Reformasi 1998 di Indonesia itu, ibarat momen klimaks dalam film thriller politik—Presiden Soeharto yang udah 32 tahun duduk di kursi kekuasaan, akhirnya lengser oleh tekanan ekonomi, gelombang protes mahasiswa, dan suara rakyat yang udah capek dibungkam. Tapi ternyata, cerita kayak gini nggak cuma kejadian di Tanah Air. Di berbagai belahan dunia, ada juga kisah-kisah serupa: ketika rakyat bangkit, rezim otoriter tumbang, dan sejarah berubah arah. Ambil contoh tetangga kita, Filipina, yang udah “spoiler duluan” lewat People Power Revolution tahun 1986. Presiden Ferdinand Marcos, yang udah lama banget ngatur-ngatur negara sambil nyetok sepatu istrinya, akhirnya tumbang juga karena rakyat udah muak. Jutaan orang turun ke jalanan Manila, damai tapi tegas. Militer pun mulai mikir, dan boom! Marcos minggat. Mirip banget ama vibe Reformasi kita—suara rakyat, bukan senjata, yang jadi kunci.
Lanjut ke Eropa Timur tahun 1989, yang serasa kayak serial Netflix bertema revolusi. Negara-negara kayak Polandia, Cekoslowakia, dan Jerman Timur kayak barengan update status: “Ganti sistem, please!” Di Cekoslowakia, mahasiswa dan seniman memimpin Revolusi Beludru—disebut begitu karena revolusinya smooth, tanpa bedarah-darah, tapi sukses banget. Rezim komunis tumbang, dan rakyat bisa nafas lega. Lagi-lagi, semangatnya tuh kayak Reformasi: rakyat bangkit, sistem berubah.
Terus, siapa yang bisa lupa sama momen viral tingkat global: Arab Spring tahun 2011. Di Tunisia, rakyat ngegas duluan, dan presiden langsung angkat kaki. Di Mesir, demo besar-besaran di Tahrir Square bikin Presiden Mubarak yang udah 30 tahun berkuasa akhirnya nyerah juga. Ini semua bukan karena senjata, tapi karena rakyat udah bosen ditindas, pengin kerja, makan enak, dan punya masa depan.
Jangan lupakan juga kisah dari Korea Selatan tahun 1987. Mahasiswa jadi motor gerakan, turun ke jalan nuntut pemilu langsung dan demokrasi. Pemerintah akhirnya nggak tahan dan membuka pintu buat perubahan besar. Negara yang tadinya otoriter itu sekarang bisa dibilang salah satu demokrasi paling stabil di Asia. Jadi jangan heran kalau vibes-nya mirip banget sama Indonesia pas masa Reformasi.
Kalau dilihat-lihat, benang merahnya jelas banget: begitu kekuasaan absolut ketemu rakyat yang melek dan krisis ekonomi, tinggal nunggu waktu aja sampai semuanya meledak. Anak muda, mahasiswa, rakyat biasa—mereka semua jadi pahlawan dalam cerita-cerita perubahan ini. Dan Indonesia? Kita juga punya momen heroik itu, saat rakyat bilang, “Cukup sudah,” dan mulai nulis bab baru dalam sejarah bangsa.
Bedanya reformasi dan revolusi itu kayak bedanya renovasi rumah sama ngebongkar total buat bangun ulang dari nol. Dua-duanya sama-sama pengen perubahan, tapi cara mainnya beda banget.
Siapa sih yang biasa ngusung reformasi atau revolusi? Kalau reformasi, biasanya digerakkan sama kelompok-kelompok yang masih percaya sistem bisa dibenahi. Bisa mahasiswa, LSM, organisasi buruh, bahkan politisi yang “capek juga nih main bersih tapi dikelilingi tikus.” Sementara kalau revolusi, pelakunya udah level gerah banget. Rakyat yang marah, kelompok bawah tanah, atau bahkan militer yang mutung ama pemerintah. Mereka bukan mau benahin sistem—mereka mau buang sistemnya sekalian!
Apa yang pengin dicapai juga beda total. Reformasi tuh pengin upgrade—kayak nginstall operating sistem baru tanpa buang semua datanya. Jadi presiden boleh ganti, undang-undang boleh direvisi, tapi negaranya tetep jalan. Revolusi? Nah, itu kayak factory reset. Ganti sistem, buang yang lama, kadang sekalian bikin nama negara baru. Dari kapitalis bisa jadi sosialis, dari monarki bisa jadi republik. Total reboot.
