"Di sebuah negeri tropis nan riuh rendah, terdapat seorang mantan pemimpin legendaris. Ia pernah dielu-elukan bak pahlawan super—berjaket almamater rakyat, menunggang motor gede, menanam padi di sawah, dan sesekali ber-selfie dengan rakyat sambil berkata, "Kita kerja, kerja, kerja!" Entah kerja apa, "poko'e kerjo." Namun, zaman telah berganti. Sang mantan kini hanya disebut dengan inisial: MPK—Mantan Pemimpin Karismatik. Nama lengkapnya disensor demi menjaga ilusi netralitas dan menjaga harga saham perusahaan kayu lapis milik koleganya tetap stabil.
Suatu pagi yang cerah, dengan santun dan pake "nuwun sewu", pihak Kepolisian memanggil MPK, atau lebih tepatnya, MPK diskenariokan dipanggil oleh Kepolisian Negeri untuk dimintai keterangan terkait suatu kasus besar. Bukan perkara biasa, ini menyangkut integritas, moral dan—yang terpenting—rating berita nasional.
Namun jangan salah sangka. Ini bukan pemanggilan yang menyeramkan seperti di film-film kriminal. Kagak ada lampu tembak atau interogator galak. MPK datang dengan santai, senyum manis, dikawal ajudan, dan disambut dengan kopi spesial dari Bukit Sentul.
Ruang interogasi? Lebih mirip kafe yang nyaman. Sebuah TV berdengung pelan di latar belakang, memutar sinetron keluarga. Seorang perwira tinggi menyambutnya dengan jabat tangan hangat dan menyerahkan selembar kertas.
"Ini Pak. Hanya 22 pertanyaan."
MPK ngelirik halaman itu, lalu berkata, "Ini pertanyaan apa?"
"Cuman multiple choice kok pak!" jawab sang perwira.
"Gimana cara jawabnya?" tanya sang mantan Presiden.
Sang perwira agak terkesima, bukankah itu pertanyaan ujian untuk anak SD, SMP dan SMA. Jangan-jangan semua ijazahnya memang... namun sekejap kemudian ia dapat menguasai diri.
Sang perwira lalu ngasih sebuah contoh soal:
1. Ketika proyek pembangunan diprotes rakyat, Anda akan:
A. Mendengarkan aspirasi rakyat
B. Mengundang buzzer untuk meng-counter narasi negatif
C. Membuka keran investasi lebih besar
D. Semua jawaban benar
Singkat cerita, MPK pun menjawab cepat. Cuman sejam, semua soal rampung. Bahkan ada beberapa yang dijawab sambil bercanda: “Kalau ini mah pilihan hati saya dari dulu.”
Selesai sudah. Wartawan menanti di luar, tapi hanya diberi pernyataan singkat: “Sudah dijawab semua. Santai aja, bro. Negara ini kan demokratis.”
Di layar kaca, acara talkshow membahas sesi pemeriksaan itu selama tiga hari penuh. “22 pertanyaan, 60 menit. Ini efisiensi luar biasa!” kata seorang pengamat yang juga merangkap konsultan image politik.
Rakyat? Terbelah dua. Sebagian heran, “Kok bisa secepat itu?” Sebagian lagi memuji, “Beliau memang pemimpin sejati, sejak dulu selalu cepat mengambil keputusan... bahkan saat beli sepeda lipat!”
Para mahasiswa mencoba menuntut transparansi. Tapi mereka diimbangi oleh parade influencer yang mengunggah video TikTok dengan caption: #DukungYangSudahKerja.
Negara terus berjalan. Sinetron tetap tayang. Harga cabai sedikit naik, tapi gak bisa ngalahin trending topik: “Mantan Pemimpin Lagi Ngisi Quiz Keadilan.”
Di balik hiruk-pikuk, sang perwira polisi duduk "tenger-tenger" mikirin kejadian yang baru dialaminya. Doi ngebayangin Hamlet lagi ujian:
Pertanyaan: To be or not to be?
A. Be
B. Not to be
C. Dua-duanya
D. Tidak bisa ditentukan
Hamlet: "Waduh, nggak ada opsi E: Galau dulu baru jawab?"
