalau udah bo'ong, langsung deh dicoret dari daftar "orang yang bisa dipercaya". Pemimpin itu kan harusnya jadi panutan, kalau udah nggak jujur, gimana mau percaya lagi? Nggak cuma doi yang jadi bahan omongan, tapi semua orang bisa jadi ikutan sinis sama pemimpin lain. Reputasi yang dibangun susah payah bisa hancur berkeping-keping dalam sekejap, dan butuh waktu bertahun-tahun buat balikinnya, kalau bisa. Kayak bangun candi, tapi diruntuhin dalam sehari!
Bayangin, kalau pemimpinnya suka bo'ong, gimana mau bikin keputusan yang bener? Informasi yang dikasih bisa jadi abal-abal atau diputarbalikkan, akhirnya semua keputusan jadi ngaco, buang-buang duit, dan kesempatan hilang begitu aja. Kita yang di bawah juga jadi nggak berani ngomong jujur atau kasih masukan, karena takut dicap macem-macem. Lingkungan kerja atau negara jadi ngerasa nggak aman, dan itu bikin motivasi anjlok drastis. Orang-orang jadi males, produktivitas turun, dan ujung-ujungnya banyak yang milih "cabut" dari tempat kerja atau negara itu karena udah muak.
Lies create a culture of opaqueness. Kalau pemimpinnya doyan bohong, komunikasi jadi macet total. Orang-orang jadi saling curiga, ngomongin dari belakang, dan gosip dimana-mana lantaran nggak ada informasi yang bisa dipegang. Pemimpin mungkin bohong biar kelihatan "aman" sesaat, tapi itu cuma nunda masalah aja. Ibaratnya kayak nanah di dalam luka, kalau nggak dikeluarin, malah makin parah. Pas ada krisis, pemimpin yang suka bohong juga nggak bakal didengerin. Gimana mau mimpin di saat genting kalau rekam jejaknya tukang bo'ong?
A leader's dishonesty can set a dangerous precedent. Kebiasaan bohong dari seorang pemimpin bisa bikin standar etika jadi rendah di seluruh organisasi atau negara. Semua orang jadi mikir, "Oh, kalau doski bisa, kenapa gue enggak?" Nilai-nilai baik jadi luntur, dan lama-lama budaya di situ jadi busuk dari dalam. Nah, jangan lupa, bohong itu ada konsekuensi hukumnya! Bisa kena denda gede, masuk penjara, atau perusahaannya rugi miliaran karena ulah bosnya.
Di dunia politik, kalau pemimpinnya tukang bohong, demokrasi bisa rusak. Orang-orang jadi nggak percaya lagi 'ama pemerintah dan pemilu. Ini bisa bikin masyarakat jadi terpecah belah dan saling curiga. Yang paling parah, kalau pemimpin bohongnya terus-terusan tanpa konsekuensi, itu ngasih pesan ke generasi muda kalau bohong itu "nggak apa-apa" buat jadi sukses. Bahaya banget kan?

Intinya, kebohongan seorang pemimpin itu bukan cuma masalah sepele. Itu kayak efek domino yang bisa menghancurkan kepercayaan, menghambat kemajuan, dan ninggalin luka yang dalam buat semua orang yang dipimpinnya. Jadi, mending jujur aja deh, daripada semua jadi berantakan!
"Bud, kita nge-break dulu, yuk!" kata Dinda sambil nutup aplikasi Word-nya. Abis itu, doi langsung buka Chrome di notebooknya, nge-klik YouTube, terus nggak lama kemudian suara ROSÉ udah nge-gas nyanyiin lagu 'Until I Found You'-nya Stephen Sanchez,
I would never fall in love again until I found her
I said, "I would never fall unless it's you I fall into"
I was lost within the darkness, but then I found her
I found you