Kapan sih biasanya dua hal ini muncul? Reformasi biasanya muncul pas rakyat udah kesel tapi negara masih bisa diajak ngobrol. Masih ada ruang buat orasi, demo damai, atau debat di parlemen. Tapi kalau revolusi, biasanya terjadi pas semua udah mentok—ekonomi hancur, pemerintah tuli, rakyat lapar. Udah bukan fase ngetweet marah, tapi udah saatnya bakar ban di jalan.
Di mana dua hal ini sering kejadian? Bisa aja tempatnya sama, tapi kondisinya beda. Kayak di Indonesia tahun ‘98, kita milih jalan reformasi karena masih ada celah buat negosiasi. Tapi di tempat lain kayak Prancis 1789 atau Rusia 1917, rakyat udah muak setengah mati dan jalan satu-satunya ya revolusi. Intinya, kalau sistemnya masih punya tombol ‘reset’, biasanya reformasi yang dipencet. Tapi kalau tombolnya udah rusak? Ya, revolusi jalan terakhir.
Kenapa dua hal ini bisa meledak? Jawabannya simpel: karena ada ketimpangan, ketidakadilan, dan orang-orang yang udah nggak tahan lagi. Tapi motivasinya beda. Reformis masih punya harapan, masih bilang “Eh, ini negara masih bisa kok dibenerin.” Sementara revolusioner udah ngomong, “Udah ah, buang semua! Bikin yang baru aja!”
Dan terakhir, bagaimana cara mereka jalan? Reformasi biasanya pakai jalur damai, diskusi, pemilu, dan gerakan sosial. Perubahannya mungkin pelan, tapi terstruktur. Revolusi? Itu level chaos. Bisa pakai senjata, kudeta, atau bentrokan massal. Cepat, brutal, dan kadang hasilnya nggak sesuai harapan.
Jadi, kesimpulannya? Reformasi itu kayak makeover—luar dalem diperbaiki, tapi tetep ellu. Revolusi itu kayak transformasi ala superhero—berubah total, kadang sampai nggak dikenali lagi. Dua-duanya bisa keren, dua-duanya bisa berantakan, tergantung siapa yang pegang kendali dan gimana akhir ceritanya ditulis.
Menurut Jack A. Goldstone, dalam Revolutions and Rebellions in the Early Modern World (University of California Press, 1991), revolusi itu bukan semacam “meledak tiba-tiba karena emosi massa” kayak yang sering dibikin dramatis di film. Bukan juga sekadar ideologi yang dibakar semangat. Dalam karyanya yang udah jadi referensi penting ini, Goldstone bilang kalau revolusi besar dunia—kayak di Inggris, Prancis, China, sampai Kesultanan Utsmani—itu sebenernya punya pola yang bisa ditebak, dan itu semua berakar dari krisis sistemik yang udah lama mendidih di bawah permukaan.
Bayangin, negara kayak rumah gede yang udah tua. Kalau fondasinya mulai retak karena kebanyakan penghuni (alias ledakan penduduk), atapnya bocor karena krisis ekonomi (alias inflasi dan utang negara), dan para pengurus rumah (alias elite politik) malah sibuk ribut dan rebutan warisan—ya rumah itu tinggal nunggu waktu buat ambruk. Nah, menurut Goldstone, revolusi itu terjadi ketika negara gak bisa lagi menahan tekanan dari semua arah, dan masyarakat kehilangan kepercayaan total pada penguasa.
Beda dengan reformasi, yang ibarat ngerenovasi rumah sambil masih tinggal di dalamnya (ganti jendela, perbaiki dapur, tapi tembok tetep berdiri), revolusi itu kayak rumahnya diledakin dulu, dibersihin puing-puingnya, lalu dibangun dari nol—dengan desain baru dan penghuni baru juga. Reformasi pengen sistem lama tetep hidup tapi lebih sehat, sedangkan revolusi bilang: “Udah, sistem lama ini toxic, kita ganti semuanya.”
Yang menarik dari pandangan Goldstone, revolusi itu gak selalu dimulai dengan ideologi keren dan slogan puitis. Kadang justru dimulai dari kekacauan, demo yang gak sinkron, atau konflik elite. Baru setelah kekuasaan lama tumbang, muncul gerakan yang solid dan mulai nyusun ulang sistem politik. Jadi, revolusi itu bukan langsung “woosh!” jadi utopia, tapi proses berdarah-darah penuh plot twist—kayak seri TV yang tegangnya bikin gagal napas.
