Jumat, 02 Mei 2025

Siapakah Para Pekerja? (2)

Terkadang, bergabung dengan gerakan buruh bukanlah keputusan besar yang terencana, melainkan keterlibatan yang tiba-tiba. Marianna Costa, yang mulai bekerja di bagaian pewarnaan sebuah pabrik tekstil pada tahun 1932, berbagi pengalamannya tentang pemogokan pekerja tekstil tahun 1933. Awalnya ia tak tahu apa yang terjadi ketika mendengar lantunan di luar jendela tempat kerjanya. Ia mengenang, "Ada suara nyanyian di luar jendela tempat kerja kami, dan sejumlah besar orang... Barisan itu terus bertambah besar... Pada saat mereka sampai di pabrik kami, separuh jalan sudah dipenuhi manusia. Dan mereka berkata, 'Ayo keluar. Bergabunglah dengan kami. Kami akan mogok. Presiden bilang kami boleh. Kami muak dengan ini.'" Bingung tetapi tak mau ketinggalan, Marianna bergabung dengan para pekerja yang mogok. Ia tak sepenuhnya memahami apa itu serikat pekerja pada awalnya, yang ia tahu hanyalah "organisasi yang akan berjuang untuk kami mendapatkan perlindungan yang lebih baik." Kisah pribadi ini menangkap cara organik, hampir spontan bagaimana pekerja dapat ditarik ke dalam aksi kolektif, didorong oleh rasa ketidakpuasan bersama dan daya tarik magnetis solidaritas. Kisahnya menggambarkan bagaimana kesadaran individu berkontribusi pada gerakan yang lebih luas, yang pada akhirnya menghasilkan kemenangan seperti penetapan upah minimum dan hari kerja delapan jam.

Mengapa ada upah minimum?
Gagasan upah minimum muncul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas untuk mengatasi kondisi sulit yang dihadapi para pekerja selama Revolusi Industri. Saat itu, industrialisasi yang pesat menyebabkan kelebihan tenaga kerja, dan banyak pengusaha memanfaatkan pekerja—terutama kaum perempuan dan anak-anak—dengan membayar upah yang sangat rendah yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Akibatnya, kemiskinan tetap ada bahkan pun ada di antara mereka yang bekerja penuh waktu.
Negara pertama di dunia yang menerapkan undang-undang upah minimum ialah Selandia Baru. Hal ini didokumentasikan dengan baik dalam berbagai sumber sejarah dan ekonomi, termasuk dalam Minimum Wages karya David Neumark dan William Wascher serta A Living Wage: American Workers and the Making of Consumer Society karya Lawrence B. Glickman (1997, University Press).
Glickman menegaskan bahwa kebijakan upah minimum perintis Selandia Baru mempengaruhi gerakan serupa di belahan dunia lain, termasuk Australia dan kemudian Inggris Raya serta Amerika Serikat. Ia menjelaskan bahwa pendekatan Selandia Baru bersifat progresif pada masanya, tak hanya berfokus pada hubungan ketenagakerjaan, tapi juga pada gagasan yang lebih luas untuk memastikan pekerja dapat mempertahankan standar hidup yang layak.

