Seorang anak jalanan di Tatar Pasundan berkata: “Bro, bayangin, lagi main ‘Dilan 1991,’ tapi Dilan nggak datang buat bikin ngocol, malah dikurung di barak. Gak ada seblak, gak ada curhat bareng teman, apalagi wifi buat update status. Kita butuh kelas musik, workshop grafiti, dan kesempatan nge-explore mimpi-mimpi kita, bukan disuruh baris-berbaris ala tentara.
Gue cuma anak kecil yang kebetulan hidup di jalan. Gue bukan kriminal. Tapi pas ada mobil aparat datang, gue ditarik, dimasukin ke barak. Katanya buat “pembinaan.” Tapi kok rasanya kayak dimasukin ke interniran alias penjara?
Gak ada mainan, gak ada sekolah, gak ada teman. Cuman baris-berbaris, duduk diam, dan dengerin omelan. Bahkan kadang gue ngeliat temen gue dimarahin atau ditarik kasar. Gue takut.
Kenapa gak ada yang nanya, “Kamu lapar?” atau “Kamu pengen sekolah?”
Kalau gue boleh mimpi, gue pengen tempat yang bisa belajar sambil gambar. Tempat yang ada wifi-nya, ada buku, dan ada orang yang senyum kayak di film "Keluarga Cemara."
Tolong, jangan anggap kami beban. Kami cuma belum dapat panggung. Jangan jebloskan kami ke barak, beri kami harapan."
Seorang aktivis sosial Indonesia menyuarakan: “Sobat, anak-anak ini bukan side-kick di film ‘Laskar Pelangi’ yang cuma muncul untuk foto grup. Kita butuh barak berkonsep ‘Wonderland’—tempatnya fun, ada konselor, guru kreatif, dan support system kuat. Kebijakan yang menutup suara anak sekarang tuh udah ketinggalan jaman, bro. Saatnya bangun community hub, reintegrasi keluarga, dan genuinely empower mereka. Baru deh kita semua winning.
Hei, pemangku kebijakan! Ini tahun 2025, bukan zaman kolonial. Anak-anak bukan tahanan negara. Mereka korban—dari kemiskinan, kekerasan, dan sistem yang gagal.
Kebijakan membawa anak ke barak dengan dalih “disiplin” itu cuma solusi tempelan. Ibarat nutup luka dalam hanya dengan tensoplast. Kalau anak-anak dibuang ke tempat asing, tanpa kasih sayang, tanpa pendidikan, dan tanpa harapan, itu bukan pembinaan—itu pembiaran dalam format resmi.
Mereka perlu shelter yang ramah, bukan tempat intimidatif. Bukan barak, tapi rumah transisi. Tempat dimana anak bisa diajak bicara, bukan dibentak.
Kalau kebijakan ini hanya buat "biar nampak tegas" di kamera, lebih baik simpan saja dramanya. Anak-anak gak butuh panggung politik—mereka butuh masa depan."
"Fakta bahwa diktator tukang pencitraan sok-sokan jadi demokrat itu bukti mereka gak punya visi beneran buat ditawarin," tulis Sergei Guriev dan Daniel Treisman dalam buku mereka Spin Dictators.
Mereka melanjutken: "Gaya diktator pencitraan ini memang lagi ngetren belakangan, tapi bukan barang baru. Udah ada sejak jaman baheula. Dari era Yunani Kuno, mayoritas tulisan soal tirani fokus ke rezim yang pakai jurus ketakutan. Penguasa ngebunuh, nyiksa, ngejeblosin orang ke penjara, dan terus-terusan ngancam biar rakyat nurut. Mereka ngintilin rakyat kayak stalker dan bikin orang saling curiga.
Aristoteles nyebut trik-trik ini sebagai ‘seni barbar ala Persia.’ Montesquieu nyindir soal 'tangan pangeran yang selalu terangkat,’ siap mukul kapan aja. Katanya, rasa takut itu bikin mental rakyat ambyar—gak ada lagi nyali, apalagi ambisi.
Teori-teori modern kayak Franz Neumann dan Hannah Arendt juga bilang: teror + ideologi = jantungnya kediktatoran modern.
Tapi sejak awal, ada juga pemikir yang sadar: sebenarnya ada gaya lain buat jadi tiran. Selain model ‘penguasa tukang ngamuk’, Aristoteles bilang ada satu lagi tipe: penguasa yang ngaku-ngaku sebagai ‘pengurus dan raja bijak’—katanya sih demi kebaikan bersama.
