Sabtu, 30 Maret 2024

Ramadan Mubarak (14)

“Seorang nyonya tua sedang curhat dengan sahabatnya tentang kebiasaan buruk sang suami.
'Bayangin coba, udah bertahun-tahun, suami gua gak mau berhenti ngegigitin kukunya,' jelas sang nyonya.
'Suami gua juga giituuu,' jelas sang bestie, 'tapi udah gua benerin kok. Gua sembunyiin tuh gigi.'"

“Di Indonesia, ada film yang akan beredar bertajuk 'Kiblat', mungkin hendak meniru 'the Last Exorcism', namun akibatnya, film ini justru melecehkan dan menghasut cara beribadah umat Islam, sehingga mengarah pada intoleransi. Oleh karenanya, mengutip ucapan Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, 'Mari kita terus bekerjasama memajukan nilai-nilai bersama yaitu inklusi, toleransi, dan saling pengertian—nilai-nilai yang merupakan inti dari semua agama besar dan Piagam PBB', pemerintah Indonesia haruslah mencabut izin edarnya dan melarang penayangannya dimana pun juga," kata Yasmin sembari mengamati 'Kiblat' sejati, Ka'bah, sebuah struktur berbentuk kubik di Mekkah dan salah satu situs paling suci umat Islam.

“Menurut PBB, Islamofobia adalah ketakutan, prasangka dan kebencian terhadap umat Islam yang mengarah pada provokasi, permusuhan dan intoleransi melalui ancaman, pelecehan, perlakukan keji, hasutan dan intimidasi terhadap umat Islam dan non-Muslim, baik di dunia online maupun offline. Dimotivasi oleh permusuhan institusional, ideologis, politik dan agama yang melampaui rasisme struktural dan budaya, gerakan ini menargetkan simbol dan penanda menjadi seorang Muslim.
Definisi ini menekankan hubungan antara Islamofobia pada tingkat institusional dan manifestasi sikap tersebut, yang dipicu oleh terlihatnya identitas Muslim yang dirasakan oleh korban. Pendekatan ini, menafsirkan pula Islamofobia sebagai bentuk rasisme, dimana agama, tradisi dan budaya Islam dipandang sebagai ‘ancaman’ terhadap nilai-nilai Barat.
Beberapa pakar lebih memilih label 'kebencian anti-Islam', karena khawatir istilah 'Islamofobia' berisiko mengutuk semua kritik terhadap Islam dan, oleh sebab itu, dapat menghambat kebebasan berekspresi. Namun hukum hak asasi manusia internasional melindungi individu, bukan agama. Dan Islamofobia juga dapat mempengaruhi non-Muslim, berdasarkan persepsi latar belakang kebangsaan, ras atau etnis. [https://www.un.org/en/observances/anti-islamophobia-day, diretrif pada tanggal 30.03.2024]

Di dalam sebuah buku karya pelukis Etienne Dinet pada tahun 1918, muncul dalam bentuk bahasa Perancis, 'Islamophobie'. Kata 'Islamofobia' bukanlah hal baru, meskipun faktanya akan sulit sekali menemukan banyak contohnya sebelum tahun 1990an. Jim Wolfreys mengemukakan bahwa di seluruh Eropa, prasangka anti-Islam telah diperkuat oleh ‘perang melawan teror’ global, stigmatisasi terhadap Islam, dan menuntut kewaspadaan, pemantauan, dan peningkatan keamanan. Di Prancis, Islamofobia telah dipupuk oleh elit politik yang terpecah dan menggunakan sekularisme republik, atau laïcité, sebagai alat untuk menempatkan umat Islam di bawah pengawasan dan mempertanyakan kesetiaan mereka terhadap nilai-nilai Republik. Di era kesenjangan yang intens dan meningkat, konstruksi kepanikan moral, ketidakamanan, dan kambing hitam telah mendapat perhatian di antara kelompok-kelompok sosial yang cemas akan kehilangan status dan mencari pihak yang dapat disalahkan. Di sini radikalisasi sekularisme, yang secara historis dikaitkan dengan kekuatan progresif yang melawan reaksi, telah membantu memecah-belah dan menetralisir kelompok dan institusi anti-rasis, sehingga menghambat upaya untuk menghadapi meningkatnya sentimen anti-Islam.
Rodd H. Green menulis bahwa kata Islamofobia telah menjadi bagian integral dari wacana politik dan publik. Ia sebagian besar disebabkan oleh penelitian yang banyak dikutip, yang dilakukan oleh lembaga pemikir Inggris, Runnymede Trust, pada tahun 1997. Studi tersebut mendefinisikan Islamofobia sebagai 'rasa takut setengah mati atau benci terhadap Islam' dan sebagai 'permusuhan yang tak berdasar terhadap Islam.' Definisi ini juga menetapkan Islamofobia berdasarkan ekspresi nyata dari permusuhan ini, seperti pengucilan yang disengaja terhadap umat Islam dari kehidupan sosial dan politik arus utama. Definisi inilah yang paling sering digunakan dalam perdebatan mengenai sentimen anti-Muslim di Barat. Green menambahkan bahwa Islamofobia merupakan kebencian, permusuhan, dan ketakutan terhadap Islam dan umat Islam, serta praktik diskriminatif yang diakibatkannya.
Ada orang-orang yang memang dengan sengaja membangkitkan permusuhan terhadap umat Islam, kata Green, agar memobilisasi pemilih, meningkatkan peringkat, menghasilkan traffic ke blog dan situs web, menjual buku, atau membenarkan perang. Dengan kata lain, ada orang-orang yang berperan dalam bisnis yang memproduksi Islamofobia demi keuntungan pribadi atau profesional, dan mereka pantas mendapat 'special condemnation.'

Apa hubungan antara Islamofobia saat ini dan kegelisahan terhadap Islam yang menjadi ciri sebagian besar sejarah Barat? Bagaimana dan mengapa permusuhan terhadap Islam berkembang dalam sejarah Barat? Green menjelaskan bahwa gambaran negatif awal tentang Islam di kalangan umat Kristen Eropa berkembang tatkala kerajaan Islam menyebar dan menimbulkan ancaman politik dan militer terhadap wilayah Kristen. Islam muncul pada awal abad ketujuh di bawah kepemimpinan Rasulullah (ﷺ), pada saat wafat beliau (ﷺ) pada tahun 632, sebagian besar Jazirah Arab telah menganut ajaran Islam. Para penerus beliau (ﷺ) membangun kesuksesan beliau (ﷺ) dan memperluas cakupan dan pengaruh Islam. Pada pertengahan abad kedelapan, Islam mencakup sebagian besar Asia Tengah, Afghanistan, Pakistan, Afrika Utara, dan Spanyol. Dalam kurun waktu sekitar satu abad, sebagian besar wilayah yang dulunya merupakan Kekaisaran Romawi Kristen, telah jatuh ke tangan umat Islam.
Umat Islam tak memonopoli penaklukan wilayah-wilayah strategis. Ketika Islam mengantongi negeri-negeri Kristen, para penguasa Eropa dan pemimpin gereja menanggapinya dengan seruan melakukan perang salib dan penaklukan. Paus Urbanus II memerintahkan Perang Salib Pertama pada tahun 1095. Perang salib ini, pada awalnya merupakan tanggapan atas permintaan bantuan dari kaisar Bizantium dikala ia berusaha melawan invasi Turki Seljuk, namun perang salib tersebut akhirnya berfokus pada perebutan Yerusalem dan 'the Holy Land' dari tangan umat Islam. Pada tahun 1099, Yerusalem jatuh ke tangan tentara Kristen. Tentara ini membantai hampir semua orang Yahudi dan Muslim di kota tersebut dan kemudian mendirikan Kerajaan Yerusalem. Selama Perang Salib Pertama, tentara Kristen Eropa mendirikan tiga negara tambahan. Mempertahankan hadiah utama, Yerusalem, terbukti cukup sulit bagi para penakluk Kristen. Sebagian besar wilayah kerajaan ditaklukkan kurang dari satu abad kemudian oleh jenderal dan sultan Islam terkemuka, Saladin.

Perang Salib Pertama disusul oleh banyak Perang Salib lainnya, acapkali dipicu oleh penaklukan Muslim atas wilayah yang dikuasai oleh kekuatan Kristen Eropa. Sebagian besar perang salib ini, gagal. Pada akhir abad ke-13, benteng penting Eropa terakhir di 'Holy Land', Acre, telah jatuh ke tangan umat Islam. Perebutan wilayah dan kekuasaan politik memicu hubungan Muslim-Kristen di Abad Pertengahan, namun apa dampak perebutan kekuasaan terhadap umat Kristen yang hidup di bawah pemerintahan Muslim dan sebaliknya? Baik penguasa Muslim maupun Kristen merancang cara menghadapi kelompok agama minoritas. Dalam hal pemerintahan Islam, Al-Qur'an tak menetapkan parameter yang jelas tentang cara memerintah non-Muslim, meskipun Al-Qur'an melarang umat Islam memaksa para 'Ahli Kitab'—yakni, Yahudi dan Kristen—agar masuk Islam. Hukum Islam pada akhirnya akan menguraikan tempat kelompok minoritas yang dilindungi, yang dikenal sebagai dzimmi.
Pembatasan yang diterapkan pada kelompok minoritas non-Muslim, mungkin dipandang tak toleran oleh para pembaca modern. Namun, pada kenyataannya, orang-orang Yahudi dan banyak pembangkang Kristen di wilayah Kekaisaran Bizantium dan Persia, kerapkali menikmati kebebasan yang lebih besar di bawah pemerintahan Islam ketimbang di bawah pemerintahan kekaisaran Kristen. Dalam konteks sejarah awal pertemuan Muslim-Kristen, Islam, bukan Kristen, yang seringkali terbukti lebih menerima keberagaman agama.

