[Bagian 7]Semua bermula, seperti biasa, dari mikrofon, ruang rapat, dan seorang politisi yang mengira nada meremehkan itu sama dengan kecerdasan. Endipat Wijaya, dengan gaya bak aktor utama sinetron politik, menyatakan bahwa pemerintah sudah “menggelontorkan triliunan” untuk korban banjir—klaim yang terdengar megah, kalau saja triliunan itu bukan sekadar angka di dokumen rencana, bukan uang yang bener‑bener sampai ke warga yang lagi kedinginan di pengungsian. Sindiran itu jelas diarahkan ke Ferry Irwandi, yang donasi Rp10 miliarnya jauh lebih terasa daripada konferensi pers mana pun.Klipnya menyebar di media sosial secepat gosip di grup WhatsApp keluarga. Dalam hitungan jam, timeline meledak. Netizen, dengan sarkasme yang lebih tajam dari argumen sang anggota DPR, mulai bertanya, “Triliunan dari mana? Dari Hong Kong?” Meme pun bermunculan: gudang kosong, dompet tipis, spreadsheet bertuliskan “Segera Hadir.” Kontras antara triliunan imajiner dan miliaran nyata dari Ferry jadi plot twist yang semua orang tunggu.
Di tengah keributan, Ferry Irwandi tampil dengan ketenangan ala zen. Tidak marah, tidak balas nyinyir—hanya menegaskan bahwa membantu orang lebih penting daripada drama politik. Sikapnya yang adem justru memperjelas absurditas komentar awal. Publik pun langsung tahu siapa protagonis dan siapa karakter komedi dalam episode ini.
Merasa alur cerita mulai tak menguntungkan, Endipat melakukan manuver balik badan yang layak masuk nominasi FTV Politik Terbaik. Tiba‑tiba, katanya, pernyataannya “disalahpahami.” Sindirannya “bukan untuk siapa‑siapa.” Triliunannya “kontekstual.” Dan tentu saja, muncul kabar bahwa ia sudah meminta maaf secara pribadi—pelan, diam‑diam, tanpa gaya teatrikal seperti saat ia melontarkan komentar awal.
Sayangnya, timeline udah terlanjur punya arsip. Screenshot, meme, dan thread panjang sudah beredar kemana‑mana. Permintaan maaf itu, sebaik apa pun niatnya, tak bisa menghapus jejak digital. Pada akhirnya, drama ini mengajarkan satu hal sederhana: di era media sosial, ketulusan bergerak lebih cepat daripada birokrasi, dan tiada angka triliunan di atas kertas yang bisa menyaingi aksi nyata seorang warga yang langsung turun tangan.
Drama terbaru yang melibatkan Endipat Wijaya dan pernyataannya tentang pemerintah yang katanya sudah “menggelontorkan triliunan” untuk korban banjir disampaikan dengan percaya diri seorang pejabat yang merasa baru saja mengungkapkan kebenaran besar, padahal ia hanya melambai‑lambaikan angka estimasi seperti pesulap yang kagak bisa ngeluarin kelinci dari topi tinggi.
“Triliunan” itu, ternyata, bukan karung uang yang dijatuhkan dari helikopter, bukan pula truk bantuan yang melaju gagah di malam hari. "Triliunan" itu hanyalah perkiraan atau estimasi kebutuhan anggaran pemulihan jangka panjang—fantasi teknokratis tentang berapa biaya yang mungkin dibutuhkan untuk membangun ulang tiga provinsi. Angka‑angka itu hidup di slide PowerPoint, rapat kementerian, dan imajinasi konsultan yang dibayar per jam. Sementara itu, masyarakat yang berdiri di tengah banjir sungguhan diharapkan berterima kasih atas angka‑angka abstrak seolah‑olah itu semua, selimut hangat dan makanan siap saji.
Bandingkan dengan Rp10,3 miliar yang dikumpulkan Ferry Irwandi dalam sekejap. Donasi tersebut tak butuh studi kelayakan go atau no go, tak menunggu siklus anggaran tahunan, dan tak memerlukan seremoni peresmian dengan pejabat berbatik seragam. Donasi itu datang begitu saja—cepat, nyata, dan dengan ketulusan yang tak bisa ditiru bahasa birokrasi. Dan mungkin di situlah letak masalahnya. Tiada yang membuat pejabat lebih gelisah selain warga biasa yang bisa bekerja lebih cepat tanpa perlu dipunparingi oleh para elit.