Selasa, 27 Mei 2025

Masyarakat Mager Mikir Kritis: Dampaknya

"Berita hari ini:
SURVEI RESMI: 69% Rakyat Percaya Ijazah Pemimpin Karismatiknya Asli (Jangan Perhatikan Fakta Bahwa Hampir Semua Orang Sebenarnya Gak Percaya)
Dalam pengungkapan yang lebih menggemparkan daripada akhir episode sinetron yang tiba-tiba muncul saudara kembar, survei terbaru membuktikan bahwa 69% rakyat yakin ijazah sang pemimpin adalah asli! Jangan hiraukan gosip, desas-desus, dan rasa skeptis di warung kopi—karena survei ini tidak bisa salah!
Survei ini dirancang dengan metode yang sangat terpercaya, termasuk:
  • Memilih Responden yang Tepat (hanya mewawancarai orang-orang yang sejak lahir ngefans sama pemimpin).
  • Pertanyaan Bersifat Mengarahkan (“Anda setuju kan bahwa seorang pemimpin sehebat ini pasti memiliki ijazah yang sah?”).
  • Manuver Statistik Selevel Ilusi Optik, memastikan angka yang keluar bikin hati tenang (meskipun rasanya ada yang janggal).
Seorang peserta survei yang gak mau disebutkan namanya berkomentar: “Jujur aja, gue bahkan ragu nilai ujian gue sendiri dulu asli, tapi kalau survei bilang 69% percaya ijazah ini asli, ya udahlah—mungkin ini takdir.”
Sementara itu, pejabat pemerintah langsung menanggapi, menegaskan bahwa ijazah sama autentiknya dengan pesona kepemimpinan beliau, sambil menyarankan rakyat supaya gak usah terlalu repot nyari informasi tambahan.
Namun, kelompok skeptis tetap bertahan. Beberapa malah mengklaim bahwa angka sebenarnya bukan 69%, tapi 99% rakyat justru ragu, hanya saja hasilnya tertimbun entah dimana sebelum publikasi. Seperti biasa, plot twist ala telenovela politik!"

Kita telah membahas mengapa suatu Masyarakat itu enggan berpikir kritis, disini. Sekarang kita akan membicarakan dampak atau akibat jika masyarakat tersebut enggan berpikir kritis.
Nah, kalo satu negara isinya orang-orang yang males mikir kritis, siap-siap aja 'tu negeri makin gampang diboongin. Gak ada yang nanya, gak ada yang curiga, semua ditelan mentah-mentah apa pun yang dikasih ama yang berkuasa. Hasilnya? Propaganda gampang nyebar, hoaks jadi bahan obrolan harian, dan ide-ide ngawur malah jadi ngetren.
Lebih parahnya lagi, demokrasi jadi kayak barang diskon—kelihatannya oke, padahal udah rusak. Soalnya, warga yang gak pernah mikir atau nanya-nanya soal kebijakan ya otomatis gak ngeh kalau pemimpinnya korup atau gak becus. Akhirnya, sistem makin bobrok, suara-suara kritis dibungkam, dan ketidakadilan dianggap biasa aja. Dunia pendidikan jadi dangkal, obrolan publik makin receh, dan generasi muda tumbuh tanpa tahu cara mikir buat masa depan mereka sendiri.
Intinya, kalau mikir kritis udah punah, kebebasan juga ikut-ikutan hilang—bukan kayak meledak gitu, tapi kayak pelan-pelan ngilang ditelen kesibukan, takut, dan cuek. Dan pas orang-orang sadar ada yang salah… bisa jadi udah kejauhan buat dibenerin.

Kalo warga di suatu negara makin mager mikir kritis, dampak politiknya bisa gawat banget, dan gak cuma jangka pendek—ini bisa jadi bom waktu. Masyarakat yang ogah nanya, nggak mau ngecek fakta, atau malas mikir panjang tuh gampang banget digiring. Politisi dengan gaya populis atau otoriter bakal ngisi celah itu pakai janji manis, narasi yang mainin emosi, atau slogan catchy yang kedengerannya keren tapi nggak punya isi. Di situ, logika kalah ama drama, dan yang tampil percaya diri malah lebih dipercaya daripada yang beneran kompeten.
Kalo kondisi ini dibiarkan, demokrasi pelan-pelan luntur. Pemilu jadi kayak ajang pencarian bakat, bukan tempat milih pemimpin bijak. Kebijakan publik diterima mentah-mentah, korupsi makin gampang disembunyiin, dan rakyat makin cuek soal tanggungjawab penguasa. Lama-lama, institusi demokrasi yang seharusnya kuat malah keropos dari dalam—bukan karena dikudeta, tapi karena rakyatnya udah nggak peduli buat mikirin dan jaga sistemnya.
Tanpa mikir kritis, hoaks gampang banget viral, diskusi publik berubah jadi rame-rame ngebela opini masing-masing, bukan cari kebenaran. Media juga jadi semacam speaker doang, bukan tempat buat ngasih perspektif yang mendalam. Akhirnya masyarakat jadi reaktif, bukan reflektif—ngikutin siapa yang paling berisik, bukan siapa yang paling masuk akal.
Kalo mikir kritis udah nggak dianggap penting, demokrasi nggak perlu dibunuh—doi mati pelan-pelan.