Doski royal keluarin duit buat 'memperindah kota,' tampil kalem dan sok religius. Tetap tiran, tapi gayanya elegan. Niatnya tetep buat kepentingan sendiri, tapi tampilannya sih 'bukan galak, tapi bermartabat.'
Rakyatnya? Tetep dijajah, tapi mereka gak sadar lagi dijajah.
Lalu muncul Machiavelli yang bilang ke para pangeran: “Pakai akting, bro. Tampilkan pencitraan.” Karena mayoritas orang tuh gampang ketipu ama tampang, bukan realita.
Jadi, penguasa cukup kelihatan baik, gak perlu beneran baik. Cara ngebohongin publik? Tergantung situasi. Tapi satu hal pasti: dapetin dukungan massa itu wajib hukumnya.
Katanya, “Gue cuma mau bilang satu hal: seorang pangeran harus punya rakyat di pihaknya.”
Nah, diktator gaya baru alias spin dictators enni, nurut banget ama saran Machiavelli —mereka niru tipe penguasa ke-2 ala Aristoteles. Mereka kagak main teror. Mereka main ilusi. Bikin rakyat simpati, bukan takut. Tapi tetep, ending-nya: mereka yang pegang kendali. Cuma caranya aja lebih halus. Ada 'aturan main' tersendiri buat jadi bos pakai topeng—betewe, as you know, bos ama pemimpin itu, beda kaan!
Kalo dibanding ama diktator versi jadul, diktator pencitraan itu harus peduli banget sama yang namanya approval rating alias tingkat popularitas," tulis penulis Spin Dictators. "Sesuai saran Machiavelli, mereka bisa ngambil hati rakyat dengan banyak cara. Salah satu yang paling jitu: ekonomi yang kinclong.
Di rezim mana pun, kalau ekonomi cuan, pemimpin biasanya makin dipuja. Dan ini penting banget, jangan sampai dilupakan walau kita bahas cara-cara lain buat naikin popularitas.
Rakyat biasanya mikir, "Oh, ekonomi naik? Berarti pemimpinnya pinter nih, manajerialnya oke." Gak peduli itu demokrasi atau otoriter—kalau pasar lagi naik, semua pemimpin langsung klaim kreditnya.
Tapi masalahnya, gak ada ekonomi yang selalu di atas. Kadang naik, kadang kandas, bahkan nyungsep. Nah, di sinilah plan B-nya para penguasa jalan.
Diktator model lama langsung pakai represi. Kalau ekonomi hancur, mereka bikin rakyat takut buat protes. Pokoknya dibungkam. Sementara diktator pencitraan, walaupun bisa juga berakhir pakai gaya keras (kalau udah kepepet banget), mereka sebenernya males kehilangan popularitas massal.
Jadi, ketika fakta gak ngedukung mereka, mereka gak melawan fakta—mereka memelintirnya.
Jalan pertama mereka adalah mengulik narasi, ngatur opini publik, dan manipulasi informasi. Gak perlu bener-bener amat, yang penting kliyatan bener.
Tenang bro, manipulasi info tuh bukan barang baru. Dulu diktator-diktator jadul udah main beginian. Tapi mereka tuh kayak versi beta—kaku, galak, dan doyan banget 'ma upacara-upacara konyol. Kayak cosplay totalitarian. Kalau diktator jadul itu vibes-nya horor: ideologi ribet, sumpah setia tiap Senin pagi, dan propaganda yang kayak acara horror. Ada juga yang dituduh “brainwash rakyat” level hard.
Nah, sekarang muncul spin dictators—versi upgrade. Lebih smooth, lebih soft, lebih Madison Avenue daripada Mao Zedong. Kalau bisa tipu-tipu pakai desain elegan, ngapain teriak-teriak?
Kontennya? Diktator lama: “Bakar musuh-musuh negara!” Spin dictator: “Kami hadir sebagai solusi berbasis data dan kearifan lokal.”
Fakta bagus? “Kami yang kerja, bro!”
Fakta jelek? “Cuaca ekstrem, globalisasi, oposisi toxic, dan Mercury retrograde.”
Media dikondisikan, kalau nggak bisa ditutupin, tinggal cari kambing hitam. Trus, mereka ngebandingin diri ama “versi musuh imajiner” yang sengaja dibuat nyebelin. Jadi rakyat mikir, “Ya mending doi ketimbang si entu.” Classic toxic comparison move.