Dalam Minimum Wages (2008, MIT Press), ekonom David Neumark dan William Wascher memberikan catatan sejarah terperinci tentang upah minimum di Amerika Serikat, menelusuri asal-usulnya, perkembangan legislatif, dan implikasi ekonominya. Para penulis menyatakan bahwa Selandia Baru merupakan negara pertama yang memberlakukan undang-undang upah minimum nasional, yang diperkenalkan pada tahun 1894 sebagai bagian dari Industrial Conciliation and Arbitration Act. Undang-undang tersebut bertujuan menyelesaikan perselisihan perburuhan melalui arbitrase dan mencakup mekanisme penetapan upah untuk memastikan kompensasi yang adil. Tujuannya untuk melindungi pekerja dari eksploitasi dan mendorong perdamaian industri.
Menurut Neumark dan Wascher, konsep upah minimum di AS muncul selama Era Progresif, periode yang ditandai oleh aktivisme sosial dan reformasi politik yang bertujuan mengatasi dampak buruk industrialisasi. Undang-undang upah minimum awal diberlakukan di tingkat negara bagian, terutama berfokus pada perempuan dan anak-anak, yang selalu menjadi sasaran kondisi kerja yang eksploitatif dan upah di bawah standar. Namun, undang-undang negara bagian ini menghadapi tantangan hukum dan sering dibatalkan oleh pengadilan.
Upah minimum federal ditetapkan dengan tegas dengan disahkannya the Fair Labour Standards Act (FLSA) pada tahun 1938. Undang-undang penting ini menetapkan upah minimum nasional sebesar 25 sen per jam, yang bertujuan menghilangkan kondisi ketenagakerjaan yang merugikan kesehatan dan kesejahteraan pekerja. FLSA juga memperkenalkan peraturan tentang jam kerja maksimum dan pekerja anak, yang menjadi dasar bagi standar ketenagakerjaan modern di AS.
Selama bertahun-tahun, upah minimum federal telah disesuaikan berkali-kali untuk memperhitungkan inflasi dan perubahan kondisi ekonomi. Neumark dan Wascher menganalisis penyesuaian ini dan dampaknya terhadap ketenagakerjaan, khususnya di kalangan pekerja berketerampilan rendah. Mereka berpendapat bahwa meskipun upah minimum bertujuan meningkatkan penghasilan bagi pekerja berpenghasilan rendah, upah minimum juga dapat menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja bagi kelompok yang ingin dibantunya, karena meningkatnya biaya tenaga kerja bagi pengusaha.
Tinjauan komprehensif penulis terhadap studi empiris menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum sering mengakibatkan hilangnya pekerjaan bagi pekerja berketerampilan rendah dan mungkin tak secara efektif mengurangi kemiskinan. Mereka berpendapat bahwa kebijakan alternatif, seperti Earned Income Tax Credit (EITC), sepertinya lebih efektif dalam mendukung keluarga berpenghasilan rendah tanpa konsekuensi yang tak diinginkan berupa berkurangnya kesempatan kerja.

Neumark dan Wascher juga menganalisis dampak kebijakan upah minimum terhadap ketenagakerjaan, berdasarkan penelitian empiris selama lebih dari dua dekade. Temuan mereka menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum cenderung mengurangi kesempatan kerja, terutama bagi pekerja berketerampilan rendah dan pekerja muda. Mereka menyimpulkan bahwa mayoritas studi yang kredibel menunjukkan bahwa menaikkan upah minimum menyebabkan berkurangnya lapangan kerja di kalangan pekerja bergaji rendah. Dampak ini khususnya terasa pada remaja dan dewasa muda, yang lebih mungkin bekerja pada pekerjaan dengan upah minimum.
Analisis mereka memperkirakan bahwa kenaikan upah minimum sebesar 10% dapat mengakibatkan penurunan 1–2% dalam lapangan kerja di kalangan remaja dan penurunan 1,5–2% di kalangan dewasa muda. Dampak negatif terhadap lapangan kerja lebih besar terjadi di antara kelompok dengan keterampilan teramat rendah, karena para pekerja ini lebih mungkin dipekerjakan pada atau mendekati upah minimum dan punya lebih sedikit peluang kerja alternatif.
Para penulis menemukan sedikit bukti yang meyakinkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak positif terhadap lapangan kerja. Studi yang menunjukkan dampak positif kerap berfokus pada industri yang sempit atau konteks tertentu dan tak mencerminkan tren pasar tenaga kerja yang lebih luas. Mengingat potensi hilangnya pekerjaan di antara populasi yang rentan, Neumark dan Wascher berpendapat bahwa kebijakan upah minimum mungkin bukan alat yang paling efektif untuk mengurangi kemiskinan. Mereka menyarankan bahwa langkah-langkah alternatif, semisal Earned Income Tax Credit (EITC), mungkin lebih mendukung pekerja berpenghasilan rendah tanpa konsekuensi yang tak diinginkan berupa pengurangan peluang kerja.