Sang perwira bergumam, "Pertanyaan hidup yang paling berat nggak bisa dijawab pakai lingkaran dan pensil 2B."
Begitulah kisah di Negeri Seberang Laut, tempat dimana mantan pemimpin bisa menjalani pemeriksaan seperti kuis cerdas cermat, dan kebenaran pun bisa dirangkum dalam opsi A, B, C, atau D. Kata siapa jadi warga negara itu rumit? Di negeri ini, yang penting tahu cara menjawab soal. Dan kadang, tahu siapa yang bikin soal."
Kenapa John Amos Comenius (1592–1670) disebut Bapak Pendidikan? Dulu doi pernah bilang, "Pendidikan itu kunci surga." Cara puitis untuk mengatakan bahwa belajar membuka pintu menuju kehidupan yang lebih baik dan tercerahkan—baik di dunia ini maupun di akhirat.
Doski percaya pendidikan semestinya universal—bagi semua orang, tanpa memandang gender, kelas sosial, atau kebangsaan. Ini revolusioner banget di zamannya. Doi menekankan belajar dengan praktik langsung dan menggunakan panca indera, yang mengantisipasi psikologi pendidikan modern. Bukunya "Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar)" (1658) adalah buku bergambar pertama untuk anak-anak dan membuat pembelajaran jadi lebih mudah diakses dan menarik. Orbis Pictus itu kayak ensiklopedia bergambar anak-anak versi tahun 1600-an—kombinasi sempurna antara alat belajar dan petualangan visual untuk pikiran muda. Comenius mengusulkan sistem pendidikan terstruktur dari anak usia dini sampai universitas—mirip dengan sistem sekolah yang kita pakai sekarang.
John Amos Comenius lahir di Moravia, wilayah bersejarah yang sekarang jadi bagian dari Republik Ceko. Saat doilahir tahun 1592, Moravia berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi Suci. Comenius sering diakui sebagai pendidik dan reformer Ceko (Bohemia-Moravia), dan tokoh penting dalam sejarah pendidikan di Eropa Tengah.
Pernah juga doski bilang, "Tujuan utama dari didaktik kita ini adalah mencari dan menemukan metode pengajaran dimana guru mengajar lebih sedikit, tapi siswa belajar lebih banyak." Comenius percaya pendidikan harus fokus lebih sedikit pada ceramah kuliah tanpa akhir dan lebih pada memberdayakan siswa agar aktif terlibat dan belajar lebih efisien. Doi ingin pengajaran jadi lebih cerdas, bukan cuma lebih keras.
Doski juga bilang, "Kita semua adalah warga satu dunia; kita semua dari satu darah. Membenci orang karena mereka lahir di negara lain, karena mereka bicara bahasa yang berbeda, atau karena mereka punya pandangan berbeda tentang ini atau itu, adalah kebodohan besar." Jauh sebelum konsep kewarganegaraan global jadi tren, Comenius sudah mempromosikan persatuan, toleransi, dan perdamaian. Baginya, pendidikan adalah jalan untuk saling memahami lintas budaya dan kepercayaan.
Singkatnya, Comenius bukan cuma mengajar anak-anak—dia merevolusi cara kita mengajar dan kenapa kita mengajar. Makanya banyak pendidik dan sejarawan menghormatinya sebagai "Bapak Pendidikan Modern". Comenius jauh melampaui zamannya dalam mengenali bahwa bermain bukan buang-buang waktu—tapi bagian vital dari pembelajaran yang mempersiapkan kita ke kehidupan nyata. Doi bilang, "Banyak hal penting bisa dipelajari lewat main-main, yang nanti bakal kepake pas hidup beneran."
