Patriotisme atau Cinta tanah air itu, lebih dari sekadar pin bendera atau slogan doang, bro/sis. Itu komitmen yang dalem banget, yang awet, buat negara kita dan nilai-nilainya. Beda ama nasionalisme yang seringnya muji-muji negara tanpa peduli kelakuannya kayak apa, patriotisme itu justru pengen negara kita jadi yang terbaik sesuai idealnya. Patriot itu sadar kalau negara ada kurangnya, tapi doi pengen banget benerin buat kebaikan bersama.
Dalam Patriotism and Public Spirit: Edmund Burke and the Role of the Critic in Mid-Eighteenth-Century Britain (2012, Stanford University Press) karya Ian Crowe, konsep patriotisme modern itu sebenernya lahir di Inggris abad ke-18, bukan muncul tiba-tiba bareng soundtrack perang atau poster propaganda. Waktu itu, Inggris lagi rame-rame soal politik: pemerintah mulai dianggep korup, kekuasaan terlalu dominan, dan banyak orang mulai mikir, “Eh, negara ini mau dibawa ke mana sih?”
Di tengah situasi itu, muncul tokoh-tokoh kayak Edmund Burke—semacam influencer politik zaman dulu—yang bilang: “Patriot sejati itu bukan yang asal ngedukung pemerintah, tapi yang berani kritik demi kebaikan negara.” Patriotisme menurut Burke bukan sekadar cinta buta, tapi tanggungjawab moral buat jaga nilai-nilai dasar bangsa, kayak keadilan, kebebasan, dan akal sehat.
Waktu itu, orang-orang juga lagi mulai move on dari zaman kerajaan feodal—yang loyalnya ke raja atau bangsawan—menuju era baru: negara bangsa alias nation-state. Nah, pas transisi inilah patriotisme jadi kayak jembatan emosional antara identitas pribadi sebagai warga negara dan struktur negara modern.
Beda sama nasionalisme yang selalu ngomong “negara gue paling bener,” patriotisme awalnya lebih chill: semangatnya itu kritis tapi cinta, kayak fans bola yang dukung timnya tapi tetap bisa bilang, “Coach-nya salah strategi nih.”
Kalo ditanya: “Patriotisme itu muncul kapan dan kenapa?” Jawabannya: muncul di Inggris abad ke-18, sebagai reaksi terhadap korupsi politik dan buat memperkuat identitas warga negara yang nggak cuma nurut, tapi juga mikir dan peduli. Patriotisme bukan tentang bendera doang, tapi tentang menghidupkan nilai-nilai yang bikin negara pantas dicintai.
Dalam The True Patriot (2007, Sasquatch Books), Eric Liu dan Nick Hanauer ngajak kita buat nge-redefinisiin arti patriotisme zaman now. Mereka bilang, patriotisme tuh bukan sekadar nyanyi lagu kebangsaan atau pasang bendera doang, apalagi cuma teriak “NKRI harga mati” tanpa ngerti maksudnya. Buat mereka, jadi patriot sejati itu tentang rasa tanggungjawab bareng-bareng, keadilan, dan aksi nyata buat bangsa—not cuma omdo.
Menurut Liu dan Hanauer, patriot sejati itu yang mikirin bukan cuma dirinya sendiri, tapi juga tetangga dan seluruh rakyat. Jadi bukan gaya "yang penting gue selamat", tapi lebih ke “kalau loe jatuh, gue bantu angkat.” Negara yang kuat tuh negara yang saling jaga dan saling dukung, bukan yang ngebiarin sebagian warganya ketinggalan.
Mereka juga bilang, keadilan itu wajib hukumnya. Kalau ada sistem ekonomi atau hukum yang cuma nguntungin segelintir orang kaya doang, itu nggak patriotik. Justru yang cinta negeri inilah mereka yang berjuang biar semua orang punya kesempatan yang adil—yang bikin semua warga punya akses buat hidup layak, sekolah bagus, dan kerjaan yang manusiawi.
Dan yang paling penting: patriotisme bukan buat disimpan di bio medsos, tapi harus diwujudin dalam aksi nyata. Ikut pemilu, diskusi dengan kepala dingin, protes kalau ada yang salah, bantu komunitas, dan peduli sama isu-isu yang ngaruh ke hidup banyak orang. Jadi warga negara yang aktif dan melek demokrasi, bukan yang apatis dan cuma bisa nyinyir di internet.
