Minggu, 25 Mei 2025

Identik ≠ Otentik: Tapi Kok Dibilang Original?

Di sebuah museum, ada dua patung berdiri berdampingan. Yang satu udah tua, patung Yunani kuno yang retak-retak, ada bagian yang aus. Satunya lagi baru dibuat—kinclong, mulus, kayak baru keluar dari showroom.
Seorang pengunjung nanya ke pemandu, “Kenapa yang rusak itu lebih mahal? Bentuknya kan identik.”
Sang pemandu senyum dan jawab, “Iya, bentuknya sih sama. Tapi yang tua itu bawa cerita ribuan tahun, tangan seniman zaman dulu, sejarah manusia. Itu yang bikin dia otentik. Yang baru? Cuma tiruan. Gak punya jiwa.”

Kata "identik" dan "otentik" tidaklah sama, meskipun sekilas keduanya mungkin tampak mirip. Kedua kata ini memiliki makna yang berbeda dan digunakan dalam konteks yang berbeda pula. Ketika kita mengatakan bahwa dua hal identik, artinya kedua hal tersebut sama persis dalam setiap detailnya—tidak ada perbedaan sama sekali. Misalnya, anak kembar identik memiliki penampilan yang hampir tidak bisa dibedakan, atau dua dokumen dapat disebut identik jika isinya benar-benar sama, kata demi kata.
Sebaliknya, ketika sesuatu disebut otentik, fokusnya bukan pada kesamaan, melainkan pada keaslian dan asal usul yang benar. Menyebut sesuatu otentik berarti ia asli, bukan tiruan atau palsu, dan memang benar-benar berasal dari sumber yang diklaim. Misalnya, tanda tangan dikatakan otentik jika benar-benar ditulis oleh orang yang namanya tertera, meskipun mungkin tanda tangan itu berbeda dengan yang lain.
Kedua kata ini menunjukkan sifat yang berbeda. Dua benda bisa saja identik tetapi tidak otentik, seperti barang palsu yang terlihat sama persis namun bukan yang asli. Sebaliknya, sesuatu bisa otentik namun tidak identik dengan apa pun yang lain, seperti karya seni asli yang dibuat secara unik dengan tangan.

Dalam Semantics karya John I. Saeed (edisi ke-4, 2015, Wiley-Blackwell), perbedaan kata semisal antara "identik" dan "otentik" itu bukan cuma soal kamus, tapi soal gimana makna itu bisa ngebentuk cara kita ngomong dan nangkep pesan orang lain. Saeed jelasin bahwa semantik itu nggak sekadar definisi harfiah, tapi juga tentang gimana kata-kata menyimpan makna konsep yang lebih dalam—yang kadang tersirat, bukan tersurat.
Nah, contoh paling gampang: dua sepatu yang kelihatan sama persis. Kita bisa bilang, “Ini sepatu identik,” karena bentuk, warna, desainnya plek ketiplek. Tapi pas kita bilang, “Yang ini doang yang otentik,” tiba-tiba maknanya naik level. Sekarang bukan soal penampilan lagi, tapi soal asli atau bukan, ada cerita di baliknya atau cuma tiruan.
Menurut Saeed, ini masuk ke bahasan sense relations dan konotasi. Maksudnya, dua kata bisa nunjuk ke hal yang mirip, tapi rasa dan maknanya beda jauh. “Identik” itu kayak ngomongin kemasan, sedangkan “otentik” itu ngomongin isi dan nilai historis, emosional, bahkan budaya.
Saeed juga bahas soal prototype theory. Ini kayak kalau kita mikir “Rolex”—yang muncul di kepala kita tuh Rolex asli, mewah, warisan, bukan yang dijual 300 ribu di marketplace. Jadi, walaupun barang KW itu “identik” bentuknya, yang “otentik” tetap punya posisi khusus dalam pikiran kita karena dia nyambung ke prototype-nya.
Intinya? Di dunia komunikasi, beda tipis antara “identik” dan “otentik” bisa ngubah banget cara orang nangkep maksud loe. Makanya, kata Saeed, semantik itu powerful banget. Kata-kata bukan cuma soal kelihatan sama, tapi soal makna yang bikin kita percaya atau enggak. Dan di era sekarang—apalagi di medsos—perbedaan kecil ini bisa jadi viral atau malah bikin salah paham.