Pendidikan itu ada karena manusia nggak lahir langsung pinter dan ngerti segalanya. Bayangin aja kalau hidup ini game open-world—tanpa tutorial, tanpa map, tanpa misi, pasti bakal nge-blank, iya kan? Nah, pendidikan itu semacam guidebook dan trainer-nya. Doi ngajarin kita cara mikir, cara ngadepin masalah, bahkan cara ngobrol sama orang lain tanpa bikin drama.Tujuan pendidikan juga nggak cuma buat cari kerja atau dapet ijazah buat dipajang di dinding rumah. Lebih dari itu, pendidikan ngebantu kita jadi manusia yang bisa mikir jernih, punya hati nurani, dan nggak gampang termakan hoaks. Lewat pendidikan, kita belajar buat ngerti dunia, nyambung sama orang lain, dan nggak jadi beban masyarakat (iya, serius).
Selain itu, pendidikan itu kayak tangga—buat orang-orang yang pengen naik dari hidup yang susah ke tempat yang lebih baik. Dia ngasih harapan, ngasih alat buat bertahan hidup, bahkan bisa jadi jalan buat ubah nasib. Makanya, di dunia yang serba chaos ini, pendidikan itu kayak power-up yang bikin lo bisa survive dan berkembang.
Manusia itu ibarat benih. Tapi tanpa pendidikan, benih itu nggak bakal tumbuh jadi pohon yang kuat. Pendidikanlah yang bantu kita tumbuh, berbuah, dan—kalau beruntung—jadi tempat berteduh buat orang lain juga.
Dalam Pedagogy of the Oppressed (1970, Herder and Herder), Paulo Freire bilang pendidikan itu bukan cuma soal “isi otak murid” kayak botol kosong terus suruh mereka duduk manis dan nurut. Doski nyebut model kayak gitu sebagai "banking education"—kayak guru itu ATM ilmu, dan murid cuma setor atau tarik info tanpa pernah diajak mikir. Nah, cara ini menurut Freire malah bikin sistem penindasan makin kuat, karena murid nggak dikasih ruang buat nanya, mikir kritis, apalagi ngubah keadaan hidupnya.
Freire nawarin pendekatan yang jauh lebih hidup dan berani: pendidikan sebagai dialog. Bukan guru doang yang ngomong, tapi guru dan murid saling ngobrol, tukar pikiran, dan belajar bareng. Jadi bukan cuma “loe kudu ngerti enni,” tapi lebih ke “ayo kita pahami bareng kenapa ini penting dan relevan.” Di sini, pendidikan jadi ajang unlocking consciousness—bukan cuma tahu sesuatu, tapi sadar loe lagi hidup dalam sistem yang mungkin gak adil, dan loe bisa ngelakuin sesuatu tentang itu.
Freire percaya bahwa pendidikan sejati itu semestinya nyambung ama realitas hidup sehari-hari, terutama buat mereka yang tertindas—yang hidupnya penuh batas dan tantangan. Ketika orang belajar buat “membaca dunia,” bukan cuma membaca buku, mereka mulai sadar: “Eh, gue bisa berubah, dan dunia ini bisa diubah juga.” Nah, momen itulah yang disebut Freire sebagai praxis: gabungan antara mikir dan bertindak.
Buat Freire, pendidikan itu bukan netral. Pendidikan bisa jadi alat buat status quo tetap jalan, atau sebaliknya: jadi senjata buat revolusi. Maka dari itu, tujuan akhir pendidikan versi Freire adalah pembebasan—bikin orang sadar akan martabatnya, berani bersuara, dan percaya bahwa mereka bisa jadi agen perubahan, bukan cuma penonton kehidupan.
Singkatnya: buat Freire, pendidikan itu bukan sekadar dapet nilai bagus, tapi soal membangunkan jiwa, ngasih keberanian buat nanya “kenapa dunia begini?”, dan membuka jalan buat hidup yang lebih adil dan bermakna.
John Dewey, seorang filsuf, psikolog, dan pembaharu pendidikan Amerika, yang ide-idenya telah berpengaruh dalam pendidikan dan reformasi sosial, salah seorang pemikir paling terkemuka di awal abad ke-20, dan karyanya telah memberikan dampak yang bertahan lama pada bidang pendidikan, dalam karyanya The School and Society (1899, University of Chicago Press), basically bilang gini: sekolah itu jangan kayak dunia paralel yang terputus dari kehidupan nyata. Sekolah mestinya kayak miniatur masyarakat—tempat anak-anak belajar bukan cuma dari buku, tapi dari pengalaman yang real dan nyambung ama dunia luar. Menurut Dewey, kalau sekolah cuman fokus ngafalin teori, ngejar nilai, atau nurutin kurikulum kaku, itu kayak ngajarin orang renang lewat PowerPoint—nggak bakal siap nyemplung ke kehidupan yang sesungguhnya.
