"Seorang guru bijak pernah bilang ke murid-muridnya, pemimpin yang gak mau belajar itu kayak tukang bangunan yang bikin rumah tanpa gambar disain. Meski bahan bangunannya kuat, fondasinya pasti retak, dan rumahnya bakal ambruk—sama kayak negara yang dipimpin orang gak ngerti apa-apa. Ada nih sebuah kampung yang milih kepala desa cuman gara-gara doi paling vokal doang, gak mikir doski punya ilmu apa nggak. Eh, gak lama air sumur pada kering, panen gagal, dan orang-orang mulai ribut mulu. Jadi kelihatan banget, pemimpin tanpa ilmu itu kayak nyetir kapal tapi gak punya kompas—bingung mau kemana, ujung-ujungnya bencana.
Di sebuah negara, ada presiden yang pernah bilang kalau doski gak suka baca buku, lebih menikmati “komik” daripada fakta dan riset. Lama-lama kebijakan buruk dan korupsi makin merajalela. Warga baru nyadar kalo pemimpin yang gak berpendidikan itu bukan cuma beban, tapi bisa bikin masa depan negara jadi berantakan.
Sejarah itu penuh ama raja-raja yang naik tahta cuman karena kekuatan atau pesona, tapi gak punya ilmu buat mimpin negara. Banyak dari mereka ninggalin kekacauan, ekonomi hancur, dan rakyat yang cuma bisa berharap perubahan. Ini ngebuktiin bahwa jadi pemimpin gak cuma soal gaya doang—ilmu dan pendidikan itu pondasi kekuasaan yang beneran kuat dan tahan lama."
Pendidikan tuh punya segudang fungsi keren—kayak fondasi utama buat tumbuh kembangnya seseorang sekaligus kemajuan sebuah masyarakat. Intinya, pendidikan itu kayak bekal hidup: pendidikan ngajarin kita ilmu, skill, ama kemampuan mikir kritis biar kita gak gampang kemakan hoax, bisa ngambil keputusan yang waras, dan ngerti cara hidup di dunia yang makin ribet ini.
Pendidikan ada karena manusia tuh emang punya potensi buat terus belajar, dan masyarakat butuh sistem biar gak jalan di tempat atau makin kacau. Buat personal, pendidikan bikin otak kita makin kepo, wawasan makin luas, dan bikin kita ngerasa hidup kita punya arah—gak cuma rebahan doang nunggu takdir. Dari sisi masyarakat, pendidikan itu kayak mesin inovasi: bikin ekonomi naik level, bantu orang hidup rukun, dan ngejaga budaya biar gak ilang digerus zaman.
Pendidikan juga ngebentuk tenaga kerja yang siap tempur, bikin orang mau peduli sama lingkungan sekitarnya, dan nguatkan nilai-nilai demokrasi yang sehat. Singkatnya, pendidikan itu bukan cuma perjalanan pribadi buat jadi “versi terbaik dari diri kita”, tapi juga proyek rame-rame buat ngebangun masa depan yang lebih pinter, adil, dan sejahtera bareng-bareng.
Pendidikan itu punya peran super penting buat ngebentuk seseorang jadi pemimpin—dan ini bukan cuma soal dapet gelar doang, tapi soal gimana doski ngasah otak, hati, dan skill-nya dari berbagai sisi.
Pertama, pendidikan ngasih kita bekal ilmu yang luas banget, mulai dari sejarah, politik, ekonomi, sampai isu-isu sosial. Semua itu bikin kita ngerti konteks dunia nyata—kayak kenapa harga cabai naik, atau kenapa rakyat bisa protes. Dan ini penting banget buat pemimpin, biar gak asal ambil keputusan tanpa paham akar masalah.
Kedua, pendidikan ngelatih kita mikir kritis dan analitis. Kita diajarin buat gak langsung telan mentah-mentah info, tapi belajar ngecek fakta, nemuin masalah, terus cari solusi yang masuk akal. Nah, ini skill wajib buat pemimpin: biar pas ngadepin situasi ribet, dia gak panik, tapi bisa mikir jernih dan ngambil langkah yang rasional.
Ketiga, di sekolah atau kampus biasanya kita ikut kerja kelompok, presentasi, atau diskusi kelas. Ini bukan cuma tugas semata—tapi latihan komunikasi, cara kerja bareng orang lain, gimana nyampein ide dengan jelas, dengerin pendapat orang, sampai bikin tim semangat jalan bareng. Semua itu esensi dari leadership yang jalan, bukan yang cuma teriak-teriak.
Keempat, makin tinggi jenjang pendidikan, makin dituntut buat mandiri dan punya inisiatif. Kita harus bisa ngatur waktu sendiri, bikin target, dan tanggung jawab sama progres kita. Nah, ini penting buat jadi pemimpin yang bisa mimpin diri sendiri dulu sebelum mimpin orang lain.