Kalo mayoritas masyarakat di sebuah negara males mikir kritis, dampak ekonominya bisa sama seremnya kayak dampak politiknya, Bro-Sis. Soalnya, ekonomi itu butuh orang-orang yang bisa mikir out of the box, jago nyelesein masalah, dan adaptif kayak bunglon digital. Tapi kalau rakyatnya kebanyakan cuma ngikut arus tanpa mikir, ya produktivitas jadi seret, inovasi mandek, dan industri gampang kalah saing di level global. Bukan karena nggak punya sumber daya, tapi karena otak-otaknya nggak dipake buat mikir maju.
Di sisi lain, masyarakat yang kurang mikir kritis juga gampang banget ketipu. Mulai dari iklan yang misleading, tawaran investasi bodong, sampe gaya hidup konsumtif yang nggak realistis. Akhirnya banyak yang kejebak utang, ketipu skema cepat kaya, dan nggak ngerti gimana ngatur duit dengan bener. Lama-lama ini jadi masalah negara juga, karena makin banyak orang yang nyangkut di jaring bantuan sosial dan makin dikit yang bisa mandiri secara finansial.
Terus, gimana nasib wirausaha? Nah, jiwa entrepreneur itu kan butuh mikir tajam dan berani beda. Tapi kalau budaya mikir kritisnya lemah, orang-orang jadi takut ambil risiko, nggak berani bikin gebrakan baru. Ekonomi pun jadi gitu-gitu aja, tergantung sama sektor lama kayak tambang atau buruh murah, yang gampang banget goyah kalau krisis global datang.
Ujung-ujungnya, negara yang masyarakatnya jarang mikir kritis bakal ketinggalan jauh di era ekonomi berbasis pengetahuan. Jumlah penduduknya mungkin banyak, tapi yang mikir dan nyari solusi dikit. Yang pinter-pinter malah kabur ke luar negeri. Dan boom! Lingkaran setan keterbelakangan ekonomi terus muter tanpa akhir.

Kalo masyarakat di sebuah negara pada males mikir kritis, dampak sosialnya tuh bisa parah banget, kayak efek domino yang bikin suasana jadi makin keruh. Soalnya, tanpa kebiasaan buat mikir jernih, ngecek fakta, dan nanya “kenapa sih begini?”, masyarakat jadi gampang banget kemakan hoaks, mitos, dan teori konspirasi yang nyebar di timeline. Grup WA keluarga jadi arena perang argumen ngawur, dan orang jadi lebih suka ikut-ikutan daripada mikir sendiri. Yang penting rame, bukan bener.
Nah, karena nggak biasa mikir dalam dan reflektif, masyarakat jadi gampang kepecah-belah. Yang beda pendapat dikit aja bisa langsung dicap “kubu sebelah”, bahkan bisa dibully rame-rame. Diskusi sehat diganti debat kusir, dan makin lama makin banyak orang yang pilih diam aja karena takut dibully. Ujung-ujungnya? Polarisasi makin tajam, empati makin tipis, dan solidaritas sosial makin keropos.
Terus, coba deh pikirin: masalah-masalah besar kayak ketimpangan sosial, diskriminasi, atau isu lingkungan itu kan butuh masyarakat yang peka, kritis, dan mau mikir dari berbagai sudut pandang. Tapi kalau semua orang udah nyaman jadi penonton aja, ya nggak bakal ada perubahan. Status quo bakal terus langgeng, yang kuat makin kuat, yang lemah makin kegencet, dan yang peduli malah dikatain “sok idealis”.
Akhirnya, masyarakat kayak gitu cuma jadi penonton pasif—nonton drama sosial dari layar hape, tapi nggak ikutan mikir apalagi bertindak. Mereka gampang dikibulin ama yang punya kuasa, dan makin lama rasa saling percaya di antara warga juga memudar. Yang ada malah jadi budaya saling curiga, nyinyir, dan makin susah buat gotong royong nyari solusi bareng.