Singkatnya, The True Patriot ngajarin kita bahwa cinta tanah air itu bukan tentang simbol-simbol kosong, tapi soal nurani, keadilan, dan aksi. Liu dan Hanauer ngajak kita semua buat jadi warga negara yang bukan cuma bangga jadi orang Indonesia atau Amerika, tapi yang beneran ikut bangun negara ini bareng-bareng, biar makin adil dan keren buat semua orang.
Seperti kata sejarawan Timothy Snyder dalam karyanya "On Tyranny" (2017, Tim Duggan Books), patriotisme itu bukan berarti loyal buta atau cuma gestur simbolis. Ia soal pengabdian, tanggungjawab, ama keberanian moral. 'Seorang patriot,' tulis Snyder, 'pengen negaranya sesuai sama idealnya... selalu mendoakan yang terbaik—dan pengennya bisa lebih baik lagi.'
Apa sih sebenernya makna cinta tanah air itu? Di zaman sekarang, kata "patriotisme" sering dipakai seenaknya, apalagi di media sosial dan acara politik. Ada yang mengira jadi patriot itu harus bawa bendera ke mana-mana, tereak "NKRI harga mati", atau ikut arak-arakan 17-an tiap tahun. Padahal, cinta negara itu gak mulu soal simbol. Lebih dari itu, patriotisme itu soal tanggungjawab, keberanian berbicara jujur, dan ngeusahain bikin negara ini lebih baik dari hari ke hari.
Sebelum ngomongin apa itu patriotisme, kita bisa mulai dari apa yang bukan dibilang patriotisme. Dalam karyanya On Tyranny, sejarawan Timothy Snyder tegas bilang: nggak bisa dibilang patriot kalau loe ngibrit pas disuruh wajib militer, tapi belakangan malah ngejek para veteran perang. Patriotisme juga nggak ada hubungannya sama ngeledek pahlawan perang, nolak bayar pajak, atau main bisnis tapi diskriminasi sama tentara aktif. Dan jelas bukan patriot kalau minta bantuan negara asing buat menang pemilu—apalagi menyelaraskan kepentingan seseorang dengan rezim otoriter seperti Vladimir Putin atau Bashar al-Assad.
Patriot sejati justru orang yang mau negaranya maju dan hidup sesuai nilai-nilai luhur: keadilan, kebebasan, dan tanggungjawab. Mereka yang mau negara ini jujur dalam kata dan tindakan. Seperti yang ditulis Snyder, “Seorang patriot ingin negaranya hidup sesuai idealismenya. Itu berarti doski ngedorong kita jadi versi terbaik dari diri kita.” Jadi, patriotisme bukan soal pura-pura negara ini sempurna. Tapi soal kita mau jujur, bahwa masih banyak yang kudu dibenahin—dan kita siap ikut turun tangan.
Patriotisme juga nggak milik satu kelompok doang. Bukan cuma urusan tentara, pejabat, atau orang terkenal. Guru, buruh, anak kuliahan, tukang ojek, emak-emak pasar—semuanya bisa jadi patriot. Caranya? Sesimpel ikut pemilu, buang sampah pada tempatnya, bantu tetangga, ikut aksi damai, atau speak up waktu ada ketidakadilan. Patriotisme itu hadir di hal-hal kecil yang berdampak besar.
Dan biasanya, patriotisme paling kelihatan justru pas negara lagi krisis. Bisa pas pandemi, krisis ekonomi, atau waktu demokrasi mulai digerogoti hoaks dan politisi toxic. Di momen kayak gitu, patriot sejati muncul—bukan buat cari panggung, tapi buat jaga nalar publik dan ingetin bahwa negara ini milik semua, bukan segelintir elite.
Dalam Love of Country: A Hebridean Journey (2016, Granta Books), Madeleine Bunting ngajak kita mikir ulang: sebenernya, cinta tanah air itu kayak gimana sih—kalau bukan versi lebay yang penuh teriakan nasionalisme norak ala jingoisme?
