Rabu, 25 Juni 2025

Tiga Isu Besar Ekonomi (2)

Di sebuah desa kecil di tepi laut yang makin sering dihantam badai, warga dulu milih pemimpin cuma karena yang paling rame pas pesta kampung. Siapa yang paling lucu, paling jago orasi, paling sering bagi-bagi kaos—itu yang menang. Selama cuaca masih cerah dan ikan masih banyak, gak ada yang protes.
Tapi lama-lama laut makin ganas, badai makin sering datang, dan pasar ikan makin dikacauin ama harga global yang gak masuk akal. Pas krisis beneran datang, orang-orang gak lagi nyari yang suaranya paling kenceng, tapi nyari sang kakek nelayan pendiam yang dulu sering dicuekin. Doskilah yang dari dulu udah ingetin soal perubahan ombak. Doski gak cuma ngomong, tapi juga bikin perahu yang kuat, ngajarin anak muda cara bertahan di laut yang liar.
Sekarang, desa itu masih berdiri bukan karena pemimpinnya jago nyanyi waktu kampanye, tapi karena ada yang siap mikir sebelum badai datang. Anekdot ini jadi pengingat: di zaman dunia yang makin ruwet—ekonomi goyang, iklim ngaco, politik meletup—kita butuh pemimpin yang gak sekadar rame, tapi punya ilmu dan keberanian buat ambil keputusan pahit sebelum semuanya ambruk.

Ngukur stabilitas sebuah negara di level internasional itu gak cukup pake perasaan nasionalis atau janji kampanye. Dunia luar punya banyak alat ukur yang ngebongkar: negara ini beneran stabil, atau cuma kelihatan adem di TV tapi dalemnya udah keropos.

Salah satu yang paling sering dipake adalah Fragile States Index (FSI) yang tiap tahun dirilis oleh Fund for Peace. Mereka ngeliat negara dari banyak sisi: pemerintahannya sah atau kagak, ketimpangan ekonominya gimana, layanan publiknya jalan gak, ada campur tangan asing atau enggak, dan rakyatnya guyub apa gampang ribut. Semakin tinggi skornya, artinya negara makin rawan ambyar.
Kalo loe ngira negara loe yang paling banyak drama, tunggu dulu sampai lihat daftar negara paling rapuh di dunia versi Fragile States Index 2024. Di puncak daftar ada negara-negara yang kayaknya udah langganan krisis—bukan cuma karena ekonomi yang ambruk, tapi juga karena perang yang gak kunjung selese, pemerintah yang gak berfungsi, dan rakyat yang tiap hari harus bertahan hidup di tengah kekacauan.
Ambil contoh Somalia. Bayangin negara yang udah lebih dari 30 tahun hidup dalam perang saudara. Pemerintah pusatnya lemah kayak sinyal Wi-Fi di ujung kampung, dan kelompok militan Al-Shabaab masih berkeliaran seenaknya di banyak wilayah. Layanan publik? Ekonomi? Jangan ditanya. Udah kayak rumah kosong yang ditinggalin puluhan tahun.
Lalu ada Yemen, negeri yang dari luar tampak seperti halaman sejarah yang macet di bab perang. Sejak 2011, mereka tenggelam dalam konflik sipil yang makin parah gara-gara adu gengsi dua raksasa kawasan: Arab Saudi dan Iran. Yang jadi korban? Rakyat. Mereka kelaparan, kehilangan rumah, dan hidup di tengah reruntuhan negara yang dulu pernah berdiri.
Sudan Selatan juga gak kalah tragis. Baru aja resmi jadi negara tahun 2011, tapi harapan untuk hidup damai langsung dibungkam oleh perang antar etnis. Pemerintahannya rapuh kayak bangunan tua belum direnovasi, jutaan orang terpaksa mengungsi, dan soal makanan? Gak semua orang bisa makan tiap hari.
Lanjut ke Republik Demokratik Kongo. Negara ini ibarat rumah mewah yang dikelilingi ladang ranjau. Kaya banget sumber daya—emas, kobalt, minyak—tapi pemerintahnya gak bisa ngatur wilayah timur yang udah dikuasai para milisi bersenjata. Hidup di sana? Serem tiap hari, kayak film action tapi tanpa sutradara.
Dan terakhir, ada Suriah. Lebih dari sepuluh tahun perang bikin negara ini kayak kota hantu yang ditinggal penghuninya. Infrastruktur luluh lantak, jutaan orang lari ke luar negeri atau ke pengungsian dalam negeri, dan pemerintah pusat? Masih belum bisa bikin negara ini berdiri lagi kayak dulu.
Semua negara ini punya benang merah yang sama: konflik berkepanjangan, pemerintah yang kehilangan kendali, layanan publik yang tinggal nama, dan intervensi asing yang bikin suasana makin kacau. Mereka terjebak dalam lingkaran setan krisis, kemiskinan, dan trauma kolektif. Stabilitas? Itu sekarang cuma mimpi yang jauh dari kenyataan.

Skor terbaru Indonesia di Fragile States Index 2024 dari Fund for Peace ternyata 63,7 dari 120, sedikit turun dari angka 65,6 di tahun 2023. Artinya, kita masih di zona “warning”—gak terlalu parah kayak negara konflik berat, tapi gak bisa santai-santai juga.
Penurunan skor ini dipengaruhi beberapa hal positif: perlambatan kemerosotan ekonomi, layanan publik yang makin berfungsi, dan stabilitas politik yang mulai adem. Tapi jangan seneng dulu, ada dua isu yang masih bikin kita rada rawan: elite yang masih gampang pecah, tekanan penduduk makin tinggi, dan masalah hak asasi manusia yang belum sepenuhnya tertangani.
Indeks ini dihitung dari 12 indikator, mulai dari militer dan polisi, distribusi ekonomi, pengangguran otak (brain drain), penegakan hukum, sampai intervensi dari luar negeri. Meskipun Indonesia udah mulai bangkit di beberapa sektor, skala dan kerumitan negara kepulauan ini tetap jadi tantangan berat. Jadi, skor 63,7 itu menggambarkan dua hal: kita tahan banting, tapi masih banyak PR—terutama soal memperkuat institusi dan merajut kembali kepercayaan sosial, apalagi di tengah dunia yang makin gak menentu.

