Kamis, 01 Mei 2025

Siapakah Para Pekerja? (1)

Nasima mengencangkan jahitan terakhir pada kerah sebuah kemeja yang akan menyeberangi lautan—mungkin menuju butik di Paris atau pusat perbelanjaan di Chicago. Ia telah bekerja selama sebelas jam. Punggungnya nyeri, tapi ia tak boleh berhenti. Putrinya di kampung membutuhkan obat. Kemarin, mereka semua melihat ada retakan yang menjalar di pilar-pilar beton gedung pabrik. Hari ini, seorang manajer berteriak: “Bekerja atau gajimu dipotong.” Beberapa menit kemudian, lantai di bawahnya bergetar. Teriakan. Debu. Gelap. Nasima merangkak keluar dari reruntuhan, namun ratusan lainnya tak pernah keluar. “Mereka mengenakan pakaian kami,” bisiknya suatu ketika, “tapi mereka takkan pernah tahu berapa harganya.”
Salah satu contoh paling mencolok dari eksploitasi tenaga kerja modern terjadi saat bangunan Rana Plaza runtuh di Dhaka, Bangladesh, pada tahun 2013. Lebih dari 1.100 pekerja garmen kehilangan nyawa mereka saat memproduksi pakaian merek-merek global ternama. Nasima, seorang penyintas berusia 23 tahun, telah melaporkan adanya retakan pada dinding pabrik sehari sebelum kejadian. Namun karena takut dipotong gaji, ia dan ratusan pekerja lainnya tetap dipaksa masuk bekerja. “Kami membuat pakaian untuk orang-orang yang takkan pernah tahu nama kami,” katanya. Kisah Nasima menggambarkan kenyataan pahit bahwa rantai pasok global sering bergantung pada tenaga kerja murah yang tak nampak, dimana keuntungan lebih diutamakan daripada keselamatan, dan biaya kemanusiaan diabaikan.

Dalam "The Sociology of Work: Continuity and Change in Paid and Unpaid Work" (2020, SAGE Publications Ltd.), Stephen Edgell dan Edward Granter menguraikan ciri-ciri utama pekerjaan dalam masyarakat kapitalis industri, yang membedakannya dari bentuk-bentuk pekerjaan sebelumnya dalam masyarakat pra-industri dan feodal. Dalam masyarakat kapitalis industri, sebagian besar orang mencari nafkah dengan menjual tenaga mereka agar beroleh upah. Ini merupakan ciri khas kapitalisme: alih-alih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau sebagai bagian dari ekonomi rumah tangga, individu bekerja bagi pengusaha yang memiliki alat produksi. Orang harus bekerja untuk bertahan hidup, dan pekerjaan ini biasanya diatur melalui kontrak kerja formal.
Ciri utamanya ialah bahwa pekerja tak memiliki peralatan, mesin, atau fasilitas yang mereka gunakan. Alat produksi dipunyai oleh kaum kapitalis atau perusahaan. Akibatnya, pekerja bergantung pada penjualan tenaga mereka untuk memperoleh akses ke pendapatan dan sumber daya, sehingga memunculkan ketimpangan struktural antara modal dan tenaga kerja.
Kapitalisme industri mendorong tingkat spesialisasi yang tinggi, dimana pekerjaan dibagi menjadi tugas-tugas kecil dan berulang. Hal ini meningkatkan efisiensi dan produktivitas tetapi sering mengurangi rentang keterampilan yang dibutuhkan dari masing-masing pekerja. Proses ini dijelaskan melalui Taylorisme dan Fordisme, model yang menekankan standardisasi dan mekanisasi pekerjaan.
