Selasa, 13 Mei 2025

Pemimpin Populis, Self Branding, dan Media Sosial

Dulu, kalo ngomongin soal pemimpin, yang kebayang itu visi, integritas, dan kerja nyata. Di zaman now? Yang penting ring light nyala, drone siap take off, dan hashtag udah disusun sejak dini. Di era politik yang serba konten ini, seorang pemimpin dinilai bukan dari seberapa banyak undang-undang yang doi perjuangin, tapi dari seberapa viral doski saat meluk anak kucing seraya sesunggukan di depan kamera atau berapa angle yang dipakai pas lagi meluk kambing saat banjir.
Populis modern kagak butuh program kerja—yang penting moodboard-nya kuat. Pengumuman kebijakan berubah jadi video motivasi berlatar tembang Coldplay. Kampanye politik? Udah diganti jadi duet TikTok bareng tukang cilok. Dan jangan lupa, ada pasukan buzzer yang selalu siap siaga: dari nyulap kesalahan jadi “momen manusiawi,” sampai ngegas netizen yang dianggap “kagak mau ngedukung pembangunan.”
Dulu, setiap pemimpin punya ajudan yang siap bawa map. Sekarang? Bawa tripod. Tim terdekat seorang pejabat bukan lagi ahli strategi atau pakar hukum—tapi kameramen, editor, dan creative director.
Kemana pun doski pergi—ke pasar, panen raya, atau pura-pura kaget dengerin harga cabai yang naek—udah ada minimal empat kamera yang nge-shoot dari segala sudut: close-up, slow motion, cinematic drone, dan tentu aja… vlog cam dari tangannya sendiri. Netizen harus tahu: begini cara pemimpin "merakyat" tampil—dari angle kiri atas, lighting natural, efek bokeh maksimal.
Kini, semua gerakan harus ada footage: Keluar mobil = footage. Salaman dengan pedagang = footage. Nunduk sambil senyum ke anak kecil = footage dengan backsound piano haru. Marah di depan staf? Harus ada versi RAW buat behind-the-scenes!
Yang nggak ke-shoot, ya dianggep nggak kejadian. Soalnya, di era ini, kerja nyata bukan yang utama—yang penting kerja yang kliyatan nyata. Ingat, yang lebih penting dari realisasi anggaran adalah real engagement metrics.

Nah, dua ilmuwan politik—Sergei Guriev dan Daniel Treisman—nulis buku kece berjudul Spin Dictators: The Changing Face of Tyranny in the 21st Century (rilis tahun 2022, Princeton University Press). Mereka bilang, diktator zaman now, nggak kayak dulu. Kalo dulu penguasa otoriter itu pakai cara kasar, sekarang mereka cuma butuh kamera, konten, dan caption menyentuh. “Para strongmen modern kagak perlu repot-repot nyensor semuanya; mereka cukup ngebanjirin rakyat dengan distraksi,” tulis Guriev dan Treisman.
Kata mereka, represi zaman now itu hemat biaya: kagak perlu menjarain orang—cukup bikin netizen sibuk debat soal tone video kampanye. Kritik kagak perlu dibungkam, cukup ditenggelamkan dalam lautan konten dan klarifikasi berlapis backsound motivasi.
Dalam dunia seperti ini, PR (public relations) jauh lebih penting daripada RPJMN. Pemimpin gak butuh program konkret, cukup performa yang relatable. Sekali peluk kambing di tengah banjir, edit dikit, kasih lagu Coldplay, boom—viral!