Maka, komentar Endipat bukanlah argumen, melainkan refleks—gerakan defensif dari seseorang yang merasa sorotan moral publik bergeser dari negara ke seorang warga dengan ponsel dan niat baik. “Triliunan” yang ia sebutkan dimaksudkan untuk mengecilkan donasi warga, tetapi justru memperlihatkan absurditas membandingkan anggaran di atas kertas dengan aksi nyata di lapangan. Itu seperti membanggakan kepemilikan yacht sambil meminjam perahu tetangga buat menyeberangi sungai.
Drama ini mengungkap kenyataan yang selalu coba disembunyikan negara: bahwa legitimasi tak datang dari besarnya anggaran, tetapi dari ketepatan dan ketulusan tindakan. Negara boleh merencanakan dalam triliunan, tetapi rakyat bergerak dalam miliaran—dan yang lebih penting, dalam hitungan menit. Dan ketika bencana datang, menit jauh lebih berarti daripada spreadsheet.
Keprihatinan publik bahwa pemerintah Indonesia lebih memprioritaskan kerangka MBG daripada bantuan darurat banjir di Sumatra seringkali muncul dari kesan bahwa perhatian negara tak terbagi secara merata pada berbagai jenis isu kebijakan. Para akademisi dalam bidang tatakelola kerap mencatat bahwa pemerintah cenderung menginvestasikan lebih banyak energi pada program yang menjanjikan visibilitas jangka panjang, pengakuan internasional, atau prestise ekonomi, karena inisiatif seperti itu memungkinkan para elit politik membentuk narasi kemajuan dan modernitas. Sebaliknya, respons terhadap bencana adalah arena dimana negara dinilai bukan dari visi besar, tetapi dari kemampuan operasional; peralihan dari politik simbolik ke kerja lapangan inilah yang sering membuka kelemahan institusional yang enggan ditampilkan pemerintah.
Penjelasan akademik lainnya menyoroti ekonomi politik dari perhatian publik. Proyek strategis besar seperti MBG biasanya dilengkapi anggaran yang terstruktur, strategi komunikasi yang sudah direncanakan, dan timeline diplomatik yang dapat diprediksi, sehingga menarik bagi pembuat kebijakan yang lebih menyukai stabilitas dan kontrol. Banjir, sebaliknya, menuntut improvisasi cepat, koordinasi lintas lembaga, dan penggunaan dana darurat yang transparan—kondisi yang mengurangi kemampuan negara dalam mengelola persepsi publik. Karenanya, para kritikus berpendapat bahwa penekanan berlebih pada MBG tak selalu mencerminkan kurangnya empati, melainkan lebih mencerminkan preferensi institusional terhadap ruang-ruang dimana keuntungan politik lebih mudah dikelola.
Argumen lainnya berpusat pada kesenjangan tatakelola antara pengelolaan lingkungan jangka panjang dan insentif politik jangka pendek. Analisis akademik sering menunjukkan bahwa wilayah rawan bencana membutuhkan investasi berkelanjutan dalam rehabilitasi daerah aliran sungai, regulasi tataguna lahan, dan adaptasi iklim. Namun, upaya-upaya seperti ini jarang memberikan keuntungan politik yang instan. Sementara itu, program seperti MBG dapat dikemas sebagai simbol ambisi nasional, memberikan keuntungan reputasi yang cepat meskipun manfaat jangka panjangnya belum tentu jelas. Ketimpangan inilah, menurut para akademisi, yang membantu menjelaskan mengapa publik merasa negara lebih cepat merayakan kerangka visi besar daripada menangani banjir yang mendesak—lantaran MBG lebih memperkuat narasi politik, sedangkan penanganan banjir di Sumatra lebih menuntut menghadapi realitas struktural yang kurang nyaman.