Menurut Neumark dan Wascher, dampak upah minimum terhadap distribusi pendapatan beragam dan seringkali terbatas, khususnya dalam hal mengurangi kemiskinan atau meningkatkan kesetaraan pendapatan secara signifikan. Mereka menemukan bahwa meskipun kenaikan upah minimum mungkin sedikit menekan distribusi upah di lapisan paling bawah (dengan menaikkan upah bagi beberapa pekerja bergaji rendah), dampak keseluruhan terhadap ketimpangan pendapatan tak terlalu besar. Hal ini karena kebijakan upah minimum biasanya tak mempengaruhi bagian tengah atau atas yang lebih luas dari distribusi pendapatan. Salah satu temuan utama mereka bahwa sebagian besar pekerja dengan upah minimum sebenarnya tak berasal dari rumah tangga miskin. Banyak di antaranya remaja atau pencari nafkah kedua dalam keluarga berpenghasilan menengah. Akibatnya, menaikkan upah minimum dapat meningkatkan penghasilan individu yang tak miskin, sehingga melemahkan efektivitasnya sebagai alat anti-kemiskinan.
Para penulis berpendapat bahwa kenaikan upah minimum tak tepat sasaran bagi keluarga miskin. Studi empiris yang diulas dalam karya ini menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum tak memiliki dampak terukur terhadap penurunan angka kemiskinan. Hal ini sebagian karena rumah tangga berpendapatan rendah dapat menghadapi kehilangan pekerjaan atau pengurangan jam kerja karena biaya tenaga kerja yang lebih tinggi, yang dapat mengimbangi kenaikan upah.
Jika upah minimum yang lebih tinggi menyebabkan hilangnya pekerjaan atau berkurangnya kesempatan kerja bagi pekerja berketerampilan rendah, terutama mereka yang berasal dari keluarga miskin, kebijakan tersebut dapat secara tak sengaja memperburuk situasi pendapatan bagi sebagian orang yang seharusnya dibantu. Oleh karenanya, para penulis memperingatkan bahwa undang-undang upah minimum mungkin memiliki efek regresif dalam kasus tertentu. Mereka menganjurkan kebijakan dukungan pendapatan yang terarah seperti Earned Income Tax Credit (EITC) sebagai alat yang lebih efektif untuk meningkatkan pendapatan pekerja bergaji rendah dan mengurangi kemiskinan. Program-program ini terkait langsung dengan pendapatan keluarga dan lebih cocok untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan.

Mengapa ada sehari delapan jam kerja?
Hari kerja delapan jam berakar pada gerakan buruh abad ke-19, khususnya selama puncak Revolusi Industri, ketika banyak pekerja dipaksa bekerja berjam-jam—sering kali 10 hingga 16 jam sehari—dalam kondisi yang berbahaya dan melelahkan. Para pekerja mulai berorganisasi dan berunjuk rasa, menuntut jam kerja yang lebih pendek dengan slogan: “Delapan jam untuk bekerja, delapan jam untuk istirahat, dan delapan jam untuk apa pun yang kami mau.”
Negara pertama di dunia yang menerapkan delapan jam kerja sehari melalui undang-undang nasional adalah Uruguay pada tahun 1915. Namun, Australia (khususnya negara bagian Victoria) merupakan salah satu tempat pertama di dunia yang menerapkan delapan jam kerja sehari melalui aksi dan kesepakatan buruh, yang dimulai sejak tahun 1856. Upaya awal ini secara bermakna mempengaruhi gerakan buruh global.
Dalam Labor’s Time: Shorter Hours, the UAW, and the Struggle for American Unionism (2004, Temple University Press), Jonathan Cutler menjelaskan bagaimana gagasan delapan jam kerja sehari berawal dari gerakan buruh pada abad ke-19 dan menyebar secara internasional. Ia menganggap tukang batu Australia di Melbourne pada tahun 1856 sebagai pelopor awal yang berhasil mengkampanyekan dan mewujudkan delapan jam kerja sehari. Meskipun hal ini tak ditetapkan secara resmi di tingkat nasional, hal ini menjadi model bagi upaya-upaya selanjutnya di negara-negara lain.