Sepanjang sejarah modern, dunia ini udah berkali-kali “dipegang” ama para pemimpin otoriter dan diktator yang suka main kuasa seenaknya. Tapi kalau kita zoom in ke era paling “ngegas,” ya itu terjadi di abad ke-20, terutama dari tahun 1920-an sampai 1970-an. Waktu itu, gaya kepemimpinan yang otoriter dan penuh penindasan jadi kayak tren politik global. Bayangin, dari Eropa sampai Asia dan Amerika Latin, yang megang kendali itu ya para “bapak-bapak kuat a.k.a strongmen” yang hobi pakai tentara, sensor media, dan kultus individu buat ngejaga tahta beliyaw-beliyaw.
Di era antar-perang, muncul tokoh-tokoh legendaris (dalam artian negatif tentunya) kayak Benito Mussolini di Italia dan Adolf Hitler di Jerman. Mereka ini bukan cuma ngedikte rakyatnya, tapi juga bikin propaganda yang super canggih di zamannya, sampai bikin rakyat percaya mereka tuh pahlawan. Nggak kalah ngeri, ada juga Stalin di Uni Soviet, yang sukses ngebuat negaranya jadi mesin ketakutan. Di tempat lain kayak Jepang dan Spanyol, gaya-gaya militeristik dan otoriter juga ikut booming. Pokoke, era itu penuh ama pemimpin yang lebih suka didengar daripada diajak debat.

Nah, setelah Perang Dunia II selese, kita masuk ke era Perang Dingin. Di sinilah makin banyak negara berkembang—terutama di Amerika Latin, Afrika, dan Asia—yang jatuh ke tangan rezim militer dan otoriter. Negara kayak Argentina, Brasil, Chile, atau Uganda dan Zaire di Afrika, sampai ke Indonesia di masa Orde Baru, semuanya semangat banget ngejaga “stabilitas” lewat kekuatan tangan besi. Dan jangan salah, banyak dari mereka ini dapet dukungan dari negara besar kayak Amerika atau Uni Soviet, asal bisa bantu ngelawan ideologi lawannya.
Untuk paham gimana mereka bisa tahan lama, banyak buku keren yang ngebongkar sistem otoriter ini. Misalnya, buku "The Dictator’s Handbook" karya Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith (2011, PublicAffairs) ngejelasin gimana para diktator tuh pintar banget nyari cara biar tetap berkuasa—entah lewat sogokan, ancaman, atau ngasih "jatah" ke elite politik. Terus ada juga "How Dictatorships Work" karya Barbara Geddes (2018, Cambridge University Press), yang nyuguhin analisis sistematis soal tipe-tipe rezim otoriter dan cara mereka ngejalanin kekuasaan dari balik layar.