Kalo masyarakat di suatu negara udah males mikir kritis, budayanya pelan-pelan jadi kayak fast food—cepat saji, cepat lupakan, dan gak ada gizinya buat otak. Alih-alih punya budaya yang dalam, penuh refleksi, dan bisa ngajak mikir, yang muncul malah budaya yang asal viral, asal lucu, asal rame. Semua serba permukaan, gak ada yang mau tanya: “Ini maksudnya apa sih?” atau “Kenapa kita begini?”
Seni, sastra, dan diskusi publik yang seharusnya bisa jadi ruang buat mikir bareng malah dikalahkan sama konten-konten clickbait. Yang penting views naik, followers nambah, cuan jalan terus. Seniman, penulis, dan pemikir akhirnya cuma dianggap “konten kreator” yang harus ngejar engagement, bukan lagi sosok yang bisa ngajak mikir atau menggugah nurani.
Gak cuma itu, ingatan budaya juga mulai luntur. Cerita rakyat, sejarah penting, dan warisan intelektual kita jadi sekadar tempelan—dijual dalam bentuk quotes aesthetic atau tarian TikTok, tanpa pemahaman maknanya. Ritual budaya jadi formalitas aja, asal posting di IG. Slogan jadi lebih penting dari isi.
Akibatnya, masyarakat gampang banget dibentuk sama tren dangkal atau propaganda yang dibungkus ala hiburan. Budaya yang seharusnya bisa jadi alat buat nanya “kenapa” dan “bagaimana” malah berubah jadi alat buat ngehibur dan bikin lupa. Padahal, tanpa budaya yang ngajak mikir, kita jadi gampang dikibulin, gampang ikut-ikutan, dan makin susah buat peka terhadap nilai-nilai penting dalam hidup.
Lama-lama, budaya kita jadi seragam, palsu-palsu inklusif, dan gak berani beda. Keberagaman cuma jadi hiasan, gak dijadikan bahan obrolan yang dalam. Orang-orang makin males dengerin sudut pandang lain, dan akhirnya budaya kita kehilangan fungsinya sebagai cermin, kompas, dan jembatan antarmanusia.

Dalam Amusing Ourselves to Death (1985, Viking Penguin), Neil Postman bilang kalau bentuk media dominan di masyarakat tuh ngaruh banget ama cara orang mikir, ngobrol, dan ngerespon kenyataan. Ketika TV jadi raja, semua hal serius—kayak politik, pendidikan, sampai agama—berubah jadi acara hiburan.
TV itu gak ngajarin orang buat mikir dalam atau pelan-pelan. Yang dihargain tuh yang cepat, yang simpel, yang bikin baper. Jadi debat politik kayak sinetron, berita jadi kayak acara gosip, dan diskusi publik cuma jadi tagline dramatis plus visual bombastis. Kata Postman, ini bikin masyarakat makin pasif, makin jarang nanya, makin gampang puas sama info receh.
Lama-lama, orang jadi gampang banget dibodohi. Siapa pun yang bisa tampil kece di layar—pede, lucu, emosional—bisa lebih ngaruh daripada orang yang punya ide bagus tapi penyampaiannya “kurang TV banget”. Dunia yang dikuasai hiburan tuh gak cocok buat mikir kritis. Terlalu lama, terlalu ribet, dan gak trending.
Walaupun Postman nulis bukunya di tahun 1985 dan ngomongin TV, isi pesannya malah makin relevan sekarang—karena TV udah lewat, dan yang merajalela sekarang tuh media sosial. Kalau TV dulu ngerubah obrolan serius jadi hiburan, media sosial tuh naik level: sekarang semua hal berubah jadi panggung performa 24 jam non-stop.
Di era TikTok, IG, X (dulu Twitter), dan YouTube, yang penting bukan lagi isi otaknya, tapi seberapa cepet loe bisa bikin orang ngakak, marah, atau baper. Gak ada lagi waktu buat mikir pelan-pelan. Scroll terus, swipe terus. Yang penting rame, bukan bermutu.
Bedanya, kalau TV dulu loe cuman penonton, sekarang loe juga pemain. Semua orang jadi content creator, semua orang jadi bintang reality show versi mereka sendiri. Hasilnya? Topik-topik berat jadi receh, diskusi jadi drama, dan fakta kalah cepet ama hoax yang lebih clickbait.
Mau ide loe dalam banget? Sayang, algoritma gak peduli. Yang penting bikin orang stay di layar. Jadi, masyarakat sekarang bukan cuma "menghibur diri sampai mati" kayak kata Postman—tapi sambil joget, sambil live, sambil ngelike postingan yang belum tentu bener.