Salah satu peristiwa paling awal dan paling penting yang menganjurkan delapan jam kerja sehari adalah Peristiwa Haymarket di Chicago pada tahun 1886. Para pekerja di seluruh Amerika Serikat melakukan pemogokan pada tanggal 1 Mei 1886, menuntut delapan jam kerja sehari. Selama protes pada tanggal 4 Mei di Haymarket Square, Chicago, sebuah bom dilemparkan ke polisi, yang menyebabkan kekerasan dan tindakan keras terhadap para pengorganisir buruh. Meskipun berakhir tragis, peristiwa tersebut menjadi momen penting dalam sejarah buruh dan membantu memperkuat tuntutan untuk hari kerja yang lebih pendek. Hari kerja delapan jam menjadi lebih luas di awal abad ke-20, dan langkah besar dibuat ketika Henry Ford menerapkannya di pabrik-pabriknya pada tahun 1914—mengurangi jam kerja dan menggandakan gaji untuk meningkatkan produktivitas dan moral pekerja. Akhirnya, di Amerika Serikat, hari kerja delapan jam dikodifikasikan oleh the Fair Labour Standards Act of 1938, yang tak hanya menetapkan upah minimum, tapi menetapkan juga minggu kerja standar selama 40 jam.

Tujuan dari delapan jam kerja sehari ialah untuk melindungi kesehatan para pekerja, menyediakan waktu bagi keluarga dan pengembangan pribadi, dan memastikan bahwa pekerjaan tak menyita seluruh kehidupan seseorang.
Dalam Eight Hours: The Workers and the Eight-Hour Workday and the Shorter Workday, Its Philosophy (2021, Legare Street Press), Samuel Gompers, seorang pemimpin buruh terkemuka dan pendiri American Federation of Labor, membicarakan upaya gerakan buruh internasional dalam mengamankan delapan jam kerja sehari, khususnya di Amerika Serikat. Ia mengakui bahwa Uruguay menjadi negara pertama yang mengadopsi undang-undang nasional delapan jam kerja sehari pada tahun 1915, sementara pekerja di negara lain mencapainya melalui pemogokan, perundingan bersama, atau undang-undang regional sebelumnya. Menurut Gompers, filosofi dan alasan di balik dorongan delapan jam kerja sehari berakar pada keadilan, martabat manusia, dan kemajuan sosial. Gompers, seorang pionir pemimpin buruh Amerika, berpendapat bahwa mengurangi jam kerja penting tak hanya untuk keadilan ekonomi, tetapi juga meningkatkan kondisi moral dan intelektual kelas pekerja.
Gompers meyakini bahwa buruh bukan sekadar alat produksi, tetapi manusia yang berhak mendapatkan waktu istirahat, keluarga, dan pertumbuhan pribadi. Ia menulis bahwa "manusia tidak diciptakan untuk bekerja keras tanpa henti," dan bahwa memperpendek hari kerja akan membantu memulihkan martabat dan kemanusiaan para pekerja.
Delapan jam sehari dipandang penting bagi pekerja agar mengembangkan diri secara moral dan sosial. Gompers menekankan bahwa waktu luang diperlukan bagi pendidikan, keterlibatan masyarakat, dan partisipasi budaya. Menurutnya, masyarakat yang tak memberi waktu bagi pekerja bagi pengembangan pribadi, tidak adil dan tidak berkelanjutan. Kendati beberapa kritikus mengkhawatirkan kerugian ekonomi, Gompers berpendapat bahwa jam kerja yang lebih pendek akan menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi, lebih sedikit kecelakaan di tempat kerja, dan pekerja yang lebih sehat. Lebih jauh lagi, hal tersebut akan mendistribusikan kembali pekerjaan secara lebih adil di antara para penganggur atau setengah menganggur, sehingga mengatasi kemiskinan dan kelangkaan pekerjaan.
Gompers mengaitkan delapan jam kerja sehari dengan penguatan institusi-institusi demokrasi. Ia meyakini bahwa ketika para pekerja punya waktu agar terlibat dalam kehidupan publik dan belajar mandiri, mereka akan menjadi warga negara yang lebih terinformasi dan aktif, yang mampu berkontribusi terhadap dan melindungi demokrasi. Jam kerja yang panjang di era industri, yang seringkali melebihi 12–14 jam sehari, dipandang sebagai bentuk eksploitasi. Gompers memandang tuntutan delapan jam kerja sebagai garis yang ditarik terhadap kapitalisme yang tak diatur, dengan menegaskan bahwa sistem ekonomi semestinya melayani kebutuhan manusia, bukan sebaliknya.
Konsep "tenaga kerja" dan "pekerja" merupakan dasar untuk memahami masyarakat manusia, perekonomian, dan perkembangan historis. Menelaahnya melalui sudut pandang definisi, sejarah, dan relevansi ekonomi akan mengungkap sifatnya yang beragam dan dampaknya yang mendalam.
Secara historis, komposisi angkatan kerja amat bervariasi di berbagai budaya dan periode waktu. Dalam masyarakat praindustri, tenaga kerja sering dikaitkan dengan pertanian dan kerajinan tangan, dengan unit keluarga yang sering berfungsi sebagai unit ekonomi. Revolusi Industri secara dramatis mengubah siapa yang menjadi bagian dari angkatan kerja, menarik sejumlah besar pria, wanita, dan anak-anak ke pabrik dan tambang. Awalnya, tenaga kerja di banyak negara industri didominasi oleh kaum lelaki, dengan wanita dan anak-anak sering mengalami kondisi yang keras dan upah yang lebih rendah. Selama abad kedua puluh dan kedua puluh satu, telah terjadi pergeseran yang signifikan, termasuk peningkatan dramatis dalam partisipasi perempuan dalam angkatan kerja formal secara global, meskipun kesenjangan dalam upah dan representasi tetap ada. Konsep "pekerja" juga telah berkembang untuk secara lebih eksplisit mencakup berbagai macam profesi, dari buruh industri hingga karyawan sektor jasa dan "knowledge workers".
Terma "knowledge workers" pertama kali dicetuskan oleh konsultan manajemen dan penulis Peter Ferdinand Drucker dalam bukunya tahun 1959, "Landmarks of Tomorrow: A Report on the New 'Post-Modern' World (1957, Harper & Brothers)." Ia mendefinisikannya sebagai pekerja tingkat tinggi yang menerapkan ilmu teoritis dan analitis, yang biasanya diperoleh melalui pelatihan dan pendidikan formal, untuk mengembangkan produk, layanan, dan solusi baru.