Dalam buku “The Dictator’s Handbook: Why Bad Behavior is Almost Always Good Politics” (2011), dua penulis keren tapi nyebelin dalam cara yang jujur banget—Bruce Bueno de Mesquita dan Alastair Smith—ngeluarin teori politik yang bikin kita mikir keras: “Lho, ternyata dunia emang sekejam itu, ya?” Buku ini diterbitin sama PublicAffairs, dan secara garis besar, mereka bilang begini:
“Kalau loe pengen tetep jadi penguasa, lupain soal idealisme. Yang penting, jagain geng loe yang paling penting, bikin rakyat agak takut, dan pegang kendali duit sebanyak mungkin.”
Tiga Jurus Jitu ala Penguasa Otoriter:
  • Takutin Duluan, Baru Disayang: Pemimpin otoriter itu kayak karakter penjahat di film action—mereka tahu rasa takut lebih efektif daripada pidato motivasi. Mereka bakal bikin suasana tegang, seolah-olah “kalau lo macem-macem, ilang loe dari peredaran.” Enggak perlu tiap hari galak, yang penting semua orang tahu: kalau loe lawan, loe nyang rugi.
  • Setia Karena Ditraktir: Para diktator ini gak peduli soal cinta rakyat. Yang penting itu "geng elite"-nya, yang disebut sang penulis sebagai winning coalition—biasanya isinya jenderal, pejabat penting, atau pebisnis kakap. Mereka ini dikasih jatah: proyek, jabatan, atau duit. Asal geng ini seneng, kursi kekuasaan aman. Tapi kalau mereka mulai belok arah? Nah, siap-siap deh skenario kudeta muncul.
  • Yang Pegang Dompet, Pegang Kendali: Penguasa otoriter tuh kayak admin dompet bersama. Mereka kuasai sumber daya negara—dari tambang emas sampai dana bansos. Terus mereka bagi-bagi secara strategis: yang loyal dikasih hadiah, yang bandel dicuekin atau dimiskinken. Jadi kalau ada daerah yang sering protes, ya jangan harap dapet jalan mulus atau sinyal 4G.
Dan kalimat yang paling nyolot tapi realistis dari buku ini yalah: “Kebijakan yang bagus biasanya buruk buat politik, dan kebijakan yang buruk malah bagus buat kekuasaan.” Maksudnya, pemimpin otoriter gak butuh bikin hidup rakyat lebih baik. Mereka cuma butuh bikin hidup segelintir orang penting jadi super nyaman. Kalau bikin sekolah atau rumah sakit gak nguntungin posisi mereka, ya gak bakal dibangun. Tapi kalau ngasih jatah tambang buat kolega bikin kursi mereka makin nempel? Langsung diteken!
Intinya? Buku ini ngajarin kita bahwa dalam dunia politik otoriter, pemimpin itu bukan melayani, tapi bertahan hidup. Mereka main catur, bukan main hati. Dan selama mereka bisa ngatur antara bikin takut, bagi-bagi cuan, dan ngejaga geng elite, ya mereka bakal awet kayak sinetron berseri.
Tapi inget ya gengs, yang kayak gini tuh nyata banget. Jadi, jangan sampai kita jadi rakyat yang gampang dibohongin cuman karena pencitraan atau slogan manis. Kadang, yang kliyatannya “merakyat” entu, sebenarnya cuma lagi pinter banget main strategi bertahan.

Dalam buku “How Dictatorships Work: Power, Personalization, and Collapse” (2018), Barbara Geddes barengan ama Joseph Wright dan Erica Frantz ngasih satu kenyataan pahit yang harus kita telan bareng-bareng: dunia kediktatoran itu bukan sekadar drama politik penuh amarah, tapi sebenernya kayak sinetron politik dengan skenario yang super matang. Bukan kacau, tapi sangat terstruktur. Bukan asal nyuruh, tapi penuh strategi.
Jadi gini, menurut mereka, diktator itu enggak cuma jago ngasih perintah. Mereka juga jago ngatur sistem biar tetap bisa duduk manis di singgasana kekuasaan, bahkan lama banget. Ada institusi, ada aturan main, dan—yang paling penting—ada geng elite yang harus terus dilayani supaya nggak memberontak.
Geddes menjelaskan kalau rezim otoriter itu datang dalam tiga rasa: Rezim militer (yang biasanya bareng-bareng dan gampang pensiun kalau situasi memanas), Rezim partai tunggal (kayak partai yang ngatur dari A sampai Z dan paling tahan lama), dan Rezim personalis (alias semua pusatnya di satu orang: pemimpin, penyelamat, dan influencer politik utama). Nah, yang personalis ini paling rapuh karena semua keputusan tergantung mood si bos besar. Tapi sekaligus paling berbahaya karena enggak ada rem-nya.
Yang lebih mind-blowing lagi, institusi-institusi yang keliatannya “palsu”—kayak parlemen boneka atau pemilu settingan—sebenarnya punya peran penting: buat nguji loyalitas, ngejaring ancaman, dan ngatur ambisi para pejabat dalam sistem tertutup. Jadi, jangan ketipu ya. Meskipun kelihatan demokratis, itu semua cuma panggung sandiwara buat bikin kita ngerasa semuanya “baik-baik aja.”
Dan jangan salah, diktator itu enggak bisa jalan sendirian. Mereka butuh "geng inti"—para jenderal, bos partai, pengusaha tajir—yang dikasih proyek, posisi, atau akses ke sumber daya. Selama geng ini happy, kursi kekuasaan aman. Tapi kalau mereka mulai ngambek karena kebanyakan dikadalin? Bisa ambruk dalam semalam.
Jadi intinya, buku ini bilang: kediktatoran itu bukan penyakit sementara. Ini sistem politik yang disetting buat awet. Kalau kamu kira diktator itu nggak punya rencana? Salah besar. Mereka main catur politik, bukan lempar dadu.

