Menulis ulang sejarah sebuah bangsa itu ibarat nge-reboot film klasik—bisa jadi masterpiece baru yang lebih relevan, atau malah jadi blunder yang bikin penggemar angkat bahu dan geleng-geleng. Di sisi positif, penulisan ulang sejarah kadang memang perlu, apalagi kalau versi lamanya cuman ngangkat suara “yang berkuasa” dan nge-skip perjuangan orang kecil, perempuan, atau kelompok minoritas. Revisi ini bisa jadi semacam “remastering” yang lebih jujur, adil, dan ngebuka mata generasi sekarang soal siapa aja yang bener-bener berjasa di balik layar sejarah bangsa.
Tapi sisi gelapnya, menulis ulang sejarah juga bisa jadi senjata propaganda. Ada pihak-pihak yang sengaja nge-twist fakta biar sesuai narasi politik mereka. Contohnya: yang dulu penjajah bisa aja tiba-tiba jadi “pahlawan pembangunan” atau tragedi kelam bangsa malah dihapus dari bab sejarah. Ini kayak nulis ulang ending film sedih biar jadi happy ending, padahal kenyataannya enggak begitu.
Salah satu buku keren yang ngebahas soal penulisan ulang sejarah adalah Silencing the Past: Power and the Production of History karya Michel-Rolph Trouillot (1995, Beacon Press). Buku ini tuh kayak nge-bongkar “behind the scenes”-nya sejarah—gimana cerita sejarah bisa diatur, dipotong, bahkan dibungkam tergantung siapa yang pegang kuasa. Jadi, bukan soal apa yang diceritain aja, tapi juga apa yang sengaja nggak diceritain. Cocok banget buat yang pengen ngerti kenapa versi sejarah di buku sekolah kadang beda sama realitanya.
Buku lainnya yang wajib masuk playlist bacaanmu yalah History on Trial: My Day in Court with a Holocaust Denier oleh Deborah E. Lipstadt (2005, Harper Perennial). Ini bukan cuma kisah nyata yang dramatis banget, tapi juga nunjukin betapa bahayanya kalau sejarah dimainin seenaknya. Di sini, Lipstadt harus ngelawan seorang penyangkal Holocaust di pengadilan, dan bukunya ngajarin kita pentingnya berdiri buat kebenaran sejarah, apalagi pas ada yang nyoba ngehapus fakta demi narasi palsu.
Dua buku ini kayak double feature film—satu ngegali teori dan siapa yang ngatur narasi, yang satunya lagi nunjukin langsung aksi di lapangan. Bareng-bareng, mereka kasih kita kacamata baru buat ngeliat bahwa sejarah itu bukan cuma soal masa lalu, tapi juga soal siapa yang lagi ngatur cerita hari ini.
Dalam buku Silencing the Past: Power and the Production of History, Michel-Rolph Trouillot ngejelasin bahwa sejarah itu bukan sekadar catatan kejadian masa lalu yang netral-netral aja. Menurutnya, sejarah tuh kayak naskah film yang bisa di-edit sama sutradara kuat—alias orang-orang yang punya kuasa politik, sosial, atau ekonomi. Mereka ini yang nentuin cerita mana yang masuk layar lebar, dan mana yang langsung masuk tempat sampah.
Trouillot bilang, proses “membungkam” sejarah itu terjadi dari awal banget. Kadang, hal-hal penting udah diabaikan sejak belum sempat dicatat. Terus pas masuk proses dokumentasi dan arsip, pihak yang punya kontrol—misalnya negara, institusi, atau media—yang milih mana yang layak disimpan, dan mana yang di-skip. Terakhir, pas sejarah udah disebar lewat buku pelajaran, film dokumenter, atau patung pahlawan, narasi yang muncul biasanya cocok sama versi para “pemegang kuasa”. Yang lain? Ya dibungkam atau disingkirkan pelan-pelan.
Uniknya, kata Trouillot, proses ini nggak selalu kayak konspirasi jahat yang dirancang diam-diam. Kadang cuma karena kebiasaan, bias, atau karena zaman itu nggak nganggep hal tertentu penting. Tapi tetap aja, hasil akhirnya bikin sejarah jadi berat sebelah dan banyak bagian gelap yang nggak pernah sampai ke kita.
Intinya menurut Trouillot, sejarah itu bukan cuma soal masa lalu—tapi juga soal siapa yang lagi pegang mic hari ini. Yang punya kuasa buat nyusun cerita, dialah yang bisa nentuin versi “resmi” dari masa lalu, dan itu bisa ngaruh banget ke arah masa depan bangsa.