Kelima, pendidikan juga ngebentuk karakter dan nilai-nilai hidup. Lewat pelajaran kayak etika, filsafat, atau interaksi sama orang dari latar belakang beda-beda, kita belajar soal integritas, empati, dan tanggung jawab sosial. Pemimpin yang oke itu yang punya hati, gak cuma otak, dan yang mikirin kepentingan orang banyak, bukan cuma diri sendiri.
Terakhir, di luar kelas, pendidikan juga kasih panggung buat langsung latihan jadi pemimpin. Entah itu ikut organisasi kampus, komunitas, atau kegiatan sosial—semua itu tempat yang aman buat trial-error, belajar dari gagal, dan pelan-pelan tumbuh jadi pemimpin yang pede dan bisa diandalkan.
Singkatnya, pendidikan itu bukan cuma soal ijazah, tapi perjalanan lengkap yang bikin seseorang jadi pinter, punya empati, kuat mental, dan siap turun langsung jadi pemimpin yang beneran ngerti, bukan cuma gaya-gayaan doang.
Bayangin deh, sebuah negara itu kayak kapal gede yang lagi ngapung di lautan luas. Nah, pemimpinnya itu kayak kapten kapal yang harus bawa semua penumpang ke tujuan dengan selamat. Tapi gimana jadinya kalau kaptennya gak tahu cara baca peta, gak ngerti arah angin, atau bahkan gak ngerti cara nyalain kompas? Bisa-bisa kapal itu malah nyasar, muter-muter, atau lebih parah lagi, nabrak karang dan bikin semua orang celaka.
Nah, itu kira-kira yang terjadi kalau pemimpin sebuah negara gak punya pendidikan yang memadai. Mari kita coba ngebahas dampak serius dari pemimpin yang kurang wawasan, kenapa itu bahaya banget buat masa depan bangsa, dan gimana hal ini ngaruh ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Pemimpin tanpa pendidikan memadai akan berujung pada kebijakan yang amburadul. Dalam "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty", Daron Acemoglu dan James A. Robinson jelasin bahwa negara maju tuh biasanya dipimpin oleh orang-orang yang ngerti struktur ekonomi dan politik, dan itu biasanya datang dari pendidikan yang mumpuni. Sebaliknya, kalau pemimpinnya kurang wawasan, apalagi asal comot jabatan, yang terjadi malah kebijakan ngawur dan sistem negara yang cuma nguntungin segelintir orang doang.
Dalam "Leadership and the Problem of Bogus Empowerment" yang masuk dalam The Leadership Studies Reader (2008, Routledge), Keith Grint jelasin gimana pemimpin yang nggak cukup "belajar" biasanya ngandelin gimmick doang, misalnya populisme atau gaya meyakinkan doang tapi isi kebijakannya bodong. Tanpa dasar berpikir kritis dan pemahaman yang dalam soal sistem sosial atau ekonomi, ya kebijakannya jadi asal tempel dan nggak tahan lama.
Lalu, dalam The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization (1990, Doubleday), Peter Senge bilang bahwa pemimpin yang ngerti pentingnya pembelajaran terus-menerus dan mikir secara sistemik bakal bikin kebijakan yang lebih tahan banting dan adaptif. Tapi kalau pemimpinnya nggak punya dasar pendidikan yang kuat, biasanya doski mikirnya jangka pendek banget, kayak tambal sulam doang, nggak nyentuh akar masalah.
So, pemimpin tanpa pendidikan yang cukup sering bikin keputusan yang asal-asalan. Bukan karena jahat, tapi karena mereka bener-bener kagak ngerti kompleksitas dunia nyata. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan bisa ngawur, nyusahin rakyat, dan ngerusak masa depan negara.
Pendidikan itu bukan cuma soal gelar atau ijazah, tapi soal kemampuan memahami masalah, menganalisa data, dan bikin keputusan yang tepat. Kalau pemimpin gak punya itu, ya keputusan yang diambil bisa ngawur. Misalnya, dalam ekonomi, mereka bisa salah ambil langkah, bikin kebijakan yang malah bikin inflasi tinggi atau lapangan kerja susah dibuka. Ketika krisis datang—entah pandemi, bencana alam, atau krisis politik—pemimpin yang gak punya ilmu yang cukup bakal kelabakan, salah strategi, dan ujung-ujungnya rakyat yang susah.
Gak jarang juga, pemimpin yang gak paham ilmu dan etika malah cenderung jadi otoriter. Karena gak bisa meyakinkan rakyat lewat data dan argumentasi, mereka pilih cara represif: nyensor media, bungkam kritik, dan pakai propaganda supaya tetap bertahan di kursi kekuasaan.