Dalam Words and Their Meaning karya Howard Jackson (2003, Routledge), dijelaskan bahwa makna kata itu bukan barang mati—ia fleksibel, bisa berubah, dan terbentuk dari cara kita make bahasa sehari-hari. Jackson bilang, makna itu bukan cuma soal definisi di kamus (denotasi), tapi juga soal rasa yang dibawa kata itu (konotasi), dan gimana kata itu dipakai dalam konteks nyata (pragmatik). Jadi, walaupun dua kata kelihatannya mirip—kayak identik dan otentik—bukan berarti mereka tukeran peran begitu aja.
Misalnya gini: identik tuh ngomongin dua hal yang plek ketiplek—bentuknya sama, ukurannya sama, kelihatan dari luar tuh serasa copy-paste. Tapi otentik? Itu beda cerita. Itu bukan soal kesamaan, tapi soal keaslian, tentang darimana asalnya, apakah itu “yang sebenarnya,” dan punya nilai atau enggak. Ini sesuai sama yang Jackson sebut sebagai kategori pragmatik—makna yang muncul bukan dari bentuknya, tapi dari cara kita nganggep dan make kata itu.
Jackson menekankan bahwa otentik itu kayak punya aura sosial. Misalnya loe beli vinyl album The Beatles, terus loe dapet yang emang cetakan asli tahun 60-an—itu otentik. Tapi kalau loe dapet versi reissue atau bajakan, walaupun bentuk dan lagunya sama (identik), feel dan nilainya beda jauh. Soalnya otentik itu soal kepercayaan, sejarah, dan pengakuan dari komunitas. Doski bukan cuma "kelihatan asli," tapi "diakui sebagai asli."
Nah, Jackson juga ngomongin tentang yang namanya semantic fuzziness alias "makna yang gak saklek". Dalam dunia nyata, kata-kata itu seringkali punya batasan yang blur. Kayak otentik, dia lebih ke arah “ini yang seharusnya”—ada rasa nilai dan harapan di dalamnya. Sedangkan identik itu cuma fakta: "Ya ini bentuknya sama."
Intinya? Menurut Jackson, kata itu gak berdiri sendiri kayak patung lilin. Mereka hidup, bernafas, dan berubah sesuai dengan siapa yang ngomong, kapan, dan dalam konteks apa. Dan beda tipis antara kata-kata kayak identik dan otentik bisa ngasih gambaran yang dalem soal cara kita melihat dunia—entah itu barang, cerita, atau bahkan seseorang.