Menurut Trouillot, alasan kenapa versi sejarah di buku sekolah kadang beda banget ama kenyataannya, karena sejarah yang kita pelajari itu udah disaring berkali-kali sama yang punya kuasa—kayak disunting terus sampai tinggal narasi yang “aman dikonsumsi publik”.
Trouillot bilang, sejarah itu bukan cuma soal “apa yang terjadi,” tapi juga soal “apa yang dipilih buat diingat, ditulis, dan diajarkan.” Nah, proses milih-milih ini sering dikendalikan oleh institusi resmi—kayak pemerintah, kurikulum nasional, atau tim editor buku pelajaran—yang punya kepentingan tertentu. Biasanya sih tujuannya biar bangsa kelihatan keren, bersatu, dan penuh pahlawan. Jadi, sisi gelap kayak penjajahan brutal, perlawanan rakyat kecil, atau kejahatan negara sering kali dikaburkan atau bahkan dihapus.
Yang menarik, menurut Trouillot, ini nggak selalu terjadi karena niat jahat kayak mau nutup-nutupin dosa sejarah. Kadang, prosesnya terjadi karena kebiasaan, bias zaman, atau karena orang-orang waktu itu nganggep topik tertentu “nggak penting” buat masuk buku pelajaran. Tapi ya tetap aja, hasilnya bikin cerita sejarah yang diajarkan di sekolah jadi versi “lite” atau “PG-13”—alias udah dipoles supaya enak dibaca, tapi jauh dari kenyataan aslinya.
Kata Trouillot, sejarah versi sekolah itu sering lebih mirip trailer film yang dramatis dan penuh musik heroik, tapi belum tentu ngasih semua sisi cerita. Doski ngajak kita buat lebih kritis dan nggak telan mentah-mentah narasi resmi, karena yang kita pelajari itu sering cuma potongan kecil dari kisah yang jauh lebih kompleks dan kadang nyakitin.
Sejarah itu sering banget disamain kayak naskah film karena, persis seperti film, doi gak nyeritain semua detail kenyataan—tapi milih, nyusun, dan nge-frame cerita dari sudut pandang tertentu. Dalam Silencing the Past, Michel-Rolph Trouillot bilang bahwa orang-orang yang punya kuasa—kayak pemerintah, elite politik, konglomerat, atau kelompok mayoritas budaya—itu kayak sutradara atau produser film. Mereka yang nentuin adegan mana yang layak tayang di layar lebar sejarah nasional, dan mana yang langsung masuk tong sampah alias nggak pernah diceritain.
Para “sutradara sejarah” ini bisa milih peristiwa mana yang dijadiin sorotan utama dan tokoh mana yang dijadikan pahlawan atau penjahat. Kayak film bisa ngatur emosi penonton lewat adegan dan soundtrack, sejarah juga bisa dimainin narasinya buat bikin orang bangga jadi warga negara, buat ngebenarin kebijakan sekarang, atau buat ngejaga struktur sosial yang udah mapan. Nggak harus pake bohong kok—cukup dengan ngebesarin satu sisi cerita dan ngecilin atau ngilangin sisi lain. Misalnya, lebih fokus ke kemenangan dan tokoh-tokoh besar, tapi nge-skip soal penindasan, perjuangan rakyat kecil, atau tragedi kelam.
Sejarah yang kita konsumsi tuh sering kayak film box office—ceritanya udah dikurasi biar menghibur atau memukau, tapi bisa aja banyak fakta penting yang dipotong atau disensor. Trouillot ngingetin, proses ini bisa bikin memori kolektif masyarakat jadi bias, dan kita jadi susah buat menghadapi kenyataan pahit dari masa lalu. Jadi, intinya: yang megang kuasa itu yang nentuin “film” apa yang bakal kita tonton soal sejarah bangsa—dan meskipun filmnya kelihatan epik, belum tentu itu cerita lengkapnya.
Di History on Trial: My Day in Court with a Holocaust Denier, Deborah E. Lipstadt, cerita gimana doi harus berjuang habis-habisan di pengadilan lawan David Irving, seorang yang nge-deny Holocaust. Jadi ceritanya, Irving ngegugat doi gara-gara Lipstadt nyebut doski penyangkal Holocaust. Nah, di Inggris aturan hukumnya tuh, yang harus ngebuktiin justru sang tergugat—jadi Lipstadt mesti nunjukin di pengadilan kalau Holocaust beneran terjadi, dan Irving itu sengaja nge-twist fakta sejarah buat nyebarin kebohongan.