Kesimpulannya? Kalau negara udah nggak sanggup bayar tagihan, para elite ribut sendiri, rakyat makin miskin, dan pemerintah kehilangan “aura karismatiknya”, maka revolusi tinggal nunggu waktu. Sementara kalau reformasi, itu jalan damai (kadang setengah hati) buat selamatin sistem lama. Dua-duanya punya tempatnya masing-masing. Tapi satu hal pasti: revolusi lebih dramatis, dan lebih cocok difilmkan Netflix.
Bayangin revolusi itu kayak serial Netflix bertema politik: intens, kompleks, penuh twist, dan nggak cuma urusan dalam negeri. Nah, George Lawson dalam karyanya Anatomies of Revolution (University of California Press, 1991) ngajak kita buat ngelihat revolusi bukan sekadar soal rakyat ngamuk, demo besar-besaran, lalu rezim jatuh. Bukan cuma begitu. Revolusi, menurut doski itu, fenomena sosial-politik yang terjadi oleh interaksi rumit antara aktor lokal dan pengaruh global.
Revolusi itu kayak pesta besar yang tamunya bukan cuma dari dalam negeri, tapi juga dari luar—ada tekanan internasional, pengaruh ideologi lintas negara, dan bahkan peran media sosial global yang ikut main. Jadi, kalau kita kira revolusi itu urusan dalam negeri doang, kata Lawson, “Loe kurang jauh mainnya, bro!”
Menurut Lawson, reformasi itu kayak upgrade sistem operasi HP loe—loe tetep pakai device yang sama, tapi ada perbaikan performa. Sedangkan revolusi itu kayak loe buang HP lama, beli device baru, dengan sistem dan fitur yang beda total. Reform itu pelan, hati-hati, dan masih main dalam aturan lama. Tapi revolusi? Itu cepat, penuh tekanan, dan biasanya agak brutal. Ibaratnya, reform itu kerja sama, revolusi itu kudeta.
Karya ini juga ngebahas soal momen-momen yang sering kita lihat di berita atau Twitter—kayak Arab Spring. Lawson nanya: "Apakah ini revolusi? Atau sekadar protes besar yang gagal?" Doski ngajak kita mikir: jangan cuma lihat dari skala atau kerusuhannya aja, tapi lihat juga apakah bener-bener ada transformasi besar-besaran atau tidak.
Yang bikin karya ini keren yalah pendekatannya yang gak cuma mikir lokal doang. Lawson bilang, “Guys, revolusi itu gak hidup di ruang hampa.” Artinya, doski make pendekatan sosiologi global, ngebahas revolusi pakai lensa sejarah, hubungan internasional, bahkan geopolitik dunia. Bukan cuma soal siapa lawan siapa, tapi juga siapa yang nyumbang mic dan lighting-nya.
Jadi intinya, Anatomies of Revolution ngajarin kita bahwa revolusi itu bukan cuma soal siapa yang demo atau gulingin siapa, tapi soal bagaimana semua itu terjadi dalam jaringan kekuasaan, ideologi, dan sejarah global. Ini buku wajib buat kamu yang pengin mikir lebih dalam soal kenapa dunia bisa jungkir balik dan kadang gak balik-balik lagi.
Di dunia ini banyak banget negara yang pernah ngalamin yang namanya reformasi dan revolusi. Tapi bedanya tuh kadang nggak hitam-putih, karena keduanya sama-sama soal perubahan besar, cuma cara dan skala berubahnya beda.
Kalau ngomong soal reformasi, biasanya ini kayak upgrade sistem yang udah ada, bukan ngerusak total. Contohnya Inggris, yang sejak abad ke-19 dan 20 sering banget ngelakuin reformasi kayak memperluas hak pilih rakyat dan ngatur aturan kerja supaya lebih modern, tapi kerajaan tetep jalan. Jepang juga keren banget, lewat Meiji Restoration mereka berhasil transformasi dari negara feodal jadi modern tanpa hilangin kaisarnya. Di Afrika Selatan juga pernah ada reformasi besar-besaran yang ngebuka jalan buat berakhirnya apartheid, tapi lewat proses negosiasi damai, bukan perang.