Gambaran singkat kebangkitan Islam dan pertarungan antara umat Islam dan Kristen, dapat memberikan kesan bahwa hubungan keduanya cuma bercirikan konflik dan konfrontasi. Namun tak selalu. Upaya kolaboratif dan pertukaran manfaat juga terjadi antara umat Islam dan Kristen. Misalnya, di Cordoba, umat Islam dan Kristen pernah berbagi ruang ibadah di Katedral Cordoba. Salah satu pertukaran terbesar adalah terjemahan teks-teks ilmiah dan filosofis dari zaman kuno. Berkat upaya para cendekiawan Muslim, tulisan-tulisan Plato, Aristoteles, Galen, dan Hippocrates, untuk pertama kalinya dapat diakses secara luas oleh para cendekiawan Eropa abad pertengahan.
Dampak dunia Islam terhadap perkembangan Eropa, tak sekedar mentransmisikan dan menerjemahkan teks-teks lawas. Sains, matematika, seni, arsitektur, sastra, filsafat, dan teologi Eropa, semuanya mendapat inspirasi dari sumber-sumber Islam dan Arab. Abū Bakr Muhammad bin Zakariyya al-Rāzi menulis Liber continens, salah satu buku teks kedokteran yang paling sering digunakan dan dihormati di Eropa selama Abad Pertengahan. Abū Ali al-Hassan ibnu al-Haytsam mengoreksi teori penglihatan kuno yang dikembangkan oleh orang-orang seperti Euclid dan Ptolemy, dengan dalil bahwa penglihatan dimungkinkan karena pembiasan cahaya melalui lensa mata. Abū Abdullah Muhammad ibnu Mūsa al-Khwārizmi berkontribusi pada pembentukan disiplin matematika khas yang sekarang dikenal sebagai aljabar; kata aljabar dalam bahasa Arab berarti 'restorasi' atau 'penyelesaian' dan ditemukan dalam judul buku al-Khwārizmi yang beredar luas, Ringkasan Perhitungan dengan Restorasi dan Penyeimbangan. Arsitektur Romawi pada gereja-gereja di Prancis selatan mengadopsi bentuk dan teknik arsitektur Islam, seperti lengkungan tapal kuda dan penggabungan keramik pada bahan bangunan. Fabel dan cerita asal Arab menginspirasi penulis mulai dari Geoffrey Chaucer hingga Miguel de Cervantes. Filsuf Muslim Abū al-Walīd Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, yang hanya disebut sebagai Averroës dalam tulisan-tulisan Eropa, mengembangkan serangkaian komentar atas karya-karya Aristoteles yang membuka jalan bagi pemikiran Aristotelian agar dijadikan sebagai sumber penting refleksi filosofis dan teologis. Memang benar, teolog Kristen paling berpengaruh pada Abad Pertengahan, Thomas Aquinas, mendalami filsafat Averroës, walaupun ia mengkritiknya.

Pada pertemuan awal antara umat Kristen dan Islam, kurangnya kesadaran tentang Islam dapat dengan mudah dijelaskan. Orang-orang Kristen tak menunjukkan rasa ingin tahu yang besar dalam mempelajari Islam lantaran sebagian besar penulis Kristen pada awalnya memandang Muslim sebagai momok yang diutus Sang Ilahi untuk menghukum orang-orang Kristen karena dosa-dosa mereka. Kita dapat melihat fenomena yang sama dalam pertemuan awal antara umat Kristen dan Islam di Barat. Ketika umat Islam menaklukkan sebagian besar wilayah Spanyol, umat Kristen memandang penakluk mereka sebagai hukuman Ilahi atas dosa-dosa mereka. Permasalahannya ada pada umat Kristiani, dan oleh sebab itu, solusinya, yaitu pertobatan, hanya dapat ditemukan dalam komunitas Kristiani. Baru setelah sejumlah besar umat Kristen masuk Islam, para penulis Kristen mulai memandang umat Islam bukan hanya sebagai musuh militer yang ditetapkan Sang Ilahi, namun juga sebagai saingan agama.
Dengan kemenangan Perang Salib Pertama, umat Kristen menjadi lebih dekat dengan umat Islam dan mengetahui bahwa umat Islam bukanlah penyembah berhala, melainkan monoteisme. Kronik-kronik yang ditulis pada masa Perang Salib kemudian kurang memberikan perhatian pada penggambaran kaum Saracen sebagai penyembah berhala. Kendati demikian, gambaran penyembah berhala Saracen tetap hidup dalam imajinasi prang Eropa.
Penggambaran umat Islam sebagai pagan dan penyembah berhala pada akhirnya digantikan oleh keyakinan bahwa Islam merupakan salah satu bentuk ajaran sesat Kristen seusai Perang Salib Pertama. Persepsi ini, yang menonjol pada abad ke-12, sebenarnya sudah terekspresikan pada abad pertama perjumpaan Kristen dengan Islam dalam tulisan John dari Damaskus. John lebih peduli dengan ikonoklasme, perusakan ikon, dibandingkan dengan Islam, namun ia tetap menjadi salah satu pemikir Kristen paling awal yang mengembangkan pandangan Islam sebagai versi sesat dari agama Kristen.

Para sejarawan sering memisahkan Abad Pertengahan dari perubahan budaya dan intelektual yang dimulai pada abad keempat belas dan kelima belas dengan Renaisans dan berlanjut pada abad keenam belas dengan Reformasi. Baik Renaisans maupun Reformasi menandai perubahan dan inovasi signifikan dalam pemikiran Eropa, namun dalam konteks topik yang dibahas, kita hanya akan menemukan sedikit hal baru. Banyak pemikir dalam gerakan-gerakan ini, terus mendaur ulang gambaran dan stereotip tentang Muslim dan Islam yang beredar selama Abad Pertengahan.
Akhir Abad Pertengahan mempersaksikan munculnya tiga kerajaan besar Islam: Kekaisaran Mughal di India, Kekaisaran Safawi di Iran, dan Kekaisaran Ottoman di Turki. Kesultanan Utsmaniyah merupakan kesultanan yang terkuat dan bertahan lama di antara ketiga kesultanan tersebut. Dengan pesatnya kemajuan Kesultanan Utsmaniyah pada periode ini, maka dapat dipahami mengapa penyebutan umat Islam pada abad pertengahan sebagai 'Saracen' atau 'Ismailiyat' digantikan dengan sebutan 'Turks' yang hampir ada dimana-mana. Para penulis Kristen seringkali mengangkat masalah 'ancaman Turki' guna menggalang dukungan bagi perang salib atau perang melawan Ottoman, namun sebutan 'Turk' berfungsi pula untuk merendahkan lawan dari komunitas Kristen lainnya. Istilah ini, seperti pendahulunya pada abad pertengahan, berdimensi etnis, politis, dan agama.

Masa Pencerahan, sebuah gerakan budaya dan intelektual abad ketujuh belas dan kedelapan belas di Barat yang menekankan pada nalar, merupakan sebuah gerakan budaya dan intelektual yang muncul menjelang akhir abad ketujuh belas dan mencapai puncaknya pada abad kedelapan belas. Gerakan ini menekankan keutamaan nalar dalam pencarian manusia guna memperoleh ilmu dan menemukan kebenaran. Penekanan pada zaman Pencerahan terhadap nalar berkontribusi pada iklim dimana para filsuf dan intelektual semakin menyerang agama Kristen tradisional, baik dalam bentuk Protestan maupun Katolik, sebagai agama yang tak rasional dan bersifat takhayul.
Namun, Abad Pencerahan tidak menyaksikan ditinggalkannya prasangka-prasangka lama. Baik dalam tulisan-tulisan filosofis maupun populer, gambaran buruk tentang Muslim dan Islam masih terus ada. Faktanya, kita mempunyai banyak contoh filsuf Pencerahan yang mengulangi stereotip negatif meskipun mereka mengartikulasikan penilaian yang lebih positif.
Penggambaran Islam yang simpatik pada masa Pencerahan mungkin telah mempermasalahkan narasi abad pertengahan, namun tak menghilangkannya. Islam hidup dalam imajinasi Eropa sebagai agama yang berakar pada penipuan, kekerasan, dan kebencian terhadap wanita. Sekalipun argumen-argumen teologis yang mendorong konstruksi polemik Islam kehilangan sebagian potensinya pada akhir Pencerahan, argumen-argumen tersebut masih bertahan hingga era modern. Ketakutan terhadap umat Islam sebagai 'orang lain' menjadi hambatan dan ancaman terhadap kekuasaan dan hegemoni Eropa tak memudar, namun semakin meningkat seiring dengan kemunduran Ottoman dan meningkatnya minat Eropa terhadap ekspansi kolonial pada abad kesembilan belas.

Kolonialisme bukanlah penemuan modern Eropa, namun telah menjadi ciri yang berulang dalam sejarah manusia. Kolonisasi Eropa dimulai dengan 'penemuan' benua Amerika oleh Christopher Columbus dalam ekspedisinya pada tahun 1492. Spanyol dan Portugis mengembangkan jaringan kolonial yang luas di Amerika Utara dan Selatan pada abad berikutnya. Pada abad ketujuh belas, antara lain Inggris, Prancis, dan Belanda, bergabung dengan mereka. Kekuatan Eropa juga mulai memperluas jangkauan mereka di Belahan Bumi Timur pada abad keenam belas—Portugis merebut Goa di India pada tahun 1510 dan Malaka di Malaysia pada tahun 1511. Penaklukan Eropa di kedua belahan bumi dimungkinkan oleh inovasi dalam pelayaran dan kendali yang lebih besar atas jalur pelayaran. Pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, Revolusi Industri memberikan dorongan terhadap teknologi dan kemampuan militer Eropa yang sangat memudahkan proyek-proyek kolonial.
Upaya kolonial membuat banyak wilayah mayoritas Muslim tak tersentuh sebelum abad kesembilan belas, meskipun umat Islam di wilayah seperti anak benua India sudah merasakan dampak kolonialisme pada abad keenam belas. Dengan invasi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798, kita menyaksikan dimulainya upaya serius Eropa menaklukkan wilayah Muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah. Upaya Napoleon gagal, sebagian karena intervensi Inggris, namun Perancis berhasil menginvasi dan menduduki Aljazair pada tahun 1830. Aljazair menjadi koloni Eropa permanen pertama di Afrika Utara, dan penaklukannya menandai awal dari sebuah perjalanan yang panjang, penuh gejolak, dan terkadang terjadi konflik berdarah antara penjajah dan terjajah. Prancis menjadikan Tunisia dan Maroko protektorat masing-masing pada tahun 1881 dan 1912, dan pada tahun 1923 Liga Bangsa-Bangsa memberikan mandat Suriah dan Lebanon saat ini, kepada Prancis.

Pada awal abad ke-20, sebagian besar dunia Islam berada di bawah kekuasaan Eropa, dan cuma segelintir negara di Timur Tengah—Iran, Arab Saudi, Turki, dan Yaman—yang lolos dari dominasi kolonial Eropa setelah Perang Dunia I berakhir. Menjelang Perang Dunia I, negara-negara Eropa berkekuasaan politik dan ekonomi yang besar di sebagian besar dunia, termasuk dunia Islam.
Dampak kolonialisme dan neokolonialisme terhadap hubungan antara Islam dan Barat tak boleh dianggap remeh. Banyak umat Islam di Timur Tengah dan wilayah mayoritas Islam lainnya, menyalahkan perjuangan politik dan ekonomi mereka saat ini akibat campur tangan Barat di masa lalu dan saat ini. Sentimen anti-Barat yang ditemui di negara-negara ini, tak dapat dipahami terlepas dari warisan kolonialisme, seperti halnya analisis yang memadai terhadap wacana Barat kontemporer tentang Muslim dan Islam hendaknya mempertimbangkan usaha kolonial dan rancangan imperial Barat di masa lalu dan masa kini di dunia Islam.