Dalam perkembangan masyarakat kapitalis industri, dua pendekatan berpengaruh dalam mengorganisasi kerja—Taylorisme dan Fordisme—telah meninggalkan jejak yang mendalam terhadap bagaimana kerja disusun dan dialami. Taylorisme, atau manajemen ilmiah yang diperkenalkan oleh Frederick Winslow Taylor, menekankan pemecahan tugas menjadi bagian-bagian kecil yang terukur, serta pemisahan antara perencanaan kerja dan pelaksanaannya. Para manajer bertugas merancang metode kerja paling efisien, sementara pekerja hanya menjalankan instruksi di bawah pengawasan ketat. Meskipun pendekatan ini meningkatkan produktivitas, juga mengurangi otonomi pekerja dan memperkuat rasa keterasingan. Meneruskan prinsip Taylorisme, Fordisme—yang dinamai dari produsen mobil Henry Ford—mengadopsi sistem lini perakitan bergerak untuk mencapai produksi massal. Tujuannya bukan hanya efisiensi, melainkan pula konsumsi massal, dengan menawarkan upah yang relatif tinggi agar pekerja mampu membeli produk yang mereka hasilkan. Meski Fordisme membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, juga menjadikan kerja sebagai rutinitas yang monoton dan mekanis. Bersama-sama, kedua sistem ini mencerminkan dinamika inti dari kerja industri modern: efisien, distandardisasi, dan sangat terkendali—kerap dengan mengorbankan kebebasan dan kepuasan pekerja.

Pekerjaan dalam masyarakat kapitalis industri biasanya diatur oleh jam. Tak seperti pekerjaan pra-industri, yang mengikuti ritme alami atau pola musiman, pekerjaan industri terikat oleh jadwal yang ketat. Pekerja harus tiba pada waktu tertentu, beristirahat pada jam yang ditentukan, dan memenuhi target produktivitas, yang berkontribusi pada tenaga kerja yang sangat disiplin.
Dibandingkan dengan masyarakat sebelumnya dimana pekerjaan mungkin diatur melalui hubungan kekerabatan atau komunitas, pekerjaan kapitalis industri dicirikan oleh hubungan formal, kontraktual, dan impersonal. Pengusaha dan karyawan berinteraksi dalam sistem birokrasi, dan tempat kerja menjadi lebih hierarkis dan berbasis aturan.
Edgell, mengutip Karl Marx, menjelaskan bahwa banyak pekerja mengalami keterasingan dalam masyarakat kapitalis. Mereka dapat merasa terputus dari hasil kerja mereka, proses kerja itu sendiri, rekan kerja mereka, dan bahkan dari tujuan hidup mereka. Pekerjaan menjadi sesuatu yang dilakukan demi mendapatkan upah, bukan untuk pemenuhan kebutuhan atau ekspresi kreatif.
Meskipun terasing, pekerjaan tetap menjadi pusat identitas dan status sosial manusia dalam masyarakat kapitalis. Pekerjaan yang dilakukan manusia seringkali menentukan bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka dipersepsikan oleh orang lain. Makna sosial dari pekerjaan ini memberinya lebih dari sekadar kepentingan ekonomi—pekerjaan menjadi sumber kebanggaan, tujuan, atau stigma.

Seorang pekerja (a worker), yang sering disebut buruh (labour, yang kadang pula diterjemahkan sebagai tenaga kerja), adalah individu yang menjual tenaga fisik atau mental guna mendapatkan upah. Tak seperti ASN atau profesional, pekerja biasanya bekerja di sektor industri, pertanian, atau jasa. Terma ini umumnya dikaitkan dengan kelas pekerja, yang tenaganya sangat penting bagi kegiatan produksi.
Edgell dan Granter membuat perbedaan sosiologis yang jelas antara pekerjaan (work), pekerja (worker), dan tenaga kerja (labour). Pekerjaan didefinisikan secara luas sebagai aktivitas manusia yang punya tujuan, yang melibatkan upaya fisik atau mental, yang diarahkan pada produksi barang atau jasa. Menurut Edgell dan Granter, pekerjaan tak semata mencakup pekerjaan berbayar , melainkan pula bentuk-bentuk pekerjaan yang tak dibayar, semisal pekerjaan rumah tangga, kerja sukarela, dan pertanian subsisten. Mereka menekankan bahwa sosiologi hendaknya memperhitungkan seluruh bentuk ini guna memahami keseluruhan aktivitas manusia dan organisasi sosial. Para penulis juga menunjukkan bahwa pekerjaan punya signifikansi ekonomi, sosial, dan pribadi—pekerjaan bukan sekadar sarana untuk mendapatkan uang tetapi juga sumber identitas, struktur, dan interaksi sosial.