Di indeks Human Flight & Brain Drain 2024, Indonesia dapet skor 5,4 dari maksimal 10, padahal rata-rata dunia cuma 4,73. Di Asia Tenggara sendiri, posisi Indonesia cukup tinggi—menempati urutan keempat setelah Laos (6,3), Myanmar (6,0), dan Kamboja (5,7), jauh di atas Thailand (3,4), Malaysia (4,2), atau “juara hidup nyaman” Singapore (1,0).
Skor tinggi ini menunjukkan kalau Indonesia masih sering “digerogoti” oleh migrasi talenta—orang-orang pintar dan terampil pindah ke luar negeri buat nyari duit lebih gedhe, lingkungan kerja lebih oke, atau sekadar kehidupan yang lebih aman dan stabil. Walau pemerintah udah nyoba berbagai cara (kayak rencana dua kewarganegaraan), tetap aja godaan gaji di negara lain masih berat .
Kalau dibandingin ama tetangga, Singapura hampir gak ada brain drain-nya—ya kan negaranya kecil tapi lengkap fasilitas dan pendapatan tinggi. Malaysia dan Thailand ada di tengah, kalau dibilang tinggi banget, gak juga sih. Sedangkan Indonesia? Skornya nunjukin ada kekosongan talenta yang serius—ini bisa ngerem di sektor kesehatan, pendidikan, dan teknologi. Secara global, kita di atas rata-rata, tapi kalau mau bener-bener jadi negara yang stabil dan maju, kita harus kerja keras buat narik dan nahan orang-orang terbaik tetep di dalam negeri.

Terus ada juga Worldwide Governance Indicators (WGI) dari Bank Dunia, yang ngukur stabilitas politik, efektivitas pemerintahan, dan hukum yang ditegakkan atau enggak. 

Kalau ngomongin soal tatakelola negara terbaik di dunia menurut Worldwide Governance Indicators (WGI) Bank Dunia, biasanya nama-nama kayak Denmark, Finlandia, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss yang nongkrong di atas terus . Mereka mencetak skor nyaris +2,0 dari skala -2,5 sampai +2,5—artinya bagus banget dari sisi demokrasi, hukum, regulasi, dan bersih dari korupsi.
Negara-negara ini gak sekadar bikin undang-undang keren, tapi juga patuh sama aturan itu. Pelayanan publiknya lancar, regulasinya jelas dan adil, rakyat bisa kritik pemerintah tanpa takut, dan korupsi minim. Karena itu, mereka punya kepercayaan sosial tinggi, investasi lancar, dan kehidupan warga yang stabil serta sejahtera.

Sementara itu, Indonesia posisinya ada di tengah-tengah—bukan buruk, tapi juga belum masuk level atas. di satu sisi, kita punya nilai voice and accountability yang cukup tinggi, berarti kebebasan sipil dan partisipasi warga lumayan oke—terbaik di ASEAN, bahkan. Pelayanan publik dan birokrasi sudah makin rapi, tapi masih sering setengah-setengah.
Sayangnya, dua hal yang masih jadi PR besar adalah kontrol korupsi dan penegakan hukum. Belum konsisten, banyak celah, dan toleransi terhadap penyalahgunaan kekuasaan masih tinggi. Jadi, meski Indonesia punya fondasi demokrasi yang kuat, masih butuh bantingan kebijakan biar punya tatakelola seprima negara-negara top tadi.

Dari sisi ekonomi, lembaga kayak Moody’s, S&P, dan Fitch ngasih rating soal utang negara, inflasi, dan iklim investasi. Sementara itu, badan-badan keamanan dunia mantau ancaman kayak terorisme, mafia, dan konflik sipil—apakah negara itu beneran aman, atau cuma aman buat elitnya doang.

Kalau ngomong soal utang negara, inflasi, dan iklim investasi, ini lima negara paling ramai dibahas:
Jepang jadi negara dengan rasio utang terhadap PDB tertinggi di dunia—sekitar 234–252%, karena puluhan tahun ngutang demi subsidi dan stimulus pas bubble ekonomi . Sudan malah baru aja nyalip ke puncak dengan rasio hampir 252%, gara-gara perang yang berkepanjangan dan struktur fiskal yang rapuh. Singapura juga masuk lima besar dengan utang sekitar 175%, tapi mereka pakai modal itu secara strategis buat bangun pasar finansial, bukan buat nutup defisit . Italia punya utang sekitar 137%, indikasi dari krisis anggaran dan politik mereka . Dan Amerika Serikat berada di kisaran 120–123% utang terhadap GDP, akibat defisit yang terus-menerus, pengeluaran pandemi, dan ketahanan militer .
Argentina sekarang sedang ngalamin inflasi gila, lebih dari 200% per tahun, karena rupiah mereka jatuh parah dan kebijakan fiskal kacau balau. Ada juga kasus ekstrem di Zimbabwe atau Venezuela, tapi Argentina sekarang jadi sorotan paling panas.
Di tahun 2025 ini, China, Brasil, dan Korea Selatan lagi jadi magnet investor karena pasar negara berkembang mereka mulai stabil dan mata uang dollar melemah . Dari negara maju, Jerman, Swiss, Kanada, Australia, dan Singapura tetap jadi favorit karena regulasi yang jelas dan politik yang adem ayem dan aman . Singapura paling mencolok—bukan cuma utangnya gede, tapi mentalnya memang buat jadi pusat investasi global .

Indonesia punya posisi ekonomi yang cukup oke buat level negara berkembang:
Soal utang, kita cuma punya utang sekitar 39 persen dari GDP—masih jauh di bawah batas aman, yaitu 60 persen. Ini bikin rating kredit kita dapat grade investable, artinya negara dianggap layak utang oleh investor global .
Pada 2023, utang publik Indonesia mencapai sekitar 39,6% dari PDB, naik lagi menjadi sekitar 40,2% di 2024, dan diproyeksikan bakal stay di kisaran 39–40% hingga akhir 2025. Lonjakan utang ini muncul karena pemerintah terus ngutang buat bangun infrastruktur dan funding program sosial gede-gedean.
Dampaknya? Dua sisi. Di satu sisi, utang relatif kecil dan rating layak investasi bikin negara tetep dipercaya pasar. Ini bikin biaya pinjaman murah dan anggaran bisa fleksibel. Tapi di sisi lain, para kritikus ngingetin: kalau utang terus naik, apalagi saat bunga global naik juga, biaya bunga bakal kian menekan—sudah kok, sekitar 20% dari pendapatan negara sekarang habis buat bayar utang . Kalau gak ada strategi jelas buat balikin pinjaman atau generate growth, bisa-bisa anggaran publik dan investasi swasta justru kena imbasnya.