Menurut The Oxford Dictionary of English Etymology yang disusun oleh C.T. Onions (1966, Oxford University Press), kata “identical” itu asalnya dari bahasa Latin identitas, yang akarnya adalah idem, artinya “yang sama.” Nah, kata ini punya vibe yang kaku dan matematis banget—pokoknya dua hal dianggap identik kalau mereka bener-bener plek ketiplek tanpa beda sedikit pun. Kayak copy-paste level dewa, gitu. Nggak ada ruang buat interpretasi. Kalau dua hal “identical,” berarti secara bentuk, ukuran, warna, dan semua variabel lainnya, mereka sama persis.
Sedangkan kata “authentic” punya asal-usul yang jauh lebih emosional dan filosofis. Datangnya dari bahasa Yunani authentikos, yang berarti “asli, otoritatif.” Lebih dalam lagi, kata itu berasal dari authentes, gabungan dari autos (diri sendiri) dan hentes (pelaku). Jadi, authentic itu literally berarti sesuatu yang dilakukan atau dibuat oleh “diri sendiri” alias yang original, bukan jiplakan atau buatan massal.
Perbedaan akar kata ini menunjukkan dua cara pandang yang beda banget tentang dunia. Kata identical dari Latin itu kayak cara berpikir robot: selama semua datanya match, ya dianggap sama. Tapi authentic dari Yunani itu lebih kayak cara berpikir manusia yang punya rasa: “Ini bukan cuma soal mirip, tapi soal dari mana asalnya, siapa yang bikin, dan apa niatnya.”
Makanya, walau dua sepatu bisa identik—warnanya sama, jahitannya sama, bentuknya juga sama—belum tentu dua-duanya authentic. Yang satu mungkin buatan pabrik asli Nike, yang satunya buatan pabrik KW di pinggiran. Nah, sepatu yang authentic punya cerita, punya asal-usul, dan diakui sebagai “yang asli.” Dan itu nggak bisa dipalsuin cuma dengan meniru tampilan luarnya doang.
So, kalo identical itu ngomongin hal-hal yang bisa loe ukur dan bandingkan kayak scientist, authentic itu lebih deep—ngomongin rasa, kepercayaan, dan jati diri kayak anak indie yang nyari makna hidup lewat lagu-lagu akustik. Dua-duanya penting, tapi mainnya di ranah yang beda. Yang satu soal sama, yang satu soal asli.

Dalam Pragmatics, George Yule ngejelasin bahwa makna kata itu gak cuma soal arti di kamus, tapi juga dipengaruhi banget ama konteks dan niat sang pembicara. Jadi, dua kata yang kelihatannya mirip—kayak authentic dan identical—sebenarnya bisa punya peran komunikasi yang beda banget, tergantung gimana dan buat apa kata itu dipake.
Misalnya, kalau loe bilang sesuatu itu authentic, loe sebenernya lagi ngasih penilaian emosional dan sosial. Loe bukan cuma bilang “ini mirip sama aslinya,” tapi loe juga kayak bilang, “ini jujur,” “ini berkelas,” atau “ini punya nilai sejarah atau budaya.” Jadi, pas lo bilang, “Ini nasi goreng autentik ala kampung,” yang loe maksud bukan cuma rasanya mirip, tapi ada feel dan nilai lokal yang nempel di situ. Kayak loe lagi ngasih seal of approval secara budaya dan emosional.
Nah, beda sama kata identical. Kalau lo bilang dua hal itu identik, ya itu cuma pernyataan fakta. Udah, titik. Misalnya, “Dua kaos ini identik”—artinya bentuknya sama, ukurannya sama, warnanya sama. Gak ada unsur “apakah ini asli” atau “apakah ini punya nilai khusus.” Ini cuman soal visual match, kayak ngadu dua benda di game “Spot the Difference”—dan ternyata gak ada bedanya.
George Yule ngajarin bahwa kata-kata itu bukan cuma alat buat ngomong, tapi juga alat buat “melakukan sesuatu.” Nah, pas loe bilang sesuatu itu authentic, loe sebenernya lagi melakukan tindakan sosial—mungkin loe lagi berusaha meyakinkan orang lain, nunjukin selera, atau ngebangun kesan bahwa loe paham soal budaya. Kata itu jadi semacam kode yang punya makna tersembunyi: loe lagi ngasih pernyataan sikap, bukan sekadar laporan netral.
Sementara itu, kalau loe pake kata identical, biasanya itu cuma buat ngasih tahu secara netral, kayak laporan hasil pengamatan—gak ada emosi, gak ada opini, kayak loe lagi main jadi juri lomba cosplay yang cuma fokus sama akurasi kostum.
Intinya, menurut Yule, perbedaan antara authentic dan identical itu bukan sekadar perbedaan arti di permukaan. Tapi juga perbedaan dalam cara ngomong dan efek yang mau dicapai. Yang satu (authentic) itu personal dan penuh makna sosial, yang satu lagi (identical) itu teknis dan objektif.
Dalam pandangan Brené Brown, seorang peneliti yang dikenal luas karena karyanya tentang keberanian, kerentanan, dan keaslian diri, menjadi otentik itu bukan perkara instan atau bawaan lahir. Dalam bukunya The Gifts of Imperfection, ia menulis bahwa keotentikan adalah serangkaian pilihan sadar yang kita buat setiap hari. Maksudnya, kita harus terus memilih untuk hadir sebagai diri sendiri, bukan versi editan yang disesuaikan dengan ekspektasi orang lain. Dalam gaya pop kultur, ini kayak loe memutuskan buat tampil di dunia nyata atau media sosial tanpa filter, tanpa script, tanpa overthinking, dan dengan niat tulus buat jadi versi paling jujur dari diri loe—bukan buat dapet likes, tapi karena loe udah berdamai sama siapa diri lo sebenarnya. Loe gak lagi ngejar approval, tapi lagi ngejar koneksi yang real. Brené ngajarin kita bahwa keaslian bukan soal gaya, tapi soal keberanian buat ngomong, “Ini gue, dan gue nggak pura-pura.”

