SURVEI RESMI: 69% Rakyat Percaya Ijazah Pemimpin Karismatiknya Asli (Jangan Perhatikan Fakta Bahwa Hampir Semua Orang Sebenarnya Gak Percaya)
Dalam pengungkapan yang lebih menggemparkan daripada akhir episode sinetron yang tiba-tiba muncul saudara kembar, survei terbaru membuktikan bahwa 69% rakyat yakin ijazah sang pemimpin adalah asli! Jangan hiraukan gosip, desas-desus, dan rasa skeptis di warung kopi—karena survei ini tidak bisa salah!
Survei ini dirancang dengan metode yang sangat terpercaya, termasuk:
- Memilih Responden yang Tepat (hanya mewawancarai orang-orang yang sejak lahir ngefans sama pemimpin).
- Pertanyaan Bersifat Mengarahkan (“Anda setuju kan bahwa seorang pemimpin sehebat ini pasti memiliki ijazah yang sah?”).
- Manuver Statistik Selevel Ilusi Optik, memastikan angka yang keluar bikin hati tenang (meskipun rasanya ada yang janggal).
Seorang peserta survei yang gak mau disebutkan namanya berkomentar: “Jujur aja, gue bahkan ragu nilai ujian gue sendiri dulu asli, tapi kalau survei bilang 69% percaya ijazah ini asli, ya udahlah—mungkin ini takdir.”
Sementara itu, pejabat pemerintah langsung menanggapi, menegaskan bahwa ijazah sama autentiknya dengan pesona kepemimpinan beliau, sambil menyarankan rakyat supaya gak usah terlalu repot nyari informasi tambahan.
Namun, kelompok skeptis tetap bertahan. Beberapa malah mengklaim bahwa angka sebenarnya bukan 69%, tapi 99% rakyat justru ragu, hanya saja hasilnya tertimbun entah dimana sebelum publikasi. Seperti biasa, plot twist ala telenovela politik!"
Kita telah membahas mengapa suatu Masyarakat itu enggan berpikir kritis, disini. Sekarang kita akan membicarakan dampak atau akibat jika masyarakat tersebut enggan berpikir kritis. Nah, kalo satu negara isinya orang-orang yang males mikir kritis, siap-siap aja 'tu negeri makin gampang diboongin. Gak ada yang nanya, gak ada yang curiga, semua ditelan mentah-mentah apa pun yang dikasih ama yang berkuasa. Hasilnya? Propaganda gampang nyebar, hoaks jadi bahan obrolan harian, dan ide-ide ngawur malah jadi ngetren.
Lebih parahnya lagi, demokrasi jadi kayak barang diskon—kelihatannya oke, padahal udah rusak. Soalnya, warga yang gak pernah mikir atau nanya-nanya soal kebijakan ya otomatis gak ngeh kalau pemimpinnya korup atau gak becus. Akhirnya, sistem makin bobrok, suara-suara kritis dibungkam, dan ketidakadilan dianggap biasa aja. Dunia pendidikan jadi dangkal, obrolan publik makin receh, dan generasi muda tumbuh tanpa tahu cara mikir buat masa depan mereka sendiri.
Intinya, kalau mikir kritis udah punah, kebebasan juga ikut-ikutan hilang—bukan kayak meledak gitu, tapi kayak pelan-pelan ngilang ditelen kesibukan, takut, dan cuek. Dan pas orang-orang sadar ada yang salah… bisa jadi udah kejauhan buat dibenerin.
Kalo warga di suatu negara makin mager mikir kritis, dampak politiknya bisa gawat banget, dan gak cuma jangka pendek—ini bisa jadi bom waktu. Masyarakat yang ogah nanya, nggak mau ngecek fakta, atau malas mikir panjang tuh gampang banget digiring. Politisi dengan gaya populis atau otoriter bakal ngisi celah itu pakai janji manis, narasi yang mainin emosi, atau slogan catchy yang kedengerannya keren tapi nggak punya isi. Di situ, logika kalah ama drama, dan yang tampil percaya diri malah lebih dipercaya daripada yang beneran kompeten.
Kalo kondisi ini dibiarkan, demokrasi pelan-pelan luntur. Pemilu jadi kayak ajang pencarian bakat, bukan tempat milih pemimpin bijak. Kebijakan publik diterima mentah-mentah, korupsi makin gampang disembunyiin, dan rakyat makin cuek soal tanggungjawab penguasa. Lama-lama, institusi demokrasi yang seharusnya kuat malah keropos dari dalam—bukan karena dikudeta, tapi karena rakyatnya udah nggak peduli buat mikirin dan jaga sistemnya.