Ada (berarti gak semua dong yaa) jurnalis yang loyal banget ama sang penguasa, kerjaannya nge-bully siapa pun yang punya ide beneran bagus. Pokoknya yang melawan = musuh negara + dukun. Wartawan kayak gini, bukanlah kuli tinta sejati, tapi fans berat yang nulis fanfic politik tiap malam. Bedanya, ending-nya selalu: 'Lalu sang pemimpin pun menyelamatkan negeri dengan pidato dan project mercusuar.' Mereka bukan mengabarkan kebenaran, tapi membingkai kenyataan agar sesuai dan pantas dalam pigura kekuasaan. Dulu pena adalah alat mencari makna. Sekarang pena mereka cuma semacam jimat—menolak fakta, mengusir logika, dan mengundang subsidi. Jurnalis sejati mempertaruhkan karier demi kebenaran. Tapi mereka? Mereka mempertaruhkan kebenaran demi undangan makan siang di hotel bintang lima. Mereka menulis bukan mencari kebenaran, tapi menjadikan dusta terasa nyaman. Laksana lilin yang bangga karena meleleh demi menerangi cermin retak di istana.
Dulu mereka itu ditakdirkan jadi anjing penjaga negara—yang siap gonggongin kekuasaan kalau nyerempet bahaya. Sekarang? Mereka malah jadi anjing peliharaan manja, goyang-goyang ekor demi remah-remah kekuasaan, terlalu sibuk jilatin sepatu pejabat buat sempat ngegonggong soal ketidakadilan.
Konon, the Fourth Estate itu tugasnya menantang kekaisaran pakai tinta dan akal sehat. Tapi yang sekarang? Judul berita mereka malah dipakai buat nyemir sepatu raja, terus bilang, “Ini lho, jurnalisme.”
Mereka dilahirkan semestinya buat jadi penerang di sudut-sudut tergelap negeri. Tapi kini, para penulis ini justru matiin lampunya sendiri, terus berlutut di hadapan bayangan, sambil bisik-bisik, “Gelap ini... ada seninya.”
Kalau strategi ini jalan, rakyat bukan cuma nggak takut, tapi malah cinta. Approval rating bisa tembus 60% kayak Putin, bahkan lawan politik pun ngakuin sang bos populer. Gaslighting level negara.
Tapi jangan salah, nggak semua rakyat termakan. Ada kaum “melek”—yang sekolah dan otaknya bener, update berita, ngerti dunia luar. Mereka bisa baca pola dan nyadar: “Ini mah demi kursi, bukan demi negeri.”
Masalahnya, kaum melek ini minoritas. Gak bisa ngelawan sendirian. Butuh backup dari masyarakat umum yang masih sibuk mikirin cicilan dan FYP TikTok.
Jadi yaa gitulah. Kalo loe ngerasa sering bingung kenapa pemimpin toxic bisa disayang masyarakat, jawabannya: propaganda zaman now itu kayak soft drink—manis, berbuih, dan bikin ketagihan, tapi jadi diabetes demokrasi.
Di era digital sekarang, dimana karisma bisa ngalahin kapabilitas dan hashtag lebih ngaruh dari kebijakan nyata, munculnya pemimpin populis tuh kayak udah takdir algoritma. Mereka muncul di panggung politik kayak selebgram dadakan—penuh gaya, penuh kamera, dan penuh janji manis yang bikin netizen baper. Tapi di balik senyum selfie dan jargon viral, ada bahaya yang nggak bisa diremehin. Para ilmuwan politik dan sejarawan udah lama teriak-teriak soal ini. Bahaya dari pemimpin populis itu bisa terasa langsung, tapi juga bisa ngejebak kita dalam jangka panjang. Banyak ahli udah ngulik ini secara mendalam.
Pemimpin populis itu biasanya naik daun karena tampil kayak “pembela rakyat”, ngelawan elit yang katanya busuk. Awalnya sih keliatan keren—gaya ngomongnya blak-blakan, janjinya cepet dan to the point, kelihatannya deket banget ama rakyat jelata. Tapi seperti yang dijelasin ama Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (2018, Crown Publishing), gaya yang kelihatannya “fresh” ini justru sering ngacak-ngacak demokrasi dari dalam.