Dari sudut pandang filosofis, memprioritaskan bantuan bagi korban banjir di Sumatra memiliki bobot moral yang jauh lebih kuat dibandingkan mempercepat agenda MBG. Tradisi filosofi dari etika klasik hingga humanisme modern sepakat bahwa menghapus penderitaan langsung lebih utama daripada mengejar cita-cita jangka panjang. Ketika masyarakat menghadapi pengungsian, kelaparan, dan kematian, kewajiban etis negara bertumpu pada belas kasih yang mendesak, bukan pada visi pembangunan yang abstrak. Dalam kerangka ini, menangani korban bencana bukan sekadar tugas administratif, tapi pemenuhan kewajiban moral paling mendasar dari sebuah negara.
Dari sisi ideologis, persoalan ini berkaitan dengan tujuan pemerintahan itu sendiri. Ide demokrasi modern menekankan perlindungan, kesejahteraan, dan martabat manusia sebagai komitmen utama; karenanya, mengurus warga saat krisis bukanlah pilihan, melainkan kewajiban ideologis. MBG memang merupakan cetak biru aspiratif—bernilai, namun tak bersifat eksistensial. Secara ideologis, melindungi warga saat bencana justru memperkuat kontrak sosial, sementara mengutamakan MBG dan mengabaikan korban justru merusak legitimasi yang dibutuhkan MBG untuk berdiri.
Secara politis, memprioritaskan penanganan bencana biasanya lebih bijak. Dalam situasi krisis, rakyat tak menilai pemerintah dari retorika, tapi dari kemampuan nyata. Pemerintah yang tanggap akan memperkuat kepercayaan publik dan stabilitas politik. Sebaliknya, mendorong MBG saat bencana kemanusiaan aktif membuat pemerintah terlihat tidak peka atau salah prioritas. Walaupun MBG dapat memperkuat posisi jangka panjang negara, ia tak bisa menebus kerusakan politik yang muncul ketika rakyat merasa ditinggalkan saat paling membutuhkan.
Secara ekonomis, perbandingan ini kompleks tetapi tetap jelas arahnya. MBG memang menjanjikan investasi masa depan, diversifikasi industri, dan keuntungan diplomatik. Namun bencana menimbulkan kerugian ekonomi langsung: infrastruktur rusak, mobilitas terganggu, pasar lumpuh, dan penurunan produktivitas jangka panjang. Membantu korban bencana mempercepat pemulihan dan melindungi modal manusia serta ekonomi lokal. Jika ditinjau dari kesejahteraan ekonomi, mencegah kerusakan lebih jauh sering kali lebih menguntungkan daripada mengejar keuntungan jangka panjang yang masih spekulatif.
Dari sisi sosial, prioritas jelas berpihak pada korban bencana. Banjir memecah keluarga, menggusur komunitas, dan menguras jejaring dukungan lokal. Intervensi cepat memulihkan stabilitas, menjaga kohesi sosial, dan mencegah krisis lanjutan seperti wabah penyakit atau kerusuhan. Sementara itu, manfaat MBG—betapapun pentingnya—bersifat jauh dan tidak merata, sering kali tidak menyentuh kelompok yang justru menjadi korban bencana.
Secara budaya, respons terhadap bencana selaras dengan nilai mendasar masyarakat Indonesia. Tradisi gotong royong, solidaritas kampung, dan tanggungjawab moral bersama menekankan kewajiban kolektif dalam menghadapi kesulitan. Mengabaikan korban berarti bertentangan dengan prinsip budaya tersebut, menciptakan ketidaksinkronan antara perilaku negara dan identitas nasional. MBG boleh saja menjadi simbol kemajuan, namun tak mewakili etos budaya sekuat tindakan mendampingi warga di saat mereka tertimpa musibah.
Jika seluruh aspek ini disatukan, keseimbangan manfaat dan mudharat menunjukkan dengan tegas bahwa memprioritaskan penanganan korban banjir lebih utama dan lebih benar secara normatif. MBG mungkin penting secara strategis, tetapi legitimasi program tersebut bergantung pada kemampuan negara memenuhi tanggungjawab dasarnya terlebih dahulu. Dalam seluruh dimensi—filosofis, ideologis, politis, ekonomi, sosial, dan budaya—melindungi yang rentan hendaklah mendahului setiap agenda besar negara.