Masih dari buku “How Dictatorships Work”, Barbara Geddes dan timnya enggak cuma ngasih tahu gimana para diktator bikin “kerajaan politik” mereka, tapi juga gimana semuanya bisa ambyar. Tapi jangan bayangin kejatuhan rezim otoriter itu kayak film action—rakyat demo terus pemimpin lari naik helikopter. Nope. Kebanyakan diktator tumbang bukan karena demo besar-besaran, tapi karena ditikung geng sendiri.
Serius, musuh paling bahaya buat diktator itu bukan rakyat jelata, tapi orang terdekatnya sendiri. Bisa jenderal yang ngidam kekuasaan, bisa juga kroni yang bosen cuman jadi pelengkap penderita. Kalau ekonomi juga lagi babak belur, makin cepat tuh rezim runtuh.
Dan tahu gak, yang paling rawan itu ya si rezim personalis—alias yang semua keputusan dipegang satu orang, kayak one man show. Emang kelihatannya keren dan kuat, tapi begitu si bos lengser, semua langsung bubar jalan. Kayak Jenga, cabut satu balok doang, ambyaaaar!
Bandingin deh ama rezim partai tunggal, yang punya sistem kayak promosi kader atau kongres internal. Mereka bisa ganti pemimpin tanpa drama Korea. Militer juga biasanya lebih kalem; begitu udah ngerasa cukup main politik, mereka balik ke barak.
Tapi catatan penting dari buku ini: diktator itu awet sampai enggak lagi. Dan momen hancurnya tuh sering tiba-tiba banget. Bisa karena si pemimpin nekat nurunin anaknya yang enggak kapabel, atau sok ngatur segala hal sendirian sampe bingung sendiri.
Tapi yang paling nyesek? Setelah diktator jatuh, belum tentu diganti demokrasi. Sering banget malah muncul “reinkarnasi diktator” dengan gaya baru, nama baru, tapi niat lama. Same script, different actor.
Jadi, kalau rakyat nggak dapet dukungan dari masyarakat sipil, lembaga kuat, dan tekanan internasional, siap-siap aja: babak baru dari sinetron otoriter bakal tayang lagi, dengan season yang lebih panjang.

Buat yang masih bingung, emang diktator dan otoriter itu sama? Jawabannya: enggak sepenuhnya. Diktator itu biasanya satu orang yang pegang kuasa penuh, kayak bos tunggal yang ngatur semuanya sendiri. Sementara otoriter itu lebih luas—bisa satu partai, kelompok militer, atau elite politik yang ngendaliin negara dengan ngurangin kebebasan rakyat. Jadi, semua diktator itu otoriter, tapi gak semua otoriter itu diktator tunggal.

Setelah era Perang Dingin mereda, banyak negara mulai pindah ke demokrasi. Tapi jangan seneng dulu, karena autoritarianisme zaman now udah ganti baju. Mereka udah nggak pakai seragam militer atau pidato marah-marah doang. Sekarang, mereka pakai dasi, update Instagram, bikin konten YouTube, dan bilang mereka “dipilih rakyat”. Tapi diam-diam, mereka ngatur media, manipulasi pemilu, dan mencekik kebebasan dengan cara halus. Ini yang disebut oleh Sergei Guriev dan Daniel Treisman dalam bukunya "Spin Dictators" (2022) sebagai diktator gaya baru—bukan yang brutal, tapi yang jago banget main narasi dan pencitraan.
Kesimpulannya, zaman keemasan diktator itu ya dulu, pas dunia masih percaya kekuatan tangan besi. Tapi sekarang, otoriterisme nggak hilang, doi malahan makin lincah dan licin. Nggak pakai tank, tapi pakai buzzer. Nggak main laras panjang, tapi main algoritma. Jadi, kalau kita gak jeli, bisa-bisa kita “dibungkus” demokrasi palsu yang isinya otoriterisme 5G.