Ketika para pemimpin gak menghargai pendidikan, itu bakal nular ke masyarakat. Orang-orang jadi males mikir kritis, gak pengen tahu lebih dalam, dan gampang percaya sama informasi seadanya. Inovasi pun jadi mandek karena gak ada budaya belajar dan riset yang kuat. Rakyatnya lebih milih ikut-ikutan tren atau berita hoaks yang viral, daripada belajar dari sumber yang valid. Kalau masyarakat di sebuah negeri makin malas mikir kritis, dampaknya nggak berhenti di situ aja—ini kayak efek domino yang ujung-ujungnya bikin orang jadi anti sama yang namanya intelektualisme. Dan ini bukan cuma teori doang, udah ada banyak buku kece yang ngebahas soal ini.
Contohnya buku legendaris "Anti-Intellectualism in American Life" karya Richard Hofstadter. Doski nunjukin gimana budaya di Amerika lama-lama jadi curiga sama kaum intelektual, lebih milih omongan emosional daripada penjelasan yang dalam. Katanya sih, kalau masyarakat nggak terbiasa mikir jernih dan logis, akhirnya mereka lebih gampang termakan narasi dramatis yang dangkal. Nah, dari situ muncul rasa benci atau sinis sama orang-orang yang dianggap “terlalu pintar”.
Anti-intelektualisme itu nggak jatuh dari langit. Doski tumbuh dari kebiasaan masyarakat yang ogah mikir susah, maunya yang praktis dan konfirmasi opini sendiri. Lama-lama, masyarakat kayak gini lebih suka pemimpin yang gaya doang daripada yang mikir dalam. Yang penting bisa bikin heboh, bukan bikin solusi.
Ini juga bikin masyarakat gampang diadu domba, mudah dipengaruhi propaganda, dan akhirnya memilih pemimpin yang lebih jago nge-jargon ketimbang yang bener-bener kompeten. Akibatnya, politik jadi kayak tontonan drama yang penuh intrik, bukan arena diskusi yang sehat.
Pemimpin yang kurang pendidikan biasanya ngandelin pesona, gaya ngomong yang meyakinkan, dan janji manis buat narik simpati. Tapi itu cuma kayak makeup doang—luarannya keren, tapi isinya kosong. Populisme ini kadang bikin rakyat lupa, bahwa kemampuan pemimpin itu harusnya dilihat dari hasil kerja dan integritas, bukan dari siapa yang paling jago bikin sensasi.
Di dunia politik zaman now, apalagi di negara-negara yang masyarakatnya makin males mikir kritis, yang menang seringkali bukan isi kebijakan atau visi jangka panjang, tapi pencitraan dan gaya populis. Para pemimpin populis biasanya naik daun bukan karena argumen kuat atau solusi realistis, tapi karena mereka jago mainin emosi publik. Mereka janjiin solusi instan buat masalah super kompleks, seakan merekalah "wakil rakyat sejati" yang sedang melawan elit jahat nan licik. Isi pidatonya? Bukan data atau rencana detail, tapi slogan catchy, drama penuh amarah pura-pura, dan soundbite yang gampang viral di medsos.
Di suasana seperti ini, pencitraan adalah segalanya. Para pemimpin lebih sibuk mikirin angle kamera, gaya ngomong, dan seberapa hits mereka di TikTok, daripada beneran mikirin solusi buat harga pangan atau pendidikan. Feed Instagram yang estetik atau video yang FYP bisa punya efek politik lebih gede dari proposal ekonomi yang udah diteliti matang. Akhirnya, yang dihargai adalah karisma, bukan kapabilitas. Yang dielu-elukan adalah tampilan, bukan pencapaian.
Hasilnya, diskusi politik jadi kayak panggung sandiwara. Pemilih bukan lagi menilai program kerja, tapi lebih tergoda sama branding emosional dari kandidat. Tokoh populis paham banget trik ini dan mereka manfaatin habis-habisan: pakai baju rakyat jelata, ngomong pakai bahasa nongkrong, atau nge-post meme lucu biar kelihatan relatable. Sementara itu, kerjaan pemimpin yang sesungguhnya—kayak negosiasi, analisis masalah, tanggung jawab publik—disingkirin ke belakang panggung. Yang penting tampil kece dan dramatis.
Tren ini makin bahaya di negara-negara yang sistem pendidikannya gagal ngajarin literasi media atau kemampuan berpikir kritis. Ketika publik nggak diajarin buat bedain mana tontonan dan mana substansi, para populis makin berjaya. Mereka nutupin minimnya kualitas diri dengan mengalihkan perhatian rakyat ke isu musuh bersama, krisis yang dilebih-lebihkan, atau nasionalisme yang dibakar-bakar. Ujung-ujungnya? Demokrasi jadi rapuh, partisipasi publik menurun, dan kebijakan cuma dibikin biar kelihatan keren di layar, bukan karena beneran ngasih dampak nyata. Tanpa pondasi ilmu yang kuat, kebijakan yang dibuat bisa jadi sekadar janji kosong, yang ujung-ujungnya bikin masalah baru.