Beberapa analis bilang pemerintah kelihatan terlalu tergantung utang tanpa rencana solid buat ngelunasin. Para kritikus sampe warning: pembayaran bunga makin nguras kas negara, dan itu jadi tanda tanya besar soal bagaimana menjaga anggaran sehat di jangka panjang .
Meski utang Indonesia masih terkendali dan aman untuk sekarang, laju terus menuju batas aman dan beban bunga yang makin berat bikin kita perlu ekstra hati-hati. Solusinya? Pengelolaan utang yang bijak, belanja yang disiplin, dan kebijakan prospektif supaya ekonomi Indonesia tetep stabil dan tahan banting.
Singkatnya, posisi utang Indonesia masih dapat dikelola dan berkelanjutan dalam jangka pendek, tetapi tren peningkatan yang mengkhawatirkan dan meningkatnya komitmen bunga menggarisbawahi perlunya tata kelola fiskal yang hati-hati, pengeluaran yang disiplin, dan kebijakan strategis untuk memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.

Untuk inflasi, kita aman adem. Angkanya stabil di 1,5–3,5 persen, bahkan di akhir tahun 2024 cuma 1,6 persen —yang inti (core) kenaikannya sedikit lebih tinggi di 2,26 persen. Ini bikin rakyat bisa nabung dan belanja dengan tenang tanpa takut harga naik mendadak.

Nah, soal iklim investasi, kita lagi ngetop. Tahun 2023 tercatat lebih dari US$47 miliar investasi asing masuk—terutama dari sektor tambang dan infrastruktur
. Undang‑undang omnibus, regulasi yang disesuaikan, dan kehadiran sovereign wealth fund seperti Danantara bikin investor mulai percaya, walaupun saat pertama diluncurin masih sepi peminat, mungkin masih keraguan dari investor. Tapi ya, masih ada PR, kayak birokrasi yang masih ribet, masalah pengadaan lahan, sama isu korupsi yang belum mau 'ilang.
Iya, Indonesia lagi kebanjiran investasi asing, tapi ada drama di balik layar yang bikin investor mikir dua kali. 
Di kuartal pertama 2025, Indonesia dapet IDR 230,4 triliun (US$13,67 miliar) dari investasi asing, naik 12,7% dibanding tahun lalu. Tapi, ini pertumbuhan paling pelan dalam lima kuartal terakhir. Sektor yang jadi primadona antara lain pertambanganpeleburan logaminfrastruktur, dan logistik, dengan investor dari SingapuraChinaHong KongMalaysia, dan Jepang .
Apalagi, industri nikel jadi sorotan setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel sejak 2020. Kebijakan ini bikin investor tertarik bangun pabrik smelter dan baterai kendaraan listrik .
Tapi, meski angka investasi kelihatan oke, ada yang bikin khawatir. Di awal 2025, investor asing net jual IDR 2,48 triliun saham Indonesia, bikin kepemilikan asing di IHSG turun ke 2,9%, terendah sejak 2011.
Para kritikus bilang, meski angka FDI di headline kelihatan oke, tapi di baliknya masih ada masalah struktural yang mendorong modal kabur dari sektor-sektor tertentu—kayak kebijakan yang kadang gak konsisten dan infrastruktur yang kurang memadai. Jadi, cerita investasi di Indonesia itu gak murni naik terus, tapi dinamis: ada sektor yang tumbuh, sementara yang lain masih bikin investor was-was. Intinya, iklim investasi Indonesia lagi berubah, tapi tantangan-tantangan lama masih ada dan butuh reformasi berkelanjutan serta kebijakan strategis supaya kepercayaan investor bisa lebih merata dalam jangka panjang. 
Gak sedikit perusahaan multinasional yang malah mengecilkan operasi atau mutusin buat pindah pabrik ke negara lain. Alasannya? Biaya tenaga kerja yang naik, ketidakpastian kebijakan yang masih bikin gemeter, dan masalah rantai pasokan lokal yang ribet, sehingga sebagian investor memutuskan untuk cut loss dan pindah keluar.

Lalu ada Corruption Perceptions Index dari Transparency International, Global Peace Index, dan Human Development Index (HDI) buat liat apakah negara itu damai, adil, dan enak ditinggalin.
Menurut Laporan Pembangunan Manusia dari PBB yang paling anyar, lima negara dengan peringkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi adalah Swiss, Norwegia, Islandia, Hong Kong (SAR), dan Australia. Tapi jangan kira ini sekadar deretan angka. Di balik skor tinggi mereka, ada cerita panjang soal kebijakan yang adil, budaya yang egaliter, dan kepercayaan sosial yang bikin iri banyak negara berkembang.
Swiss jadi juara karena punya sistem demokrasi langsung yang bikin warganya merasa dilibatkan, bukan cuma dijanjiin. Pelayanan kesehatan merata dan pendidikan berkualitas bikin hidup rakyatnya nyaman dan berdaya. Norwegia sih memang punya "bonus minyak", tapi mereka nggak ugal-ugalan. Dana hasil minyak diatur transparan buat menopang layanan publik. Islandia? Walau kecil, negara ini serius banget urusan kesetaraan gender dan jaminan sosial—semacam komunitas besar yang saling jaga dan dorong maju bareng.
Hong Kong, meski penuh dinamika politik, masih unggul dalam sistem pendidikan dan layanan publik yang cekatan. Sedangkan Australia, dengan semangat multikulturalisme dan akses pendidikan tinggi yang luas, jadi tempat di mana banyak orang merasa punya peluang untuk sukses, bukan sekadar hidup dari gaji ke gaji.