Nah, kalau revolusi biasanya lebih dramatis dan sering kali diiringi kekerasan. Revolusi itu kayak reset total, misalnya kayak Revolusi Prancis 1789 yang bikin monarki runtuh dan lahir republik baru, atau Revolusi Rusia 1917 yang bikin Tsar lengser dan muncul Uni Soviet. Amerika juga ngalamin revolusi lawan penjajahan Inggris, terus jadi negara baru yang demokrasinya solid. Baru-baru ini ada Revolusi Iran 1979 yang ngebuat pemerintahan Shah ambruk dan berdiri pemerintahan Islam. Trus, Arab Spring di negara-negara kayak Mesir dan Tunisia juga contoh revolusi modern yang bikin rezim lama tumbang.
Intinya, reformasi itu kayak lo upgrade software biar sistemnya makin oke, tapi nggak ngapus data atau sistem dasarnya. Revolusi itu kayak lo install ulang semua, dari nol dan bikin yang baru. Keduanya sama-sama bikin dunia berubah, cuma jalannya kadang santai, kadang penuh drama.
Reformasi itu bisa keren banget, kayak momen glow-up dalam hidup negara. Bayangin kayak makeover besar-besaran tapi tetep pakai struktur lama yang masih oke. Contoh paling ikonik? Afrika Selatan pas era 1990-an. Dulu mereka hidup di bawah sistem rasis apartheid yang kejam. Tapi lewat negosiasi damai antara Nelson Mandela dan Presiden de Klerk, negara itu pelan-pelan berubah jadi demokrasi tanpa perang saudara. Reformasi ini smooth, dramatis, dan elegan—kayak film Oscar.
Tapi... reformasi juga bisa jadi drama yang gagal tayang, kalau cuma setengah-setengah, penuh kepentingan, atau cuma pencitraan. Lihat aja Myanmar. Tahun 2010-an, mereka sempat dianggap "comeback nation" gara-gara ngelepas tahanan politik dan buka ruang demokrasi. Tapi ternyata tentara masih pegang kendali dari belakang layar. Akhirnya? Kudeta militer di 2021. Reformasinya kayak rumah Instagramable yang ternyata fondasinya rapuh—jatuh juga.
Sekarang soal revolusi. Revolusi itu bisa jadi keren banget, kayak plot twist di akhir musim serial yang bikin semua orang berdiri dan tepuk tangan. Contohnya Revolusi Amerika—mereka ngusir penjajahan Inggris dan lahir sebagai negara merdeka dengan nilai-nilai demokrasi. Atau Revolusi Beludru di Cekoslowakia tahun 1989, yang berlangsung damai banget tapi berhasil ngebuang rezim komunis dan langsung bikin negara demokratis. Revolusi ini vibes-nya kayak ending film indie yang ngena banget di hati.
Tapi, jangan lupa... revolusi juga bisa jadi horor politik. Misalnya Revolusi Rusia. Awalnya digadang-gadang bakal ngebebasin rakyat kecil dari penindasan. Tapi malah berubah jadi era kelam penuh represi dan perang saudara, ditambah rezim otoriter Soviet selama puluhan tahun. Atau Revolusi Iran 1979, yang sukses jatuhin Shah yang korup, tapi malah diganti dengan pemerintahan teokratik yang juga keras. Kayak lo ngusir bos toxic, eh dapet bos baru yang lebih galak.
Intinya? Reformasi keren kalau tulus dan serius, bukan sekadar konten buat medsos atau janji manis elite lama. Revolusi keren kalau tetep fokus sama kebebasan dan keadilan, bukan balas dendam atau rebutan kekuasaan. Tapi dua-duanya bisa jeblok juga, kalau nggak hati-hati atau cuma digoreng buat kepentingan sesaat. Jadi, reformasi dan revolusi itu bukan genre—mereka bisa jadi drama, thriller, atau malah komedi hitam. Tinggal siapa yang nulis naskahnya, dan siapa yang sutradarain.