Tanpa mikir kritis, hoaks gampang banget viral, diskusi publik berubah jadi rame-rame ngebela opini masing-masing, bukan cari kebenaran. Media juga jadi semacam speaker doang, bukan tempat buat ngasih perspektif yang mendalam. Akhirnya masyarakat jadi reaktif, bukan reflektif—ngikutin siapa yang paling berisik, bukan siapa yang paling masuk akal.
Kalo mikir kritis udah nggak dianggap penting, demokrasi nggak perlu dibunuh—doi mati pelan-pelan.
Kalo mayoritas masyarakat di sebuah negara males mikir kritis, dampak ekonominya bisa sama seremnya kayak dampak politiknya, Bro-Sis. Soalnya, ekonomi itu butuh orang-orang yang bisa mikir out of the box, jago nyelesein masalah, dan adaptif kayak bunglon digital. Tapi kalau rakyatnya kebanyakan cuma ngikut arus tanpa mikir, ya produktivitas jadi seret, inovasi mandek, dan industri gampang kalah saing di level global. Bukan karena nggak punya sumber daya, tapi karena otak-otaknya nggak dipake buat mikir maju.
Di sisi lain, masyarakat yang kurang mikir kritis juga gampang banget ketipu. Mulai dari iklan yang misleading, tawaran investasi bodong, sampe gaya hidup konsumtif yang nggak realistis. Akhirnya banyak yang kejebak utang, ketipu skema cepat kaya, dan nggak ngerti gimana ngatur duit dengan bener. Lama-lama ini jadi masalah negara juga, karena makin banyak orang yang nyangkut di jaring bantuan sosial dan makin dikit yang bisa mandiri secara finansial.
Terus, gimana nasib wirausaha? Nah, jiwa entrepreneur itu kan butuh mikir tajam dan berani beda. Tapi kalau budaya mikir kritisnya lemah, orang-orang jadi takut ambil risiko, nggak berani bikin gebrakan baru. Ekonomi pun jadi gitu-gitu aja, tergantung sama sektor lama kayak tambang atau buruh murah, yang gampang banget goyah kalau krisis global datang.
Ujung-ujungnya, negara yang masyarakatnya jarang mikir kritis bakal ketinggalan jauh di era ekonomi berbasis pengetahuan. Jumlah penduduknya mungkin banyak, tapi yang mikir dan nyari solusi dikit. Yang pinter-pinter malah kabur ke luar negeri. Dan boom! Lingkaran setan keterbelakangan ekonomi terus muter tanpa akhir.
Kalo masyarakat di sebuah negara pada males mikir kritis, dampak sosialnya tuh bisa parah banget, kayak efek domino yang bikin suasana jadi makin keruh. Soalnya, tanpa kebiasaan buat mikir jernih, ngecek fakta, dan nanya “kenapa sih begini?”, masyarakat jadi gampang banget kemakan hoaks, mitos, dan teori konspirasi yang nyebar di timeline. Grup WA keluarga jadi arena perang argumen ngawur, dan orang jadi lebih suka ikut-ikutan daripada mikir sendiri. Yang penting rame, bukan bener.
Nah, karena nggak biasa mikir dalam dan reflektif, masyarakat jadi gampang kepecah-belah. Yang beda pendapat dikit aja bisa langsung dicap “kubu sebelah”, bahkan bisa dibully rame-rame. Diskusi sehat diganti debat kusir, dan makin lama makin banyak orang yang pilih diam aja karena takut dibully. Ujung-ujungnya? Polarisasi makin tajam, empati makin tipis, dan solidaritas sosial makin keropos.
Terus, coba deh pikirin: masalah-masalah besar kayak ketimpangan sosial, diskriminasi, atau isu lingkungan itu kan butuh masyarakat yang peka, kritis, dan mau mikir dari berbagai sudut pandang. Tapi kalau semua orang udah nyaman jadi penonton aja, ya nggak bakal ada perubahan. Status quo bakal terus langgeng, yang kuat makin kuat, yang lemah makin kegencet, dan yang peduli malah dikatain “sok idealis”.
Akhirnya, masyarakat kayak gitu cuma jadi penonton pasif—nonton drama sosial dari layar hape, tapi nggak ikutan mikir apalagi bertindak. Mereka gampang dikibulin ama yang punya kuasa, dan makin lama rasa saling percaya di antara warga juga memudar. Yang ada malah jadi budaya saling curiga, nyinyir, dan makin susah buat gotong royong nyari solusi bareng.