Konflik Israel-Palestina dan Orientalisme bisa dikatakan juga berperan dalam Islamofobia, dan akan kita percakapkan di episode berikut. Bahasan tentang organ dan fungsi negara dari perspektif Islam, kita bicarakan seusai topik Islamophobia, bi 'idznillah."

Disaat rehatnya, Yasmin bersenandung,

I walked in the room, eyes are red,
[Kuberjalan di kamar itu, mata memerah,]
and I don't smoke banga
[dan aku tak menghisap ganja]
Did you check on me? *)
[Sudahkah engkau mengecek diriku?]
Kutipan & Rujukan:
- Todd H. Green, The Fear of Islam: An Introduction to Islamophobia in the West, 2015, Fortress Press
- Jim Wolfreys, Republic of Islamophobia: The Rise of Respectable Racism in France, 2018, Oxford University Press
*) "People" karya Libianca Fonji & Orhue Odia

Rabu, 27 Maret 2024

Ramadan Mubarak (13)

“Sepasang suami istri sedang duduk kalem di sebuah kedai kopi. Sang suami memperhatikan pasangan paruh-baya di seberang kedai. Ia menunjuk ke arah mereka dan berkata kepada istrinya dengan kata-kata renungan, 'Itulah kita sepuluh tahun lagi.'
Istrinya mendongak, tertawa, menundukkan kepalanya kembali, dan berkata, 'Itulah kita sekarang karena yang papa lihat itu, pantulan bayangan kita.'"

“Ada sekitar 50 negara di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, meski jumlah pastinya bisa berbeda-beda tergantung sumbernya,” ucap Yasmin saat melintas di depan Masjid Istiqlal, Jakarta. Perkataan Arab 'Istiqlal', bermakna 'kemerdekaan', dibangun dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia, dibuka untuk umum pada tanggal 22 Februari 1978, menjadi masjid terbesar di Asia Tenggara dan terbesar kesembilan di dunia dalam hal kapasitas jemaah.

“Yang namanya Arab Spring pada tahun 2011, yakni serangkaian 'uprising' spontan di beberapa negara terotoriter di dunia, telah meningkatkan minat terhadap persoalan apakah, bagaimana atau kapan gelombang demokratisasi baru akan terjadi, yang berpusat di Timur Tengah dan Afrika Utara. Perjuangan menggantikan para diktator yang telah terguling di Mesir, Irak, Tunisia dan Libya, telah membangkitkan kembali minat terhadap negara-negara Islam—terutama Indonesia dan Turki—yang langkah-langkahnya menuju demokratisasi relatif berhasil. Semua ini, memunculkan pula intensitas perdebatan yang lebih filosofis mengenai kebersesuaian Islam dan demokrasi. Telah lama menjadi domain para teolog dan beberapa pakar bidang kajian khusus, problem ini benar-benar menjadi perhatian akademik dan politik usai peristiwa 11 September 2001 (juga dikenal 9/11) dan tanggapan Barat yang terjadi setelahnya di Afghanistan dan Irak.
Banyak pakar yang berupaya menemukan korelasi antara Arab Spring dan demokratisasi. Menurut Laurence Whitehead, berdasarkan kesepakatan umum, 'Arab Spring' bisa terjadi pada bulan Januari 2011, ketika protes massal mengakibatkan larinya diktator Tunisia, Zine Abedine Bin Ali, yang tak terduga, sehingga memicu demonstrasi di seluruh wilayah yang dampaknya segera menjatuhkan rezim Mubarak di Mesir, dan destabilisasi penguasa otoriter di Libya, Suriah, dan Yaman, serta menimbulkan dampak politik yang lebih luas di kawasan MENA—Middle East and North Africa (Timur Tengah dan Afrika Utara).
Menurut Sayre dan Yousef, kawasan MENA berada pada titik kritis. Dimulai dengan aksi bakar diri terhadap pedagang kaki lima Mohammed Bouazizi di kota provinsi Sidi Bouzid di pedalaman Tunisia, wilayah MENA telah menyajikan protes jalanan, revolusi, kemajuan demokrasi yang terbatas, keruntuhan politik hingga perang saudara, dan konflik lokal yang mengancam akan melanda seluruh kawasan. Namun, sebelum protes terjadi, kaum muda di wilayah tersebut telah mengalami pengucilan ekonomi dan sosial selama bertahun-tahun. Di wilayah ini, tingkat pengangguran kaum muda tertinggi di dunia selama beberapa dekade sebagai akibat dari kekakuan kelembagaan, sistem pendidikan yang tak mampu memberikan keterampilan yang sesuai, dan 'bulge youth' demografis yang meningkatkan tekanan pasokan pada sistem pendidikan dan pasar tenaga kerja. Tatkala generasi muda ini akhirnya mendapatkan pekerjaan, kekakuan institusional menghalangi mereka melakukan transisi penuh menuju masa dewasa karena hambatan yang timbul dari pasar perkawinan dan perumahan di wilayah tersebut. Faktanya, dalam konteks meningkatnya jumlah pemuda di kawasan ini, dampak negatif tersebut telah berlangsung selama beberapa dekade, dimana kaum muda menghadapi pengucilan secara sosial, ekonomi, dan politik. Mulai bulan Desember 2010, rasa frustrasi yang timbul akibat pengucilan ini, nampak semakin meningkat, dan kaum muda di seluruh kawasan telah berada di garis depan dalam kerusuhan sosial yang dengan cepat dijuluki Arab Spring.

John L. Esposito [dkk] menulis bahwa banyak pengamat Barat terkejut ketika negara-negara Arab mulai melakukan pemberontakan terbuka terhadap pemerintah mereka pada bulan Desember 2010. Pemerintahan otoriter telah menjadi kenyataan sejak lama sehingga ada yang menganggapnya sebagai, jika bukan bentuk pilihan di antara mereka, setidaknya kenyataan yang diharapkan dan diterima. Beberapa analis berpendapat bahwa pemberontakan yang nampak terjadi secara spontan ini, merupakan dampak tak terduga dari tumpuan 'bulge youth'—mayoritas penduduk berusia di bawah 30 tahun, menganggur, dan biasanya, berpendidikan lebih baik dibanding orang tua mereka—dan fasilitas mereka dengan dunia cyber publik yang baru. Negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sama dengan negara-negara berkembang lainnya, dengan fakta bahwa mayoritas penduduknya berusia di bawah 30 tahun. Keadaan ini mencerminkan keberhasilan dalam mengurangi angka kematian bayi dan meningkatkan layanan kesehatan secara keseluruhan. Fenomena ini menyebabkan tekanan sosial yang sangat besar di negara-negara yang tak mampu menyediakan kesempatan kerja bagi generasi muda mereka yang bergolak. Pemuda pengangguran di rezim otoriter dapat menjadi kekuatan yang teramat kuat, terutama dalam konteks teknologi media sosial baru yang seringkali dikaitkan dengan generasi muda. Media sosial digital telah memungkinkan terbangunnya ruang publik virtual baru, yang memungkinkan para aktivis mengabaikan larangan pemerintah otoriter terhadap kebebasan berbicara, pers, dan berserikat. Ruang publik virtual menetralkan perbedaan kelas, gender, dan bahkan sektarian, sehingga memungkinkan munculnya aktivisme sosial jenis baru, yang tak memerlukan pemimpin karismatik atau pelopor, hanya jumlah saja. Pada dekade pertama abad ke-21, partisipasi dalam ruang publik virtual ini, mendekati masa kritis.
Tiada transisi yang tak terelakkan dari 'popular uprising'—youth bulge dan media sosial baru atau tidak—menjadi gerakan sosial atau politik yang berkelanjutan. Agar 'uprising' dapat menjadi sebuah gerakan yang berkelanjutan, terdapat banyak prasyarat, termasuk jaringan sosial yang tersebar, bentuk-bentuk aksi kolektif yang lazim, kerangka budaya yang dimiliki bersama secara luas di seluruh populasi, dan peluang politik. Seperti yang ditunjukkan oleh munculnya kembali kontrol militer, di Mesir dan Suriah, peluang politik masih kurang. Di Libya, patut dipertanyakan apakah ada elemen gerakan sosial yang ada. Bagaimanapun, jumlah pemuda yang turut dalam protes terhadap Presiden terpilih Mesir, Mohammad Morsi, sama banyaknya dengan jumlah pemuda yang terlibat dalam demonstrasi yang mendukungnya, dan dalam milisi Suriah dan Libya. Survei Pew yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hampir dua pertiga warga Mesir lebih menyukai model pemerintahan Saudi dibandingkan model sekuler Turki. Dan, seperti yang ditunjukkan oleh antrean video ISIS, tak semua generasi muda yang paham teknologi, pro-demokrasi.

Seorang pakar hukum Muslim pernah menulis beberapa abad yang lalu tentang Islam dan pemerintahan, memulai risalahnya dengan membedakan tiga jenis sistem politik. Yang pertama, ia gambarkan sebagai sebuah sistem alamiah—semisal keadaan alam yang primitif, sebuah dunia yang tak beradab dan anarkis, dimana kelompok yang teramat berkuasa menindas kelompok lain. Alih-alih hukum, yang ada hanyalah kebiasaan; alih-alih pemerintah, yang ada hanyalah tetua suku yang akan dipatuhi selama mereka tetap menjadi yang terkuat.
Sang pakar kemudian menjelaskan sistem kedua, yang diatur oleh seorang pangeran atau raja yang perkataannya adalah hukum. Karena hukum ditetapkan berdasarkan kehendak penguasa yang sewenang-wenang dan rakyat akan mematuhinya karena kebutuhan atau paksaan, sistem ini pun akan bersifat tiran dan tak terlegitimasi.
Sistem ketiga dan yang terbaik ialah kekhalifahan, yang berdasarkan pada hukum Syari'ah—sebuah kumpulan hukum agama Islam yang didasarkan pada Al-Qur'an dan tindakan serta pernyataan Rasulullah (ﷺ). Menurut para pakar hukum Muslim, hukum Syari'ah memenuhi kriteria keadilan dan legitimasi serta mengikat baik yang diperintah maupun yang memerintah. Karena didasarkan pada supremasi hukum, dan dengan demikian, menghilangkan kesewenang-wenangan terhadap sesama manusia, sistem khilafah dipandang lebih unggul dibanding sistem lainnya. Tapi, pemerintahan seperti apakah kekhalifahan itu, apalagi di zaman modern ini? Apa sih makna istilah tersebut? Dapatkah konsepnya kita interpretasikan dan gunakan saat ini?

