Rabu, 21 Mei 2025

Pembusukan Institusi

Pemimpin yang populer itu gak selalu jadi penyelamat. Kadang justru mereka bisa “merusak dari dalam,” dan yang bikin ngeri: sering kita gak sadar karena semua dibungkus dengan kata-kata manis dan jargon “demi kehendak rakyat.”
Mereka biasanya mulai dengan gaya “semua demi kebaikan,” tapi pelan-pelan kekuasaan mulai dipersonalisasi. Apa-apa jadi tergantung maunya sang pemimpin, bukan aturan. Parlemen dilangkahi, aturan dibikin sefleksibel mungkin, pokoknya asal cepat dan sesuai visi bos besar.
Lalu, mereka mulai “beres-beres” institusi yang dirasa gangguin langkah. Media dikendalikan, hakim-hakim diganti yang lebih “pengertian,” dan parlemen dijinakkan. Orang-orang kritis? Dicap penyebar hoaks, buzzer asing, atau musuh pembangunan. Lama-lama, rakyat jadi bingung: mana fakta, mana bumbu?
Trik paling sering: pakai embel-embel “saya wakil suara rakyat.” Dengan narasi itu, institusi yang harusnya jadi penyeimbang malah dituduh elit, korup, atau penghambat kemajuan. Jadi kalau KPK, Mahkamah Konstitusi, atau jurnalis kritis bersuara? Mereka dibilang nggak nasionalis.
Langkah selanjutnya: ganti aturan main. Bikin undang-undang baru, hapus batas masa jabatan, atau pasal multitafsir yang bisa njerat siapa pun yang beda pendapat. Semua terkesan legal—tapi rohnya demokrasi pelan-pelan dikubur.
Seperti kata Timothy Snyder dalam On Tyranny (2017): “Institusi nggak bisa jaga diri sendiri. Mereka runtuh satu per satu kalau nggak ada yang bela.” Dan Levitsky & Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) juga ngingetin: demokrasi jarang mati dengan kudeta. Yang lebih sering justru: dibunuh pelan-pelan oleh pemimpin yang dipilih rakyat sendiri.
Intinya? Pemimpin populer bisa jadi kayak hujan deras di awal musim: kelihatannya menyegarkan, tapi kalau dibiarkan, bisa banjir dan merusak fondasi. Dan sering kali, kita baru sadar setelah semuanya keburu tergenang.

Levitsky dan Ziblatt bilang, kalau demokrasi jaman now tuh gak mati gara-gara kudeta dramatis atau perang saudara kayak di film-film. Justru, yang sering terjadi adalah demokrasi membusuk pelan-pelan dari dalam, dibikin rusak sama orang yang... ironisnya, terpilih lewat pemilu yang sah.
Biasanya begini: muncul sosok pemimpin yang tampil beda, penuh janji manis, ngomongnya lantang soal “rakyat kecil” dan “lawan elit lama.” Banyak yang terpukau. Doi pun naik lewat pemilu. Tapi begitu duduk di kursi kekuasaan, perlahan tapi pasti, doi mulai mainin aturan. Bukannya jaga demokrasi, doi malah mulai ngegas pelan-pelan buat nyari jalan pintas.
Caranya halus: kritik media mulai dicap hoaks, oposisi dituduh nggak nasionalis, pengadilan “diperbaiki,” dan aturan-aturan diubah supaya kekuasaan makin mantap. Tapi semuanya tetap dibungkus rapi: lewat undang-undang, lewat dalih “efisiensi,” atau “stabilitas negara.” Jadi kesannya sah-sah aja. Padahal, yang dikorbankan adalah jiwa demokrasi itu sendiri.
Levitsky dan Ziblatt ngasih semacam “tes lakmus” buat ngenalin calon pemimpin otoriter. Tanda-tandanya? Mereka biasanya gak segan-segan ngelanggar aturan demokrasi; gak menganggap lawan politiknya sah; diam-diam (atau terang-terangan) dukung kekerasan; dan suka ngusik kebebasan sipil: media, aktivis, pengkritik.
Kalau loe nemu pemimpin yang punya dua atau lebih dari ciri ini? Waspadalah, bro. Itu tanda-tanda demokrasi lagi diambang bahaya.
Tapi yang paling bikin miris: demokrasi sering mati bukan karena rakyat minta kediktatoran, tapi karena elit politik ngebiarin—atau malah kerjasama—ama tokoh-tokoh berbahaya demi kekuasaan sesaat. Kayak ngasih korek ke orang yang main di gudang bensin, cuma karena doi janjinya “akan bikin pesta api unggun.”
Mereka nulis dengan tegas, “Demokrasi bisa mati di tangan pemimpin terpilih yang secara perlahan menyabotase proses yang dulu membawanya ke tampuk kekuasaan.” Jadi ya, sering demokrasi nggak mati dengan dentuman. Tapi mati pelan-pelan, sambil ditonton orang-orang yang... tepuk tangan.

