Kamis, 15 Mei 2025

Bahaya Dua Arah

"Waktu Mulyono pertama kali muncul di panggung politik, banyak rakyat langsung jatuh hati. Akhirnya ada tokoh yang bukan jenderal pensiunan, bukan anak konglomerat, bukan bagian dari keluarga politik. Kisah hidupnya tuh kayak sinetron yang relatable—tukang kayu jadi walikota, terus naik level jadi gubernur, dan ujug-ujug nyampe ke kursi presiden. Gayanya santai, sering blusukan ke pasar tradisional, nongkrong di warung, bahas harga cabe. Rakyat ngerasa deket banget. Media pun langsung nempel label: "pemimpin sederhana dari rakyat biasa."
Tapi lama-lama, blusukan-nya mulai kerasa kayak reality show. Ada kameramen duluan, tim medsos standby, dan tiap langkahnya kayak udah disetting buat dapetin angle terbaik buat TikTok. Yang tadinya tulus, makin ke sini makin kayak konten.
Waktu udah duduk di istana, Mulyono ngegas banget soal pembangunan. Jalan tol, bandara, pelabuhan, sampai ibukota baru. Di TV keliatan keren banget—"Wih, kerja nyata!" Tapi di balik itu semua: banyak penggusuran, tanah adat dirampas, utang negara makin numpuk, dan sebagian proyek malah mangkrak kayak monumen gagal move on. Tapi media arus utama? Masih nyanyi lagu pujian.
Soal demokrasi? Hmm… makin ke sini makin senyap. Sewaktu mahasiswa demo karena UU yang ngehantam KPK dan kebebasan sipil, aparat malah represif. Ada mahasiswa gugur. Tapi di TV, yang tayang malah acara masak. Banyak yang mulai mikir: “Ini negara reformasi atau udah balik ke Orba edisi filter estetik?”
Lalu muncul episode baru: politik dinasti. Dulu doski pernah bilang, “Saya bukan bagian dari dinasti politik.” Tapi kok anaknya jadi walikota? Menantunya nyusul. Eh, anaknya tiba-tiba dicalonin jadi wapres. Masalahnya: umurnya belum cukup. Tapi tenang aja, Mahkamah Konstitusi langsung ngasih shortcut. Dan Ketua MK waktu itu? Ternyata ipar doski. Netizen pun bersorak: “Plot twist-nya Marvel kalah nih!”
Di internet, Mulyono masih bersinar kayak idol Korea. Selalu trending, dibela buzzer, dipuja netizen yang  bergaya dengan style “sederhana tapi powerful.” Tapi di lapangan, mulai dari Papua sampai desa-desa yang digusur, ceritanya beda. Banyak yang bilang: “Ini bukan pemimpin rakyat lagi, ini brand politik yang jago ngonten.”
Lalu datang babak terbaru: Sinetron Ijazah Palsu. Isunya udah lama beredar—katanya ijazah kuliah Mulyono nggak bisa diverifikasi. Tapi makin ke sini, makin rame. Sekarang bukan cuma ijazah kuliah, tapi juga ijazah SMA-nya ikut dipertanyakan. Dulu ada dua orang yang bilang, “Saya satu angkatan, nggak pernah ada nama itu di daftar lulusan.” Dulu sih dikira hoaks. Tapi sekarang, muncul lebih banyak orang yang berani buka suara—bukan bawa narasi, tapi bawa bukti dokumen asli dan catatan akademik.
Respons dari kubu Mulyono? Buka ijazah secara transparan? Tantang debat terbuka? Kagak. Malah banyak pelapor yang dibungkam, dikriminalisasi, atau dicitrakan kayak orang sakit jiwa. Publik jadi mikir, “Kalau ijazahnya asli, kenapa nggak pernah mau dibuka?”
Nah, di sinilah inti masalahnya: kita hidup di zaman citra lebih penting dari isi. Yang penting tampilannya kalem, senyumnya adem, bajunya putih, dan caption-nya bijak. Isinya? Nanti dulu. Politik udah berubah jadi pertunjukan visual, dan rakyat cuma jadi penonton yang disuapi ilusi. Pemimpin yang jujur dan bernyali malah dicap nyinyir. Media sibuk framing narasi. Dan kita? Lupa bahwa demokrasi bukan soal aktor terbaik, tapi soal siapa yang paling bertanggungjawab di balik layar."