Buat Dewey, belajar itu kudu aktif, seru, dan relevan. Anak-anak bukan robot yang disuruh hafal, tapi makhluk hidup yang belajar paling maksimal kalau mereka terlibat langsung. Misalnya, bikin proyek bareng, nyelesain masalah nyata, diskusi kelompok, atau ngelola kebun sekolah—hal-hal kayak gitu bikin otak jalan, tangan gerak, dan hati ikut main. Lewat pengalaman, anak-anak bukan cuma ngerti pelajaran, tapi juga ngerti hidup.
Dewey juga ngerasa kalau sekolah itu punya tugas gede: ngebentuk karakter dan skill sosial. Sekolah ideal menurut dia tuh bukan tempat cetak juara olimpiade doang, tapi tempat bikin manusia yang bisa kerja bareng, punya empati, ngerti tanggung jawab, dan nggak egois. Intinya: pinter aja nggak cukup, lo juga harus bisa jadi manusia yang oke buat lingkungan loe.
Nah, karena Dewey cinta demokrasi, doi bilang: pendidikan itu kunci buat bikin demokrasi jalan. Bukan demokrasi ecek-ecek yang cuma milih pas pemilu, tapi demokrasi hidup—yang isinya orang-orang bisa mikir kritis, dengerin pendapat beda, kerja sama buat kebaikan bersama. Dan semua itu dimulai dari sekolah. Kalau sekolah gagal ngajarin hal-hal kayak gitu, ya jangan heran kalau masyarakatnya jadi gampang dibohongi, intoleran, atau cuek.
So, versi Dewey: pendidikan bukan sekadar buat dapet kerja atau nilai bagus. Pendidikan itu buat nyiapin manusia yang nggak cuma bisa survive, tapi juga bisa kontribusi buat bikin dunia jadi tempat yang lebih waras dan adil.
Jiddu Krishnamurti, dalam karyanya Education and the Significance of Life (1953, Harper & Brothers), ngomong bahwa pendidikan itu sebenernya bukan cuma soal ngumpulin nilai atau dapetin gelar buat pamer. Menurutnya, tujuan utama pendidikan itu harusnya bantu kita kenal diri sendiri lebih dalam—ngulik pikiran, perasaan, sampai ketakutan yang selama ini kita sembunyiin. Dari situ, kita bisa mulai ngerti siapa kita sebenernya dan kenapa hidup ini penting. Krishnamurti juga ngerasa sistem pendidikan sekarang kebanyakan cuma ngejar prestasi dan materi doang. Kayak lomba lari yang cuma fokus dapetin medali, tapi lupa gimana nikmatin perjalanan dan belajar dari prosesnya. Pendidikan yang kayak gitu bikin orang jadi kompetitif tapi malah jauh dari dirinya sendiri. Mereka bisa jadi pintar tapi kosong, nggak punya kebijaksanaan, nggak peka sama sesama, dan nggak damai di dalam hati.
Krishnamurti ngajak kita buat mikir ulang: pendidikan itu harus nyatuin otak dan jiwa. Jadi, gak cuma ngajarin mikir kritis atau kreatif, tapi juga ngajarin kita buat jadi mindful, empati, dan punya moral yang kuat. Pendidikan yang bener itu bikin kita bebas dari stereotip dan aturan yang ngebatesin, biar kita bisa mikir sendiri dan hidup jujur sama diri sendiri.
Intinya, Krishnamurti bilang: pendidikan itu harus bikin kita jadi manusia utuh—yang pinter, tapi juga bijak dan sadar batin. Kalau cuma ngejar nilai doang, ya kita cuma kayak robot yang jalanin hidup tanpa arti. Tapi kalau pendidikan bisa ngebantu kita nemuin who we really are, baru deh hidup ini bermakna, nggak cuma buat diri sendiri, tapi juga buat orang lain dan dunia sekitar.