Konsep kekhalifahan mempunyai banyak penafsiran dan realisasi yang berbeda-beda selama berabad-abad, namun yang mendasar dari semuanya, bahwa konsep ini menawarkan gagasan kepemimpinan yaitu tentang tatanan masyarakat Muslim yang adil sesuai kehendak Allah. Jabatan tersebut, atau mungkin peran yang lebih akurat, memiliki otoritas berdasarkan kitab suci dan penguasa mana pun mungkin akan dengan senang hati mengikuti suksesi kedua hal tersebut. Tapi apa makna kata itu? Akar bahasa Arab khalafa, asal kata Arab khalīfa, telah dikenal luas, namun seperti banyak kata Arab lainnya, kata ini memiliki beragam padanan. Pada dasarnya bermakna mensukseskan atau mewakili seseorang atau dalam hal ini, untuk Allah. Kata ini digunakan dalam konteks administratif dan sekuler biasa dengan makna tersebut. Namun, seperti banyak ayat dalam Al-Qur’an, makna tepatnya di sini sulit ditentukan. Jelas tak bisa berarti penerus, karena Allah itu kekal dan oleh karenanya, menurut definisinya, tak dapat dimaknai punya penerus, jadi seyogyanya, bermakna wali atau wakil Allah di muka bumi.
Istilah ini sepertinya telah digunakan pada zaman Rasulullah (ﷺ). Ketika beliau (ﷺ) meninggalkan Madinah untuk ekspedisi militer atau karena alasan lain, beliau (ﷺ) akan menunjuk seorang wakil (khalīfa) selama beliau (ﷺ) tak ada. Kita mengetahui nama-nama dari setidaknya beberapa dari mereka dan, anehnya, sebagian besar dari mereka adalah orang-orang tak dikenal yang tak berperan dalam sejarah institusi tersebut di kemudian hari dan kekuasaan mereka sangat terbatas. Hanya Utsmān, radhiyallahu 'anhu, khalifah ketiga, yang termasuk di antara mereka, dan baik Abū Bakr maupun Umar, radhiyallahu 'anhum, dua khalifah pertama, tak ditunjuk. Namun demikian, mungkin karena penggunaan istilah inilah umat Islam secara alami mengadopsinya pada saat Rasulullah (ﷺ) tiada (secara permanen).

Empat khalifah pertama, Abū Bakar (632–44), Umar bin al-Khattāb (634–44), Utsmān bin Affān (644–56) dan Alī bin Abī Tālib (656–61), digambarkan sebagai Rasyidin. Sumber sejarah memberikan beragam informasi tentang keempat lelaki ini, namun yang pasti, mereka bukanlah raja, mereka dihormati karena kemampuannya dalam menerapkan ajaran Islam. Di era mereka, tiada perbedaan kasta, para Sahabat bebas menyuarakan saran dan pendapatnya.
Ketika khalifah Bani Umayyah yang pertama, Muāwiya ibn Abī Sufyān menjadi khalifah pada tahun 661 hampir secara default. Hugh Kennedy menulis bahwa sebelum Muāwiya meninggal pada tahun 680, ia telah melakukan tindakan yang menimbulkan pertentangan sengit dan membayangi tahun-tahun terakhirnya. Ia memproklamirkan putranya, Yazīd, sebagai ahli warisnya, penggantinya sebagai khalifah. Tampaknya ia mengetahui bahwa penerapan suksesi turun-temurun untuk menentukan kekhalifahan akan menjadi hal yang kontroversial dan ia telah mengambil segala tindakan pencegahan yang dapat dilakukan guna memastikan bahwa bay’at kepada putranya, menimbulkan kontroversi seminimal mungkin.
Dengan demikian, Kekhalifahan Umayyah merupakan dinasti Islam besar pertama yang mulai berkuasa. Bani Umayyah Spanyol adalah dinasti Muslim pertama yang memerintah di Spanyol. Kekhalifahan Abbasiyah merupakan dinasti Islam besar kedua dan salah satu dinasti yang paling lama berkuasa. Samanid adalah dinasti asli Persia pertama yang memerintah Iran setelah runtuhnya kekaisaran Sasanian dan penaklukan Muslim Arab. Seljuk adalah orang Turki yang berasal dari Asia Tengah. Almoravid dan Almohad adalah dinasti Berber yang memerintah Spanyol selatan setelah runtuhnya rezim Umayyah Spanyol pada tahun 1032. Seljuk Rum adalah bagian dari dinasti Seljuk di Iran yang memisahkan diri dan menguasai sebagian besar Anatolia. Ilkhanids didirikan oleh keturunan penakluk Mongol Jenghis Khan. Dinasti Nasrid, berpusat di ibu kota mereka, Granada. Mamluk awalnya merupakan kekuatan militer Turki yang mengabdi pada dinasti Mesir sebelumnya. Kekaisaran Ottoman adalah salah satu dinasti yang bertahan paling lama dalam sejarah dunia. Timurid adalah orang Turki yang menaklukkan sebagian besar Iran Raya dan Asia Tengah. Safawi adalah dinasti Syiah yang garis keturunannya berasal dari seorang mistikus sufi yang penting. Mughal dapat ditelusuri garis keturunannya hingga penguasa Mongol di Iran.

Dalam mendukung supremasi hukum dan pemerintahan terbatas, para cendekiawan Muslim klasik menganut elemen-elemen inti dari praktik demokrasi modern. Namun, pemerintahan terbatas dan supremasi hukum hanyalah dua elemen dalam sistem pemerintahan yang berklaim legitimasi terkuat saat ini. Kekuatan moral demokrasi terletak pada gagasan bahwa warga suatu negara berkedaulatan, dan—dalam demokrasi perwakilan modern—mengekspresikan kedaulatannya dengan memilih wakil-wakilnya. Dalam demokrasi, rakyat merupakan sumber hukum, dan hukum pada gilirannya menjamin hak-hak dasar yang melindungi ketenteraman dan kepentingan masing-masing anggota kedaulatan.
Bagi Islam, demokrasi merupakan tantangan yang berat. Para pakar hukum Muslim berpendapat bahwa hukum yang dibuat oleh raja yang berdaulat, tidaklah sah lantaran hukum tersebut menggantikan kedaulatan Allah dengan otoritas manusia. Namun hukum yang dibuat oleh warga negara yang berdaulat juga menghadapi masalah legitimasi yang sama. Dalam Islam, Allah-lah Yang berdaulat dan sumber utama hukum yang sah. Lalu, bagaimana konsepsi demokrasi tentang otoritas rakyat dapat diselaraskan dengan pemahaman Islam tentang Otoritas Allah? Menjawab pertanyaan ini, sangatlah penting namun juga sangat sulit oleh alasan politik dan konseptual. Dari sisi politik, demokrasi menghadapi beberapa kendala praktis di negara-negara Islam—tradisi politik otoriter, sejarah pemerintahan kolonial dan imperial, serta dominasi negara atas perekonomian dan masyarakat.

Banyak umat Islam yang secara aktif turut-serta dalam mendefinisikan demokrasi Islam. Mereka meyakini bahwa proses global kebangkitan agama dan demokratisasi dapat saling melengkapi, dan dalam problema dunia Islam. Dalam sejarah Islam, terdapat sejumlah konsep dan gambaran penting yang membentuk visi kontemporer tentang bagaimana seharusnya masyarakat manusia yang adil. Inilah landasan persepsi Islam terhadap demokrasi.
Dalam perdebatan tradisional dan modern mengenai sifat kekhalifahan, lembaga ini pada dasarnya dipandang dari sudut pandang monarki. Namun, terdapat makna yang sangat berbeda dari istilah ini, yang semakin mendapat perhatian pada paruh kedua abad ke-20. Selain konotasi 'penerus' yang terdapat dalam istilah Arab khalifah, terdapat juga pengertian bahwa khalifah adalah wali, wakil, atau agen. Ada kemungkinan menafsirkan beberapa bagian Al-Quran sebagai mengidentifikasi manusia secara umum sebagai agen Allah (khalifah) di muka bumi, dan pengelolaan manusia atas ciptaan Allah sebagai makna kosmis khilafah yang lebih luas.

Otoritas khilafah diberikan kepada seluruh kelompok masyarakat, secara keseluruhan, yang siap memenuhi syarat-syarat keterwakilan usai menganut prinsip Tauhid. Masyarakat seperti ini memikul tanggung jawab kekhalifahan secara keseluruhan dan masing-masing masyarakat bertanggungjawab terhadap Kekhalifahan Ilahi. Di sinilah titik awal demokrasi dalam Islam. Setiap orang dalam masyarakat Islam, menikmati hak dan kekuasaan kekhalifahan Allah dan dalam hal ini, seluruh individu adalah setara.
Identifikasi 'khalifah' dengan kemanusiaan secara keseluruhan, bukan dengan seorang penguasa atau institusi politik, ditegaskan dalam the Universal Islamic Declaration of Human Rights, sebuah dokumen yang dibuat oleh the Islamic Council of Europe. Dalam kerangka ini, fase pertama dari 'pemenuhan Khilafah sosial-politik' adalah 'pembangunan komunitas insan beriman', sedangkan fase kedua 'adalah mencapai tingkat self-government.' Persepsi 'khalifah' ini menjadi landasan bagi konsep tanggungjawab manusia dan perlawanan terhadap sistem dominasi. Hal ini juga memberikan dasar guna membedakan antara demokrasi dalam istilah Barat dan Islam.

Dalam mempresentasikan demokrasi dalam kerangka konseptual Islam yang luas, banyak perhatian diberikan pada beberapa aspek spesifik dari operasi sosial dan politik. Secara khusus, demokrasi Islam dipandang sebagai penegasan konsep-konsep Islam yang sudah lama ada mengenai musyawarah (syura), konsensus (ijma), dan pertimbangan penafsiran independen (ijtihad).
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik dari prinsip khilafah umat manusia. Kekhalifahan rakyat di negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah-mufakat (syura). Karena seluruh Muslim dewasa yang waras, baik lelaki maupun perempuan, merupakan khalifah (wakil Allah), merekalah yang mendelegasikan wewenangnya kepada penguasa, dan pendapatnya juga harus diminta dalam penyelenggaraan negara. Pentingnya musyawarah sebagai bagian dari sistem pemerintahan Islam telah diakui secara luas.
Konsep operasional yang sama pentingnya ialah konsensus atau ijma. Konsensus telah lama diterima sebagai konsep validasi formal dalam hukum Islam, khususnya di kalangan Muslim Sunni. Konsep operasional ketiga yang sangat penting adalah ijtihad atau pelaksanaan penilaian independen dan berdasarkan informasi. Dalam benak banyak pemikir Muslim, inilah kunci terlaksananya kehendak Allah pada waktu dan tempat tertentu.