Dalam On Tyranny (2017, Tim Duggan Books), Timothy Snyder bilang bahwa tirani zaman sekarang tuh gak selalu datang dengan kudeta, pidato ngeri, atau drama kayak film perang. Kadang, doi datengnya pelan-pelan, diem-diem, disiram pake kebiasaan orang-orang yang makin lama makin males nanya, makin nurut aja sama yang “di atas.”
Tirani modern gak butuh tank kalau masyarakatnya udah terbiasa bilang “iya” tanpa mikir dua kali. Snyder ngegas: masalahnya bukan cuma di pemimpinnya yang ambisius, tapi juga di rakyatnya yang pasrah. Kalau orang-orang lebih milih nyaman daripada kritis, lebih milih aman daripada bersuara, yaudah—tirani tinggal nunggu panen.
Awalnya sih halus: “Ah, ini biasa aja.” “Paling cuma bentaran.” “Ngomong juga percuma.” Tapi makin lama, demokrasi keropos, kebenaran jadi fleksibel, dan rasa takut ngegantiin debat. Snyder ngajak kita ngelawan bukan dengan demo gede doang, tapi dari hal-hal kecil sehari-hari: nanya yang pedes, ngecek fakta, nolak ikut-ikutan nyebar omong kosong, dan bela orang yang disumpel mulutnya.
Soalnya, kata doski, tirani tuh gak cuma karena sang tiran kuat—tapi juga karena kita-nya kebanyakan diem.

Dalam The Authoritarian Personality (1950, Harper & Brothers), Adorno dan timnya neliti kenapa ada orang yang gampang banget tunduk ama otoritas dan gak suka mikir kritis. Ternyata, banyak dari mereka dibesarkan di lingkungan yang super ketat—yang kalau nurut dipuji, tapi kalau nanya malah dimarahin. Akhirnya, otak mereka kebentuk buat mikir kaku: yang beda itu salah, yang lawan arus itu bahaya.
Adorno bilang, orang-orang kayak gini ngerasa gak nyaman banget sama keragaman, perubahan, atau debat. Buat mereka, nanya-nanya ke pemimpin itu sama aja kayak bikin onar. Jadi wajar aja kalau mereka gampang banget dukung pemimpin yang galak, yang janjiin “ketertiban,” dan yang ngegas siapa aja yang berani beda pendapat.
Kepribadian kayak gini gak muncul gitu aja—dibentuk dari kecil lewat pola asuh, sekolah, budaya, dan tekanan sosial. Di negara-negara yang ngajarin “jangan banyak bacot,” “ikutin aja,” dan “gak usah sok pintar,” makin banyak deh orang yang punya mentalitas otoriter. Nah, pas pemimpin populis atau otoriter muncul, mereka malah disambut hangat. Bukan karena rakyatnya jahat, tapi karena mereka lebih takut ama kekacauan daripada s\ama tirani.

Dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010, W. W. Norton & Company), Nicholas Carr tuh bilang gini: internet bukan cuma ngerubah apa yang kita pikirin, tapi juga cara kita mikir. Otak manusia tuh ibarat spons yang bisa berubah bentuk sesuai cara dipakai—dan sekarang, karena kita tiap hari dicekokin info instan, notifikasi, scroll-scroll gak habis-habis, otak kita jadi ke-reset buat lebih suka yang cepat, singkat, dan serba baru. Gak tahan sama yang pelan dan mendalam.
Carr ngejelasin kalau kebiasaan online bikin kita susah fokus. Bukannya duduk mikir dalam tentang satu topik, kita malah lompat-lompat dari link satu ke link lainnya, kayak lagi buka 27 tab sekaligus tapi gak fokus ke satu pun. Akhirnya, kita jadi kayak tahu banyak hal tapi cetek semua. Bacanya sih banyak, tapi gak ada yang benar-benar nyantol. Kita lebih sering reaktif daripada reflektif.
Yang bahaya, kata Carr, ini semua bikin kita kehilangan kemampuan berpikir kritis. Padahal berpikir kritis tuh butuh waktu, butuh mikir pelan-pelan, dan butuh ruang buat diem. Internet ngajarin kita buat buru-buru, buat cari jawaban instan. Hasilnya? Kita makin gampang kena hoaks, makin gampang terprovokasi, dan makin susah bedain mana opini dangkal dan mana argument yang kuat.
Waktu buku ini terbit tahun 2010, dunia online udah rame, tapi sekarang... tambah gila! Algoritma medsos makin nge-push kita buat nonton video 15 detik, swipe-swipe yang gak ada ujungnya, dan bahkan sekarang AI udah bisa nulis caption atau opini buat kita. Orang jadi suka langsung ambil kesimpulan cuma dari baca judul doang, atau dari potongan video yang bahkan belum selesai.
Tapi Carr gak bilang “buang aja internet”—enggak. Doski cuma ngajak kita buat lebih sadar diri. Ayo belajar ngatur ulang otak kita. Ayo latihan fokus lagi. Ayo balik lagi ke proses mikir yang dalam. Karena kalau enggak, bisa-bisa kita beneran lupa gimana rasanya mikir pake otak.