Environmental Ethics and Sustainability: A Case Book for Environmental Professionals karya Hal Taback dan Ram Ramanan (2014, Taylor & Francis Group) menyajikan sebuah eksplorasi yang terstruktur mengenai bagaimana penalaran etis seharusnya ditanamkan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Para penulis membangun buku ini melalui kasus-kasus nyata yang menampilkan ketegangan antara pertumbuhan ekonomi, batas-batas ekologis, serta tanggungjawab yang ditanggung oleh para insinyur, pembuat kebijakan, dan konsultan. Alih-alih hanya menawarkan teori moral yang abstrak, buku ini menempatkan dilema etika langsung dalam praktik profesional, menjelaskan bahwa keberlanjutan bukan sekadar cita-cita, tetapi rangkaian pilihan sulit yang menuntut keberanian, kejernihan, dan kompetensi teknis.
Teks ini mengusulkan bahwa etika lingkungan hendaknya berkembang dari kepedulian pasif menjadi kepengurusan aktif, sebuah perubahan yang menuntut para profesional untuk menyadari konsekuensi jangka panjang dari keuntungan industri jangka pendek. Melalui narasi yang berkaitan dengan pengendalian polusi, ekstraksi sumber daya, dampak kesehatan masyarakat, dan kegagalan regulasi, para penulis berpendapat bahwa kelalaian etis seringkali muncul bukan dari niat jahat, tetapi dari rasa puas diri institusional dan penafsiran yang sempit terhadap tugas profesional. Dengan demikian, buku ini menempatkan keberlanjutan sebagai upaya lintas disiplin dimana sains, moralitas, dan kesejahteraan publik harus saling menginformasikan secara berkelanjutan.
Keistimewaan buku ini terletak pada penekanannya yang tegas bahwa para profesional lingkungan tidak dapat bersembunyi di balik spesifikasi teknis ketika pekerjaan mereka membawa konsekuensi etis yang besar. Dengan memaksa pembaca menghadapi skenario-skenario yang tidak nyaman—seperti pemotongan biaya yang membahayakan ekosistem atau regulasi yang tidak cukup melindungi kelompok rentan—buku ini mengundang refleksi matang tentang apa yang sebenarnya dituntut oleh praktik yang bertanggung jawab. Hasilnya adalah sebuah sumber rujukan yang memadukan teori etika, penalaran berbasis kasus, dan alat-alat praktis, memberikan panduan bagi siapa pun yang ingin menavigasi medan moral yang kompleks dalam kerja lingkungan kontemporer.
Etika lingkungan sejak lama digambarkan sebagai bidang yang berupaya meyakinkan manusia agar melihat melampaui batas sempit keuntungan, kenyamanan, dan kepastian administratif. Dalam Environmental Ethics and Sustainability (2014), Hal Taback dan Ram Ramanan menegaskan bahwa penalaran etis tak boleh diperlakukan sebagai hiasan tambahan dalam kebijakan lingkungan, melainkan sebagai kerangka batin yang memberi kejelasan dan legitimasi bagi setiap tindakan. Studi kasus mereka menunjukkan bahwa keberlanjutan jarang lahir dari deklarasi moral besar; ia dibentuk oleh keputusan-keputusan kecil para profesional yang kemudian menghasilkan dampak ekologis jangka panjang. Ketika seorang konsultan mengabaikan ketidakteraturan kecil dalam pengelolaan limbah, atau ketika pembuat kebijakan mengeluarkan izin tanpa menilai risiko hilir, akibatnya bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi kegagalan etis.Penekanan pada dimensi etika ini menjadi semakin penting ketika kita melihat lingkungan politik tempat para profesional bekerja. Di banyak negara, termasuk Indonesia, keputusan lingkungan sering dibentuk oleh ritme politik yang tak selalu sejalan dengan ritme ekologi. Pemilu datang setiap beberapa tahun, sedangkan wilayah tangkapan air memburuk selama puluhan tahun. Pejabat publik sering diberi penghargaan atas pencapaian yang cepat dan terlihat, bukan atas pekerjaan panjang yang tak glamor guna memperkuat ekosistem. Seperti ditegaskan para penulis, “Etika dimulai ketika kepatuhan teknis berakhir,” sebuah kalimat yang terasa sangat relevan dalam konteks dimana dokumen lingkungan mungkin lengkap, namun semangat kepengurusan belum hadir.