Pemerintahan dalam Islam merupakan salah satu bidang sistem Islam. Teori pemerintahan Islam didasarkan pada landasan yang sama, yang mendasari seluruh bidang sistem Islam. Pertama adalah kesatuan umat manusia dalam ras, alam, dan asal usul. Kedua, Islam mempunyai penerapan universal; sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, Allah Maha Berdaulat atas alam semesta, kehidupan dan umat manusia. Ide-ide ini diterapkan bukan semata pada bidang politik melainkan pula pada bidang ekonomi, sosial, intelektual, dan moral dalam sistem Islam. Setelah itu, pemerintahan dalam Islam didasarkan pada keadilan pihak pemerintah, ketaatan pada pihak pemerintah, dan musyawarah antara pemerintah dan yang diperintah. Dari garis dasar yang luas inilah, dicabangkan semua prinsip yang menjadi landasan, bentuk dan hakikat pemerintahan dalam Islam.
Berdasarkan garis besar tersebut, pemerintahan dalam Islam dapat berbentuk atau wujud apa pun. Islam tak memaksakan tipe atau bentuk pemerintahan tertentu. Aturan politik syariah tak menentukan bentuk spesifik yang harus dipatuhi oleh sebuah negara Islam. Dengan demikian, tak cuma ada satu bentuk negara Islam, tapi banyak bentuk, dan umat Islam di setiap periode harus menemukan bentuk yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka, berdasarkan syariat dan sesuai dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, bentuk pemerintahan tak berdampak pada identitas Islam suatu negara. Pemerintahan dalam Islam dapat dilakukan dalam beraneka bentuk guna melaksanakan keadilan dan kesetaraan berdasarkan syariat yang menjadi landasan peraturan perundang-undangan dalam bernegara.
Islam tak berurusan dengan manusia yang abstrak, melainkan dengan manusia yang berjalan dan bernafas di planet ini. Sang Pemberi Hukum mengetahui bahwa urusan manusia tidaklah tetap atau kaku, dan kekakuan bukanlah sifat kehidupan manusia. Keadaan ini memerlukan skema politik yang mampu diwujudkan pada setiap saat dan dalam segala kondisi kehidupan manusia. Jenis dan bentuk pemerintahan haruslah fleksibel dan tergantung pada nalar manusia; sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat; dalam kerangka prinsip-prinsip umum syariah. Semua ini bukan berarti bahwa hukum politik yang muncul dari syariah tak jelas. Hukum politik sangat jelas dan konkrit karena memberikan kita garis besar skema politik yang jelas. Namun justru karena dimaksudkan agar terwujudkan setiap saat dan dalam keadaan apa pun, maka skema tersebut ditawarkan hanya secara garis besar dan tak terperinci. Kebutuhan politik, sosial dan ekonomi manusia, terikat pada waktu, dan oleh karenanya, amat bervariasi.

Pada episode selanjutnya kita akan teruskan dengan organ dan fungsi negara dalam perspektif Islam. Bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- John L. Esposito, Tamara Sonn & John O. Voll, Islam and Democracy after the Arab Spring, 2016, Oxford University Press
- Edward A. Sayre and Tarik M. Yousef, Young Generation Awakening: Economics, Society, and Policy on the Eve of the Arab Spring, 2016, Oxford University Press
- Larbi Sadiki (Ed.), Routledge Handbook of the Arab Spring: Rethinking Democratization, 2015, Routledge
- Edward Schneier, Muslim Democracy: Politics, Religion and Society in Indonesia, Turkey and the Islamic World, 2016, Routledge
- Khaled Abou El Fadl, Islam and the Challenge of Democracy, 2004, Princeton University Press
- Hugh Kennedy, Caliphate: The History of an Idea, 2016, Basic Books
- Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, 2023, Routledge

Selasa, 26 Maret 2024

Ramadan Mubarak (12)

"Seorang lelaki disetop polisi sekitar jam 2 pagi. Sang petugas bertanya mau kemana doi pergi selarut itu.
Sang lelaki menanggapi, 'Saya sedang dalam perjalanan menghadiri ceramah tentang penyalahgunaan miras dan dampaknya terhadap tubuh manusia, serta merokok dan keluar rumah hingga larut malam.'
Pak polisi jadi kepo, 'Oh ya? Siapa sih yang ngasih ceramah malam-malam gini?'
Sang lelaki menjawab, 'Mmmm, istri saya pak.' 
"Walau, katakanlah, salah satu dari beberapa pasang kandidat presiden telah memenangkan pemilu dengan meraih suara lima puluh persen lebih, namun masih terdapat empat puluh persen lebih suara yang tak memilihnya, dengan kata lain, tak sepakat dengannya. Itu berarti bahwa—sekalipun mereka yang terpilih menyatakan bahwa mereka bakalan mejadi pemimpin yang baik bagi semua pihak—masih terdapat pihak yang—kendati tak membenci diri-pribadinya dan sesuai aturan main diharuskan mengakui pemenangnya—secara ideologis, politis, bahkan mungkin secara moral, tak bersetujuan dengannya. Itulah salah satu sebab mengapa demokrasi selalu bersifat opposisional. Sepanjang mereka yang beroposisi ini melakukannya dalam kerangka pengakuan hak-hak individu dan kelompok, serta sebagai warga negara dan kendali penuh rakyat terhadap sistem politik, tindakan mereka tetap dianggap legal," ungkap Yasmin saat melewati Monumen Pemuda Membangun di gerbang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

"Tak semua bunga itu sedap dipandang mata, tak semua jeruk itu manis rasanya, tak semua apa yang kita pandang baik bagi diri kita itu baik bagi semua, maka, tak semua oposisi itu jahat. Dari perspektif Islam, dalam sejarahnya, Esposito dan Voll mengungkapkan bahwa gerakan aktivis Islam, menentang rezim tertentu, dan mendukung rezim lainnya. Kepentingan politik kelompok revivalis Islam mungkin membawa mereka ke dalam oposisi revolusioner terhadap pemerintahan yang ada, atau gerakan tersebut, boleh jadi, berpartisipasi dalam sistem politik yang ada, sebagai gerakan oposisi. Dalam beberapa peristiwa, gerakan Islam merupakan bagian dari pemerintah atau merupakan kekuatan yang berkuasa dalam sistem politik. Spektrum luas ini, memberikan empat dimensi umum yang berbeda di mana revivalisme Islam dan demokratisasi berinteraksi. Aktivisme Islam berikut inilah sebagai, pertama, perlawanan revolusioner terhadap sistem politik yang ada; kedua, oposisi yang legal atau bekerjasama, yang beroperasi dalam sistem politik yang ada; ketiga, partisipasi aktif dalam pemerintahan dalam aliansi atau koalisi dengan kekuatan politik lainnya; dan terakhir, kekuatan pengendali dalam sistem politik yang ada. Pengalaman terkini dalam masing-masing situasi ini, membentuk sifat cita-cita demokrasi yang muncul di dunia Islam dan berkembangnya tatanan politik baru yang dipengaruhi oleh Islam. Demokratisasi dalam masyarakat Muslim, melibatkan segala isu yang lebih luas, yang ada di seluruh masyarakat, dalam menetapkan dan membangun sistem politik demokratis.
Seluruh umat Islam tak selalu sepakat dengan penguasanya dan, kata Esposito dan Voll, masyarakat Muslim punya tradisi oposisi yang serupa dengan masyarakat lainnya. Pengalaman seperti ini, telah ada sejak masa awal Islam, di zaman Rasulullah (ﷺ) pada awal abad ketujuh. Pengalaman umat Islam semasa hidup Rasulullah (ﷺ), membentuk pola-pola yang kemudian dipandang normatif oleh banyak umat Islam di kemudian hari. Pengalaman-pengalaman ini, tak semata menjadi model bagi keyakinan dan praktik umat Islam mengenai hakikat hukum, negara, dan masyarakat, namun pula, membangun contoh bagi konsep oposisi Islam yang merupakan bagian dari warisan yang dimiliki umat Islam masa kini. Oleh karena pengalaman spesifik dan perkembangan sejarah umat Islam, kaum Muslimin memiliki konsep dan ajaran yang dapat diterapkan pada banyak konteks berbeda bagi oposisi.

Umat Islam berawal dari kelompok minoritas yang teraniaya di kota Mekah pada abad ketujuh, dan pesan-pesan mereka merupakan tantangan yang kuat terhadap keseluruhan sistem politik dan kepercayaan elit dominan Mekah yang ada. Kemudian, tatkala Rasulullah (ﷺ) dan para sahabat, radhiyallahu 'anhum, pindah ke kota Yatsrib, yang kemudian disebut Madinah, mereka menetapkan 'konstitusi' bagi masyarakat pluralistik. Akhirnya, dengan keberhasilan misi Rasulullah (ﷺ) dan perluasan komunitas dan negara Islam, umat Islam harus menentukan keberagaman apa yang diperbolehkan dan oposisi apa yang merepresentasikan hukum pembangkangan. Keberagaman pengalaman ini, memberikan dasar bagi kumpulan konsep yang efektif ,yang menetapkan ketidaksepakatan dan oposisi yang terlegitimasi dalam masyarakat.
Pada tahun-tahun pertama setelah dimulainya wahyu kepada Rasulullah (ﷺ) di Mekah, jumlah para sahabat bertambah secara perlahan. Seiring berjalannya waktu, umat Islam dilecehkan dan mereka yang tak memiliki kerabat kuat, yang dapat melindungi mereka, kerapkali diserang dan dianiaya. Pesan Islam mewakili tantangan besar terhadap tatanan sosial dan politik yang ada. Namun, kelompok Muslim saat itu, tak terlibat dalam peperangan atau konflik yang disertai kekerasan, melainkan menggunakan metode dakwah, persuasi, dan perpindahan agama sebagai respons terhadap permusuhan mayoritas. Kala umat Islam hijrah berkelompok ke kota tetangga, Madinah, mereka mewakili kelompok kekuatan yang sangat berarti dalam konteks pluralis. Konteks baru ini, ditentukan oleh sebuah kesepakatan yang dalam sejarah Islam disebut sebagai 'Konstitusi atau Piagam Madinah'. Perjanjian ini menguraikan hak-hak dan prosedur penyelesaian konflik dan tindakan komunitas di kalangan umat Islam (baik dari Mekah dan Madinah) dan non-Muslim. Kaum Muslim modern berpendapat bahwa dokumen ini, dan pengalaman di Madinah, memberikan preseden bagi sistem sosiopolitik pluralistik yang sesuai dengan tradisi dan wahyu Islami.