Menurut data PISA 2022, kemampuan berpikir kreatif siswa Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan rata-rata negara OECD. Skor rata-rata Indonesia cuma 19 dari 60, sedangkan rata-rata OECD ada di angka 33. Artinya, banyak siswa kita yang masih kesulitan buat mikir out-of-the-box atau nyari solusi kreatif.
Di sisi lain, Amerika Serikat yang katanya negara maju juga punya masalah. Mereka cuma peringkat 14 dalam literasi, 15 dalam problem-solving adaptif, dan 24 dalam numerasi dari 31 negara. Banyak orang dewasa di sana yang kesulitan ngerti teks atau ngitung sederhana, nunjukin penurunan kemampuan berpikir kritis.
Tapi ada juga contoh keren kayak Estonia. Mereka nerapin kurikulum yang fokus ke problem-solving, berpikir kritis, dan skill digital. Teknologi jadi bagian penting dari proses belajar, bikin siswa mereka jago mikir tingkat tinggi.
PISA ini tuh semacam “rapor dunia” buat anak-anak umur 15 tahun di lebih dari 80 negara. Mereka dites kemampuan baca, matematika, dan sains. Hasilnya? Negara-negara Asia lagi-lagi ngasih gebukan telak. Negara kayak Singapura, China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan itu kayak squad Avengers-nya pelajar dunia—mereka nilainya ngacir semua. Pinter banget pokoknya. Nah, kalo ngomongin Indonesia… yah, agak nyesek sih bacanya: Matematika: 366; Sains: 383; Membaca: 359. Itu nilainya masih di bawah rata-rata dunia, dan nunjukin kalau anak-anak kita masih struggling buat ngerti pelajaran dasar yang sebenernya penting banget buat masa depan mereka (dan bangsa juga, obviously).

Kalau sebuah masyarakat udah males mikir kritis, itu sama aja kayak nyetir negara pake autopilot sambil tidur. Kemampuan buat nanya, merenung, dan ngulik sesuatu dari berbagai sisi itu bukan cuma hak orang pinter—itu kebutuhan dasar buat bikin negara sehat. Begitu kebiasaan mikirnya mati, orang gampang banget dicekokin info mentah, gampang digiring opininya, dan akhirnya gampang banget ditakut-takutin pake narasi yang cetek tapi heboh. Akhirnya, negara itu keliatannya sih adem ayem, tapi dalemnya kosong dan gak siap ngadepin tantangan nyata.
Kerusakan pola pikir kritis ini gak langsung kelihatan—datangnya pelan-pelan, sering kali dibungkus manis pake dalih hiburan, kenyamanan, atau "kebiasaan lama." Tapi dampaknya gila-gilaan. Secara politik, masyarakat jadi gampang ditunggangi pemimpin otoriter. Secara ekonomi, ide-ide baru mandek. Secara sosial, rasa peduli dan solidaritas makin tipis. Secara budaya, kreativitas diganti viralitas, isi diganti gaya. Dan yang paling nyesek, orang jadi kehilangan kendali atas hidupnya sendiri—kayak boneka yang geraknya dikontrol remote dari luar.
Ujung-ujungnya, kesehatan sebuah negara gak bisa cuma dilihat dari ekonomi yang naik atau ranking global yang keren, tapi dari kualitas mikir rakyatnya. Negara yang ngajarin rakyatnya buat mikir, nanya, dan gak gampang puas sama jawaban instan adalah negara yang punya kans buat tetap berdiri tegak di tengah dunia yang makin ribet ini. Jadi jangan remehkan mikir kritis. Itu bukan cuma soal sekolah atau debat—itu soal tanggungjawab, soal harga diri, dan soal masa depan. Tanpa itu, hidup kita emang mungkin lebih gampang—tapi jelas jauh dari bebas-merdeka.

Kita akan membahas apa akibatnya jika para pemimpin di sebuah negara, memiliki pendidikan yang tidak memadai. Bi'idznillah.