Sidang ini bukan sekadar drama biasa, tapi pertarungan antara fakta dan dusta, antara bukti kuat dan propaganda berbahaya. Lipstadt sama tim hukumnya ngumpulin dokumen-dokumen Nazi, kesaksian penyintas, dan bukti sejarah yang gak bisa dibantah buat nunjukin kalau Holocaust itu nyata, dan klaim Irving cuma rekayasa buat nipu orang.
Buat Lipstadt, berdiri buat kebenaran sejarah itu bukan cuma soal akademik, tapi juga tanggungjawab moral. Kalau kebohongan—apalagi soal sesuatu yang sebesar Holocaust—dibiarkan, masa depan bakal bahaya banget. Doski ngingetin kalau kita harus jaga fakta karena sejarah yang dipelintir bukan cuma bikin orang salah paham sekarang, tapi juga ngaruh ke gimana generasi mendatang nangkep kenyataan. Kalau kebohongan jadi tren, kita bakal hidup di dunia di mana realita kayak diedit ulang jadi skrip film sesuai selera tertentu, bukan yang bener-bener kejadian.
History on Trial itu semacam peringatan keras: kalau kita gak jaga sejarah, bakal ada yang nulis ulang ceritanya, ngapus bab pentingnya, dan bikin kita percaya sama film yang ceritanya ngawur banget.
Menurut Michel-Rolph Trouillot di Silencing the Past, biar kita gak cuma nyantol ama narasi resmi yang seringnya cuma potongan kecil dari cerita yang sebenernya ribet dan kadang nyakitin, kita kudu mulai mikir lebih kritis dan gak gampang percaya bulat-bulat. Doski bilang, sejarah itu nggak datang begitu aja—ceritanya dibentuk sama yang pegang kuasa, jadi yang muncul di buku pelajaran atau cerita resmi itu biasanya cuma yang mereka pengen kita tahu.
Biar lebih cerdas ngadepin sejarah, kita kudu nanya dulu: “Siapa nih yang gak kedengeran suaranya? Kenapa ada cerita yang dipajang dan ada yang malah didiemin?” Jangan cuma ngandelin satu sumber, tapi coba cari sudut pandang lain, karena kadang cerita yang populer itu sebenernya cuman hasil editing ala sutradara yang pengen bikin plot yang enak ditonton—padahal aslinya bisa lebih rumit dan gelap.
Trouillot juga ngajak kita buat open minded, siap kalau sejarah itu bisa berubah atau direvisi kalau ada bukti baru. Jadi jangan anggap sejarah itu kayak fakta mati yang nggak bisa diganggu gugat. Intinya, kita harus jadi penonton aktif, bukan cuma penonton pasif yang cuma terima apa yang disuguhin. Dengan cara ini, suara-suara yang selama ini tersingkir bisa kita dengar, dan kita bisa punya gambaran sejarah yang lebih lengkap dan jujur.
Nulis sejarah sebuah bangsa itu harus jujur, nggak setengah-setengah, dan ngasih ruang buat semua suara, terutama yang selama ini sering nggak kedengeran atau bahkan sengaja disembunyiin. Jadi, sejarah nggak cuma jadi ajang pamer kebanggaan nasional doang, tapi lebih kayak cerita lengkap tentang perjalanan bangsa—dengan segala drama, konflik, dan fakta yang kadang pahit. Pas nulis sejarah, penting banget buat nyadar kalau siapa yang punya kuasa sering nentuin cerita mana yang keluar dan mana yang cuma jadi bisikan di belakang layar. Makanya, penulis sejarah kudu rajin nyari sumber yang beragam, berani tantang narasi yang udah mainstream dan seringnya dimasukin karena agenda politik atau ekonomi tertentu. Selain itu, sejarah itu bukan sesuatu yang mesti dianggap final atau mati, karena bisa terus berubah dan diperbarui kalau ada bukti baru atau sudut pandang segar.
Ada dua buku menarik yang ngomongin hal ini: Silencing the Past: Power and the Production of History karya Michel-Rolph Trouillot (1995, Beacon Press), yang jelasin gimana kekuasaan nge-bentuk sejarah dan nge-silent suara-suara tertentu; trus ada juga Orientalism karya Edward Said (1978, Pantheon Books), yang kupas gimana narasi tentang “the other” sering dibentuk buat tujuan politik. Dua buku ini ngajarin kita supaya jangan cuma terima sejarah mentah-mentah, tapi harus kritis dan sadar gimana sejarah itu dibuat.