Menurut Laporan Pembangunan Manusia PBB 2023/2024, Indonesia menempati peringkat ke-117 dari 193 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), masuk kategori "Pembangunan Manusia Tinggi"—tapi ya, masih di papan bawah. Skornya 0,720, lebih rendah dari Malaysia dan Thailand, yang berarti masih ada banyak PR soal kualitas pendidikan, akses layanan kesehatan, dan pemerataan penghasilan. Walau angka kemiskinan pelan-pelan turun dan harapan hidup meningkat, Indonesia masih dihantui ketimpangan lama—antara desa dan kota, antara Jawa dan luar Jawa.

Di Indonesia, akses buat sekolah, berobat, bicara di ruang politik, dan hidup tenang dengan harga diri itu bisa dibilang,"Sudah tapi belum!", kayak jalan tol yang masih dibangun—papan petunjuknya udah ada, tapi jalannya masih tambal-sulam. Sekolah sih ada hampir dimana-mana, tapi kualitas belajarnya? Banyak yang masih kayak kelas kosong dengan guru honorer yang dibayar seadanya. Pemerintah memang bangga soal anggaran dan platform digital, tapi para pengamat bilang, “Percuma sekolah gratis kalau anak-anaknya lulus tapi bingung baca peta atau bikin surat lamaran kerja.”
Soal kesehatan pun begitu. Program BPJS awalnya bikin rakyat seneng, tapi realitasnya kadang bikin frustrasi. Antrean panjang, dokter yang kewalahan, dan pelayanan yang nggak konsisten bikin orang lebih stres daripada sembuh. Di pelosok, ada yang harus jual kambing buat bisa “berobat gratis.” Salah satu LSM bahkan nyeletuk, “Akses kesehatan nggak ada artinya kalau rakyat kecil harus ngutang buat beli obat.”
Bicara politik? Di atas kertas, sih, bebas. Tapi coba kritik pemerintah, langsung bisa dipanggil polisi pakai pasal ITE. Aktivis, mahasiswa, dan warga biasa makin sering kena intimidasi, disadap, bahkan dibungkam dengan alasan “stabilitas nasional.” Ruang diskusi makin sempit—mirip rumah kaca: dari luar kelihatan transparan, tapi di dalam semua dikontrol dan dibingkai ulang sesuai selera penguasa. Tapi, gini lho, pas era rezim Mulyono itu emang full banget pembungkaman. Kritikus dikit-dikit langsung masuk bui. Ada nyinyir dikit, langsung diserbu buzzer-buzzer bayaran yang gercep banget. Nah, belakangan ini, semenjak Presiden Prabowo jadi nomor satu, so far so good, belum ada aktivis yang diciduk. Memang sih, masih ada anak kuliahan yang digaruk pas lagi demo panas dan heboh soal kepala babi buat Tempo.  Ini sih kayaknya Presiden Prabowo punya skill dewa buat urusan 'ekspresi di ruang publik' karena otaknya encer ama pengalamannya udah level veteran.
Dan soal hidup bermartabat? Banyak orang Indonesia masih sibuk mikirin hal-hal dasar: kerjaan yang cukup gaji, rumah yang nggak bocor tiap hujan, dan ngomong tanpa takut dilaporin. Kata para pegiat hak asasi, “Nggak usah ngomong soal martabat deh, kalau perut rakyat masih kosong dan suara mereka nggak didengar.”
Peringkat IPM Indonesia mencerminkan negara yang sedang tumbuh—punya potensi besar, tapi juga masih berkutat dengan birokrasi lamban, korupsi, layanan publik yang belum maksimal, dan kesenjangan yang menyakitkan. Anggaran pendidikan memang naik, tapi hasil belajar siswa masih kayak naik roller coaster. Fasilitas kesehatan makin banyak, tapi aksesnya belum merata, apalagi di Indonesia Timur. Dan meski ekonomi tumbuh, pertumbuhan itu belum benar-benar menyentuh akar rumput—uang masih numpuk di kalangan atas, sementara rakyat kecil masih ketinggalan kereta.
Posisi IPM Indonesia adalah potret cermin dari "masa puber" bangsa ini—bermimpi besar, punya semangat, kadang lari kencang, tapi masih sering kesandung batu-batu lama: birokrasi ribet, ketimpangan tajam, dan infrastruktur yang belum kuat-kuat amat.

Singkatnya, IPM bukan cuma data statistik, tapi cerminan: apakah sebuah negara memilih investasi di manusia atau semata mengejar untung, apakah ia menebar kesetaraan atau memperkuat jurang, menjaga martabat atau sekadar membiarkan warganya bertahan hidup.

Semua kerangka-kerangka takaran ini, dipake diplomat, investor, sampe LSM buat nentuin: negara ini layak dijadiin mitra, dikasih bantuan, atau malah ditandain merah. Tapi di luar angka dan grafik, stabilitas paling nyata itu keliatan dari wajah rakyatnya—apakah mereka bisa tidur nyenyak, bisa bersuara tanpa takut, dan punya harapan buat masa depan.

[Bagian 3]
[Bagian 1]

Tiga Isu Besar Ekonomi (1)

Sebelum kita nyemplung ke topik utama, yuk kita resapin dulu anekdot berikut ini. Siapa tahu nyambung banget ama obrolan kita nanti, kan? Bisa relate abis!