Di Indonesia, ketegangan antara kerapuhan ekologi dan urgensi politik kadang menghasilkan satire yang tak disengaja. Ketika banjir datang setiap tahun dengan kepastian seperti hari libur nasional, masyarakat mulai bertanya apakah pengelolaan lingkungan bener-bener tantangan teknis atau lebih merupakan persoalan kemauan politik. Keabsurdan itu terlihat ketika lembaga-lembaga rutin menggelar rapat darurat setiap musim hujan, seolah sungai telah membuat janji tahunan bersama birokrasi. Namun drama berulang ini justru menegaskan salah satu gagasan inti buku tersebut: “Kerusakan lingkungan sering bermula dari kompromi kecil para profesional.” Tiada ekosistem yang runtuh dalam semalam; kehancuran terjadi perlahan, melalui peringatan yang diabaikan, pelanggaran yang dibiarkan, dan jalan pintas birokratis yang dibenarkan atas nama efisiensi.
Taback dan Ramanan menekankan bahwa keberlanjutan membutuhkan “keberanian jangka panjang, bukan kenyamanan jangka pendek.” Keberanian ini bukan heroisme dramatis, melainkan keberanian yang lahir dari keputusan sehari-hari—menolak proyek yang dirancang buruk, mempertanyakan analisis dampak yang tak lengkap, atau mempertahankan data ilmiah meski bertentangan dengan narasi politik. Tindakan-tindakan ini membentuk tulang punggung praktik lingkungan yang bertanggungjawab. Para penulis berpendapat bahwa integritas sejati muncul bukan ketika seseorang mengikuti prosedur, tetapi ketika seseorang menolak bersembunyi di baliknya. Prosedur dapat memandu tindakan, tetapi dapat pula disalahgunakan sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab moral.
Lanskap politik Indonesia menunjukkan betapa isu lingkungan sering terjaring dalam pencitraan publik. Proyek besar yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi sering dipromosikan dengan visual megah dan pidato bersemangat, sementara ekosistem yang akan terdampak tetap membisu. Hutan tak mengadakan konferensi pers, dan sungai tak mengirim surat protes. Namun andai mereka bisa ngomong, mereka mungkin akan mengingatkan pembuat kebijakan bahwa celah regulasi dan persetujuan yang tergesa-gesa membawa dampak jauh melampaui satu siklus anggaran. Dalam hal ini, satirnya muncul dengan sendirinya: pepohonan memang gak ikut pemilu, tetapi ketiadaan mereka akan dirasakan oleh setiap daerah yang mengalami longsor; sungai memang tidak turun ke jalan, tetapi luapannya akan menjadi berita utama setiap kali hujan besar.
Kekuatan buku Taback dan Ramanan terletak pada kemampuannya menghubungkan etika dengan tanggungjawab profesional tanpa terjebak pada moralitas yang menggurui. Pesannya bukan bahwa para profesional harus menjadi aktivis, tetapi mereka hendaklah mengakui bobot moral yang melekat pada keputusan teknis mereka. Rekayasa lingkungan, analisis proyek, dan perancangan kebijakan bukan kegiatan netral; semuanya membentuk kenyataan hidup masyarakat dan ketahanan ekosistem. Melalui kasus nyata, para penulis menunjukkan bahwa etika lingkungan bukan teori abstrak tetapi kebutuhan mendesak, terutama di masyarakat yang menghadapi ekspansi kota, persaingan sumber daya, dan risiko iklim yang meningkat.
Jika dilihat melalui pengalaman Indonesia, buku ini menjadi lebih dari sekadar teks akademik—ia menjadi cermin halus. Ia memantulkan sistem yang cenderung mengandalkan solusi reaktif alih-alih pencegahan, budaya politik yang menghargai visibilitas lebih daripada ketahanan jangka panjang, dan lingkungan profesional yang kadang lebih menghargai kepatuhan daripada suara hati. Namun pesannya tetap optimis: keberlanjutan dapat dicapai jika kesadaran etis menjadi bagian integral dari setiap keputusan. Ini membutuhkan perencanaan strategis, kerendahan hati, kesabaran, dan kesediaan untuk mengutamakan generasi mendatang daripada keuntungan politik segera.