Dalam dunia yang semakin kompleks dan didorong oleh informasi, kategori profesional tertentu, yang dikenal sebagai "knowledge workers" telah menjadi pusat kemajuan ekonomi dan keberhasilan organisasi. Merekalah individu yang modal utamanya adalah ilmu, dan tugas utamanya ialah "think for a living."
Tak seperti pekerja kasar yang mengandalkan keterampilan fisik atau pekerja informasi yang terutama memproses dan menerapkan informasi yang ada, knowledge workers bertugas menghasilkan ilmu baru, berinovasi, memecahkan masalah yang rumit, dan mengarahkan strategi. Pekerjaan mereka dicirikan oleh sifat intelektualnya, yang membutuhkan pemikiran kritis, kreativitas, dan seringkali, tingkat otonomi yang tinggi.
Contoh knowledge workers mencakup berbagai bidang dan mencakup profesional semisal profesional teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dokter dan apoteker, arsitek dan insinyur, ilmuwan dan peneliti, pemikir desain, akuntan publik dan pengacara, pustakawan dan arsiparis, editor dan akademisi.
Pengenalan konsep "knowlewdge workers" oleh Peter Drucker merupakan pertanda masa depan. Ia meramalkan perubahan mendasar dalam sifat pekerjaan, menjauh dari perekonomian yang didominasi oleh pekerjaan kasar dan kerah biru menuju ekonomi dimana kemampuan intelektual dan pengetahuan karyawan akan menjadi aset yang paling berharga. Drucker meramalkan bahwa pada abad ke-21, produktivitas knowledge workers akan menjadi perhatian utama bagi organisasi. Perubahan ini dipandang sebagai evolusi dari "pekerja kerah putih," sebuah istilah yang muncul pada tahun 1920-an untuk menggambarkan karyawan kantoran yang berbeda dari pekerja industri. Seiring dengan kemajuan ekonomi dan perkembangan teknologi, khususnya dengan munculnya teknologi informasi, peran dan pentingnya mereka yang bekerja dengan otak dibanding tangan menjadi semakin jelas.
Knowledge workers memiliki serangkaian karakteristik dan keterampilan yang berbeda, yang memungkinkan mereka berkembang dalam perannya. Mereka biasanya memiliki ilmu tingkat lanjut atau khusus di bidang masing-masing, sering kali didukung oleh pendidikan formal, sertifikasi, dan pengalaman yang sangat berarti. Yang terpenting, mereka berkomitmen untuk terus memperbarui dan memperluas basis pengetahuannya. Pekerjaan mereka berkisar pada penanganan, analisis, penafsiran, dan pembuatan informasi. Mereka menggunakan data untuk menginformasikan keputusan, menyusun strategi, dan menghasilkan wawasan baru.
Ciri khas knowledge workers ialah kemampuannya berpikir kritis dan analitis untuk memecahkan masalah yang kompleks, ditambah dengan kreativitas berinovasi dan mengembangkan solusi baru. Knowledge workers acapkali beroperasi dengan tingkat kemandirian yang amat penting. Mereka bertanggungjawab mengatur waktunya sendiri, menetapkan prioritas, dan mengambil keputusan yang terkait dengan tugasnya. Mereka sangat bergantung pada berbagai bentuk teknologi, termasuk perangkat lunak, basis data, dan platform komunikasi, untuk mengakses, memproses, dan menyebarluaskan informasi secara efektif. Kemampuan mengartikulasikan ide-ide kompleks dengan jelas, berkolaborasi secara efektif dengan berbagai tim, dan berbagi ilmu sangatlah penting. Mengingat pesatnya laju perubahan teknologi dan informasi, komitmen terhadap pembelajaran seumur hidup dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja yang terus berkembang, jadi sangat penting. Mereka ahli dalam mengidentifikasi masalah, menganalisis komponennya, dan mengembangkan solusi yang efektif dan selalu inovatif. Knowledge workers biasanya menunjukkan keinginan untuk belajar, tumbuh, dan menerima tantangan serta peluang baru guna pengembangan.