Balik ke topik reformasi Indonesia. Gini, gengs—kalau kita ngomongin soal 27 tahun Reformasi di Indonesia, banyak orang yang awalnya berharap banget bakal ada perubahan besar. Bayangin vibes 1998 itu kayak ending film Marvel: Suharto tumbang, rakyat bersatu, semua pengin hidup baru yang demokratis, adil, dan bebas korupsi. Tapi kenyataannya? Setelah 27 season, banyak plot-nya malah kayak drama politik yang makin ribet dan penuh plot twist. Pertama, soal kebebasan sipil dan politik—yang katanya mau dijaga kayak harta karun demokrasi—eh, ternyata makin ke sini malah makin tipis kayak sinyal WiFi di hutan. Laporan dari Amnesty International bilang, Indonesia sekarang malah mulai ngalamin kemunduran, dari pembungkaman aktivis sampai pembiaran kasus pelanggaran HAM masa lalu. Reformasi tuh katanya mau bersihin rumah, tapi ini malah kayak nyimpen debu di bawah karpet.
Lalu, ada juga masalah korupsi yang masih awet banget, kayak sinetron yang kagak kelar-kelar. Meski udah ada lembaga keren kayak KPK, praktik korupsi tetep ngendon di birokrasi dan politik. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) nunjukin kalau banyak banget PNS yang nyangkut kasus korupsi dari 2010 sampai 2016. Jadi ibarat upgrade sistem, tapi software-nya masih kena virus juga.
Dan yang gak kalah ngeri: militer, dan polisi yang dijuluki dengan kata satire "parcok", balik lagi masuk ke ranah sipil. Ini kayak nonton film lama yang diputar ulang, padahal orang udah bilang: “Kita udah move on, loh.” Reformasi dulu tuh niatnya ngurangin kekuatan tentara di urusan sipil, eh sekarang justru makin sering nongol. Netizen bilang, “Loh, bukannya ini plot dari masa Orba?”
Terakhir, ada isu yang bikin rame juga: revisi sejarah. Pemerintah kelihatan kayak mau remake film sejarah, tapi banyak yang khawatir ending-nya malah beda dari kenyataan. Contohnya, kasus 1965 itu sekarang kayak lagi dipoles ulang, dan ini bikin sebagian orang mikir, “Jangan-jangan ini usaha buat ngapus jejak kelam.”
Kesimpulannya? Reformasi Indonesia itu ibarat serial yang punya opening keren dan harapan besar, tapi makin ke sini malah banyak side quest yang bikin bingung. Ceritanya belum tamat, dan harapannya sih semoga season berikutnya nggak makin off-script. Tapi buat sekarang, kita harus jaga narasi dan tetep jadi penonton (dan pemain) yang kritis.
Jujur aja, banyak yang bilang—dan ini bukan gosip warung kopi—kalau salah satu penyebab kenapa Reformasi Indonesia kayak "nggak tuntas-tuntas amat" itu justru karena pelaku reformasi itu sendiri. Yup, bukan cuma musuh dari luar, tapi juga dari dalam. Ada yang dulu ikut teriak “Turunkan Suharto!” di jalanan, eh beberapa tahun kemudian malah duduk manis di kursi kekuasaan sambil bilang, “Demi bangsa dan negara, kita butuh stabilitas.” Stabilitas, yes. Tapi kadang itu jadi kata lain dari “balik ke pola lama.” Pemberantasan KKN yang jadi topik utama reformasi, KKN bukannya diberangus, eh malah dipertahankan.
Bahkan, ada juga yang cuma numpang nama doang. Mereka ngaku-ngaku reformis, pasang wajah peduli rakyat di baliho, tapi pas udah pegang jabatan, kelakuannya ya gitu-gitu aja: penuh manuver, bagi-bagi kekuasaan, main aman, dan tetep deket ama para oligark. Reformasi jadi kayak merek baju—semua bisa pakai, tapi isinya belum tentu orisinil.
Yang lebih nyesek, beberapa mantan aktivis atau tokoh idealis zaman dulu sekarang malah ikut-ikutan masuk lingkaran kekuasaan yang dulu mereka kritik habis-habisan. Dari “pahlawan rakyat” jadi “partner penguasa.” Ini kayak plot film superhero yang berubah jadi antihero tanpa kita sadar.
Dan karena itu, semangat Reformasi yang dulu kayak festival kebebasan dan harapan, sekarang makin sepi peminat. Rakyat jadi skeptis, percaya nggak percaya. Harapan berubah jadi tanda tanya besar: “Apa gunanya reformasi kalau orang-orangnya sendiri ikut main aman dan lupa idealisme?”