Maka, selamat datang di era kepemimpinan performatif, dimana pemimpin itu mirip influencer, cuma bedanya punya kekuasaan buat ngubah undang-undang. Kalau loe bingung uang pajak lari ke mana, santai… biasanya ada Reels-nya kok, lengkap dengan subtitle dan transisi mulus.
Kemana pun perginya, selalu ikut empat kameramen, satu operator drone, kru lighting, dan satu orang yang tugasnya cuma tereak, “Wah gila, ini sinematik banget, Bro!” setiap selesai take.
Ini bukan lokasi syuting film. Tapi ini … panggung kekuasaan zaman now.
Seperti yang dijelaskan oleh Guriev dan Treisman dalam buku Spin Dictators, pemimpin otoriter zaman now, nggak butuh tank atau ruang interogasi buat ngatur rakyat—yang mereka butuh itu follower, literally dan digitaly. Buat apa bikin takut, kalau bisa bikin baper lewat video close-up dengan filter warm?

“Pemimpin otoriter zaman kekinian itu setengah seleb, setengah motivator, setengah life coach.”
Gak jaman lagi tereak-tereak dari balkon sambil ngomel. Sekarang yang laku itu pemimpin yang duduk lesehan sambil makan cilok dan seblak, diiringi hembusan angin sepoi yang bikin rambutnya sedikit berkibar dramatis. Kameramen bukan lagi dokumentator, tapi arsitek narasi.
Dan memang begitu. Karena, menurut penulis Spin Dictators, tujuannya bukan lagi buat meyakinkan rakyat. Tapi bikin rakyat bingung. “Tujuannya bukan untuk meyakinkan, tapi untuk mengacaukan.”

Ketika semua media rame, semua narasi saling tabrakan, dan semua video punya backsound piano mellow—masyarakat akhirnya capek mikir. Gak penting siapa yang bener, yang penting siapa yang tampil paling sad dan relatable. Strateginya bukan menang debat, tapi ngaburin realita.

Di dunia seperti ini, kameramen lebih penting dari auditor. Videografer lebih berkuasa dari staf pembuat kebijakan. Pemimpin zaman now invest di storytelling, bukan di state budgeting. Konferensi pers diedit kayak konten YouTube travel vlog, lengkap dengan slow-mo dan efek bokeh.

Jangan salah, ini bukan ketidaksengajaan. Yaa, seni tingkat tinggilaah. “Spin dictator itu kayak pesulap. Demokrasi tetap ada, tapi isinya udah bodong.”
Pemilu tetap digelar. Oposisi masih boleh ngomong. Media masih cetak cerita dan berita. Semuanya dilakukan dalam kabut ilusi, diatur sedemikian rupa oleh kru konten sang pemimpin. Ia bukan lagi demokrasi—ia drama politik bersponsor, lengkap dengan lighting dan tembang pengiring.

Di era spin politik, pemimpin populis itu gak pernah berjuang sendirian. Mereka jalan bareng pasukan setia—bukan tentara bersenjata, tapi pasukan akun-akun centang abu-abu, hashtag yang meresahkan, dan komentar yang sok bijak tapi nyinyir.
Selamat datang di dunia buzzer, troll farm, dan pejuang komentar garis keras, dimana medan perang adalah kolom reply dan senjatanya berupa meme, infografik abal-abal, dan thread mencurigakan yang selalu dimulai dengan:“Guys, aku gak mau ngebahas politik sih, tapi...”