David Orr, esainya “What Is Education For?” dalam buku Earth in Mind (1994, Island Press), ngasih pandangan yang keren banget: pendidikan itu gak cuma buat bikin kita jadi pekerja yang siap ngantor atau kerja di pabrik. Ia bilang, pendidikan seharusnya bikin manusia yang utuh—yang gak cuma pinter soal kerjaan, tapi juga paham soal hidup, moral, dan lingkungan sekitar.
Orr ngekritik banget sistem pendidikan sekarang yang kayaknya cuma fokus nyiapin anak-anak sekolah buat dapetin kerja, tapi lupa ngajarin mereka gimana cara hidup bijak dan bertanggungjawab. Menurutnya, pendidikan itu lebih dari sekadar skill kerja—pendidikan harus bikin kita sadar kalau kita ini bagian dari bumi, dan harus bisa jaga lingkungan serta punya empati sama orang lain.
Orr juga ngasih pertanyaan yang bikin mikir: “Sebenernya pendidikan itu buat apa sih, kalau bukan buat ngajarin kita hidup baik dan bijaksana dalam dunia yang terbatas ini?” Pertanyaan ini kayak nge-boost kita buat mikir ulang: jangan-jangan selama ini kita salah fokus.
Orr percaya, pendidikan harus ngajarin kita buat mikir kritis, refleksi moral, dan peduli sama planet kita. Jadi, kita gak cuma jadi warga negara yang taat aturan, tapi juga pahlawan yang peduli sama masa depan bumi dan komunitas kita. Pokoknya, pendidikan harus nge-mix antara perkembangan otak, hati, dan kesadaran lingkungan.
Singkatnya, David Orr bilang: pendidikan itu bukan cuma soal kerja doang. Pendidikan itu bikin kita jadi manusia sejati—yang siap hidup bermakna, bertanggung jawab, dan berani hadapi masalah dunia dengan kepala dingin dan hati besar. Jadi, pendidikan harus bikin manusia, bukan cuma pekerja.
Martin Luther King Jr. dalam esainya tahun 1947 yang berjudul “The Purpose of Education” ngomong gini: pendidikan itu gak cuma buat bikin otak kita pinter dan kritis aja, tapi juga harus ngajarin kita buat punya hati nurani dan moral yang kuat. Dia bilang, kita harus belajar gak cuma asal nyimak atau ngafalin, tapi juga belajar mikir dalam-dalam, nanya-nanya, dan gak gampang terima mentah-mentah.
Tapi MLK juga kasih warning, kalau cuma pinter tapi gak punya moral, bahaya banget. Bisa jadi kita malah jadi orang pintar yang jahat, yang pakai kepinteran buat hal-hal negatif atau nyakitin orang lain. Makanya, pendidikan itu harus nyatuin antara kepintaran dan karakter—biar kita gak cuma pinter doang, tapi juga tahu bedain yang bener dan salah, punya empati, dan peduli sama keadilan.
Tujuan pendidikan menurut MLK adalah bikin kita jadi manusia yang lengkap: yang bisa mikir kritis dan juga punya moral. Karena kalau cuma otak aja yang jalan tanpa hati, ya bahaya. Sebaliknya, kalau cuma hati tanpa otak, bisa lemah. Makanya, harus seimbang. Dengan begitu, pendidikan bisa bikin kita gak cuma jago mikir, tapi juga jago bertindak dengan benar dan bermanfaat buat dunia sekitar.
Usai menempuh pendidikan, seseorang biasanya memperoleh ijazah. Nah, buat apa sih ijazah entu? Ijazah itu ibarat achievement unlocked setelah loe berhasil tamat dari SD, SMP, SMA, atau kuliah. Bukan cuma kertas biasa yang bisa dilaminating dan dipajang di ruang tamu—ijazah itu bukti nyata kalau loe udah “naik level” dalam dunia pendidikan. Tanpa ijazah, susah buat buktiin ke orang lain (apalagi HRD) kalau loe beneran pernah belajar dan lulus dari satu tahap pendidikan.