Menurut buku How Democracies Die, para politisi populis itu punya “jurus halus tapi ganas” buat ngacak-acak demokrasi dari dalam. Begitu duduk di kursi kekuasaan, mereka mulai ngaku-ngaku jadi suara satu-satunya dari “rakyat sejati” dan langsung nyinyirin semua yang nggak setuju—media dibilang hoaks, oposisi dibilang pengkhianat, dan pengadilan dianggap cuma pengganggu.
Mereka nggak langsung nabrak konstitusi, tapi mainnya licik: manfaatin celah hukum, pelintir aturan, dan pelan-pelan potong kuku lembaga-lembaga pengawas. Kayak lagi main game strategi, satu per satu lawan dibungkam, hakim dikendalikan, UU pemilu diutak-atik, dan kursi penting diisi loyalis. Dari luar sih masih kelihatan demokratis, tapi di dalamnya udah kayak reality show yang skripnya dimonopoli bos besar. Hasilnya? Kekuasaan makin numpuk di satu tangan, dan sistem demokrasi tinggal jadi pajangan belaka.
How Democracy Ends karya David Runciman, bilang bahwa demokrasi nggak bakal tumbang gara-gara kudeta atau perang, tapi lebih ke pelan-pelan digerogoti dari dalam. Kayak villain yang pura-pura jadi pahlawan, pemimpin terpilih bisa aja nyerobot kekuasaan sambil tetap senyum di depan kamera.
Teknologi juga jadi senjata makan tuan. Media sosial bikin kita lebih suka yang instan dan dramatis, ketimbang diskusi mendalam. Runciman ngingetin, perusahaan teknologi besar bisa ngerusak demokrasi tanpa sengaja, karena mereka lebih mikirin cuan daripada etika politik. Intinya, demokrasi kita lagi butuh "reboot". Kalau nggak mau ending-nya kayak film dystopia, kita harus waspada dan siap adaptasi.
Dalam How Democracy Ends, David Runciman ngejelasin empat “ending scene” yang mungkin dialami demokrasi: Kudeta!, Bencana!, Dikalahkan Teknologi!, dan Muncul Sistem Baru?. Gak semuanya dramatis—beberapa justru kayak plot twist diam-diam tapi nyeremin.
1. Kudeta!
Bayangan lama soal kudeta tuh yang kayak film action—tentara masuk ibukota, pemimpin diturunin paksa. Tapi Runciman bilang, itu udah basi buat negara demokrasi modern. Sekarang yang bahaya itu pemimpin yang terpilih sah tapi pelan-pelan ngegrogotin demokrasi dari dalam. Media dikatain hoaks, hakim dikendalikan, seluruh kekuasaan dikumpulin diam-diam. Kudeta-nya tuh versi ngendap-ngendap.
Di Hungaria (Orbán) dan Turki (Erdoğan), kita lihat pemimpin yang sah terpilih malah pelan-pelan ngerusak demokrasi dari dalam. Media dibungkam, hakim dikontrol, oposisi dibikin ciut. Ini bukan kudeta berdarah, tapi kudeta versi licin dan legal. Anak muda jadi tumbuh di lingkungan politik yang bikin takut ngomong, padahal demokrasi harusnya soal kebebasan berekspresi.
2. Bencana!
Runciman bilang, bencana besar kayak pandemi, krisis iklim, atau perang bisa bikin demokrasi kelabakan. Soalnya, sistem demokrasi itu sering lemot kalau harus ambil keputusan cepat. Pemimpin malah sibuk mikirin pemilu berikutnya, bukan solusi jangka panjang. Di saat-saat kayak gini, masyarakat malah jadi nyari ‘pemimpin tegas’ ala otoriter.
Waktu pandemi COVID-19, banyak negara demokrasi kelihatan kagok banget nanganin krisis. Sementara negara otoriter kayak China malah bisa cepat ambil tindakan. Anak muda pun mulai mikir: “Demokrasi bisa ngelindungin kita gak sih pas bener-bener darurat?” Apalagi kalau pemimpinnya lebih mikirin debat di parlemen daripada nyelamatin rakyatnya.
3. Dikalahin Teknologi!
Nah enni dia: bukan ditembak, tapi demokrasi bisa mati pelan-pelan karena kalah saing sama teknologi. Sosmed, algoritma, dan big data sekarang lebih ngatur opini publik daripada debat politik. Runciman bilang, ini bukan invasi robot, tapi pengambilalihan diam-diam—dimana keputusan penting makin ditentuin oleh AI, bukan suara rakyat.