Seorang pekerja (a worker), menurut Edgell dan Granter, ialah seseorang yang terlibat dalam pekerjaan, khususnya dalam konteks sosial dan ekonomi dimana upaya tersebut berkontribusi pada produksi nilai. Dalam masyarakat industri dan pascaindustri, pekerja paling sering dikaitkan dengan pekerjaan—yaitu, tenaga kerja yang dijual dengan imbalan upah atau gaji. Namun, Edgell dan Granter juga mengakui bahwa tak semua pekerja dibayar, contohnya pengasuh atau sukarelawan yang tak dibayar, yang kontribusinya kerap diremehkan atau diabaikan dalam model ekonomi tradisional (kerangka kerja seperti ekonomi Klasik (Adam Smith, David Ricardo) yang memandang tenaga kerja sebagai faktor utama produksi, tetapi terutama dalam hal upah kerja dalam pasar; ekonomi Neoklasik yang berfokus pada pilihan individu, maksimalisasi utilitas, dan produktivitas marjinal. Tenaga kerja diperlakukan sebagai salah satu masukan dalam fungsi produksi (bersama dengan modal dan tanah))..
Dengan demikian, seorang pekerja dapat didefinisikan tak hanya oleh tindakan bekerja, tetapi juga oleh posisi sosial mereka dalam kaitannya dengan proses ketenagakerjaan, seperti tingkat otonomi mereka, kondisi kerja mereka, dan hubungan mereka dengan pemberi kerja atau klien.
Tenaga kerja (labour; buruh) biasanya dipahami sebagai kapasitas untuk bekerja—usaha manusia (fisik dan/atau mental) yang dijual di pasar tenaga kerja. Dalam sistem kapitalis, sebagaimana dijelaskan oleh para penulis, yang mengacu pada tradisi Marxis, tenaga kerja menjadi komoditas: tenaga kerja dibeli dan dijual, dan nilainya ditentukan oleh kekuatan pasar dan hubungan sosial. Konsep tenaga kerja terkait erat dengan produksi ekonomi dan sering diperbincangkan dalam terma tingkat makro seperti pasar tenaga kerja (labour market), angkatan kerja (labour power), atau pasokan tenaga kerja (labour supply).
Edgell dan Granter juga membedakan antara: Tenaga kerja produktif (yang menghasilkan barang atau nilai ekonomi); Tenaga kerja reproduktif (seperti mengasuh anak atau pekerjaan rumah tangga, yang menopang tenaga kerja); dan Tenaga kerja emosional (pekerjaan yang melibatkan pengelolaan emosi, seperti dalam peran layanan pelanggan).
Singkatnya, pekerjaan (work) adalah konsep paling luas yang mencakup segala jenis aktivitas yang membutuhkan usaha, para pekerja (workers) adalah para individu yang melakukan aktivitas tersebut, dan tenaga kerja (labour) adalah usaha manusia yang sering dievaluasi dalam istilah ekonomi. Memahami perbedaan ini membantu untuk menantang model ekonomi tradisional, yang cenderung berfokus secara sempit pada pekerjaan berbayar seraya mengabaikan nilai sosial dari pekerjaan informal dan tak berbayar.

Stephen Edgell dan Edward Granter menjelaskan bagaimana pekerjaan telah berubah secara historis dalam berbagai periode, khususnya melalui pergeseran sosial, teknologi, dan ekonomi yang besar. Dalam masyarakat praindustri, pekerjaan sebagian besar bersifat pertanian dan domestik. Sebagian besar pekerjaan tak berbayar dan dilakukan di dalam rumah tangga atau komunitas lokal. Pembagian kerja sederhana, dengan unit keluarga bertindak sebagai tempat utama produksi dan penghidupan. Pekerjaan dan kehidupan terintegrasi erat, dan konsep "pekerjaan" dalam pengertian modern tidak ada. Sebaliknya, orang bekerja untuk memenuhi kebutuhan mendesak daripada mengumpulkan kekayaan atau mengejar karier.