Dalam jangka panjang, pemimpin populis itu bahaya dua arah: Cepat bikin rusak (kayak ngegas hoax dan framing), dan lambat tapi pasti, tetep ngerusak (lewat normalisasi otoriterisme dan ngacak-ngacak sistem dari dalam). So, jangan sampe ketipu gaya. Institusi jadi loyo, lama-lama, institusi penting kayak pengadilan atau kepolisian bisa "dipretelin". Mereka ganti orang-orang kritis dengan yang loyal. Sekali rusak, susah bener sembuhnya.
Dalam Twilight of Democracy (2020, Doubleday), Anne Applebaum ngejelasin gimana rezim populis itu kayak virus buat negara demokrasi. Mereka nyusupin orang-orang loyal mereka masuk ke posisi penting—bukan karena pinter atau berpengalaman, tapi karena nurut aja. Jadi, pegawai negeri dan hakim yang tadinya netral malah diganti ama "yes men" yang kerjanya nurutin bos besar.
Bayangin aja, pengadilan yang seharusnya kayak wasit netral di pertandingan, malah jadi cheerleader tim penguasa. Mereka juga sering nge-bully hakim yang nggak sejalan, dibikin seolah-olah musuh negara. Lama-lama, sistem negara yang harusnya adil jadi kayak panggung sinetron dimana pemeran utamanya selalu menang, walau sebenernya sih salah.
Intinya: populisme ngerusak sistem dari dalam, pelan tapi pasti—kayak skrip drama politik yang plot twist-nya selalu bikin rakyat kaget tapi nggak bisa ngapa-ngapain.

Kaum populis dapat secara bertahap membuat masyarakat tak lagi peka terhadap perilaku otoriter—pengawasan massal, penyensoran, atau penindasan—dengan mengemasnya dalam retorika nasionalis dan penceritaan emosional.
Awalnya sih kayak nggak serius. Tapi makin lama, publik dibiasakan sama hal-hal seperti sensor, nyebar ketakutan, dan pembatasan kebebasan—semua dibungkus patriotisme dan vibes "pemimpin peduli"—otoritarianisme rasa popcorn, efeknya slow burn, tapi ngerusak banget.
Dalam Democracy for Realists (2016, Princeton University Press), Achen dan Bartels tuh bilang, jangan harap rakyat milih berdasarkan logika dan data kayak robot. Nyatanya, banyak yang milih karena baper—alias ikut perasaan, bukan perhitungan.
Mereka nemuin kalau mayoritas pemilih tuh nggak duduk baca program kerja atau analisis kebijakan. Mereka lebih gampang kepancing sama narasi yang nyentuh emosi—kayak pidato dramatis, cerita tentang “musuh bersama,” atau jargon nasionalis yang bikin bangga.
Jadi kayak fans sepak bola: dukung tim kesayangan bukan karena mainnya bagus, tapi karena udah loyal dari dulu. Dan kalau ada calon yang jago main emosi—bikin takut, bikin marah, atau bikin haru—wah, langsung deh dapet simpati massal.
Akhirnya? Kebijakan rumit dan rasional kalah ama cerita yang viral dan bikin netizen terharu. Demokrasi jadi ajang konten—siapa yang paling bisa ngaduk perasaan, doskilah yang menang.