Tapi ijazah bukan sekadar simbol doang. Fungsinya kayak paspor buat masuk ke dunia selanjutnya—entah itu daftar kuliah, cari kerja, atau lanjut pendidikan yang lebih tinggi. Banyak kampus dan perusahaan yang pakai ijazah buat nyaring siapa yang layak masuk dan siapa yang harus coba lagi tahun depan. Meskipun ijazah nggak selalu nunjukkin seberapa jago atau kreatif seseorang, tapi sistem kita masih butuh itu sebagai tolok ukur standar.
Di sisi lain, dapet ijazah juga punya nilai emosional dan sosial. Rasanya tuh kayak loe akhirnya naik panggung setelah bertahun-tahun belajar, begadang, ngerjain tugas, dan ngelawan rasa mager. Waktu loe pakai toga, disuruh salaman, terus dapet map berisi ijazah—itu bukan cuma seremoni, itu moment of glory. Bukti kalau loe udah survive dari dunia akademik.
Jadi, singkatnya, ijazah itu punya tiga fungsi: sebagai bukti resmi, tiket ke tahap berikutnya, dan hadiah mental buat segala perjuangan loe selama ini.
Randall Collins, dalam karyanya Credentialism and Educational Reform yang terbit tahun 1979 oleh Academic Press, ngomong kalau ijazah itu bukan cuma sekadar bukti kita pinter atau ngerti pelajaran. Doi bilang, ijazah itu juga kayak “stempel resmi” yang nunjukin kita layak dan diakui secara sosial. Jadi, bukan cuma soal kemampuan akademik, tapi juga soal status—ijazah itu bikin kita keliatan keren dan dipercaya oleh masyarakat dan dunia kerja.
Collins jelasin, di zaman sekarang, pendidikan itu jalur utama buat naik kelas dan dapetin pekerjaan oke. Nah, ijazah ini jadi standar yang nunjukin kita punya kompetensi, sekaligus tiket buat bisa masuk ke pekerjaan dan posisi tertentu. Tapi yang seru, ijazah itu juga kayak badge sosial yang bisa ningkatin gengsi kita di mata orang lain, bukan cuma karena skill, tapi karena kita dianggap “kelas atas” di lingkungan sosial.
Tapi, Collins juga bilang sistem ijazah ini kadang malah bikin ketimpangan sosial makin kuat. Soalnya, orang yang punya akses ke pendidikan lebih bagus biasanya bisa dapetin ijazah lebih gampang, jadi mereka makin mudah naik status dan dapet privilege. Jadi, ijazah gak cuma ngebuktiin kemampuan, tapi juga jadi “pengawal” yang ngatur siapa yang bisa masuk ke lingkaran eksklusif tertentu.
Singkatnya, Collins mau bilang kalau ijazah itu gak cuma soal pintar doang, tapi juga soal simbol status dan alat kontrol sosial yang ngatur kesempatan kita di masyarakat dan dunia kerja. Jadi, ijazah itu kayak kunci yang buka pintu kesempatan sekaligus jadi tanda pengenal sosial yang penting banget.
Dalam Fake Degrees and Fraudulent Credentials in Higher Education (2023, Springer), menurut Eaton & Carmichael, dunia pendidikan tinggi sekarang tuh udah kayak dunia Marvel—penuh ilusi. Tapi sayangnya, ini bukan si Mysterio yang main sulap, tapi orang-orang yang bikin ijazah palsu, universitas tipu-tipu, dan jalan pintas buat masuk kampus top tanpa usaha nyata.
Ijazah palsu? Banyak! Orang bisa aja punya kertas bertuliskan “Sarjana Teknik” atau “Doktor” padahal mereka nggak pernah ngerjain tugas, ikut ujian, apalagi begadang bikin skripsi. Mereka cuma modal duit dan nyari penyedia gelap yang bisa bikin ijazah kayak beli skin premium di game—kelihatan keren, tapi nggak ada skill-nya.