Coba deh bayangin, ada pemimpin yang saking populernya, kalau doski nyebur ke kolam, orang-orang langsung bilang, “Liat! Airnya yang salah!”
Awalnya sih bilang mau “beresin sistem.” Tapi tahu-tahu, yang diberesin malah semua orang yang nggak satu suara. Parlemen jadi kayak figuran di sinetron, konstitusi jadi kayak notes to-do list, dan keputusan negara mulai pakai rumus: “Kata saya sih…”
Langkah selanjutnya: ganti semua yang bikin ribet. Hakim diganti yang ngangguk-angguk aja, media dibisikin, oposisi dikasih label “kadrun,” “komunis,” atau “haters yang iri.”
Dan pas ada yang nanya, “Lho, mana institusinya?” Jawaban dia ala film Marvel: “Guelah institusinya!”
Eh, tahu-tahu, masa jabatan diperpanjang, undang-undang dirombak, dan rakyat disuruh tepuk tangan. Semua sah, katanya. Legal, katanya. Mirip kayak makan nasi goreng pakai selai stroberi—boleh sih, tapi… ngapain?
Pas sadar demokrasi udah makin sekarat, kita kayak bangun di reality show yang nggak kita daftar: “Indonesia’s Next Top Autocrat.”
Ingat pesan para ahli sejarah: demokrasi jarang mati dengan bom. Lebih sering mati… gara-gara tepuk tangan.

Kalau institusi-institusi penting di negara mulai dibusukin ama pemimpin yang populer, dampaknya itu bukan cuma kayak “oh ya, ada masalah kecil di sistem.” Nope. Ini kayak loe pelan-pelan ngeliat rumah loe dimakan rayap dari dalam. Luarannya masih kelihatan oke, tapi dalamnya keropos, dan suatu saat... jeblok.
Awalnya, semua atas nama rakyat. Pemimpinnya bilang, “Ini demi hilirisasi!” atau “Kita bersihkan sistem lama!” Tapi ternyata, yang dibersihin itu justru orang-orang yang kritis. Pengadilan nggak lagi independen, Kepolisian jadi tangan kanan sang penguasa, parlemen cuma jadi formalitas buat ngangguk-ngangguk, dan media? Jangan ditanya. Wah, bisa jadi udah dibeli, ditekan, atau dibungkam pakai dalih undang-undang.

Akibatnya, suara rakyat yang berbeda pendapat makin susah kedengeran. Kritik dianggap pengkhianatan. Lama-lama, orang takut ngomong. Yang waras mulai diam. Yang kritis mulai diserang. Dan yang dukung pemimpin populis ini? Masih hepi-hepi aja karena mereka ngerasa “pemimpin kita tegas!” Padahal, pelan-pelan negara masuk mode autocracy, alias diktator bergaya demokrasi.

Yang lebih serem, masyarakat jadi makin cuek. Nggak percaya lagi ama pemilu, sama hukum, sama wakil rakyat. Kayak nonton season terakhir serial favorit, tapi udah tau ending-nya bakal zonk. Lama-lama orang mikir, “Ngapain milih juga, toh hasilnya gitu-gitu aja.” Dan di situ lah, demokrasi mati bukan karena dibunuh... tapi karena ditinggalin.

Kalau udah nyampe tahap ini, jangan harap perubahan bisa datang lewat jalur damai. Jalan balik ke demokrasi bisa super terjal—kayak nanjak tanpa rem tangan di tanjakan Cinere. Dan lebih tragis lagi: karena proses pembusukannya berlangsung pelan-pelan dan legal, banyak orang baru nyadar ketika semuanya udah terlambat. Alat buat nyelamatin demokrasi udah dicopot satu-satu.

Jadi ya... jangan nunggu demokrasi roboh dulu buat nyadar. Karena pas udah ambruk, yang tersisa cuma reruntuhan sistem, masyarakat yang terbelah, dan pemimpin yang duduk nyaman di atas singgasana kekuasaan—sambil bilang, “Semua demi rakyat.”

Kalau institusi udah mulai busuk, gak usah langsung putus asa. Tapi ya, situasinya memang gak gampang. Langkah pertama yang harus dilakukan rakyat adalah nggak boleh tidur! Bangun, buka mata, jangan cuma percaya kata-kata pemerintah atau berita yang kayaknya dibuat buat nutupin masalah.
Setelah sadar “ini beneran rusak,” saatnya ngumpul dan bergerak bareng-bareng. Bisa lewat demo damai, bikin komunitas, atau dukung media-media yang masih berani ngomong jujur. Pokoknya, jangan cuma diem dan nonton, tapi jadi bagian dari perubahan. Gabung sama kelompok lain juga penting—entah itu partai oposisi, LSM, atau orang-orang yang masih peduli sama keadilan.
Selain itu, jaga yang masih tersisa. Para jurnalis yang berani, pengacara yang berjuang, dan aktivis yang nggak takut ngomong kebenaran itu aset berharga. Dukung mereka biar bisa terus ngelawan yang salah. Pakai jalur hukum kalau bisa, bongkar kebohongan, dan terus desak supaya semua serba transparan. Itu bisa bikin mereka yang otoriter mikir dua kali buat main curang.
Pendidikan juga jangan lupa. Rakyat harus paham hak dan kewajibannya, ngerti gimana sistem demokrasi itu jalan, dan nggak gampang kena tipu sama omongan manis yang palsu. Kalau masyarakatnya pinter dan sadar, susah banget buat dibodohi atau dibungkam.
Terakhir, tekanan dari luar negeri atau komunitas global juga bisa bantu, tapi inti perubahan itu tetap dari dalam diri dan masyarakat sendiri. Emang perjalanan ini nggak singkat dan pasti penuh drama, tapi kalau orang-orangnya kompak, terus jaga semangat, demokrasi bisa diselamatkan dan dibangun lagi dari reruntuhannya.