Lewat perjalanannya ke kepulauan Hebrides nan sunyi dan penuh sejarah, Bunting ngajarin kita kalau cinta tanah air tuh gak harus teriak "merdeka!" tiap hari atau ngegas tiap ada kritik soal negara. Justru, cinta yang sejati itu tenang, dalam, dan penuh refleksi. Bukan cinta yang pura-pura sempurna, tapi cinta yang siap nerima masa lalu negara, termasuk bagian-bagian gelapnya—kayak penjajahan, pengusiran rakyat kecil, sampai kerusakan alam.
Di setiap pulau yang doski datengin, Bunting nyari cerita-cerita yang sering dilupain sejarah resmi—tentang orang-orang yang dimarginalkan, kayak komunitas Gael, yang dulu digusur atau dibungkam. Buat doski, dengerin kisah-kisah kayak gini itu bentuk cinta yang paling tulus: cinta yang mau denger, ngerti, dan enggak cuma nelen narasi nasional yang udah dipoles biar keliatan keren.
Cinta tanah air, menurut Bunting, bukan soal pasang bendera di motor atau spam status “aku bangga jadi [nama negara]”. Ini soal peduli beneran: kayak rawat alamnya, jaga budaya aslinya, ngerti sejarahnya, dan nggak gengsi ngakuin kesalahannya. Ini bukan cinta yang naif, tapi cinta yang dewasa—yang bisa bilang, “Negara ini punya banyak keindahan, tapi juga banyak PR.”
Esensinya, Bunting ngajarin kita bahwa mencintai tanah air itu bukan soal menutup mata dan ngegas terus tiap negara dikritik. Tapi soal punya hati dan akal buat ngelihat negara kita apa adanya—dengan segala keindahan, kepelikan, dan lukanya—dan tetep mau jagain dan bangun masa depannya bareng-bareng. Cinta yang bukan sekadar posesif, tapi cinta yang mikir panjang.
Trus, dimana sih patriotisme itu terjadi? Jawabannya: dimana-mana. Di bilik suara, ruang kelas, rumah, jalanan, bahkan di kolom komentar mesos. Patriotisme bukan soal ikut upacara bendera tiap Senen aja, tapi soal gimana kita memperlakukan sesama warga dengan hormat dan adil. Lalu, kenapa orang mau jadi patriot? Banyak alasannya. Ada yang karena cinta budaya dan sejarah negaranya, ada yang karena nilai moral, agama, atau sekadar pengin hidup di tempat yang lebih baik buat anak-cucunya nanti. Tapi satu benang merahnya: patriotisme itu nggak egois. Ia menuntut kita mikir jauh ke depan, mikir bareng, dan mikir soal sesama.
Nah, penting banget nih: patriotisme beda banget sama nasionalisme. Kata Snyder, nasionalisme itu gampang banget bikin kita ngerasa paling benar, paling unggul, terus nutup mata dari kenyataan. Nasionalis itu suka banget bilang “kita paling hebat,” padahal kelakuannya bikin malu. Patriot? Justru kebalikannya. Doski pingin negara ini berubah ke arah yang lebih baik, walau kadang harus ngomong hal-hal yang nggak enak didengar.
Dalam karyanya The Idea of Nationalism: A Study in Its Origins and Background (1944), Hans Kohn ngajarin kita kayak dosen sejarah yang suka nonton Netflix—jelas, detail, tapi tetap punya drama. Doski bilang, nasionalisme modern itu bukan sesuatu yang udah ada dari zaman purba kayak dinosaurus atau kerajaan Mesir kuno. Enggak. Nasionalisme modern itu baru benar-benar muncul di abad ke-18 dan ke-19, gara-gara pencerahan Eropa (alias Enlightenment), revolusi industri, dan perubahan sosial-politik yang bikin dunia kebalik kayak plot twist di drama Korea.
Nah, menurut Kohn, dulu orang-orang itu lebih “patriotik” daripada “nasionalis”. Patriotisme itu kayak rasa sayang loe sama kampung halaman, loe bangga jadi warga kota tertentu, atau loe cinta sama negara loe karena nilai-nilai dan sejarahnya. Simpel, penuh emosi, dan nggak ribet mikirin suku atau ras. Tapi ketika dunia mulai mikir lebih ideologis, muncul deh nasionalisme, yang lebih kayak fandom besar: loe gabung bukan cuma karena suka, tapi karena loe ngerasa satoe darah, satoe bahasa, satoe sejarah, satoe nasib. Jadi bukan sekadar “gue cinta negeri ini,” tapi “negeri inilah identitas gue, dan semua orang yang bukan bagian dari ini... ya, bukan kita.”