Kalo masyarakat di suatu negara udah males mikir kritis, budayanya pelan-pelan jadi kayak fast food—cepat saji, cepat lupakan, dan gak ada gizinya buat otak. Alih-alih punya budaya yang dalam, penuh refleksi, dan bisa ngajak mikir, yang muncul malah budaya yang asal viral, asal lucu, asal rame. Semua serba permukaan, gak ada yang mau tanya: “Ini maksudnya apa sih?” atau “Kenapa kita begini?”
Seni, sastra, dan diskusi publik yang seharusnya bisa jadi ruang buat mikir bareng malah dikalahkan sama konten-konten clickbait. Yang penting views naik, followers nambah, cuan jalan terus. Seniman, penulis, dan pemikir akhirnya cuma dianggap “konten kreator” yang harus ngejar engagement, bukan lagi sosok yang bisa ngajak mikir atau menggugah nurani.
Gak cuma itu, ingatan budaya juga mulai luntur. Cerita rakyat, sejarah penting, dan warisan intelektual kita jadi sekadar tempelan—dijual dalam bentuk quotes aesthetic atau tarian TikTok, tanpa pemahaman maknanya. Ritual budaya jadi formalitas aja, asal posting di IG. Slogan jadi lebih penting dari isi.
Akibatnya, masyarakat gampang banget dibentuk sama tren dangkal atau propaganda yang dibungkus ala hiburan. Budaya yang seharusnya bisa jadi alat buat nanya “kenapa” dan “bagaimana” malah berubah jadi alat buat ngehibur dan bikin lupa. Padahal, tanpa budaya yang ngajak mikir, kita jadi gampang dikibulin, gampang ikut-ikutan, dan makin susah buat peka terhadap nilai-nilai penting dalam hidup.
Lama-lama, budaya kita jadi seragam, palsu-palsu inklusif, dan gak berani beda. Keberagaman cuma jadi hiasan, gak dijadikan bahan obrolan yang dalam. Orang-orang makin males dengerin sudut pandang lain, dan akhirnya budaya kita kehilangan fungsinya sebagai cermin, kompas, dan jembatan antarmanusia.
Dalam Amusing Ourselves to Death (1985, Viking Penguin), Neil Postman bilang kalau bentuk media dominan di masyarakat tuh ngaruh banget ama cara orang mikir, ngobrol, dan ngerespon kenyataan. Ketika TV jadi raja, semua hal serius—kayak politik, pendidikan, sampai agama—berubah jadi acara hiburan. TV itu gak ngajarin orang buat mikir dalam atau pelan-pelan. Yang dihargain tuh yang cepat, yang simpel, yang bikin baper. Jadi debat politik kayak sinetron, berita jadi kayak acara gosip, dan diskusi publik cuma jadi tagline dramatis plus visual bombastis. Kata Postman, ini bikin masyarakat makin pasif, makin jarang nanya, makin gampang puas sama info receh.
Lama-lama, orang jadi gampang banget dibodohi. Siapa pun yang bisa tampil kece di layar—pede, lucu, emosional—bisa lebih ngaruh daripada orang yang punya ide bagus tapi penyampaiannya “kurang TV banget”. Dunia yang dikuasai hiburan tuh gak cocok buat mikir kritis. Terlalu lama, terlalu ribet, dan gak trending.
Walaupun Postman nulis bukunya di tahun 1985 dan ngomongin TV, isi pesannya malah makin relevan sekarang—karena TV udah lewat, dan yang merajalela sekarang tuh media sosial. Kalau TV dulu ngerubah obrolan serius jadi hiburan, media sosial tuh naik level: sekarang semua hal berubah jadi panggung performa 24 jam non-stop.
Di era TikTok, IG, X (dulu Twitter), dan YouTube, yang penting bukan lagi isi otaknya, tapi seberapa cepet loe bisa bikin orang ngakak, marah, atau baper. Gak ada lagi waktu buat mikir pelan-pelan. Scroll terus, swipe terus. Yang penting rame, bukan bermutu.
Bedanya, kalau TV dulu loe cuman penonton, sekarang loe juga pemain. Semua orang jadi content creator, semua orang jadi bintang reality show versi mereka sendiri. Hasilnya? Topik-topik berat jadi receh, diskusi jadi drama, dan fakta kalah cepet ama hoax yang lebih clickbait.
Mau ide loe dalam banget? Sayang, algoritma gak peduli. Yang penting bikin orang stay di layar. Jadi, masyarakat sekarang bukan cuma "menghibur diri sampai mati" kayak kata Postman—tapi sambil joget, sambil live, sambil ngelike postingan yang belum tentu bener.