Dalam serial TV aslinya, The Lone Ranger adalah kisah koboi sejati: jagoan bertopeng yang menegakkan keadilan dengan pistol perak dan hati bersih. Di sampingnya selalu ada Tonto—partner setia, pemberani, dan nggak pernah cari panggung. The Lone Ranger terjun ke dalam bahaya, Tonto jadi penyeimbang, penolong diam-diam saat peluru habis. Ini kisah soal persahabatan, loyalitas, dan misi bersama membersihkan The Wild West dari kebusukan.
Tapi, itu di TV.
Di Negeri Konoha, ceritanya beda total.
Di sini, di negeri ni, Lone Ranger-nya pontang-panting kerja dewean—bukan karena doi sok jagoan, tapi karena Tontonya ogah kotor-kotoran dan kagak ngerti mesti ngapain buat nolongin sang jagoan. The Lone Ranger berupaya lawan korupsi, bencana, dan bandit politik siang-malam, sedangkan Tonto sibuk nyusun feed Instagram. Aktivitas utamanya? Bagi-bagi skincare dan kunjungan yang gak ada juntrungan, kampanye pakai tagline “Kinclong Demi Keadilan” dan “Cantik Di Hadapan Perpolitikan.”
Tonto versi Konoha nggak pengin tangkap penjahat—doi pengin tangkap suara pemilih. Dan itu udah bukan rahasia lagi. Doski bahkan udah nerbitin buku mewah—tapi kok kertasnya dari bungkus kacang goreng ya?—berjudul "Tonto for the Next Lone Ranger", penuh foto aesthetic, kata-kata motivasi setengah matang, dan narasi yang lebih mirip endorsement brand ketimbang visi negara.
Latar belakangnya? Kabur kayak kabut pagi. Sebenernya doi sekolah dimana sih? Lulus atau cuma numpang selfie? Banyak yang bilang ijazahnya mungkin satu pabrik dengan tim editing videonya.
Anehnya, cerita ini deja vu banget. Dulu Presiden Konoha, namanya Mulyono, juga penuh teka-teki soal ijazah terbitan Pojokan Pramuka. Gaya kepemimpinannya juga serba misterius, lebih cocok main sulap daripada memimpin negara. Sama seperti Tonto, Mulyono nggak naik kuda aksi—doi numpang viral, berkat dukungan para buzzer dan survei etok-etok.
Menjelang 2029, Tonto makin percaya diri. Nyengir, lambaikan tangan, ngomong soal “melanjutkan perjuangan.” Tapi pertanyaan yang menghantui rakyat Konoha adalah: perlukah Tonto abal-abal ini diganti dengan Tonto sejati? Tentu doong, soalnya ... Mosok sih, orang yang nggak pernah pegang pedang, mau mimpin perang? 

Di dunia ekonomi yang penuh drama dan jebakan batman, gak ada yang lebih susah daripada jaga keseimbangan tiga hal sakral: stabilitas, kesetaraan, dan lapangan kerja. Hal tersebut bukan teori doang—ia inti dari gimana negara bisa bertahan hidup, bagi-bagi rezeki dengan adil, dan ngasih rasa aman buat warganya.
Stabilitas dapat dibahas lewat teori makroekonomi kayak model IS-LM sama urusan siklus ekonomi—biar ekonomi gak kayak roller coaster tiap tahun.
Kesetaraan muncul pas ngomongin soal distribusi pendapatan, dan debat klasik antara efisiensi vs keadilan. Ini kayak diskusi panas netizen soal subsidi: adil buat siapa?
Lapangan kerja jadi topik penting banget ala Keynesian—pengangguran, permintaan agregat, dan cara negara bisa bantu nyiptain kerjaan.
Jadi meskipun gak resmi disebutin secara gamblang, tiga topik ini, kita sebut Tiga Isu Besar Ekonomi, udah kayak trio Avengers-nya ekonomi: diam-diam tapi ngaruh banget.

Sebenernya, ada satu lagi isu ekonomi yang amat penting: lingkungan hidup. Ini tuh masuknya lewat konsep kegagalan pasar alias market failure. Gampangnya gini: pabrik ngebuang polusi, tapi nggak bayar sepeser pun buat dampak rusaknya udara sama air kita. Nah, ini bikin pasar jadi enggak adil dan nggak efisien. Pemerintah kudu turun tangan buat ngatur ini, misalnya lewat pajak polusi, kuota emisi, sampai aturan-aturan yang kelihatannya ribet tapi penting banget buat masa depan bumi kita.
Kalo dipikir-pikir sih, lingkungan bisa nyambung ke stabilitas (soalnya kalo alam rusak, ekonomi bisa chaos, bukan karena ijazah palsunya Mulyono), dan bisa juga ke kesetaraan (karena yang paling kena dampak biasanya rakyat kecil). Tapi tetep aja, paling enak sih ngebahas lingkungan hidup itu sebagai bagian tersendiri, yang makin ke sini makin sentral banget buat cara kita mikir soal ekonomi zaman now.

Apa sih stabilitas itu? Kalo dilihat dari kacamata politik, stabilitas itu soal seberapa kuat dan dipercaya sistem politik di suatu negara. Negara yang stabil secara politik bukan berarti gak ada demo atau kritik, tapi cara ngadepin konflik dilakukan lewat debat, hukum, dan pemilu, bukan lewat tembakan gas air mata tiap minggu. Stabilitas politik bikin negara bisa ngambil kebijakan yang konsisten, gak berubah tiap ganti presiden kayak ganti tema medsos.

Dalam The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, diterbitkan tahun 2011 oleh Farrar, Straus and Giroux, Francis Fukuyama bilang bahwa negara yang stabil itu bukan soal siapa yang paling kaya atau punya pasukan terbanyak, tapi soal tiga hal sakti: negara yang kuat, aturan hukum yang adil, dan elite yang bisa dikontrol rakyatnya.
Menurut Fukuyama, negara yang stabil itu punya kekuasaan untuk bikin tertib dan nyediain layanan publik, tapi kekuasaan itu gak boleh semena-mena. Negara harus punya sistem birokrasi yang rapi, bisa narik pajak dengan tertib, dan jaga keamanan dalam negeri. Tapi yang lebih penting: kekuasaan itu harus dibatasi oleh hukum, bukan berdasarkan suka-suka pemimpinnya.
Trus, biar gak jadi kerajaan yang dikuasai segelintir orang, para penguasa juga harus bisa dipertanggungjawabkan. Gimana caranya? Ya lewat sistem politik yang bikin suara rakyat bisa masuk ke ruang kekuasaan. Kalau negara cuma dikuasai elite yang itu-itu aja, ya akhirnya rakyat cuma jadi penonton. Fukuyama nunjukin gimana China punya negara kuat sejak awal, tapi karena gak ada rule of law dan akuntabilitas, jadinya otoriter terus-terusan. Sementara Eropa yang jalannya lambat malah bisa bangun sistem yang lebih seimbang.
So, stabilitas itu bukan soal bikin semua orang diam, tapi soal gimana konflik bisa dikelola lewat aturan yang adil dan proses yang inklusif. Buat Fukuyama, negara yang stabil itu bukan yang paling kenceng gebukannya, tapi yang bisa kuat tanpa sewenang-wenang, taat hukum, dan mau dengerin rakyat.