Trouillot nunjukin kalau kekuasaan itu punya peran besar banget dalam nentuin sejarah mana yang boleh diceritain, dan mana yang sengaja dibungkam. Doi bilang sejarah itu bukan cuma tumpukan fakta masa lalu yang netral, tapi lebih kayak cerita yang disusun dan dikurasi berdasarkan siapa yang punya kuasa buat ngatur memori, ngejaga arsip, dan nentuin apa yang dianggap "kebenaran".
Kekuasaan ini kerja di banyak level—mulai dari siapa yang punya akses buat bikin catatan sejarah, siapa yang arsipnya disimpen dan dianggep penting, sampai siapa yang punya hak buat narasiin kejadian. Jadi, sejarah yang kita pelajari sekarang sering banget udah disaring dan diedit ama mereka yang pegang kendali politik, ekonomi, atau budaya. Sementara itu, cerita-cerita dari orang-orang kecil atau kelompok yang tersisih malah sering dibungkam, diplintir, atau bahkan dihapus total. Dan yang perlu digarisbawahi, ini bukan kebetulan—ini hasil dari sistem yang secara sengaja milih mana yang layak dicatat dan mana yang dibuang.
Trouillot ngajak kita buat buka mata dan mulai mikir kritis: siapa sih yang nulis sejarah, dan kenapa cerita versi mereka bisa jadi dominan? Soalnya, sejarah bukan cuma soal apa yang terjadi, tapi juga soal siapa yang boleh cerita dan cerita siapa yang dikasih panggung. Dalam arti lain, kekuasaan bukan cuma mempengaruhi sejarah—kekuasaanlah yang bikin sejarah itu sendiri.
Dalam Orientalism (1978, Pantheon Books), Edward Said ngejelasin bahwa narasi tentang “the Other”—dalam hal ini, dunia Timur atau Orient—bukan cuma hasil pengamatan netral, tapi sebenarnya hasil konstruksi yang disengaja buat ngedukung kepentingan politik dan budaya Barat. Said nunjukin gimana para akademisi, sastrawan, dan penjajah Barat bikin gambaran tentang Timur sebagai tempat yang eksotis, misterius, kolot, dan nggak rasional—pokoknya selalu ditaruh di posisi berlawanan dari Barat yang katanya modern, pinter, dan rasional. Kontras ini bukan sekadar iseng; ini dipakai sebagai alat buat ngebenarin penjajahan.
Gambaran kayak gitu dibangun terus-menerus lewat buku, lukisan, catatan perjalanan, dan kajian akademik yang nempelin label “aneh tapi menarik” ke dunia Timur. Akibatnya, Timur diposisikan sebagai tempat yang butuh diawasin, dikendalikan, dan “diselamatkan” oleh Barat. Timur jadi semacam film fiksi yang isinya penuh adegan eksotis, penuh bahaya, dan penuh stereotip, tapi bukan kenyataan. Lewat narasi ini, Barat bukan cuma ngerasa lebih unggul, tapi juga ngerasa punya hak buat ngatur-ngatur hidup orang Timur.
Said bilang, semua representasi ini bukan soal pengen ngerti budaya lain, tapi soal siapa yang pegang kuasa buat cerita dan nentuin makna. Jadi, Orientalism bukan cuma ilmu, tapi senjata politik buat ngebentuk cara pandang dan ngerancang kebijakan. Timur nggak pernah dimaksudkan buat dimengerti—cuma dijadikan layar putih buat proyeksi mimpi (atau mimpi buruk) Barat.
Ungkapan masyhur "Sejarah ditulis oleh para pemenang" sering banget dikaitin ama Winston Churchill, tapi sebenernya nggak ada bukti kuat kalau doski yang pertama kali bilang atau nulis kalimat itu persis kayak begitu. Emang sih, Churchill pernah nyampaikan ide-ide serupa dalam pidatonya, tapi kutipan versi utuh ini nggak pernah tercatat secara resmi di karya-karya tulisannya. Meski begitu, ungkapan ini udah jadi semacam jargon umum yang dipakai buat ngejelasin kenyataan pahit: sejarah sering banget disetir ama yang menang.
Intinya, ungkapan ini nunjukin fakta lama yang terus terulang: yang menang perang, yang dudukin kursi kekuasaan, atau yang punya media dan institusi budaya, merekalah yang punya kuasa buat nulis versi cerita mereka. Alhasil, suara-suara dari pihak yang kalah—entah itu yang dijajah, ditindas, atau dibungkam—sering kali nggak dapet tempat. Mereka di-skip, diplintir, atau bahkan dihapus total dari catatan sejarah arus utama.