Sementara itu, Albert Einstein, selain dikenal sebagai bapak teori relativitas, juga punya banyak pemikiran mendalam soal cara manusia berpikir. Salah satu kutipan terkenalnya berbunyi, “No problem can be solved from the same level of consciousness that created it.” Ini bukan cuma soal fisika, tapi juga tentang kehidupan secara umum. Maksudnya begini: kalau kita menghadapi masalah, terus cara mikir kita sama persis kayak waktu kita bikin masalah itu, ya jelas gak bakal ada solusi. Dalam bahasa sehari-hari ala pop kultur, ini kayak loe terus-terusan pacaran sama tipe yang sama, diulang-ulang, tapi berharap hasilnya beda. Atau loe nonton drama yang sama tapi berharap ending-nya berubah. Gak bisa, Bro. Einstein mau bilang bahwa berpikir secara identik atau terlalu mirip sama yang lama, justru bikin kita nyangkut. Untuk benar-benar berubah atau berkembang, kita harus berani mikir beda, keluar dari template lama, dan kadang ya—melawan autopilot kita sendiri.

So, kalau digabung, pesan dari dua tokoh ini bisa dirangkum begini: jadi otentik itu perjuangan sehari-hari buat jadi diri sendiri tanpa topeng, sedangkan berpikir identik itu jebakan nyaman yang sering bikin kita stagnan. Dunia gak butuh duplikat, dunia butuh kejujuran. Kadang solusi datang bukan dari yang “serupa”, tapi dari keberanian buat jadi “sejujurnya”. 
Dan sebagai penutup, berikut sebuah cerita:
Raka baru aja dapat gaji pertama. Sebagai fans berat sneakers, doski udah lama naksir Nike Air Jordan yang katanya dipakai Travis Scott. Suatu hari, doi nemu toko online yang jual Air Jordan “mirip asli” dengan harga cuma seperempat dari official store.
Sepatunya cakep banget di foto. Pas barang datang, beneran keren! Bahkan temen-temennya bilang, “Wah, bro! Jordannya keren banget, identik ama yang dipake seleb!”
Tapi ada satu temennya, Dani, yang langsung ngelirik detail kecil—jahitan, kode produksi, dan bau solnya (iya, yang begini emang sneakerhead sejati). Dia cuman bilang, “Keren sih, tapi ini bukan otentik.”
Raka sempat ngebantah, “Tapi kan tampilannya sama aja? Identik, bro!”
Dani senyum santai, “Iya, kelihatannya sih identik. Tapi otentik itu bukan soal penampilan doang. Ada nilai, ada sejarah, ada kejujuran di baliknya. Sama kayak loe beli pengalaman, bukan cuma barang.”
Akhirnya, Raka sadar. Doi tetep pake sepatu itu buat nongkrong, tapi di dalam hati doi ngerti: jadi identik belum tentu berarti otentik. Kadang yang asli itu enggak cuma soal bentuk, tapi soal cerita yang dibawa.