Menurut Bryan S. Turner, jadi warga negara itu bukan cuma soal punya KTP atau ikutan nyoblos tiap lima tahun sekali. Citizenship itu semacam “peran utama” dalam drama demokrasi—apalagi waktu sistem lagi kacau, krisis datang, dan institusi mulai ngaco.
Pas negara lagi krisis, kita nggak bisa cuma nunggu penyelamat dari pemerintah atau nonton kayak lagi binge-watch serial politik. Institusi yang biasanya jadi tameng demokrasi bisa aja udah disusupi, dilumpuhkan, atau dipretelin pelan-pelan. Nah, di situlah warga negara harus naik panggung dan ambil alih spotlight.
Turner bilang, jadi warga negara itu soal aksi. Bukan sekadar nonton debat di TV sambil nyinyir, tapi ikut turun tangan—entah lewat demo, edukasi publik, bikin konten yang melek demokrasi, bantu komunitas yang dimarginalkan, atau sekadar ngomongin kebenaran walau nggak populer.
Doski juga ngingetin bahwa kewarganegaraan itu dinamis—siapa yang dianggep “warga penuh” dan siapa yang disisihkan, selalu bisa berubah tergantung siapa yang pegang kuasa. Nah, krisis biasanya makin menajamkan garis batas itu. Makanya, perjuangan mempertahankan demokrasi juga soal memperluas siapa yang dianggap "layak didengar."
Kesimpulannya? Waktu demokrasi lagi diguncang, jangan cuma duduk nunggu keajaiban. Jadilah warga negara aktif yang bikin perubahan. Karena menurut Turner, yang bisa nyelametin demokrasi bukan superhero, tapi kita semua—warga biasa yang nggak takut bersuara dan bergerak.

Memperbaiki institusi yang udah busuk itu gak kayak nambal ban bocor—gak bisa langsung beres cuma dengan satu peraturan atau ganti pejabat. Institusi itu ibarat rumah tua: yang rusak bukan cuma cat temboknya, tapi juga fondasi, atap, dan bahkan nilai-nilai yang dulu jadi tiangnya. Jadi, perbaikannya butuh waktu, kesabaran, dan komitmen dari banyak pihak.

Dalam How Democracies Die (Levitsky & Ziblatt, 2018, Crown Publishing), dibilang kalau demokrasi bisa pulih kalau para pemimpin politik mulai kembali ke nilai-nilai dasar demokrasi: saling toleransi dan tahu diri. Alias, walau punya kuasa besar, jangan mentang-mentang—harus tahu kapan ngerem. Soalnya, kalau semuanya main gas terus, institusi makin hancur.

Lalu, menurut Why Nations Fail (Acemoglu & Robinson, 2012, Crown Business), institusi bisa kuat lagi kalau rakyatnya benar-benar dilibatkan, bukan cuma jadi penonton. Artinya, perlu dibuka ruang yang adil untuk semua orang ikut bersuara, bukan hanya elite yang ngatur-ngatur dari atas. Korupsi harus disikat, dan kepercayaan publik dibangun ulang.

Nah, On Tyranny (Snyder, 2017, Tim Duggan Books) kasih semangat buat mulai dari hal-hal kecil. Kayak: belajar sejarah, dukung jurnalis yang jujur, dan bela institusi meskipun banyak yang cuek. Soalnya, demokrasi bukan cuma urusan pemilu lima tahunan—tapi soal kebiasaan sehari-hari yang sehat.

Terakhir, The People vs. Democracy (Yascha Mounk, 2018, Harvard University Press) bilang: nggak cukup cuma ganti sistem, tapi budaya politiknya juga harus disegarkan. Kita butuh suasana yang kasih ruang buat beda pendapat, ngobrol lintas kubu, dan ngerasa “kita satu bangsa” meskipun beda suara.

Jadi, membenahi institusi itu soal reformasi struktural dan revolusi budaya. Harus ada aturan yang adil, pemimpin yang waras, warga yang peduli, dan budaya politik yang dewasa. Jalannya panjang dan berliku, tapi selama kita masih ingat cita-cita demokrasi, harapan itu selalu hidup.