Revolusi Industri menandai transformasi besar dalam sejarah pekerjaan. Dengan munculnya pabrik dan produksi mekanis, pekerjaan berpindah dari rumah ke tempat kerja yang terspesialisasi dan tersentralisasi. Era ini menyaksikan munculnya upah buruh, dimana orang menukar waktu dan usaha dengan kompensasi moneter. Pekerjaan menjadi lebih teratur, berulang, dan hierarkis. Pembagian antara kerja dan waktu luang menjadi lebih jelas, dan disiplin waktu (menjadi "pekerja tetap") menjadi ciri khas kehidupan industri. Edgell dan Granter menekankan bahwa periode ini juga memperkenalkan pembagian kelas sosial yang besar, terutama antara pemilik (kapitalis) dan pekerja (proletariat), seperti yang diteorikan oleh Karl Marx. Pekerja sering menghadapi jam kerja yang panjang, kondisi yang buruk, dan sedikit kendali atas pekerjaan mereka, yang mendorong gerakan buruh awal dan perjuangan untuk hak-hak pekerja.
Pada abad ke-20, khususnya pada awal hingga pertengahannya, pekerjaan mengalami transformasi lain di bawah model Fordisme—yang dinamai menurut Henry Ford. Hal ini melibatkan produksi massal, tugas-tugas yang terstandardisasi, dan struktur manajemen birokrasi. Pekerjaan menjadi lebih aman dan sering disertai tunjangan, khususnya di Barat. Edgell dan Granter menunjukkan bahwa periode ini menandai "zaman keemasan" pekerjaan bagi sebagian orang: pekerjaan penuh waktu, stabil, dan didominasi kaum lelaki dianggap sebagai norma. Namun, model ini juga memperkuat peran gender, dengan perempuan seringkali diturunkan ke pekerjaan rumah tangga yang tak dibayar atau pekerjaan paruh waktu dengan upah yang lebih rendah.
Sejak tahun 1970-an dan seterusnya, masyarakat mulai beralih ke ekonomi pascaindustri, yang ditandai dengan pertumbuhan sektor jasa, teknologi informasi, dan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Pergeseran ini sering disebut sebagai Post-Fordisme. Dalam lanskap baru ini, pekerjaan menjadi lebih terfragmentasi dan kurang aman. Meningkatnya pekerjaan paruh waktu, kontrak sementara, wirausaha, dan kerja serabutan menandai perubahan dari model pekerjaan penuh waktu jangka panjang yang tradisional. Edgell dan Granter menyoroti bahwa sementara beberapa pekerja mengalami otonomi dan kreativitas yang lebih besar, banyak yang menghadapi ketidakamanan pekerjaan, beban kerja yang meningkat, dan batas yang kabur antara pekerjaan dan rumah—terutama dengan munculnya teknologi digital.
Edgell dan Granter juga menekankan pentingnya pekerjaan yang tidak dibayar, terutama pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan—yang secara tradisional dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka berpendapat bahwa meskipun terjadi perubahan di pasar tenaga kerja yang dibayar, ekspektasi gender tentang pekerjaan yang tidak dibayar telah menunjukkan keberlanjutan yang kuat. Dimensi ini penting untuk memahami cakupan penuh pekerjaan di masyarakat.
Analisis historis Edgell dan Granter menunjukkan bahwa pekerjaan tidaklah statis; pekerjaan berevolusi seiring tren sosial, ekonomi, dan teknologi yang lebih luas. Dari pertanian subsisten hingga ekonomi pertunjukan, makna, struktur, dan pengalaman kerja terus berubah—namun ketidaksetaraan, terutama seputar gender dan kelas, masih ada.