Kohn juga kasih tahu, ada dua “genre” nasionalisme: versi Barat dan versi Timur. Di Eropa Barat, kayak Prancis dan Inggris, nasionalisme itu lahir barengan ama ide-ide demokrasi, HAM, dan konstitusi. Jadi walaupun mereka nasionalis, masih ada logika, debat, dan ruang untuk beda pendapat—kayak Marvel: rame, tapi masih ada plot. Tapi di Eropa Timur dan Tengah, nasionalismenya lebih emosional dan dramatis—penuh luka sejarah, minder, dan ketakutan dihapus dari peta budaya. Makanya lebih mirip sinetron yang penuh adegan nangis dan balas dendam, bahkan kadang jadi eksklusif atau anti orang luar.
Buat Kohn, nasionalisme itu bukan “kodrat manusia”, tapi buatan manusia—produk sejarah, politik, dan ideologi. Doski agak curiga ama nasionalisme karena sering dipakai buat nutup-nutupin perebutan kekuasaan, tapi dibungkus pakai jargon “cinta bangsa”. Menurut doi, patriotisme masih bisa jalan bareng demokrasi dan perbedaan, tapi nasionalisme—apalagi yang lebay dan eksklusif—bisa berujung ke diskriminasi, konflik, bahkan otoritarianisme.
Des, kata Kohn, nasionalisme itu kayak pedang bermata dua: bisa bikin orang bersatu, tapi juga bisa jadi alasan buat benci-bencian. Dan kalau nggak hati-hati, nasionalisme bisa berubah dari semangat kebangsaan jadi toxic fandom yang nggak mau orang lain beda pendapat.
Kalimat George Orwell juga nyentil banget: nasionalis itu “nggak cuma tutup mata soal kekerasan yang dilakukan kelompoknya, tapi seringkali malah nggak mau tahu sama sekali.” Nasionalisme itu soal kekuasaan dan ego. Patriotisme, sebaliknya, soal nilai moral dan keberanian menghadapi kenyataan.
Bayangin, loe punya fandom—entah itu K-pop, sepak bola, atau tim eSports favorit. Loe ngefans banget, sampai semua yang mereka lakuin menurut loe keren, meskipun kadang jelas-jelas mereka keliru. Nah, menurut George Orwell, nasionalisme itu mirip kayak fanatisme semacam itu, tapi levelnya lebih dalam dan sering lebih berbahaya.
Dalam esainya yang bertajuk "Notes on Nationalism" (1945), Orwell bilang bahwa nasionalisme bukan cuma soal cinta tanah air. Itu beda. Kalo patriotisme itu kayak loe cinta ama kampung halaman—tenang, nggak merasa perlu maksa orang lain buat ngikutin gaya hidupmu—nasionalisme itu kayak loe ngegas terus demi ngebela kelompok loe, apapun yang terjadi.
Buat Orwell, nasionalisme bisa nempel ke apa aja: negara, agama, ideologi, bahkan klub atau partai politik. Yang penting, loe ngebela mati-matian grup itu. Loe mulai ngeliyat dunia kayak ajang adu gengsi—siapa yang menang, siapa yang kalah. Dan yang parahnya, loe jadi suka ngebelain yang salah, asal itu kelompok loe. Misalnya, kalau grup loe bikin kekacauan, loe pura-pura nggak lihat. Tapi kalau musuh loe yang salah, loe blow-up kayak headline infotainment.
Orwell juga nyentil soal “double standard”. Nasionalis sejati itu bisa bilang A hari ini dan Z besok, tergantung siapa yang ngelakuin. Mirip kayak netizen yang bela idola kalau kena skandal, tapi nyerang artis lain yang kena kasus serupa. Kebenaran jadi nomor dua; yang penting, geng gua kudu selalu kelihatan paling benar.