Jika prinsip-prinsip etis semacam ini dihidupkan kembali, banjir mungkin tidak lagi menjadi tontonan tahunan, respons darurat dapat berubah menjadi pencegahan jangka panjang, dan lingkungan akhirnya dapat diperlakukan bukan sebagai latar panggung politik tetapi sebagai fondasi keberlangsungan hidup bersama. Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita bahwa integritas lingkungan tak dibangun melalui pernyataan komitmen, tetapi melalui keputusan sehari-hari yang berakar pada kearifan, tanggungjawab, dan kejernihan moral.
Kesimpulan paling utama dari karya Taback dan Ramanan adalah bahwa keberlanjutan lingkungan yang sejati tak dapat dicapai hanya melalui keahlian teknis; ia memerlukan kerangka moral yang membimbing penilaian profesional melampaui batas kepatuhan formal. Para penulis menunjukkan berulangkali bahwa kerusakan lingkungan jarang sekali terjadi karena kegagalan teknis, melainkan merupakan akibat kumulatif dari kegagalan etika—ketika individu memilih kenyamanan, keuntungan, atau tekanan politik daripada tanggungjawab ekologis jangka panjang. Dengan demikian, etika bukan tambahan opsional, melainkan “sistem operasi” utama bagi pengambilan keputusan yang berkelanjutan.
Kesimpulan penting lainnya ialah bahwa para profesional lingkungan seyogyanya menyadari besarnya implikasi sosial dari setiap keputusan teknis yang mereka buat. Karya ini memperlihatkan bahwa keputusan lingkungan selalu mempengaruhi kesehatan publik, keadilan antar-generasi, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, tanggungjawab profesional melampaui batas lokasi proyek dan merambah ke kehidupan manusia masa kini dan masa depan. Keberlanjutan diposisikan ulang sebagai komitmen kemanusiaan yang mendalam, bukan sekadar target birokratis atau slogan yang sedang tren.
Para penulis juga menyimpulkan bahwa kejernihan etis adalah sesuatu yang hendaknya dilatih, bukan diasumsikan begitu saja. Melalui studi kasus, mereka menunjukkan bahwa para profesional kerap menghadapi situasi rumit dan ambigu yang tak dapat dipecahkan hanya dengan peraturan yang ada. Dalam kondisi seperti ini, kemampuan berpikir etis—menimbang konsekuensi luas dari tindakan, menolak tekanan institusional, serta melindungi pihak yang rentan—menjadi lebih penting daripada sertifikasi teknis apa pun. Kompetensi etis dengan demikian tampil sebagai keterampilan praktis yang sama pentingnya dengan teknik atau ilmu lingkungan.
Akhirnya, Taback dan Ramanan menyimpulkan bahwa institusi harus menanamkan etika ke dalam budaya mereka jika keberlanjutan ingin benar-benar bergerak dari teori menuju praktik. Peraturan saja tidak cukup untuk mencegah penyimpangan apabila insentif organisasi justru memberi hadiah pada kecepatan, penghematan biaya, atau keuntungan politik dibandingkan integritas ekologis. Hasil yang berkelanjutan membutuhkan struktur kelembagaan yang mendukung keberanian moral, memberi penghargaan pada transparansi, dan memberdayakan para profesional agar bertindak sesuai kepentingan lingkungan jangka panjang, meskipun tindakan tersebut tak nyaman atau tidak populer.
Keberlanjutan tak mungkin dicapai tanpa landasan etika yang kuat, yang menuntun setiap tahap pengambilan keputusan lingkungan. Taback dan Ramanan berpendapat bahwa praktik lingkungan modern sering menyembunyikan kekurangan etis di balik tampilan teknis yang tampak lengkap. Laporan disusun, kajian dampak diserahkan, dan persyaratan regulasi dipenuhi, namun kerusakan tetap terjadi karena kepatuhan tak otomatis menghasilkan integritas moral. Bagi para penulis, tanggungjawab etis justru dimulai ketika kewajiban prosedural telah dilaksanakan, karena pada titik itulah para profesional harus memilih apakah mereka mengutamakan kesejahteraan publik, ketahanan ekologi, dan keberlanjutan jangka panjang atau tunduk pada tekanan politik, kenyamanan institusional, atau keuntungan korporasi.