Masyarakat Muslim 'klasik' berabad-abad setelah wafatnya Rasulullah (ﷺ) memberikan konteks dimana penetapan formal hukum Islam, Syariah, terjadi. Dalam konteks mayoritas Islam, inilah konsep dasar dan simbol warisan politik Islam berkembang. Pada era inilah gagasan konsensus (ijma), musyawarah (syura), dan ijtihad dirumuskan secara operasional. Selain itu, selama tahun-tahun ini, konsep-konsep yang lebih spesifik terkait dengan isu-isu oposisi politik berkembang. Hal ini memberikan warisan penting bagi para pemikir dan pemimpin Islam kontemporer manakala mereka bekerja mengatasi isu-isu dalam menghadapi oposisi di era tekanan global menuju demokratisasi.
Warisan luas dari kumpulan tradisi Islam dan hukum itu sendiri, yang lebih formal memberikan landasan bagi pengembangan konsep tatanan hukum yang diistimewakan di atas para penguasa dan pemerintah, yang dengannya para pemimpin dapat dinilai. Hukum Islam, dalam pemahaman ini, mewakili tatanan 'konstitusional' bagi masyarakat Muslim. Inilah seperangkat aturan dasar yang diterima oleh sebagian besar orang dalam masyarakat politik sebagai hal yang sah dan berwibawa. Di era modern, prinsip-prinsip dasar tersebut telah ditentukan dalam beragam cara, sebagian pemikir berkonsentrasi pada sumber-sumber dasar, Al-Qur'an dan Sunnah, dan sebagian lagi memanfaatkan seluruh kumpulan hukum Syariah sebagaimana ditetapkan oleh para ulama abad pertengahan. Namun, gagasan bahwa prinsip-prinsip dasar Islam mewakili sebuah 'konstitusi' bagi masyarakat Muslim didukung oleh banyak pemikir.

Mohammed Abed al-Jabri mengemukakan bahwa Demokrasi saat ini bukan sekedar subjek sejarah, namun juga merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia modern yang bukan lagi sekedar figur, melainkan warga negara yang identitasnya ditentukan oleh sejumlah besar hak. Hak-hak tersebut ialah hak-hak demokratis, seperti hak memilih penguasa, memantau perilaku mereka, dan memecat mereka; hak atas kebebasan berpendapat, mengadakan pertemuan dan membentuk partai, serikat pekerja, dan masyarakat; hak atas pendidikan dan pekerjaan; hak atas kesempatan yang sama di segala bidang politik, ekonomi, dan lain-lain. Oleh karenanya, demokrasi seyogyanya dipandang bukan sebagai sebuah proses yang dapat diterapkan dalam satu masyarakat atau masyarakat lainnya, namun sebagai sebuah proses penting yang hendaklah dibangun dan diterapkan. Inilah satu-satunya suasana dimana hak-hak warga negara dapat dinikmati oleh rakyat, di satu sisi, sementara hal ini memungkinkan para penguasa menikmati legitimasi yang membenarkan pemerintahannya, di sisi lain.
Demokrasi dilaksanakan dalam masyarakat, dan masyarakat bukan sekedar sejumlah individu; ia merupakan hubungan, kepentingan, kelompok, perselisihan, dan persaingan, yang jamak. Oleh karenanya, demokrasi merupakan cara yang sehat dan positif mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat secara rasional, mengarahkan perjuangan menuju kemajuan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka penikmatan hak-hak warga negara.
Saat ini, legitimasi demokratis adalah satu-satunya legitimasi yang dapat diterima; tiada alternatif lain selain itu. Legitimasi revolusioner, yang menyerukan penundaan demokrasi politik, dengan dalih memberikan prioritas pada tujuan-tujuan lain, sebagai persiapan menuju ‘demokrasi yang sesungguhnya’, telah gagal dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Entah kegagalan tersebut disebabkan faktor internal atau intervensi asing, satu-satunya kesimpulan saat ini ialah penegasan perlunya demokrasi sebagai hak yang tak dapat ditangguhkan atau dikompromikan oleh pihak mana pun. Tujuan apa pun yang ditetapkan oleh negara saat ini, tak dapat dikesampingkan di atas ‘hak asasi manusia dan warga negara’. Sebaliknya, seluruh tujuan hendaknya berasal dari hak-hak ini dan sesuai dengan hak-hak tersebut. Apa yang disebut sebagai legitimasi sejarah yang diklaim oleh beberapa penguasa sudah berlalu; yakni, ia tak lagi mampu membenarkan dirinya sendiri di zaman sekarang. Hal ini hanya bisa dibenarkan jika mereka ingin menggabungkan diri dengan legitimasi demokratis dan beradaptasi dengan keputusan yang diambil. Inilah satu-satunya harapan untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, jika kita memandang demokrasi sebagai sebuah prinsip, atau sebuah sistem di mana manusia dapat menikmati hak-hak kewarganegaraannya, maka demokrasi akan lebih diutamakan ketimbang saluran dan institusi tempat hak-hak tersebut dilaksanakan.

Pertanyaan apakah Islam kompatibel dengan demokrasi, telah menjadi tanda-tanya bagi sebagian orang dan menjadi sumber kekesalan bagi sebagian lainnya. Agama telah kembali memasuki dunia politik dalam banyak hal di sebagian besar belahan dunia. Penanda sejarah kebangkitan ini termasuk penggulingan Shah Iran dan upaya mengembangkan pemerintahan lokal yang bertanggungjawab di Aljazair. Meskipun Islam yang aktif secara politik mendapat perhatian terbesar dari media dan kebijakan, Islam bukan satu-satunya yang mengalami pembaruan keterlibatan politik. Agama Katolik berperan penting dalam penggulingan rezim komunis di Polandia; Agama Buddha berperan secara politik di Sri Lanka; konflik antar kelompok agama di India membentuk agenda politik di sana; dan Protestan Pantekosta telah memasuki dunia politik, dimulai di Amerika Serikat pada awal tahun 1980an.
Kebangkitan agama yang tak terduga dan masuknya kembali agama ke dunia politik, yang dimulai pada kuartal terakhir abad ke-20 dan semakin pesat sejak saat itu, menjadikan kita perlu menguraikan falsafah politik dan sistem pemerintahan yang bersumber dari Al-Qur'an dan mengkaji Sirah Nabawiyyah, biografi Rasulullah (ﷺ). Eksposisi sistematis mengenai politik Islam yang didasarkan pada Al-Qur’an menjadi semakin diperlukan karena perdebatan yang kini terjadi di Barat mengenai Islam dan hak asasi manusia serta kemampuan negara-negara demokrasi Barat memasukkan komunitas minoritas Muslim dalam jumlah besar. Pertanyaannya, ‘Selaraskah Islam dengan demokrasi? Sejalankah Islam dengan hak asasi manusia?’ Beberapa reaksi memperjelas bahwa mereka menganggap hak asasi manusia Islam atau demokrasi Islam sebagai sesuatu yang oxymoronic [nampak bertentangan]. Hubungan antara agama dan pemerintahan dalam masyarakat Muslim telah menjadi fokus perdebatan di kalangan ulama Islam. Ada yang memandang Islam hanya sekedar agama tanpa hak memerintah atau mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Namun ada juga yang memandang Islam bukan sekedar agama, melainkan pula sistem dan tatanan sosial yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk negara dan hukum. Mereka mendasarkan argumennya pada Al-Qur’an dan menunjukkan konotasi politis dari banyak istilah Al-Qur’an seperti mulk (kekuasaan), ummah (bangsa) dan istilah-istilah lain yang berkonotasi politis. Misalnya, kata Arab sultan, yang berulang kali disebutkan dalam Al-Qur'an, merupakan kata benda abstrak yang bermakna otoritas dan pemerintahan, dan digunakan sejak masa awal Islam guna menunjukkan pemerintahan. Demikian pula, istilah hukm (memerintah dan mengadili) dan turunannya seperti 'gubernur, penguasa, dan hakim' terdapat dalam Al-Qur'an, secara eksplisit lebih dari 250 kali dan masing-masing punya konotasi politisnya.

Hukum Islam tak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari; ia tak memisahkan agama dari politik; politik dari moral; atau moral dari negara. Dalam Hukum Islam, aktivitas individu dan hubungannya dengan negara, berlandaskan metafisik dan keagamaan. Islam merupakan suatu sistem praktis kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Islam menganut konsep ideal dan meyakinkan, yang menguraikan hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan, alam semesta, seluruh kehidupan, dan umat manusia. Ia menguraikan hakikat alam semesta dan menentukan kedudukan umat manusia di alam semesta ini, serta tujuan akhir umat manusia. Ini mencakup doktrin-doktrin dan organisasi-organisasi praktis yang berasal dari dan bergantung pada cita-cita ini, dan menjadikannya kenyataan yang tercermin dalam kehidupan umat manusia sehari-hari.
Mengingat konsepsi hidup Islam merupakan koordinasi dan harmonisasi antara jiwa dan raga, maka masuk akal memandang adanya hubungan yang amat erat antara agama dan politik, antara masjid dan tempat perlindungan. Di satu sisi, Islam membahas tentang kemanusiaan seutuhnya, sebagaimana adanya dalam realitas, bukan memperlakukan kemanusiaan sebagai sebuah konsep intelektual. Berbeda dengan Idealisme, Positivisme, dan gagasan serupa, Islam tak berurusan dengan proposisi yang tak berealitas praktis. Di sisi lain, Islam tak memandang manusia semata sebagai ruh atau materi belaka. Manusia bukanlah makhluk yang sekedar berakal, melainkan makhluk jasmani, mental, dan spiritual yang terpadu, yang kecakapannya merupakan bagian dari satu kesatuan yang utuh, fungsional, dan bertanggungjawab.