Salah satu efek paling serem dari pemimpin populis itu bukan langsung pake gebuk-gebukan, tapi ngelakuin yang disebut: ngerontokin kekuatan masyarakat sipil. Ini tuh kayak jantungnya demokrasi—tempat orang bisa ngumpul, ngomong, protes, dan ngecek kekuasaan. Tapi si populis ini pinter, maennya 'alus, gak ketahuan, tapi dampaknya dalem banget.
Dalam How Democracies Die (2018) karya Levitsky dan Ziblatt, dijelasin gimana pemimpin populis tuh sering mencap LSM (yang bukan preman), aktivis, atau komunitas rakyat sebagai antek asing. Tujuannya? Biar publik gak percaya lagi ama suara dari bawah. Jadi yang dianggep sah cuma suara doski (dan buzzer-nya).
Nancy Bermeo juga bilang hal serupa di artikel On Democratic Backsliding (2016). Katanya, banyak pemimpin populis yang bikin aturan ribet buat LSM, ngebatesin dana dari luar, atau ngasih label "musuh negara", padahal LSM cuma pengen bantu rakyat biar gak disetir elite.
Trus, ada Sheri Berman yang nulis di tahun 1997 soal Civil Society and the Collapse of the Weimar Republic. Intinya: kalo masyarakat sipil udah disusupi rezim dan gak independen lagi, doski malah bisa dipake buat nyebarin propaganda, bukan buat ngawasin pemerintah.
Nah terakhir, Larry Diamond dalam The Spirit of Democracy (2008), bilang jelas banget: demokrasi itu gak bisa nafas tanpa masyarakat sipil yang hidup dan bebas. Tapi populis malah sering ngeliat mereka sebagai musuh dan berusaha “nyetir” atau bahkan ngehancurin dari dalam.
Singkatnya? Populis tuh gak harus pake gas air mata buat ngebungkam rakyat. Kadang mereka cukup bikin LSM gak bisa gerak, bikin komunitas jadi sepi, dan bikin rakyat ngerasa sendiri. Dan tahu-tahu, ruang buat nafas demokrasi udah lenyap, kayak rumah kebanyakan gimmick tapi kosong melompong.

Kalau populisme itu ibarat virus yang pelan-pelan ngerecokin sistem demokrasi kita, ada gak sih obatnya? Untungnya, belum kiamat banget. Di berbagai belahan dunia, para ilmuwan politik, warga biasa, dan komunitas lokal mulai nemuin cara buat bikin antibodi: dari nge-reboot institusi sampai nyalain lagi api semangat demokrasi sebelum semuanya jadi sinetron berkepanjangan.
Ngelawan pembusukan demokrasi ala pemimpin populis tuh gak cukup cuma nyoblos beda pas pemilu. Perlu yang namanya revival semangat demokrasi—dari penguatan institusi, kewaspadaan publik, sampai keberanian sipil. Menurut Levitsky dan Ziblatt di How Democracies Die (2018), demokrasi bisa selamat kalau kita balik lagi ke “pagar tak terlihat” yang jaga etika politik. Contohnya? Saling toleransi dan gak main ngegas terus meski secara hukum boleh. Nah, si populis tuh biasanya nyelonong terus pake aturan kayak jalan tol melompong.
Trus, menurut Sheri Berman, demokrasi bukan cuma soal nyoblos tiap 5 tahun. Tapi soal orang-orang yang aktif: jadi relawan, jurnalis, penggerak komunitas, dan penanya ulung di forum-forum warga. Populisme itu subur kalau warga pada males ikut urusan publik, tapi rajin banget nyembah tokoh idolanya. Nah biar kagak jadi negara fanbase, warga mestinya kompak nguatkan media, komunitas, dan lembaga netral.
Pendidikan juga penting banget. Kata Ruth Ben-Ghiat di Strongmen (2020), diktator tuh seneng banget ngoprek sejarah dan nyulap identitas bangsa buat kelihatan pahlawan. Makanya kita butuh investasi di skill kayak kritis mikir, ngerti sejarah beneran, dan bisa bedain mana berita mana buzzer. Jangan sampe ketipu karena semua kelihatannya senyum dan selfie-able.
Dan terakhir, resistensi itu jangan garing! Harus ada humor, musik, mural, meme, dan satire tajem yang bisa ngenyatuin seluruh lapisan masyarakat. Karena pemimpin otoriter tuh paling takut ama ketawa bareng yang ngeledek doskli. Kadang, kebangkitan demokrasi gak lahir di gedung parlemen, tapi justru di warung kopi, ruang komunitas, dan FYP TikTok.
Intinya? Demokrasi itu mati pelan-pelan kalau kita cuek. Tapi bisa hidup lagi kalau rakyatnya berani peduli terang-terangan.

Penangkal populisme itu nggak cukup cuma satu jurus sakti—yang kita butuhin adalah “sistem imun sosial” yang kuat. Isinya? Warga yang melek info, institusi yang tahan banting, masyarakat sipil yang aktif, media yang jujur, dan pemimpin yang kerja bener, bukan cuma jualan slogan.
Masalahnya bukan cuma soal politik, tapi juga soal budaya. Kalo kita punya kesadaran, bisa mikir kritis, dan mau ngejaga hal-hal yang penting, demokrasi masih bisa ngelawan gelombang populisme.
Kita bakal ngebahas ini lebih lanjut di bagian berikut, insyaAllah.

[English]