Yang menarik, nasionalisme ini nggak harus soal kelompok yang kuat. Kadang justru datang dari mereka yang terpinggirkan. Contohnya? Grup-grup yang merasa selalu jadi korban sejarah, lalu mereka terus-menerus hidup dalam narasi penderitaan dan dendam. Orwell bilang, meskipun mereka nggak punya kekuasaan, obsesi buat ngebela kelompoknya bisa sama keras dan butanya.
Orwell khawatir, nasionalisme bikin orang berhenti mikir jernih dan ngematiin critical thinking. Loe jadi rela bohong, tutup mata, bahkan ngebelain kekerasan—asalkan itu demi kelompok loe. Buat Orwell, itu bahaya banget. Nasionalisme bisa ngebunuh nurani, bikin kita lupa mana benar mana salah, karena semuanya udah ditelen sama ego kolektif.
Patriotisme bukan cuma tentang mencintai negara dalam bentuk simbolik atau defensif, tapi tentang mengambil tanggungjawab untuk memperbaiki dan membangun.
Dalam konteks bernegara, seorang patriot adalah orang yang percaya bahwa dirinya punya peran dalam membuat negaranya lebih baik—meskipun kecil. Dalam konteks individu, patriot itu berani ambil kesempatan, berani mencoba, dan yakin bahwa perubahan bisa dimulai dari diri sendiri. Loe bisa bikin perubahan, bisa berkontribusi, bisa berdiri untuk nilai-nilai yang loe yakini. Karena, seperti yang Snyder bilang, patriot itu orang yang pengin negaranya hidup sesuai idealnya—dan ideal itu nggak bakal kejadian kalau kita cuman diem aja.
Coba perhatikan lirik tembang berikut:
"And if you ask me to, Daddy's gonna buy you a Mockingbird, I'ma give you the world, I'ma buy a diamond ring for you, I'ma sing for you, I'll do anything for you to see you smile." [Dan kalau kamu minta, Ayah bakal beliin kamu seekor burung ajuk-ajuk, Ayah bakal kasih kamu dunia, Ayah beliin cincin berlian buatmu, Ayah bakal nyanyiin lagu, Ayah bakal lakukan apa aja demi lihat kamu tersenyum.]
Lirik tembang Mockingbird karya Eminem ini, secara eksplisit memang tentang cinta dan pengorbanan seorang ayah untuk anaknya, tapi kalau kita kupas lebih dalam dan tarik ke konteks patriotisme, bisa sebagai pengorbanan dan kasih sayang terhadap generasi berikutnya.
Lirik ini menggambarkan cinta yang tulus dan siap berkorban demi kebahagiaan anak. Dalam konteks patriotisme, kita bisa tafsirkan bahwa seorang patriot sejati punya cinta yang sama besar terhadap bangsanya dan generasi masa depan. Ia rela bekerja keras, berkorban, bahkan melawan arus, bukan demi keuntungan pribadi, tapi demi melihat negaranya "tersenyum"—maju, adil, dan damai.
Bayangkan jika lirik ini diucapkan bukan oleh seorang ayah kepada anak, tapi oleh seorang warga negara kepada bangsanya:
"Kalau loe butuh, gua bakal ngelakuin apa aja. Gua bakal berjuang, bakal memberikan yang terbaik yang gua bisa, hanya supaya loe—negaraku—tersenyum dan bahagia."
Ini bukan patriotisme yang agresif atau simbolik, tapi yang penuh kasih. Ini bentuk patriotisme yang lembut, penuh empati, dan berorientasi pada masa depan. Sebuah cinta tanah air yang nggak cuma bicara soal "berperang demi negara", tapi juga soal memberi harapan, stabilitas, dan masa depan yang layak buat generasi mendatang."
Intinya, mencintai negeri itu nggak bisa cuma dengan slogan dan selfie pakai bendera. Patriotisme itu tentang jadi warga negara yang waras—yang peduli, kritis, dan ikut turun tangan. Patriot sejati bukan yang bilang “tenang aja, hal buruk nggak bakal kejadian di sini.” Tapi yang bilang, “hal buruk bisa banget kejadian di sini—dan kudu kita cegah bareng-bareng.”
Seperti Eminem yang ingin memberikan dunia pada anaknya, seorang patriot sejati juga pingin ngasih yang terbaik buat bangsanya. Bukan demi kejayaan pribadi, tapi demi melihat bangsanya tersenyum."