Tatanan sosial Islam didasarkan pada ‘prinsip universal persaudaraan manusia dan upayanya demi menjamin kebahagiaan, kemakmuran, dan kebaikan bagi individu dan masyarakat. Tiada tempat bagi perang kelas dalam bentuk apa pun antara individu dan masyarakat dalam sistem ini.' Dalam sistem sosialnya, Islam bersifat komunal, lebih memilih kehidupan sosial, dan menuntut ibadah secara kolektivitas—berjamaah dimana setiap orang menuju satu otoritas puncak [bukan penguasa], satu arah, dan satu pusat. Sebagai contoh, berpuasa satu bulan pada waktu yang sama di seluruh belahan bumi, dan menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada waktu yang sama sebagai salah satu kewajiban pokok seluruh umat Islam. Ia juga menekankan tanggungjawab pribadi dan tak melupakan perkembangan individu, namun ia mengatur seluruh individu menjadi satu kesatuan: masyarakat Muslim. Undang-undang yang sama mengatur urusan alam semesta, kehidupan, dan umat manusia, apapun golongannya dan dimanapun negaranya. Terlebih lagi, penguasa menduduki jabatannya hanya melalui pemilihan umum yang bebas, lalu bersumpah, yang akan menjadi tanggungjawabnya di hadapan rakyat.
Mengenai hubungan antara Islam dan politik, Sayyid Qutb dan Abu al-A’la Mawdudi, keduanya menyatakan bahwa Islam, pada hakikatnya, 'political religion'. Ulama dan hakim ‘Ali Abd al-Raziq menyatakan ‘Aku tak meyakini bahwa Hukum Islam hanya bersifat spiritual’. [...] Islam merupakan agama legislatif. Penerapan Hukum Islam adalah wajib bagi umat Islam. Inilah perintah Allah kepada mereka semua. [...] Umat Islam hendaknya membentuk pemerintahan untuk memikul beban ini. Allah tak memaksakan kepada umat Islam jenis atau bentuk pemerintahan tertentu, namun mereka bebas memilih apa yang lebih baik bagi kemakmuran rakyatnya, kapan saja.' Para penafsir sebelumnya seperti Ibnu Katsir, dalam tafsirnya atas ayat Al-Qur'an Surat An-Nisa (4):59, menandaskan 'yang berdaulat adalah Allah, hanya Dialah Pembuat undang-undang'. Ulama kontemporer al-Azhar, Muhammad al-Ghazali, menekankan bahwa ‘Allah-lah satu-satunya Pembuat undang-undang dan bangsa (ummah) seyogyanya membentuk pemerintahan yang bersifat musyawarah (syurah)’. Menurut al-Qurtubi, ‘tiada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai Allah Yang Maha Pembuat Undang-Undang, dan Negara harus ada’. Demikian pula, al-Mawardi menegaskan bahwa ‘kepemimpinan ditentukan untuk meneruskan kenabian sebagai sarana melindungi agama dan mengatur urusan dunia. Ada konsensus pendapat bahwa orang yang menjalankan tanggungjawab posisi ini (kepemimpinan) hendaknya mengambil kontrak kepemimpinan umat.’

Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap Kedaulatan dan Konstitusi? Dari sudut pandang hukum internasional, kedaulatan suatu negara merupakan inti dari identitasnya. Dalam Hukum Islam, kedaulatan merupakan sifat Ilahi yang pemerintahannya langsung, dan perintah-perintahnya, seperti dalam Al-Qur’an, mewujudkan dan memandu hukum dan konstitusi bangsa dan negara.
Ada yang berpendapat bahwa Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber yurisprudensi (fiqh) dan ekspresi syariah. Sayed Khatab dan Gary D. Bouma mengemukakan bahwa yurisprudensi Islam hanyalah pendapat pribadi mengenai penafsiran syariat. Umat Islam telah menyepakati syariat, namun belum menyepakati sepenuhnya hukum fiqh. Implikasi hukumnya bahwa pemerintahan dalam Islam terikat oleh Konstitusi yang diilhami Sang Ilahi dan masyarakat Muslim menyepakatinya. Oleh sebab itu, pemerintahan dalam Islam bukanlah suatu bentuk pemerintahan absolut, juga bukan suatu bentuk pemerintahan otokrasi atau otoriter; ia merupakan pemerintahan yang terbatas pada Konstitusi. Para pakar politik menyatakan bahwa ‘pembatasan kekuasaan pemerintah, dalam mengatur urusan masyarakat, merupakan prinsip utama pemerintahan konstitusional. Metode dan cara yang menjelaskan batasan-batasan ini, disebut pemerintahan konstitusional.
Bahwa kedaulatan milik Allah semata, bukan dalam makna Allah menurunkan diri-Nya untuk memerintah, melainkan mewahyukan hukum-Nya bagi pemerintahan. Di sini, otoritas merupakan hukum, dan aturan hanyalah aturan hukum. Dalam Islam, administrasi dan pemerintahan ada guna memfasilitasi penerapan hukum. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi penerapan hukum. Keterbatasan pemerintahan pada hukum menjadikan gagasan negara teokrasi atau negara agama, tak dapat diterapkan dalam Islam. Dalam pandangan Islam tentang negara, mereka yang memegang kendali suatu urusan tak dipandang sebagai kelas istimewa yang dimuliakan ataupun dikucilkan dari masyarakat umum. Mereka tak memerintah menggantikan Allah, namun semata menafsirkan dan menerapkan hukum yang diberikan Allah kepada mereka, hukum yang tersedia dan diketahui oleh seluruh umat Islam. Mereka tidaklah istimewa, baik terhadap dirinya maupun dalam hukum yang mereka tafsirkan dan terapkan. Mereka bukan pula klergi dalam pemahaman teokrasi Barat, yang merupakan pemerintahan absolut yang dikendalikan oleh para klergi. Singkatnya, ciri-ciri teokrasi, dan semacamnya, tak berlaku dalam pemerintahan Islam.

Dari sudut pandang ini, terlihat jelas ciri-ciri sebagai berikut: sistem pemerintahan dalam Islam kompatibel dengan demokrasi, dan kedua sistem tersebut mengandung unsur kesamaan yang substansial. Perbedaan kedua sistem tersebut—jika dimaknai berdasarkan perspektif agama—juga mendukung unsur-unsur yang mirip dengan demokrasi: pemerintahan dalam Islam bersifat Konstitusional; pemerintahan Islam tak bersifat teokratis atau otokratis; perubahan bentuk pemerintahan takkan mengubah jati diri Islam dalam suatu negara, sepanjang pemerintah memfasilitasi ordinansi atau tatacara hukumnya. Sebagai contoh di Indonesia, Departemen Agama dibentuk guna memfasilitasi dan menangani hukum-hukum dan keperluan-keperluan tersebut. Oleh karenanya, gagasan bahwa Kantor Urusan Agama sebagai tempat pelayanan pencatatan perkawinan semua agama, merupakan pandangan yang kurang tepat.

Lantas, bagaimana dengan bentuk pemerintahan, organ dan fungsi negara dalam perspektif Islam? Akan kita bicarakan pada episode selanjutnya, bi 'idznillah."

Seraya berehat sejenak, Yasmin bersenandung,

Allah, You're the Source of life and You're the Source of truth
[Duhai Allah, Engkaulah Sumber kehidupan dan Engkaulah Sumber kebenaran]
To obey You, I strive and my aim is pleasing You
[Untuk menaati-Mu, aku berjuang dan tujuanku beroleh rida-Mu]
Allah, You are the only One, Your promises always true
[Duhai Allah, Engkaulah Yang Mahaesa, janji-janji-Mu selalu terwujud]
You don't need anyone, but we're all in need of You *)
[Engkau tak membutuhkan siapa pun, tapi kami semua membutuhkan-Mu] *)
Kutipan & Rujukan:
- Sayed Khatab & Gary D. Bouma, Democracy In Islam, 2007, Routledge
- Mohammed Abed al-Jabri, Democracy, Human Rights and Law in Islamic Thought, 2009, Centre for Arab Unity Studies
*) "Radhitubillahi Rabba" karya Bara Kherigi & Maher Elzein

Senin, 25 Maret 2024

Ramadan Mubarak (11)

“Seorang dokter sedang mendiagnosis pasiennya dan bertanya, 'Apa Anda selalu mendengkur?'
'Enggak dok, hanya sewaktu tidur ajah,' jawab sang pasien."

"Sedikit sekali atau bahkan tiada tayangan yang diberikan melalui saluran kelembagaan, yang ditawarkan oleh negara-negara demokratis, manakala warga negara menyuarakan kebenaran dan logika, di jalan-jalan atau berkumpul di ruang pertemuan atau berbagi ide-ide mereka melalui pers minoritas,” lanjut Yasmin sembari mengamati karya Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro.
“Wacana-wacana seperti ini, menyajikan strategi retoris baru guna mengekspresikan keinginan, kebutuhan, dan emosi warga negara yang tak disadari dan tak beralamat. Ia juga menawarkan dorongan bagi bentuk-bentuk musyawarah-mufakat dan tindakan yang terinformasi, yang dapat menghasilkan perubahan realitas politik.

Ketika negara-negara demokrasi menjadi lebih demokratis, mereka akan mengembangkan dirinya dan  'political well-being' para anggotanya. Meningkatnya demokratisasi semakin membuka ruang publik terhadap beragam pendapat, dan dengan demikian, menawarkan para aktornya, peningkatan kepentingan dalam pengambilan keputusan secara musyawarah-mufakat. Para aktor dapat berharap bahwa ketertarikan dan wawasan yang mereka ungkapkan akan benar-benar diakui dan dilibatkan oleh orang-orang penting lain, sehingga mereka termotivasi memanfaatkan peluang guna memberikan masukan yang berarti terhadap hal-hal yang penting bagi mereka sendiri dan generasi penerusnya. Semua ini dan lebih banyak hal lainnya, akan menimbulkan dampak positif di seluruh lanskap politik yang berujung pada aksi politik yang lebih terinformasi dan refleksif.
Gagasan mengenai peningkatan demokratisasi dan pentingnya keterlibatan partisipatif para aktor lembaga-lembaga politik menggarisbawahi perlunya perluasan arena wacana publik. Pentingnya wacana bagi demokrasi menunjukkan adanya ketegangan antara cita-cita peningkatan demokratisasi, yang diwujudkan dalam arena musyawarah yang diperluas, dan realitas demokrasi yang tak sempurna, yang seringkali berjalan berlawanan dengan cita-cita tersebut. Di satu sisi, pemilihan umum yang bebas, perwakilan proporsional, dan pemerintahan mayoritas semuanya membuktikan kemajuan negara-negara demokratis dan, tentu saja, berfungsi sebagai penyangga diskursif bagi legitimasi pengaturan dan praktik kelembagaan negara yang ada: program-program aksi yang saling bersaing diperdebatkan; kehendak rakyat diungkapkan melalui pemilu; tampuk pemerintahan seringkali tertukar; konflik sosial diselesaikan dengan cara damai. Di sisi lain, hasil-hasil tersebut dan bagaimana hasil-hasil tersebut direpresentasikan secara diskursif dapat menyamarkan kecenderungan negara-negara demokratis menekan masukan dari beberapa aktor sebagai cara melindungi atau memajukan kepentingan pihak-pihak yang memiliki hak istimewa: perdebatan mengenai program aksi yang bersaing mungkin hanya bersifat parsial dan pengecualian terhadap beberapa (mungkin sebagian besar) calon peserta; kehendak rakyat mungkin tak lebih dari opini mayoritas yang diungkapkan secara terbatas dalam agregasi hasil pemilu atau pembagian keterwakilan; klaim resolusi konflik mungkin sebenarnya mengalihkan perhatian dari kesenjangan kronis dalam distribusi kekuasaan.