Dalam On Tyranny (2017, Tim Duggan Books), Timothy Snyder bilang bahwa tirani zaman sekarang tuh gak selalu datang dengan kudeta, pidato ngeri, atau drama kayak film perang. Kadang, doi datengnya pelan-pelan, diem-diem, disiram pake kebiasaan orang-orang yang makin lama makin males nanya, makin nurut aja sama yang “di atas.”
Tirani modern gak butuh tank kalau masyarakatnya udah terbiasa bilang “iya” tanpa mikir dua kali. Snyder ngegas: masalahnya bukan cuma di pemimpinnya yang ambisius, tapi juga di rakyatnya yang pasrah. Kalau orang-orang lebih milih nyaman daripada kritis, lebih milih aman daripada bersuara, yaudah—tirani tinggal nunggu panen.
Awalnya sih halus: “Ah, ini biasa aja.” “Paling cuma bentaran.” “Ngomong juga percuma.” Tapi makin lama, demokrasi keropos, kebenaran jadi fleksibel, dan rasa takut ngegantiin debat. Snyder ngajak kita ngelawan bukan dengan demo gede doang, tapi dari hal-hal kecil sehari-hari: nanya yang pedes, ngecek fakta, nolak ikut-ikutan nyebar omong kosong, dan bela orang yang disumpel mulutnya.
Soalnya, kata doski, tirani tuh gak cuma karena sang tiran kuat—tapi juga karena kita-nya kebanyakan diem.
Dalam The Authoritarian Personality (1950, Harper & Brothers), Adorno dan timnya neliti kenapa ada orang yang gampang banget tunduk ama otoritas dan gak suka mikir kritis. Ternyata, banyak dari mereka dibesarkan di lingkungan yang super ketat—yang kalau nurut dipuji, tapi kalau nanya malah dimarahin. Akhirnya, otak mereka kebentuk buat mikir kaku: yang beda itu salah, yang lawan arus itu bahaya.
Adorno bilang, orang-orang kayak gini ngerasa gak nyaman banget sama keragaman, perubahan, atau debat. Buat mereka, nanya-nanya ke pemimpin itu sama aja kayak bikin onar. Jadi wajar aja kalau mereka gampang banget dukung pemimpin yang galak, yang janjiin “ketertiban,” dan yang ngegas siapa aja yang berani beda pendapat.
Kepribadian kayak gini gak muncul gitu aja—dibentuk dari kecil lewat pola asuh, sekolah, budaya, dan tekanan sosial. Di negara-negara yang ngajarin “jangan banyak bacot,” “ikutin aja,” dan “gak usah sok pintar,” makin banyak deh orang yang punya mentalitas otoriter. Nah, pas pemimpin populis atau otoriter muncul, mereka malah disambut hangat. Bukan karena rakyatnya jahat, tapi karena mereka lebih takut ama kekacauan daripada s\ama tirani.
Dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010, W. W. Norton & Company), Nicholas Carr tuh bilang gini: internet bukan cuma ngerubah apa yang kita pikirin, tapi juga cara kita mikir. Otak manusia tuh ibarat spons yang bisa berubah bentuk sesuai cara dipakai—dan sekarang, karena kita tiap hari dicekokin info instan, notifikasi, scroll-scroll gak habis-habis, otak kita jadi ke-reset buat lebih suka yang cepat, singkat, dan serba baru. Gak tahan sama yang pelan dan mendalam.
Carr ngejelasin kalau kebiasaan online bikin kita susah fokus. Bukannya duduk mikir dalam tentang satu topik, kita malah lompat-lompat dari link satu ke link lainnya, kayak lagi buka 27 tab sekaligus tapi gak fokus ke satu pun. Akhirnya, kita jadi kayak tahu banyak hal tapi cetek semua. Bacanya sih banyak, tapi gak ada yang benar-benar nyantol. Kita lebih sering reaktif daripada reflektif.
Yang bahaya, kata Carr, ini semua bikin kita kehilangan kemampuan berpikir kritis. Padahal berpikir kritis tuh butuh waktu, butuh mikir pelan-pelan, dan butuh ruang buat diem. Internet ngajarin kita buat buru-buru, buat cari jawaban instan. Hasilnya? Kita makin gampang kena hoaks, makin gampang terprovokasi, dan makin susah bedain mana opini dangkal dan mana argument yang kuat.