Salah satu rujukan paling kuat yang mendukung argumen ini ialah Populism and Image Over Substance in Politics adalah "How Democracies Die" (2018) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Mereka menjelaskan gimana demokrasi nggak selalu mati lewat kudeta berdarah, tapi seringkali mati pelan-pelan gara-gara pemimpin populis yang lebih sibuk jaga pencitraan ketimbang ngejaga norma demokrasi. Para pemimpin ini suka banget tampil bak selebriti, tapi kalau soal isi kebijakan? Nihil. Yang penting tampil meyakinkan di TV atau medsos, bikin publik terbius, walau sebenarnya minim isi.
Ada juga esai kece berjudul "The Age of Spin: The Rise of Image Politics in America" yang ditulis Mark Crispin Miller dalam karya Seeing Through Movies. Esai ini ngebahas gimana dunia politik makin mirip dunia entertainment—yang penting viral, yang penting trending, soal isi belakangan. Politisi sekarang lebih kayak influencer: kampanye pakai filter, janji-janji manis kayak caption Instagram, dan rakyatnya? Banyak yang auto-like tanpa ngecek fakta.
Trus, ada juga karya klasik nan dalem dari Guy Debord berjudul "The Society of the Spectacle" (1967). Ini buku jadul tapi relevan banget buat zaman kekinian. Debord jelasin gimana dunia modern—terutama lewat media dan kapitalisme—bikin masyarakat lebih peduli sama penampilan luar ketimbang isi. Jadi, jangan heran kalau politisi lebih fokus ke pencitraan, karena mereka tahu: rakyat lebih gampang terpukau sama tampilan daripada kerja nyata.
Karya-karya ini kalau digabung, jadi seperti kaca pembesar buat ngeliat kenapa dunia politik sekarang makin mirip reality show. Yang penting gaya, bukan substansi. Yang penting bisa viral, bukan bisa mikir. Rakyat akhirnya lebih sibuk debat soal gaya rambut pemimpin daripada kebijakan pajaknya.
Pendidikan itu penting banget buat ngebentuk seseorang jadi pemimpin top. Pendidikan itu kayak ngasih loe "map" atau peta yang super lengkap. Loe jadi punya wawasan luas tentang sejarah, politik, ekonomi, dan isu-isu social. Dengan bekal ini, loe bisa ngertiin seluk-beluk tantangan dan peluang yang dihadapi organisasi atau masyarakat. Nah, wawasan ini pondasi krusial banget buat bikin keputusan yang nggak kaleng-kaleng sebagai pemimpin.
Pendidikan itu juga aktif ngembangin skill mikir kritis dan analitis loe. Selama proses belajar, kita diajarin buat ngecek info, nemuin masalah, terus ngerumusin solusi yang jitu. Kemampuan ini penting banget biar seorang pemimpin bisa menganalisis situasi yang ribet, bikin penilaian yang masuk akal, dan mimpin tim ngadepin rintangan.
Pendidikan formal sering ngasih kita pengalaman kolaborasi dan interaksi yang seru, kayak proyek kelompok, presentasi, atau diskusi kelas. Pengalaman-pengalaman ini bantu banget ngembangin skill komunikasi dan interpersonal yang efektif. Jadi, loe bisa nyampein ide dengan jelas, dengerin orang lain secara aktif, bangun relasi, dan nyemangatin orang. Skill-skill ini inti dari kepemimpinan yang sukses.
Pendidikan, apalagi di level yang lebih tinggi, sering nuntut kita buat mandiri dan punya inisiatif. Mahasiswa atau pelajar itu diharapkan bisa ngatur waktu sendiri, nentuin target, dan bertanggungjawab atas proses belajarnya. Kualitas-kualitas ini penting banget buat pemimpin yang harus proaktif, bertanggungjawab, dan bisa mimpin dirinya sendiri sebelum mimpin orang lain.
Pendidikan juga bisa ngebentuk karakter dan nilai-nilai seseorang. Lewat belajar etika, filosofi, dan humaniora, plus interaksi 'ama berbagai sudut pandang, individu bisa ngembangin pemahaman yang lebih dalam tentang prinsip moral, integritas, dan tanggungjawab sosial. Pemimpin yang oke itu, mereka yang bertindak etis dan peduli 'ama well-being orang lain.
Terakhir, pendidikan sering ngasih kesempatan buat nyoba jadi pemimpin langsung lewat kegiatan ekstrakurikuler, organisasi mahasiswa, atau proyek komunitas. Pengalaman-pengalaman ini ngasih kita ruang buat latihan skill kepemimpinan di lingkungan yang relatif aman, belajar dari kesalahan, dan bangun pede kita sebagai calon pemimpin masa depan.