Jadi ya, kalau Reformasi kayak film franchise yang kehilangan arah, sebagian besar sutradaranya juga harus bertanggungjawab—bukan cuma karena skripnya buruk, tapi karena mereka sendiri yang nulis ulang naskahnya biar tetep dapet peran utama.
Akhirnya, cerita tentang Reformasi Indonesia itu bukan kisah gagal total, tapi juga jauh dari sukses paripurna. Ini kayak drama panjang yang udah sampai episode 1000 tapi belum nemu ending yang bener-bener bikin puas. Tumbangnya Suharto di tahun 1998 jelas momen legendaris—ibarat final boss dikalahkan. Tapi ternyata, "reformasi" itu bukan sekadar menang satu ronde. Ini perjalanan maraton, bukan sprint. Butuh konsistensi, nyali, dan integritas dari mereka yang dulu teriak paling kencang soal perubahan.
Sayangnya, makin ke sini, beberapa "pahlawan" Reformasi malah berubah jadi elit politik juga. Dulu kritik tajam, sekarang duduk nyaman di sistem yang mereka sumpahi. Yang lain malah menghilang dari layar, kayak karakter pendukung yang tak dikembangkan lagi. Generasi muda hari ini banyak yang tumbuh besar bukan dengan semangat api perubahan, tapi dengan sinisme: melihat politik sebagai dunia penuh kompromi dan gimmick. Buat mereka, kata "Reformasi" mungkin cuma tinggal brand lawas yang udah kedaluwarsa, kayak band keren tahun 90-an yang sekarang cuma manggung nostalgia.
Salah satu faktor yang bikin proses reformasi di Indonesia makin pelik adalah karena banyak generasi muda sekarang yang buta sejarah. Gak kayak generasi yang langsung ngerasain jatuhnya Suharto dan semangat ngotot tahun 1998 dulu, anak muda zaman sekarang seringnya cuma tahu permukaannya doang, bahkan kadang salah paham soal arti sesungguhnya Reformasi itu apa.
Ini bukan cuma soal pelajaran sejarah di sekolah yang kadang garing dan jauh dari realita, tapi lebih ke gimana mereka lihat politik dan peran mereka sebagai warga negara. Kalau gak paham betul perjuangan, pengorbanan, dan drama yang bikin Reformasi bisa terjadi, gak heran kalau banyak yang jadi apatis, sinis, atau gampang kebawa cerita politik yang simpel dan kadang ngebohongin. Demokrasi bisa kelihatan kayak sesuatu yang “udah jadi,” padahal sebenernya rapuh dan butuh dijaga terus.
Kalau generasi muda bisa kembali nyambung sama sejarah, mereka bakal punya power buat jadi motor penggerak perubahan beneran ke depan. Dari belajar kesalahan masa lalu dan ngertiin nilai-nilai yang dulu bikin jutaan orang bangkit, anak-anak muda Indonesia bisa ngasih nafas baru buat Reformasi yang mulai ngos-ngosan ini. Tapi kalau sejarahnya dilupain terus, ya reformasi bisa terus stuck di loop yang sama—kecewa, gagal paham, dan ujung-ujungnya bosen.
Jadi, ngerti sejarah itu bukan cuma bonus atau pelengkap doang, tapi harus jadi bagian utama dari agenda reformasi. Soalnya, cuma dengan ingat dan paham sejarah, para pejuang perubahan masa depan bisa ngindarin jebakan yang sama dan mulai nulis cerita baru yang lebih keren, inklusif, dan penuh harapan buat Indonesia.
Tapi tenang, harapan itu belum musnah. Sejarah selalu punya cara buat nge-reboot semangat perubahan. Ketika satu gelombang surut, gelombang baru bisa aja muncul—dibawa generasi yang gak mau tinggal diam dan gak mau ngelihat negeri ini terus-terusan jalan di tempat. Tantangannya sekarang: bagaimana caranya narasi Reformasi direbut balik? Bukan buat slogan kampanye, tapi buat gerakan yang bener-bener berprinsip, bukan berpigura.
So, daripada terus nonton drama politik yang plot-nya makin absurd, mungkin saatnya kita bikin cerita baru. Bukan sequel Reformasi yang membosankan, tapi reboot yang berani, relevan, dan lebih jujur. Karena Indonesia butuh perubahan yang bukan hanya dibicarakan di atas panggung, tapi dirasakan di bawah—di kehidupan sehari-hari kita semua.