Meningkatnya jumlah knowledge workers menandakan transisi yang lebih luas menuju "knowledge economy," dimana ilmu itu sendiri merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan daya saing. Kontribusi knowledge workers sangat penting bagi organisasi individu maupun perekonomian secara keseluruhan. Dengan menghasilkan ide-ide baru, mengembangkan produk dan layanan baru, serta meningkatkan proses, knowledge workers berada di garis depan inovasi, membantu organisasi tetap unggul dalam lanskap yang kompetitif. Keahlian dan kemampuan analitis mereka memberikan dasar bagi perencanaan strategis yang baik dan keputusan operasional yang efektif dalam perusahaan. Dengan memanfaatkan keterampilan khusus dan perangkat teknologinya, knowledge workers dapat menyederhanakan alur kerja, mengoptimalkan proses, dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Merekalah kontributor utama bagi modal intelektual organisasi, memainkan peran penting dalam mencipta, berbagi, dan mengelola basis ilmu yang mendukung operasi dan pertumbuhannya. Pada tingkat makro, kelompok knowledge workers yang terampil dan produktif sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional, ketahanan, dan kemampuan untuk bersaing secara global. Meningkatnya peran knowledge workers mengubah bagaimana cara pekerjaan diatur, dikelola, dan dinilai, yang mengarah pada pengaturan pekerjaan yang lebih fleksibel dan penekanan yang lebih besar pada pengembangan keterampilan berkelanjutan.
Akan tetapi, meningkatnya knowledge workers juga menimbulkan tantangan. Ada kekhawatiran tentang akses yang adil terhadap pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan bagi peran ini, yang berpotensi menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar antara knowledge workers yang sangat terampil dan segmen tenaga kerja lainnya. Mengelola dan memotivasi knowledge workers, membina lingkungan yang memelihara kreativitas dan produktivitas mereka, dan memanfaatkan hasil intelektual mereka secara efektif tetap menjadi pertimbangan utama bagi organisasi di abad ke-21.

Perdebatan terus berlanjut mengenai pengakuan dan penilaian penuh atas pekerjaan paqra perawat yang tak berbayar, yang sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita, sebagai suatu bentuk pekerjaan. "The Wages of Whiteness: Race and the Making of the American Working Class (2007, Verso)" karya David R. Roediger mengeksplorasi bagaimana identitas ras telah membentuk definisi dan pengalaman kelas pekerja di Amerika Serikat.
[Bagian 3]
[Bagian 1]