Dalam karya legendarisnya, Political Order in Changing Societies (1968, Yale University Press), Samuel P. Huntington ngegas banget ke asumsi lama yang bilang “kalau negara makin kaya, makin stabil dong.” Kata Huntington: nggak segampang itu, Ferguso.
Buat doski, stabilitas itu bukan berarti negara adem ayem tanpa konflik. Stabilitas adalah kemampuan sistem politik buat ngatur dan nampung konflik secara rapi dan terstruktur. Jadi, kalau ada demo, perubahan, atau gejolak, sistemnya tetap berdiri, gak langsung ambruk.
Huntington bilang: negara bisa rusuh bukan karena rakyatnya kismin, tapi karena rakyat makin sadar, makin pintar, makin nuntut—tapi institusinya kagak siap. Loe bayangin, rakyatnya udah melek politik, kuliah, main medsos, tapi partai politik masih kayak warung kelontong, birokrasi lamban, pengadilan bisa dibeli. Nah, jadilah frustrasi kolektif. Meledak deh.
Stabilitas menurut Hunington itu bukan soal nahan-nahan orang biar gak protes, tapi soal gimana sistem bisa kuat dan lentur. Ada partisipasi rakyat? Bagus. Tapi harus ada institusi yang bisa nampung itu semua—partai yang beneran kerja, aparat yang netral, hukum yang jalan. Tanpa struktur, partisipasi bisa berubah jadi kekacauan.
Huntington ngajarin kita: stabilitas bukan tentang damai palsu, tapi tentang sistem yang cukup tangguh buat bertahan dalam badai. Negara gak perlu takut perubahan, asalkan punya fondasi politik yang gak rapuh.

Dari sisi sosial, stabilitas itu soal ikatan masyarakat—apakah orang-orang ngerasa aman, dihargai, dan punya harapan. Ini bukan berarti semua orang hidup sama rata, tapi minimal rakyat percaya sistemnya gak curang. Mereka yakin keadilan itu keniscayaan, dan masa depan gak ditentukan cuma karena loe lahir dari keluarga siapa atau berasal dari suku mana. Kalau kepercayaan ini hilang, masyarakat gampang terpecah—muncul radikalisme, kebencian, bahkan bisa meletus jadi konflik.

The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, karya legendaris ini terbit tahun 1966 dari Anchor Books, hasil karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, topiknya tentang ilmu pengetahuan dalam perspektif sosiologi, tapi bagian yang paling gokil adalah penjelasannya tentang gimana stabilitas sosial itu dijaga. Mereka bilang, stabilitas itu dibentuk lewat interaksi sehari-hari: kita belajar peran sosial, kebiasaan, dan nilai-nilai bareng-bareng, sampai akhirnya sistem itu jadi kekal, kayak default setting kehidupan.
Kalau loe tiap hari ngulang ritual itu terus—ngurus anak, kerja kantoran, antre di ATM—lama-kelamaan semuanya jadi terasa wajar, bahkan sakral. Stabilitas itu bukan tiba-tiba muncul, tapi dibentuk terus-menerus oleh semua orang yang "ikut skrip" secara otomatis. Kalau tiba-tiba yang satu aja berubah peran—misalnya semua pegawai kantor memutuskan kerja dari pantai—ya runtuh dah sistemnya. Intinya, reality itu bukan alamiah, tapi sebuah bangunan sosial yang rapuh—yang bisa berdiri kokoh selama kita main bareng.
Berger dan Luckmann ngajak kita mikir ulang soal stabilitas. Buat mereka, stabilitas itu bukan hasil dari aturan keras dari atas, tapi justru lahir dari aktivitas harian yang kita lakuin bareng-bareng. Mereka bilang: hidup ini kayak panggung, dan kita semua aktornya. Kita mainin peran—sebagai murid, bos, ibu rumah tangga, satpam, konten kreator—dan seiring waktu, semua itu jadi terasa wajar, kayak “emang udah seharusnya begitu.”
Stabilitas muncul saat kita terus-terusan ngulang peran dan ekspektasi yang sama. Lama-lama, rutinitas itu jadi terinstitusi—alias, gak perlu lagi dipertanyakan. Guru ya ngajar, sopir ya nyetir, bos ya nyuruh. Bukan karena mereka mikir keras tiap hari, tapi karena masyarakat udah nyusun skripnya, dan kita semua ngejalanin tanpa sadar.
Buat Berger dan Luckmann, “kenyataan sosial” itu dibentuk oleh kesepakatan tak tertulis. Jadi stabilitas sosial itu bukan benda mati, tapi hasil dari kerja sama bareng, dari kita semua yang nurutin alur yang udah disepakati. Sistem kayak agama, hukum, bahkan sekolah pun—itu semua buatan manusia yang jadi stabil karena kita percaya dan ulang terus setiap hari.
Intinya: stabilitas versi Berger dan Luckmann bukan datang dari atas, tapi dari bawah—dari obrolan kecil, kebiasaan sehari-hari, dan aksi kolektif yang bikin dunia terasa stabil. Kita semua penulis naskah, sutradara, dan pemain di panggung realitas sosial yang kita bikin sendiri.