Makanya, kutipan ini tetep relate dan sering dikutip sampai sekarang. Karena doski nyentil satu kenyataan pahit: sejarah bukan cuma soal kumpulan fakta, tapi juga soal siapa yang punya mikrofon buat nyeritainnya. Mau loe suka atau enggak, sejarah kadang lebih mirip naskah film yang disutradarai oleh yang menang.
George Orwell nyindir banget soal manipulasi sejarah lewat novel dystopi legendarisnya, 1984, yang pertama kali terbit tahun 1949 lewat penerbit Secker & Warburg. Di buku ini, doi nggak cuma sekadar ngomongin teori sejarah—doski ngebawa kita masuk ke dunia fiksi yang gelap dan mencekam, dimana rezim totaliter bisa seenaknya ngedit masa lalu demi ngontrol masa kini dan masa depan. Salah satu kutipan paling nancep dari karya ini ialah: “Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past” [Siapa yang menguasai masa lalu, menguasai masa depan. Siapa yang menguasai masa kini, menguasai masa lalu.] Gila, kan? Orwell bener-bener lagi ngomongin kekuatan politik buat nyulap sejarah jadi alat buat ngejaga kekuasaan.
Di dunia 1984, pemerintah tiap hari ngedit berita lama, nyusun ulang arsip, dan ngehapus fakta-fakta yang dianggap mengganggu. Winston Smith, tokoh utamanya, kerja di Kementerian Kebenaran—yang ironi banget, karena tugasnya justru bikin kebohongan dan ngubur kenyataan. Orwell mau nunjukin bahwa kalau ada institusi yang punya kuasa mutlak atas informasi, maka memori kolektif masyarakat bisa dibentuk, diatur, bahkan dihapus total. Sejarah di tangan penguasa bukan lagi cermin realitas, tapi semacam film buatan yang penuh adegan settingan.
Lewat 1984, Orwell ngasih sinyal bahaya: kalau sejarah bisa ditulis ulang sesuka hati ama yang pegang kuasa, maka yang terjadi bukan sekadar tipu-tipu, tapi pembentukan ulang cara orang mikir, ngerasa, dan ngelawan. Dalam dunia Orwell, sejarah itu bukan alat belajar, tapi senjata. Dan pesan itu, masih relevan banget di zaman sekarang, apalagi kalau loe lihat gimana berita bisa diplintir, arsip bisa "hilang" karena kebakaran, atau tokoh sejarah tiba-tiba "dimuliakan" lagi demi narasi politik tertentu.
Nulis sejarah bangsa itu semestinya jadi tindakan yang etis, nyari kebenaran, nerima kerumitan, dan ngasih panggung buat semua cerita yang bikin kisah besar bangsa itu jadi utuh. Bukan sekadar nge-downgrade jadi versi simpel atau dipoles supaya cocok ama kepentingan tertentu.
Nulis ulang sejarah itu bukan cuma soal ngoreksi kesalahan masa lalu atau sekadar ngulik fakta doang, tapi lebih ke tindakan yang penting buat keadilan dan pemahaman. Dengan nge-revisit dan ngubah cerita-cerita lama, kita ngasih kesempatan buat suara-suara yang selama ini dibungkam atau dilupakan buat didengerin. Proses ini bikin kita berani tantang narasi yang selama ini dikuasai sama mereka yang pegang kendali, dan ngajak kita buat lihat sejarah dengan cara yang lebih jujur, lengkap, dan nggak cuma satu sisi aja. Jadi, sejarah itu bukan patung yang gak bisa diganggu gugat, tapi obrolan hidup yang terus berubah seiring kita makin paham siapa kita dan dari mana asalnya.
Nulis ulang sejarah itu ngajak semua orang—baik penulis sejarah, guru, sampai pembaca biasa—buat kritis sama masa lalu dan sadar betapa sejarah itu masih ngefek ke hidup kita sekarang. Kita diajak buat waspada sama versi sejarah yang disederhanain atau dipelintir demi kepentingan tertentu, dan malah cari cerita yang lebih kaya dan beragam. Dengan begitu, nulis ulang sejarah jadi senjata ampuh buat bikin kita lebih empati, buka jalan buat rekonsiliasi, dan ngebangun ikatan yang lebih dalam sama perjalanan bersama umat manusia.