Peralihan ke dimensi etis ini tidak disajikan sebagai pilihan filosofis abstrak, melainkan sebagai kebutuhan praktis di dunia yang ekosistemnya semakin rentan terhadap kerusakan kumulatif. Buku ini menunjukkan melalui berbagai studi kasus bahwa degradasi lingkungan jarang muncul dari peristiwa besar yang dramatis; ia justru lahir dari rangkaian kompromi kecil yang dibenarkan oleh individu-individu yang sering merasa bahwa mereka hanya “melakukan pekerjaan mereka.” Penyimpangan kecil dari protokol, toleransi terhadap data yang tidak lengkap, atau penerimaan terhadap klaim lingkungan yang ambigu—semuanya berkontribusi terhadap melemahnya ekosistem sedikit demi sedikit. Dalam pengertian ini, keberlanjutan bukan sekadar tujuan teknis, tetapi disiplin moral yang memerlukan kesadaran diri, penilaian kritis, dan kemampuan mengenali ketika keputusan profesional memikul beban etis tersembunyi.
Taback dan Ramanan menegaskan bahwa para profesional lingkungan menempati posisi pengaruh moral yang unik, sebab keputusan mereka menentukan kesehatan, keselamatan, dan stabilitas lingkungan masyarakat luas. Keahlian teknis saja tidak cukup; tanpa kejernihan etika, keahlian dapat digunakan untuk membenarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab atau berpandangan sempit. Buku ini menekankan bahwa pengelolaan lingkungan yang sejati tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada regulasi atau teknologi. Bahkan pedoman lingkungan yang paling lengkap pun tidak mampu mengantisipasi setiap dilema moral, dan teknologi yang dimaksudkan untuk melindungi alam dapat mempercepat kerusakan jika digunakan secara salah. Yang pada akhirnya menentukan adalah karakter pengambil keputusan—apakah ia bersedia menolak tekanan institusional, menghadapi kenyataan yang tidak nyaman, dan membela kepentingan generasi mendatang yang belum dapat bersuara.
Lebih jauh, buku ini menempatkan etika lingkungan dalam kerangka akuntabilitas sosial. Para penulis menegaskan bahwa kerusakan lingkungan sering kali berdampak lebih besar pada kelompok rentan, sehingga kelalaian etis dalam praktik profesional tidak pernah netral—melainkan membawa konsekuensi sosial. Keputusan yang melemahkan perlindungan lingkungan mungkin tidak membahayakan sang pengambil keputusan, tetapi dapat mengancam masyarakat pedesaan, membebani kelompok terpinggirkan, atau merusak ekosistem yang menopang kehidupan jutaan orang. Oleh karena itu, para penulis menekankan perlunya keberanian moral: kesediaan bertindak bukan demi apresiasi politik atau keuntungan jangka pendek, tetapi demi perlindungan jangka panjang bagi kesejahteraan manusia dan alam.
Dalam kerangka filosofis yang lebih luas, buku ini menyatakan bahwa keberlanjutan memerlukan pergeseran dari pola pikir reaktif menuju pola pikir antisipatif. Banyak masyarakat hanya merespons krisis lingkungan setelah kerusakan terjadi—setelah banjir menghancurkan permukiman, polusi udara merusak kesehatan publik, atau deforestasi mengubah iklim lokal. Para penulis memperingatkan bahwa pendekatan reaktif semacam ini merupakan gejala dari kegagalan etis yang lebih dalam: ketidakmampuan untuk menghargai konsekuensi jangka panjang dibanding kenyamanan jangka pendek. Karena itulah keberlanjutan menuntut transformasi budaya dalam institusi, dimana pandangan jauh ke depan menjadi norma, bukan pengecualian.
Keberlanjutan bukanlah hasil dari regulasi, teknologi, atau kebijakan semata, melainkan dari agen moral yang bertindak secara konsisten dalam kehidupan profesionalnya. Para profesional lingkungan bukan sekadar teknisi atau administrator; mereka adalah aktor etis yang memilih apakah sistem alam dilindungi atau dilemahkan. Buku ini menyerukan penyelarasan kembali antara ilmu, kekuasaan, dan tanggungjawab, sambil menegaskan bahwa keberlanjutan sejati hanya muncul ketika keputusan teknis berakar pada kesadaran etis yang kuat, yang menempatkan keadilan, kehati-hatian, dan pelestarian bumi sebagai prioritas bagi generasi yang akan datang.
[Bagian 5]