Sekarang opini publik lebih dipengaruhi TikTok, YouTube, dan algoritma medsos daripada debat politik. Yang naik daun justru konten viral, bukan diskusi substansial. Anak muda jadi lebih percaya influencer daripada politisi. Kata Runciman, ini bahaya banget—demokrasi bisa jadi gak relevan, karena kekuasaan pindah ke tangan perusahaan teknologi yang gak pernah ikut pemilu.
4. Muncul Sistem Baru?
Terakhir, Runciman ngajak mikir: gimana kalau demokrasi bukan tamat, tapi evolusi ke sistem baru yang lebih kece? Sama kayak zaman dulu monarki diganti demokrasi, bisa jadi nanti ada sistem yang lebih canggih—mungkin pake teknologi, lebih efisien, dan gak kayak voting tradisional. Mungkin bukan akhir, tapi level up ke versi yang belum kita kenal.
Tapi ada harapan! Beberapa negara kayak Estonia udah mulai nyobain demokrasi digital—dari voting online sampai anggaran partisipatif. Ini keren banget buat Gen Z yang pengen politik itu transparan, cepat, dan tech-friendly. Mungkin demokrasi gak mati, tapi lagi upgrade OS-nya, dan generasi muda adalah developernya.
David Runciman gak percaya kalo demokrasi bakal mati dengan ledakan dramatis. Menurutnya, demokrasi tuh lebih mungkin ‘memudar’, berubah bentuk, atau kalah cepat sama hal-hal kayak teknologi atau krisis global. Doski ngajak kita mikir: gimana kalau demokrasi gak tamat kayak film action, tapi malah berevolusi—jadi sesuatu yang asing, entah lebih baik, entah malahan jadi lebih kacaw-balaw.
Anak muda tuh bukan cuma penonton pas demokrasi lagi rusak—mereka justru pemain utama buat ngereboot sistemnya! Kalau generasi lama sibuk ngejaga sistem yang udah ada, anak muda datang bawa semangat baru, cara kreatif, dan keberanian total. Cara mereka bikin demokrasi versi 2.0 boleh dalam bentuk berikut:
1. Bikin Ulang Cara Berpolitik
Buat Gen Z dan milenial, politik model lama—yang cuma milih pas pemilu dan dengerin debat panjang—itu kayak nonton film hitam putih di era Netflix. Mereka lebih suka nge-tweet, bikin meme politik, ikut petisi online, atau kampanye lewat konten TikTok. Ini bukan malas politik, tapi cara baru buat bersuara. Politik bisa banget hidup di IG dan YouTube.
2. Ngasih Tekanan Buat Jadi Otentik & Jujur
Gen Z paling gak tahan sama politisi yang suka basa-basi. Mereka pengennya pemimpin yang jujur, transparan, dan gak scripted. Kalau ada yang omon-omon alias ngomong doang, langsung jadi bahan konten. Jadi sekarang politisi mau gak mau harus lebih real—karena kamera selalu nyala, dan netizen gak tidur.
3. Bikin Gaya Kepemimpinan Baru
Anak muda gak nunggu disuruh maju—mereka maju sendiri! Liat aja gerakan kayak Greta Thunberg atau aktivis digital lainnya. Banyak yang gerak tanpa pemimpin tunggal, sistemnya kayak komunitas open source—kolaboratif, tanpa bos, dan semua punya suara. Ini demokrasi rasa zaman now bro: horizontal, bukan hierarki.
4. Ngawinin Teknologi & Politik
Generasi sekarang bisa ngoding, bikin app, dan paham dunia digital. Mereka bikin tools kayak voting online, dashboard data politik, bahkan game edukasi demokrasi. Politik gak lagi soal pidato panjang, tapi soal interface dan UX yang user-friendly. Demokrasi ala Gen Z: harus cepat, transparan, dan relatable.
5. Ngasih Makna Baru ke “Demokrasi”
Anak muda gak mau demokrasi cuma soal nyoblos tiap 5 tahun. Buat mereka, demokrasi itu juga soal keadilan iklim, kesehatan mental, kesetaraan gender, dan inklusi sosial. Mereka lagi ngedefinisiin ulang arti demokrasi, biar sepadan ama dunia yang mereka hadapi sekarang.
So, reboot demokrasi bukan sekadar upgrade teknis—tapi juga pergeseran nilai, gaya komunikasi, dan siapa yang pegang kendali. Dan jelas banget: anak muda ada di kursi kemudi.
Balik ke bahaya dari para pemimpin populis. Kaum populis sering ngandalin media sosial, propaganda, atau "fakta alternatif" buat memanipulasi persepsi publik, sehingga mengurangi ruang bagi perdebatan rasional.