Dalam Social Theory and Social Structure, terbit pertama kali tahun 1949 oleh The Free Press, karya Robert K. Merton ini bener-bener ngubah cara kita mikir tentang stabilitas sosial. Merton ngenalin ide macam fungsi nyata dan fungsi tersembunyiteori menengah, dan disfungsi sosial
 . Kalau mau bikin masyarakat stabil, Merton bilang institusi harus jalan sesuai peran mereka, dan jangan sampai fungsi tersembunyi yang negatif bikin sistem goyang. Stabilitas gak cuma soal peraturan, tapi soal keseimbangan halus antar peran dan struktur yang bikin semuanya tetap terkendali.
Merton bikin gebrakan besar di dunia sosiologi. Salah satu konsep paling ikonik yang ia kenalin adalah soal fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent). Fungsi nyata itu tujuan utama yang kelihatan jelas dari suatu kegiatan sosial. Contohnya? Ya, sekolah. Fungsi nyatanya: ngajarin ilmu dan nyiapin orang buat kerja. Tapi fungsi tersembunyi? Nah, itu yang gak selalu disadari—kayak bikin pertemanan, atau malah secara gak langsung ngelompokin orang berdasarkan kelas sosial.
Lalu, Merton juga ngenalin konsep keren banget: teori jangkauan menengah (middle-range theory). Doi nyinyir dikit ke dua kubu di sosiologi waktu itu: yang satu terlalu ngawang (kayak teori besar-besaran ala Marx), yang satu lagi terlalu sempit dan cuma ngitung data doang. Teori jangkauan menengah itu ada di tengah-tengah. Gak terlalu luas sampai gak jelas, tapi juga gak terlalu kecil sampai gak guna. Contohnya kayak teori tentang kenakalan remaja, konflik peran, atau birokrasi. Teori-teori ini bisa diuji, bisa dipake buat analisis nyata.
Terakhir, Merton ngenalin istilah yang kadang bikin orang gak nyaman: disfungsi sosial. Doi ngajuin efek samping negatif dari institusi atau struktur sosial. Waktu itu, banyak sosiolog mikir semua bagian masyarakat itu saling ngedukung biar tetep stabil. Tapi Merton bilang: gak semua hal itu baik-baik aja. Contohnya, sistem hukum. Tujuannya jelas: cegah kejahatan. Tapi dalam praktiknya, bisa aja sistem itu malah nyasar ke kelompok tertentu terus-menerus. Itu contoh disfungsi.
Intinya, Merton ngajak kita buat gak langsung percaya sama “niat baik” institusi. Kadang yang niatnya bantu, malah bikin masalah. Masyarakat itu kompleks banget, penuh efek samping dan lapisan makna. Jadi jangan cuma lihat permukaannya—lihat juga dampak tersembunyi yang mungkin gak kita sadari.

Foundations of Social Theory, terbit tahun 1990 lewat Belknap Press, karya James S. Coleman ini pake pendekatan rasional-choice buat ngejelasin gimana aksi individu bisa ngebentuk stabilitas sosial. Coleman bilang kalau stabilitas itu tercipta saat norma, aturan, dan jaringan masyarakat bikin kita—yang dasarnya egois—malu salah sendiri. Kita ikut aturan bukan karena harus, tapi karena lebih nguntungin. Jadi, stabilitas itu muncul dari koordinasi yang dibangun dari hitungan untung-rugi setiap individu. Ribuan pilihan kecil bikin masyarakat jadi aman dan terkendali, persis kayak game strategi berjilid-jilid.

Nah, kalo dari sudut pandang budaya, stabilitas itu soal identitas—gimana suatu bangsa bisa berkembang tanpa kehilangan jati dirinya. Budaya yang stabil bukan berarti gak boleh berubah, tapi bisa nyerap hal-hal baru tanpa jadi amnesia sejarah. Dalam masyarakat yang beragam, stabilitas budaya butuh saling hormat, ruang buat semua suara, dan gak gampang nge-cap budaya lain sebagai ancaman. Soalnya kalo enggak, yang muncul malah politik identitas dan rasa asing di negeri sendiri.

The Invention of Tradition (1983, Cambridge University Press) karya Eric Hobsbawm dan Terence Ranger ini nge-bahas satu hal keren: bahwa stabilitas budaya itu sering dibangun lewat ritual dan simbol yang kelihatannya kuno, padahal sebenernya baru dibuat belakangan. Mereka bilang banyak tradisi—kayak upacara kerajaan, lagu kebangsaan, atau seragam adat—sebetulnya sengaja “diciptakan” supaya masyarakat merasa punya sejarah panjang. Walaupun baru lahir di era modern, lambat laun jadi kayak “warisan nenek moyang” karena diulang terus.
Hobsbawm dan Ranger tunjukin bahwa niatnya bukan cuma soal nostalgia, tapi juga cara cerdik buat perkuat kekuasaan, bikin orang ngerasa klop dalam kelompok, dan kasih rasa “gue bagian dari sesuatu”. Jadi, stabilitas budaya itu dibentuk dari sesuatu yang sengaja disusun dan disimbolkan, bukan sesuatu yang tumbuh alami sejak zaman baheula. Tapi hati-hati: kestabilan semacam ini gampang retak kalau orang mulai mempertanyakan atau capek ngikut skripnya.
Intinya, The Invention of Tradition ngajarin kita bahwa stabilitas budaya itu bukan karena budaya udah tua banget, tapi karena ada strategi buat bikin budaya itu terlihat nyata dan abadi—padahal di baliknya ada tim riset, ritual formal, dan repetisi yang sengaja disusun.

Kesimpulannya, stabilitas itu bukan berarti segalanya harus tenang kayak danau tanpa riak. Tapi soal gimana caranya sebuah negara atau masyarakat bisa bergerak, berubah, dan tumbuh—tanpa harus remuk. Stabilitas itu kayak beat dalam musik: loe boleh improvisasi, tapi kalau beat-nya 'ilang, tembangnya ambyar. 