Guriev dan Treisman jelasin bahwa pemimpin otoriter zaman now tuh udah jarang pake sensor-sensoran. Mereka gak ngelarang, tapi membanjiri. Tujuannya bukan buat memberangus kritik, tapi buat bikin orang tenggelam dalam noise, drama, dan vibes boongan. “Diktator modern gak bikin takut. Mereka menghibur, mengalihkan, dan bikin penonton kelebihan informasi.”
Dan di sinilah pasukan algoritma berperan. Mereka bukan volunteer biasa. Mereka seringkali didanai, terorganisir rapi, dan terlatih buat bikin sesuatu meledak di timeline. Misinya jelas: ngelindungin citra sang pemimpin, serang yang berani kritik, dan banjiri media sosial dengan konten “inspiratif” bertema #PemimpinRakyat.

Ini udah bukan propaganda negara doang. Ini manipulasi berjaringan. Dalam buku Network Propaganda (Benkler, Faris & Roberts, 2018), dijelaskan gimana echo chamber digital itu sengaja diciptakan biar masyarakat males mikir kritis. Selama publik sibuk debat receh di kolom komentar, gak bakalan sempet mikirin substansi.
Di sisi lain, The Age of Surveillance Capitalism (Shoshana Zuboff, 2019) ngasih angle ekonomi: semua ini bukan cuma soal politik, tapi soal atensi. Setiap klik, share, like, dan emot marah jadi bahan bakar mesin algoritma. Pesan politik gak dikirim pakai toa lagi—sekarang dikirim langsung ke lobus frontal otak, udah dioptimasi biar bikin loe auto simpati. “Data perilaku bukan cuma dijual. Tapi juga dijadikan senjata.”
Jadi begitu ada berita miring soal sang tokoh, langsung disapu bersih sama gelombang testimoni, emoji nangis, dan akun anonim yang tiba-tiba ngaku “warga biasa” tapi ceritanya copy-paste semua. Kalau masih ada yang bandel? Ya tinggal main mass report, bilang medianya dibayar oposisi, atau tuduh semua pengkritik sebagai “kaum gagal move on” atau dengan sebutan "barisan sakit hati".
Ini perang, Bro. Bukan pakai peluru, tapi pakai kuota.

Di dunia para spin dictator, empati itu bukan dirasakan—tapi dikomersialkan. Pemimpin populis masa kini jago banget bikin kesedihan jadi konten, dan penderitaan rakyat jadi footage buat highlight video. Warga yang nangis? Langsung jadi background dramatis. Pedagang susah? Dijadiin thumbnail dengan judul “Kisah Haru Pemimpin yang Turun ke Lapangan.”
Entah itu momen peluk-pelukan bareng korban banjir, makan mi instan di tenda pengungsian, atau ngelap keringat sambil pose capek tapi tetap kece—semua itu udah diatur masuk ke content planner mingguan. “Pura-pura rendah hati kadang lebih manjur dari kerja nyata.”
Foto sepatu kena lumpur, kening berkerut, dan ekspresi ‘saya prihatin’ jadi senjata branding. Dan kalau ada momen tulus beneran? Tenang, kamera udah standby, tinggal nambahin backsound melow dan efek slow motion. Ini bukan kepemimpinan, bestie. Ini influencer-ship bersertifikat politik.

Dulu kebijakan itu harus dijelaskan. Sekarang? Cukup satu kalimat catchy pakai font tebal dan ekspresi muka serius.
Selamat datang di era politik yang dimemekan, dimana jargon lebih laku daripada data, dan like & share lebih penting dari sustainability. Satu video viral saat kunjungan ke proyek bisa ngalahin setahun laporan kinerja nyata.
Komunikasi politik zaman kini dirancang buat orang-orang yang scroll sambil makan. Dalam Spin Dictators, disebutkan bahwa citra menggantikan ideologi, dan likeability ngalahin legacy. Pemimpin gak perlu debat—asal bisa viral, beres.
Meme jadi senjata pamungkas: dibikin sederhana, dibesar-besarkan, dan kadang ya ... dibengkokin juga. Kutipan biasa bisa jadi quotes inspiratif. Kesalahan fatal bisa diedit jadi montage heroik. Semua demi satu tujuan: membangun mitos. “Di era digital, kharisma bisa diunduh.”