Dalam Spin Dictators, Sergei Guriev dan Daniel Treisman menjelaskan bahwa diktator zaman now nggak lagi hobi ngancam atau ngejailin rakyat kayak zaman dulu. Mereka lebih suka "nge-spin" alias ngatur persepsi publik pakai cara halus—kayak nyebarin propaganda, hoaks elegan, dan fakta alternatif. Kenapa? Soalnya itu lebih aman, lebih licin, dan lebih ngefek buat ngendaliin pikiran orang.
Mereka doyan banget main di medsos karena bisa langsung nyapain rakyat tanpa harus lewat wartawan. Tinggal bikin konten bombastis, kasih bumbu drama, dan voila—viral! Dengan nyebarin info yang bias atau bahkan ngawur tapi dibungkus rapi, publik jadi bingung: mana fakta, mana fiksi? Akhirnya debat rasional makin langka, orang jadi gampang baper dan saling curiga.
Ini kayak nyalain asap tebal di panggung: penonton nggak bisa lihat jelas, jadi nggak tahu harus percaya siapa. Nah, selama rakyat sibuk debat kusir di kolom komentar, si spin dictator tinggal duduk manis sambil ngatur negara kayak main game strategi.
Para populis itu hidup dan berkembang dari bikin drama "kita vs mereka". Mereka suka banget cari kambing hitam—entah itu minoritas, imigran, atau lawan politik. Pokoknya siapa pun yang beda dikit langsung dicap "bukan bagian dari kita". Nah, cara kayak gini bikin masyarakat jadi makin terbelah dan gampang ribut sendiri.
The People vs. Democracy karya Yascha Mounk (2018, Harvard University Press) ngebahas gimana para populis jago banget mainin isu identitas dan nasionalisme. Mereka pakai itu kayak senjata buat bikin jurang makin dalam antara kelompok-kelompok di masyarakat. Akhirnya, bukan cuma demokrasi yang goyah—tapi juga rasa percaya antar sesama warga negara.
Yascha Mounk menjelaskan bahwa kaum populis mempersenjatai identitas dan nasionalisme dengan mengklaim mewakili "rakyat sejati" suatu bangsa—yang sering didefinisikan berdasarkan etnis, agama, atau budaya—melawan orang luar atau elit yang dianggap sebagai pihak luar. Mereka membingkai politik sebagai pertarungan antara "warga negara sejati" dan mereka yang dianggap korup, tidak setia, atau asing. Taktik ini memperdalam perpecahan dalam masyarakat dengan mengubah pertikaian politik menjadi konflik identitas. Alih-alih memperdebatkan kebijakan atau gagasan, orang-orang didorong untuk memilih pihak berdasarkan siapa mereka, bukan apa yang mereka yakini. Nasionalisme menjadi alat untuk mengecualikan dan meminggirkan siapa pun yang tidak sesuai dengan definisi sempit kaum populis tentang bangsa. Akibatnya, kohesi sosial hancur, dan demokrasi menjadi lebih rapuh, karena warga negara berhenti melihat satu sama lain sebagai anggota yang setara dari komunitas politik yang sama.
Yascha Mounk ngejelasin gimana para populis itu memlintir identitas dan nasionalisme. Mereka suka ngaku-ngaku paling mewakili “rakyat asli” atau “orang bener”—biasanya dipandang dari suku, agama, atau budaya. Terus siapa pun yang beda dikit langsung dicap bukan bagian dari "kita", alias musuh.
Mereka nggak lagi main di level debat ide atau kebijakan, tapi udah masuk ke ranah identitas. Jadi bukan soal loe setuju apa enggak, tapi loe “siapa”. Ini bikin orang jadi gampang kepancing emosi dan milih kubu, bukan mikir logis. Nasionalisme yang mestinya nyatuin kita dalam berbangsa dan bernegara malah dijadiin alat buat nyisihin orang yang beda pandangan atau latarbelakang.
Hasilnya? Masyarakat jadi pecah-belah kayak fandom yang ribut terus, dan demokrasi pun goyah. Soalnya, warga udah nggak mau saling pandang sebagai sesama rakyat, tapi sebagai "tim musuh" yang harus dikalahin.
"Kita bakal lanjut ngebahas efek jangka panjang dari bahaya yang dibawa para pemimpin populis ini—bi'idznillah, stay tuned yaq!"