Dari sudut pandang ekonomi, stabilitas ekonomi itu kayak suasana pasar yang adem: harga gak loncat-loncat, kerjaan masih ada, nilai tukar gak bikin jantungan, dan ekonomi tumbuh pelan tapi pasti. Ini kondisi dimana sistem ekonomi jalan lancar, gak gampang goyah kalau ada gonjang-ganjing politik, krisis global, atau ulah elite. Intinya, kalau ekonomi stabil, orang bisa mikir jangka panjang: buka usaha, investasi, nyicil rumah, dan negara pun bisa bikin kebijakan tanpa drama dadakan.
Nah, dalam teori pertumbuhan ekonomi, stabilitas itu ibarat lahan datar buat nanem pohon. Gak ada pertumbuhan yang sehat tanpa kestabilan. Mau bangun prasarana, riset teknologi, atau cetak SDM unggul—semuanya butuh kondisi yang stabil. Model pertumbuhan kayak Solow Growth Model aja ngasih garis bawah: pertumbuhan butuh akumulasi modal dan teknologi, tapi semua itu gak bisa berkembang kalau ekonomi lagi jungkir balik.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, stabilitas itu kayak rem dan gas sekaligus. Kapitalisme itu seru—penuh inovasi dan kompetisi—tapi juga rawan crash. Lihat aja krisis finansial 2008: pasar terlalu bebas, terlalu rakus, akhirnya meledak. Makanya meskipun kapitalis, negara tetap butuh wasit: bank sentral yang atur bunga, lembaga yang ngawasin pasar, dan aturan buat cegah pasar jadi arena gladiator.
Sementara dalam ekonomi liberal—baik klasik maupun versi neolib—stabilitas itu dianggap muncul dari pasar bebas yang gak digangguin. Kata mereka, kalau pasar dibiarkan kerja sendiri, hukum supply-demand bakal bikin segalanya stabil dan efisien. Tapi kenyataannya gak semanis teori. Pasar bebas tanpa rem sering bikin jurang ketimpangan makin dalam, dan bisa juga bikin sistem goyang kalau ada shock besar.
Kesimpulannya, stabilitas ekonomi itu bukan cuma “tenang-tenang aja”, tapi justru fondasi buat segalanya: pertumbuhan bisa jalan, kapitalisme gak ngawur, dan impian ekonomi liberal gak berubah jadi mimpi buruk. Stabilitas harus dijaga, bukan ditunggu. Soalnya kalau pasar itu mobil balap, stabilitas adalah bannya. Tanpanya, secepat apapun, bisa nabrak juga.

Dalam The Illusion of Economic Stability, Eli Ginzberg ngegebrak mitos bahwa pasar bisa stabil dengan sendirinya. Katanya, ekonomi kapitalis itu sebenernya gampang goyah karena faktor kayak teknologi baru, psikologi manusia, dan perebutan kekuasaan antara korporasi, buruh, ama petani . Makanya menurut Ginzberg, kalau gak ada intervensi aktif dari pemerintah—kayak aturan ketat, kebijakan moneter, dan belanja negara—stabilitas ekonomi itu cuma angan-angan. Doski buktikan lewat bukunya, dari krisis tahun 1930-an sampe periode berikutnya, bahwa kalau negara mikirin pasar doang tanpa kontrol, ya jadinya ambruk. Intinya, doi bilang: stabilitas itu bukan bawaan pasar, tapi harus dibangun oleh negara.
Eli Ginzberg ngasih judul bukunya The Illusion of Economic Stability bukan asal-asalan—tajuk itu sengaja dibuat menohok buat nantangin kepercayaan mainstream bahwa pasar bisa nyetir dirinya sendiri ke arah stabilitas. Lewat judul itu, Ginzberg ngegas ke anggapan bahwa ekonomi kapitalis itu bisa stabil asal gak diganggu. Doi bilang, stabilitas yang keliatannya adem-adem aja tuh sering cuma penampakan doang. Di baliknya, banyak bom waktu tersembunyi: ketimpangan, spekulasi finansial, kejutan teknologi, sampai kebijakan yang telat tanggap.
Buat Ginzberg, stabilitas ekonomi itu bukan ilusi mutlak, tapi juga bukan hadiah gratisan dari sistem kapitalis. Stabilitas cuma bisa tercapai kalau negara turun tangan—ngatur, ngawasin, dan bikin kebijakan publik yang ngarahin pasar biar gak liar. Jadi, yang doski sebut "ilusi" itu bukan konsep stabilitasnya, tapi mitos bahwa pasar bebas bisa kasih stabilitas otomatis.
Artinya, Ginzberg bukan bilang stabilitas itu gak mungkin, tapi doi ngingetin: jangan tertipu ama keadaan tenang yang palsu. Soalnya, kalau kita udah terlalu yakin semuanya stabil padahal banyak masalah ngendap, nanti pas krisis beneran datang, kita semua bakal kejedot kenyataan.

Stabilitas ekonomi itu bisa diartiin sebagai kondisi dimana ekonomi jalan mulus: pertumbuhan stabil, harga gak naik-turun kayak mood mantan, pengangguran bisa dikendalikan, dan pasar gak heboh tiap minggu. Dalam situasi ini, pebisnis bisa nyusun rencana jangka panjang tanpa takut krisis mendadak, masyarakat tenang belanja, dan pemerintah bisa fokus ngambil kebijakan yang tahan lama, bukan sibuk tambal sulam.
Dari kacamata sosialis, stabilitas ekonomi bukan cuma soal grafik ekonomi yang landai, tapi juga tentang keadilan sosial dan perlindungan kolektif. Bagi kaum sosialis, sistem kapitalisme itu sering bikin ekonomi labil: kadang booming, kadang jeblok, dan di balik itu semua, yang kaya makin kaya, yang miskin makin kepepet. Makanya mereka dorong peran negara yang lebih kuat—mengatur pasar, mengelola sektor penting, dan nyediain jaring pengaman buat rakyat. Buat mereka, ekonomi baru bisa dibilang stabil kalau semua orang punya rasa aman, bukan cuma yang punya saham doang.
Nah, dari sisi komunisme, terutama versi Karl Marx, stabilitas ekonomi dalam sistem kapitalis itu cuma ilusi sementara. Katanya, sistem kapitalis itu emang dasarnya gak stabil karena penuh konflik antara pekerja dan pemilik modal. Dalam logika komunis, stabilitas sejati baru tercapai kalau kelas-kelas sosial udah gak ada, kepemilikan pribadi atas alat produksi dihapus, dan ekonomi dikelola secara kolektif buat kebutuhan semua, bukan buat ngejar cuan semata.
Jadi, kalau di ekonomi liberal stabilitas itu fokusnya biar pasar tenang dan investor bahagia, dalam pandangan sosialis dan komunis, stabilitas itu harus dibangun lewat perubahan struktural—dari sistem yang adil, setara, dan menjamin semua orang bisa hidup tanpa takut besok makan apa.

Kenapa sih stabilitas ekonomi itu penting?