Dalam karya mereka, Stephen Edgell dan Edward Granter mengeksplorasi hubungan antara pekerjaan, keterampilan, dan proses kerja sebagai tema utama dalam memahami bagaimana pekerjaan disusun, dinilai, dan dikendalikan dalam masyarakat. Pembahasan mereka mencakup teori klasik dan kontemporer, yang menekankan bagaimana organisasi kerja mempengaruhi otonomi, kepuasan, dan kekuasaan pekerja.
Edgell dan Granter mendefinisikan keterampilan sebagai kombinasi pengetahuan, pengalaman, dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Akan tetapi, mereka menekankan bahwa keterampilan bukan sekadar konsep teknis—tetapi juga kategori yang dibangun secara sosial. Apa yang dianggap sebagai tenaga kerja "terampil" sering dibentuk oleh kepentingan ekonomi, budaya, dan politik. Misalnya, jenis pekerjaan manual tertentu mungkin dinilai rendah dan diberi label "tidak terampil", meskipun pekerjaan tersebut membutuhkan kecerdasan praktis dan pengetahuan fisik yang penting. Para penulis menunjukkan bahwa klasifikasi tenaga kerja menjadi "terampil" dan "tidak terampil" kerap digunakan oleh pengusaha dan lembaga untuk membenarkan perbedaan upah, akses pelatihan, dan status pekerjaan.

Dalam SAGE Handbook of the Sociology of Work and Employment, yang disunting oleh Stephen Edgell, Heidi Gottfried, dan Edward Granter (2016, SAGE Publications Ltd.), Barry Eidlin menyumbangkan sebuah bab berjudul "Class and Work (Kelas dan Pekerjaan)", dimana ia mengeksplorasi hubungan rumit antara struktur kelas dan dinamika ketenagakerjaan. Eidlin menekankan bahwa kelas tak semata-mata ditentukan oleh faktor ekonomi, tetapi muncul dari interaksi yang kompleks antara pekerjaan dan kehidupan rumah tangga. Ia berpendapat bahwa pengalaman di tempat kerja—semisal peran pekerjaan, tingkat pendapatan, dan kondisi kerja—meluas ke ranah domestik, mempengaruhi gaya hidup, praktik pengasuhan anak, kesempatan pendidikan, dan pola konsumsi. Pengalaman dan adaptasi bersama ini berkontribusi pada pembentukan dan pemeliharaan kelas sosial yang berbeda.
Eidlin juga membahas dimensi spasial kelas, dengan mencatat bahwa segregasi sosial ekonomi kerap mengarah pada pola hunian berbasis kelas. Misalnya, kelas pekerja, yang terlibat dalam produksi ekonomi langsung dan peran layanan, cenderung tinggal di lingkungan "kelas bawah". Sebaliknya, kelas profesional-manajerial (professional management class, PMC), yang mengawasi dan mengelola tenaga kerja kelas pekerja, sering mendiami daerah yang lebih makmur.
Lebih jauh, Eidlin mengkritik model ekonomi tradisional yang lebih mengutamakan fokus pada pekerjaan berbayar, dengan menyoroti pentingnya mengakui tenaga kerja yang tak dibayar dan hubungan sosial yang lebih luas, yang mendefinisikan struktur kelas. Ia menganjurkan pemahaman yang lebih bernuansa tentang kelas yang mencakup posisi ekonomi dan dimensi sosial dan budaya dari pekerjaan dan kehidupan.