Dulu, pemimpin yang keren itu, ngejawab pertanyaan sulit dengan data dan argumen. Sekarang? Cukup diem bentar, senyum dikit, lalu diiringi lagu vibes yang lagi ngetrend. Begitu dikritik soal kebijakan atau transparansi, pemimpin populis gak buru-buru bikin klarifikasi. Mereka bikin video slow motion, jalan sambil merhatiin langit, atau kasih efek sinar matahari yang “sok inspiratif”.
Karena mereka ngerti satu hal penting: vibes ngalahin substansi. Dibanding ngejawab soal harga beras naek, mereka lebih milih mosting video lagi mgelus-elus kucing atau ngobrol random sama kurir. Kalau ditanya soal dugaan korupsi? Jawabannya bukan data, tapi quote bijak seperti: “Dalam hidup, jatuh itu biasa. Yang luar biasa itu, bangkitnya.” (Disertai musik sendu dan close-up mata berkaca-kaca.)
Guriev dan Treisman jelasin bahwa ini bukan karena pemimpinnya malas. Justru ini strategi jitu. Dengan tetap ambigu, mereka ngasih ruang buat pendukungnya berfantasi sebebas mungkin tentang niat baik sang idola. Diam jadi strategi. Ketidakjelasan disulap jadi visi.

Di era media sosial, pemerintahan udah berubah jadi seni panggung yang dipentaskan nonstop.
Buat apa ribet-ribet ngejelasin kebijakan, kalau cukup bikin video 15 detik yang nunjukin lagi ngusap air mata atau jempol ke kamera? Ngapain repot-repot konferensi pers, kalau Instagram Story yang penuh ekspresi bisa jadi “bukti”?
Pemimpin populis udah nemuin jurus sakti: kabinet emoji—kumpulan ekspresi emosi yang udah diatur sedemikian rupa lewat reels, tweet, dan postingan viral. Prestasi nyata? Kadang abu-abu. Masalah nyata? Sering di-skip. Yang penting like, share, dan komen.
Seperti kata Guriev dan Treisman, kepemimpinan modern itu bukan soal hasil, tapi soal membangun narasi emosional yang pas banget di hati followers. Tujuannya bukan nyelesein masalah, tapi bikin orang ngerasa “Eh, setidaknya ada yang nyoba.”
Ini politik versi generasi TikTok: cepet, gemerlap, dan penuh filter. “Masa depan politik bukan soal kebijakan—tapi soal performance.”

Di dunia pemimpin populis yang dikawal kameramen, meme, dan kabinet emoji, kita gampang banget terbawa arus tontonan yang penuh polesan ala Instagram. Tapi nih ya, klik doang gak bisa nyelesein masalah. Like gak nurunin harga cabe. Video viral kagak bisa bikin rumah sakit. Kalau kita mau masa depan yang lebih oke, kita butuh cara mikir yang lebih oye—bukan cuma branding yang kece.
So, lain kali pas loe ngeliyat pemimpin jalan slow-mo atau posting quote “dalem” sambil ngeliat matahari terbenam, coba deh berhenti dulu. Trus bertanya: “Ini pemimpin beneran, atau cuma editan rapi sebuah pertunjukan?”
Karena perubahan sejati gak datang dari reels viral atau slogan catchy. Tapi dari kita yang ngasih tuntutan ke pemimpin buat kerja nyata, minta yang jelas-jelas, dan gak gampang diboongin cuma gara-gara vibes doang.
Yuk, scroll-nya yang pinter yaq, jangan asal-asalan!
Betewe, kita masih bakal ngebahas soal pemimpin populis ini ditambah dengan topik tentang masyarakat yang males mikir. InsyaAllah.