Diploma mill? Ini kayak pabrik gelar instan. Ada “universitas” yang nawarin S1 atau S2 kilat dalam seminggu. Tanpa kuliah, tanpa tugas, tanpa mikir. Tinggal bayar, beres. Lengkap dengan website palsu, dosen fiktif, dan cap "akreditasi internasional" yang entah dari mana. Serius, ini lebih absurd dari plot telenovela!
Masuk kampus juga bisa tipu-tipu. Ada yang nyuruh agen biar lolos seleksi, bikin portofolio bohongan, bahkan ngaku ikut olimpiade padahal cuma pernah ikut lomba mewarnai pas TK. Persaingan masuk kampus top udah bukan soal pintar lagi, tapi siapa paling jago akting dan manipulasi.
Transkrip nilai juga bisa diedit. Mau nilai A semua? Bisa. Mau nambah mata kuliah biar CV kelihatan keren? Tinggal bayar. Mirip banget sama cheat code buat naikin level karakter game, padahal realitanya cuma noob berkedok pro.
Masalahnya, ini bukan sekadar curang, tapi ngerusak sistem. Bayangin kalau yang jadi dokter ternyata lulusan “kampus” tipu-tipu. Yang pegang proyek jembatan ternyata cuma beli gelar teknik. Bisa kacau dunia nyata, bro!
Efek dominonya? Serem. Lulusan asli jadi nggak dipercaya. Kampus harus keluar duit buat verifikasi tiap ijazah. Dunia kerja jadi skeptis ama gelar. Dan yang paling parah: orang-orang mulai mikir, “Buat apa belajar susah-susah kalau bisa beli gelar aja?”
Kalau sistem pendidikan mau tetap dihormati, kita semua—dari kampus, pemerintah, sampai orangtua—harus buka mata dan lawan budaya tipu-tipu ini. Pendidikan itu bukan soal gelar doang, tapi tentang proses, etika, dan nilai.
Pada akhirnya, pendidikan itu bukan cuma soal ngumpulin ijazah, naik pangkat, atau cari kerja enak. Lebih dari itu, pendidikan adalah perjalanan jadi manusia seutuhnya. Ini soal gimana kita melihat diri sendiri, nyambung sama orang lain, dan punya andil di dunia ini. Pendidikan sejati bikin kita penasaran, bikin hati kita lembut, dan ngasih kita kekuatan bukan cuma buat “hidup” doang, tapi buat hidup dengan makna.
Tujuan pendidikan itu bukan buat ngehasilin manusia copy-paste yang semua mikir sama. Tapi buat ngebentuk individu yang bisa mikir kritis, punya hati nurani, dan berani bermimpi besar. Sewaktu kita nanya, “Buat apa sih sekolah segala?”—itu sebenarnya kita lagi nanya, “Mau dunia kayak apa yang kita bangun? Dan mau jadi orang kayak apa kita di dalamnya?”
Jawabannya? Nggak akan ketemu di selembar ijazah aja. Tapi di proses loe jadi manusia—yang terus belajar, tumbuh, dan nggak berhenti bertanya. Kalau seseorang tumbuh dalam pendidikan yang beneran berkualitas—bukan cuma disuruh ngafal terus ujian—maka doi bakal nyadar bahwa belajar itu bukan soal dapet semua jawaban, tapi tahu pertanyaan apa yang layak diajukan.
Semakin dalam doski belajar, makin peka dia ama hal-hal yang nggak kelihatan di permukaan. Doi bakal mikir, "Eh, ini bener nggak sih?" atau "Siapa yang diuntungkan dari informasi ini?" Jadi bukan asal terima mentah-mentah, tapi kritis dan melek realita.
Makanya Socrates pernah bilang, “Hidup yang nggak pernah dipertanyakan itu nggak layak dijalani.” Gokil kan? Dan Paulo Freire juga pernah ngomong hal serupa—menurutnya, pendidikan sejati itu kudu bikin orang nyadar akan dunia di sekitarnya dan ngerasa punya power buat mengubahnya.
Jadi, semakin orang beneran ‘sekolah’ (bukan cuma duduk di bangku kelas), doski makin ngerti bahwa jadi pintar itu bukan soal tahu segalanya, tapi soal tahu apa yang mesti dipertanyakan. Dan dari situ, perubahan dimulai.