Waktu buku ini terbit tahun 2010, dunia online udah rame, tapi sekarang... tambah gila! Algoritma medsos makin nge-push kita buat nonton video 15 detik, swipe-swipe yang gak ada ujungnya, dan bahkan sekarang AI udah bisa nulis caption atau opini buat kita. Orang jadi suka langsung ambil kesimpulan cuma dari baca judul doang, atau dari potongan video yang bahkan belum selesai.
Tapi Carr gak bilang “buang aja internet”—enggak. Doski cuma ngajak kita buat lebih sadar diri. Ayo belajar ngatur ulang otak kita. Ayo latihan fokus lagi. Ayo balik lagi ke proses mikir yang dalam. Karena kalau enggak, bisa-bisa kita beneran lupa gimana rasanya mikir pake otak.
Menurut data PISA 2022, kemampuan berpikir kreatif siswa Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan rata-rata negara OECD. Skor rata-rata Indonesia cuma 19 dari 60, sedangkan rata-rata OECD ada di angka 33. Artinya, banyak siswa kita yang masih kesulitan buat mikir out-of-the-box atau nyari solusi kreatif.
Di sisi lain, Amerika Serikat yang katanya negara maju juga punya masalah. Mereka cuma peringkat 14 dalam literasi, 15 dalam problem-solving adaptif, dan 24 dalam numerasi dari 31 negara. Banyak orang dewasa di sana yang kesulitan ngerti teks atau ngitung sederhana, nunjukin penurunan kemampuan berpikir kritis.
Tapi ada juga contoh keren kayak Estonia. Mereka nerapin kurikulum yang fokus ke problem-solving, berpikir kritis, dan skill digital. Teknologi jadi bagian penting dari proses belajar, bikin siswa mereka jago mikir tingkat tinggi.
PISA ini tuh semacam “rapor dunia” buat anak-anak umur 15 tahun di lebih dari 80 negara. Mereka dites kemampuan baca, matematika, dan sains. Hasilnya? Negara-negara Asia lagi-lagi ngasih gebukan telak. Negara kayak Singapura, China, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan itu kayak squad Avengers-nya pelajar dunia—mereka nilainya ngacir semua. Pinter banget pokoknya. Nah, kalo ngomongin Indonesia… yah, agak nyesek sih bacanya: Matematika: 366; Sains: 383; Membaca: 359. Itu nilainya masih di bawah rata-rata dunia, dan nunjukin kalau anak-anak kita masih struggling buat ngerti pelajaran dasar yang sebenernya penting banget buat masa depan mereka (dan bangsa juga, obviously).
Kalau sebuah masyarakat udah males mikir kritis, itu sama aja kayak nyetir negara pake autopilot sambil tidur. Kemampuan buat nanya, merenung, dan ngulik sesuatu dari berbagai sisi itu bukan cuma hak orang pinter—itu kebutuhan dasar buat bikin negara sehat. Begitu kebiasaan mikirnya mati, orang gampang banget dicekokin info mentah, gampang digiring opininya, dan akhirnya gampang banget ditakut-takutin pake narasi yang cetek tapi heboh. Akhirnya, negara itu keliatannya sih adem ayem, tapi dalemnya kosong dan gak siap ngadepin tantangan nyata.
Kerusakan pola pikir kritis ini gak langsung kelihatan—datangnya pelan-pelan, sering kali dibungkus manis pake dalih hiburan, kenyamanan, atau "kebiasaan lama." Tapi dampaknya gila-gilaan. Secara politik, masyarakat jadi gampang ditunggangi pemimpin otoriter. Secara ekonomi, ide-ide baru mandek. Secara sosial, rasa peduli dan solidaritas makin tipis. Secara budaya, kreativitas diganti viralitas, isi diganti gaya. Dan yang paling nyesek, orang jadi kehilangan kendali atas hidupnya sendiri—kayak boneka yang geraknya dikontrol remote dari luar.
Ujung-ujungnya, kesehatan sebuah negara gak bisa cuma dilihat dari ekonomi yang naik atau ranking global yang keren, tapi dari kualitas mikir rakyatnya. Negara yang ngajarin rakyatnya buat mikir, nanya, dan gak gampang puas sama jawaban instan adalah negara yang punya kans buat tetap berdiri tegak di tengah dunia yang makin ribet ini. Jadi jangan remehkan mikir kritis. Itu bukan cuma soal sekolah atau debat—itu soal tanggungjawab, soal harga diri, dan soal masa depan. Tanpa itu, hidup kita emang mungkin lebih gampang—tapi jelas jauh dari bebas-merdeka.