Memahami konsep ketenagakerjaan tak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang lebih luas dimana konsep tersebut tertanam. Seperti yang dijelaskan Barry Eidlin dalam The SAGE Handbook of the Sociology of Work and Employment, kelas bukan cuma masalah pendapatan atau pekerjaan, tetapi berakar dalam pada pengalaman hidup yang berasal dari posisi orang-orang dalam sistem kerja. Eidlin berpendapat bahwa sifat pekerjaan seseorang—baik manual, berbasis layanan, manajerial, atau profesional—tak semata membentuk rutinitas di tempat kerja, tetapi juga pola kehidupan rumah tangga, pendidikan, dan bahkan pilihan tempat tinggal. Pengalaman bersama ini menghasilkan pembentukan kelas yang berbeda dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, mereka yang terlibat dalam pekerjaan kasar atau jasa sering tinggal di lingkungan yang memiliki sumber daya lebih sedikit dan harapan pendidikan yang berbeda dibandingkan dengan anggota kelas profesional-manajerial. Pembagian spasial dan sosial ini memperkuat ketidaksetaraan yang dihasilkan oleh pasar tenaga kerja itu sendiri. Akibatnya, tenaga kerja harus dilihat bukan hanya sebagai aktivitas ekonomi, tetapi sebagai kekuatan yang kuat, yang menghasilkan dan mereproduksi hubungan kelas dalam masyarakat. Dengan menyadari hal ini, kita bergerak melampaui model ekonomi tradisional dan mulai menghargai bagaimana tenaga kerja berkontribusi pada pembentukan identitas sosial, nilai-nilai budaya, dan stratifikasi sosial ekonomi jangka panjang.

Dalam Bab 33 buku tersebut, yang berjudul "Critiques of Work (Kritik terhadap Pekerjaan)", David Frayne mengeksplorasi landasan historis dan filosofis dari perspektif kritis terhadap pekerjaan. Ia menelusuri evolusi kritik-kritik ini dari para pemikir awal seperti Karl Marx dan kaum sosialis utopis hingga para ahli teori kontemporer, termasuk dari Frankfurt School dan para pendukung ideologi pasca-kerja. Frayne menekankan bahwa, terlepas dari asal-usul dan pendekatannya yang beragam, kritik-kritik ini bertujuan yang sama: membayangkan transformasi emansipatoris masyarakat dengan menantang norma-norma dan struktur pekerjaan yang berlaku.
Dalam masyarakat industri modern, pekerjaan kerap dipandang sebagai kebutuhan ekonomi dan pekerjaan sebagai keharusan moral. Pekerjaan dibingkai sebagai sarana utama bagi individu untuk mencari nafkah, membangun status sosial, dan mencapai kepuasan pribadi. Namun, seperti yang diuraikan David Frayne dalam babnya “Kritik terhadap Pekerjaan,” sistem kepercayaan yang tertanam denagn sangat dalam ini, tak luput dari tantangan.
Frayne menelusuri turunan pemikiran kritis yang membentang dari teori keterasingan Karl Marx—dimana para pekerja menjadi terasing dari hasil kerja mereka—hingga kritik yang lebih kontemporer yang mempertanyakan penilaian berlebihan terhadap pekerjaan dalam masyarakat kapitalis. Kritik-kritik ini berpendapat bahwa meskipun pekerjaan dapat menawarkan struktur dan tujuan, pekerjaan juga memaksakan disiplin, membatasi otonomi individu, dan memperkuat hierarki sosial. Janji bahwa kerja keras mengarah pada kebahagiaan atau kesuksesan semakin dipertanyakan, terutama mengingat ketidakamanan pekerjaan, kelelahan, dan terkikisnya keseimbangan kehidupan kerja.
Lebih jauh, Frayne menunjuk pada munculnya ideologi pascakerja yang membayangkan masyarakat dimana nilai manusia tak terikat pada produktivitas. Ide-ide ini mendapatkan daya tarik dalam konteks meningkatnya otomatisasi, masalah iklim, dan semakin diakuinya tenaga kerja yang tak dibayar (seperti pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga). Singkatnya, teori kritis tentang tenaga kerja mengajak kita agar membayangkan kembali masyarakat dimana pekerjaan tidak lagi menjadi ciri penentu nilai manusia.
Perspektif ini penting ketika membahas tenaga kerja dalam lingkungan ekonomi dan budaya saat ini. Perspektif ini membuka pintu bagi perdebatan kebijakan tentang pendapatan dasar universal, minggu kerja yang lebih pendek, dan nilai sosial dari istirahat dan kreativitas. Dengan demikian, kritik Frayne tak hanya menolak pekerjaan tetapi menyerukan penemuan kembali pekerjaan—menuju bentuk mata pencaharian yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkelanjutan.
[Bagian 2]