Hubungan antara para penguasa dan orang-orang yang mungkin berbeda pendapat dengan mereka, merupakan bagian standar dari pengalaman politik setiap rakyat. Tiada pemerintahan yang sepenuhnya didukung oleh seluruh rakyat yang diklaimnya sebagai penguasa, dan salah satu tugas utama sistem politik ialah menemukan cara menyeimbangkan pemerintahan dan oposisi. Pada saat yang sama, gagasan mengenai oposisi politik yang terorganisasi sebagai sebuah komponen yang normal dan bermanfaat dalam sebuah pemerintahan, merupakan sebuah gagasan yang mengejutkan, dan nampaknya tak sesuai dengan pemikiran tradisional dalam spekulasi politik: pencarian negara yang baik berdasarkan kesetiaan universal pada prinsip dan praktik yang benar. Bahkan dalam sistem parlementer yang sudah mapan seperti di Inggris, masih terdapat keraguan di benak setidaknya beberapa intelektual terkemuka abad kesembilan belas—dan awal abad kedua puluh—tentang gagasan oposisi yang diterima secara formal dan sah. Upaya dalam teori dan praktik politik tradisional adalah membuat sistem politik terbaik, dan oposisi kerapkali dipandang sebagai kekuatan yang mengganggu ketimbang konstruktif, dalam proses kreatif tersebut.

Demokrasi melindungi hak dan kebebasan rakyat, dan mengakui kemerdekaan rakyat mengekspresikan pandangannya. Namun, 'kehendak rakyat' acapkali bersifat plural, dan tradisi demokrasi memberikan banyak cara berbeda dalam menetapkan dan mengelola oposisi. Prinsip demokrasi menyangkut hak individu dan kelompok bila berbeda pendapat dengan pemerintah. Namun, selalu ada rasa keberatan terhadap perselisihan tersebut. Meskipun banyak definisi demokrasi, semisal mengakui hak, dan dalam beberapa definisi bahkan kebutuhan, keberadaan partai oposisi, frasa 'politik partisan' membawa implikasi negatif, bahkan dalam perbincangan orang-orang yang sangat yakin akan perlunya kompetisi sistem politik multipartai. Secara lebih luas lagi, terdapat ketegangan mendasar dalam masyarakat politik antara keinginan mencapai keharmonisan dan stabilitas, serta kebutuhan menyediakan sarana mengekspresikan ketidaksepakatan.
Oposisi dapat beragam bentuknya, mulai dari advokasi revolusioner guna menggulingkan sistem yang ada hingga berbagai derajat ketidaksepakatan dengan orang-orang yang berkuasa dalam suatu sistem politik. Tak ada pemerintah yang membolehkan aktivitas terbuka yang bertujuan menggulingkannya dengan cara kekerasan. Namun, terdapat pula pemerintahan yang telah mengorganisir, atau setidaknya bekerja sama, sebagai bagian dari upaya demokratisasi, agar mengakhiri sistem politik yang ada dan menggantinya dengan sistem yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang berbeda. Sebagian besar rezim otoriter dan satu partai di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, terlibat dalam peleburan-diri secara kooperatif di bawah tekanan gerakan oposisi populer (dan ilegal) yang masif. Pemerintahan militer di Afrika, berulangkali mengumumkan dimulainya upaya memulihkan demokrasi sipil, dengan berbagai tingkat komitmen dan keberhasilan. Namun, persyaratan minimum dasar yang diterapkan pemerintah kepada pihak oposisi iaalah mereka tak terlibat aktif dalam tindakan kekerasan guna menggulingkan pemerintah.

Sebagian besar pemerintah menerapkan pembatasan tambahan terhadap kelompok oposisi. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, di banyak negara bagian di Amerika Serikat, misalnya, salah satu syarat untuk bekerja di suatu lembaga negara adalah pengambilan sumpah yang menyatakan bahwa calon pegawainya 'tak pernah dan tak akan menjadi' anggota suatu organisasi. kelompok yang menganjurkan penggulingan pemerintah Amerika Serikat dengan kekerasan, kendati pun individu dimaksud tak pernah secara pribadi turut dalam aktivitas tersebut. Dalam konteks ini, standar dasar penilaian merupakan penerimaan aturan-aturan fundamental sistem politik oleh pihak oposisi. Pada awal tahun 1960-an, dikala rezim militer menjadi hal yang lumrah di berbagai belahan dunia, sering dikutip dalam observasi Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa politik itu 'ibarat permainan kartu: para pemainnya harus sepakat kartu mana yang menjadi kartu truf. Dengan perbedaan ini, ia menambahkan, bahwa dalam politik, ketika tak ada kartu lain yang disepakati, maka klublah yang menjadi pemenangnya.' 'Aturan main' harus diterima oleh pihak oposisi; jika tidak, 'klub' akan menjadi basis kekuasaan.
Walau penerimaan demokrasi sebagai sistem politik yang baik masih relatif baru dan telah lama ada keraguan (setidaknya di pihak penguasa) mengenai penentangan terhadap rezim yang ada, terdapat banyak batasan struktural dan informal terhadap kekuasaan penguasa di seluruh dunia. sejarah. Tidak ada penguasa yang memiliki kendali mutlak atas segala sesuatu sepanjang waktu. Masyarakat dan peradaban mengembangkan konseptualisasi penting untuk membatasi kekuasaan para tiran, dan konsep-konsep ini mencerminkan warisan khas masyarakat yang berbeda. Meskipun konsep Mandat Surga, misalnya, mungkin didefinisikan sebagai cara untuk melegitimasi klaim kekuasaan dinasti Chou kuno dan merupakan bagian penting dari konsep legitimasi kekaisaran Tiongkok, hal ini juga memberikan alasan pada abad-abad berikutnya. untuk revolusi melawan dinasti kekaisaran di saat ketidakstabilan dan kesulitan.

Oposisi revolusioner terhadap sistem politik yang ada, bukanlah hal yang dimaksud dalam sebagian besar perbincangan mengenai 'oposisi politik'. Dengan sikapnya yang khas, G.K. Chesterton mengutarakan persoalan ini dengan jelas, 'Bakalan absurd jika meminta Pemerintah memberikan oposisi. Dirimu tak bisa menemui Sultan dan berkata dengan nada mencela: 'Tuanku Sultan tak berencana agar saudaramu melengserkanmu dan merebut Kekhalifahan.' Engkau tak dapat menemui raja abad pertengahan dan berkata: 'Mohon pinjamkan hamba dua ribu tombak dan seribu pemanah, karena hamba ingin memberontak melawan yang mulia.' Dalam banyak standar pemikiran politik Barat, 'oposisi' yang sah dalam konteks demokrasi, dipahami dengan cara yang spesial. Sebagian besar saran menekankan bahwa oposisi mensyaratkan persetujuan pada hal-hal mendasar, yaitu kesepakatan pada tingkat komunitas dan rezim. Yang ditentang oleh pihak oposisi adalah pemerintahan, bukan sistem politiknya.
Konsep oposisi ini bergantung pada konsep dasar 'konstitusi', atau seperangkat aturan dasar yang diterima sah oleh semua orang dalam sistem politik, termasuk oposisi. Munculnya gagasan pemerintahan konstitusional merupakan elemen penting dalam perkembangan negara modern, namun merupakan perkembangan yang relatif baru di Barat. Konsep 'tatanan hukum atau konstitusional yang impersonal dan memiliki hak istimewa, sering dikaitkan dengan gagasan tentang negara dalam pemikiran politik Barat modern, namun tak menjadi objek perhatian utama hingga akhir abad ke-16, dan gagasan tentang batasan struktur kekuasaan dari pemisahan penguasa dan yang dikuasai dengan yurisdiksi tertinggi atas suatu wilayah menjadi sebuah fenomena modern.

Dalam standar pemikiran politik modern Barat, oposisi yang dapat diterima dalam sistem demokrasi sangat terkait dengan konsep pemerintahan konstitusional, yang di dalamnya terdapat konsensus fundamental dan mendasar mengenai 'aturan main' politik. Oposisi merupakan ketidaksepakatan yang legal terhadap kebijakan tertentu dari pemimpin tertentu dalam kerangka prinsip-prinsip dasar konstitusi yang diterima bersama, baik tertulis atau berdasarkan praktik yang sudah lama ada. Namun, dalam pengalaman politik modern Barat, terdapat pula oposisi radikal tradisional yang terekspresikan ke dalam beraneka bentuk revolusioner.
Dalam sejarah politik modern Eropa Barat, terdapat ketegangan yang telah berlangsung lama antara dua pemahaman berbeda mengenai demokrasi, dan masing-masing pemahaman ini mewakili pertentangan yang saling revolusioner. Dua visi yang bersaing adalah visi yang menekankan hak-hak individu dan pembatasan terhadap pemerintah, dan visi lain yang menekankan kehendak rakyat dan struktur kolektif komunitas. Hal ini merupakan perdebatan yang terus berlanjut dalam tradisi politik Barat dan inti dari setiap pembicaraan mengenai demokrasi.

Pada akhir abad kedua puluh, revolusi, sesuai dengan tradisi lama kekerasan radikal, tak lagi dipraktikkan dan efektif dalam konteks globalisasi politik demokratisasi. Dalam kondisi dunia saat ini, revolusi demokratis seperti yang terjadi pada abad ke-19 hanya mungkin terjadi jika rezim politik mempertahankan posisi anti-demokrasi di hadapan tuntutan demokratisasi yang besar dari masyarakat. Di sebagian besar negara pada tahun 1990an, bahkan oposisi radikal pun beroperasi dalam kerangka konseptual yang sama. Jika terdapat perbedaan mendasar dalam kosmologi fundamental, seperti perbedaan antara teori politik humanis sekuler dan teori politik yang dibangun berdasarkan asumsi religius, maka terdapat kemungkinan terjadinya revolusi yang disertai kekerasan dan antisistemik, namun dalam banyak kasus, terdapat penerimaan yang luas terhadap asumsi fundamental tersebut. tentang perlunya kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi politik kerakyatan dalam bentuk yang bermakna.
Namun, konsensus yang luas tak menghilangkan kemungkinan adanya oposisi atau bahkan perasaan perlunya melanjutkan oposisi jika ingin demokrasi sukses. Dalam versi yang paling bersih dalam konteks demokrasi liberal, terdapat desakan bahwa landasan pemerintahan demokratis adalah hak untuk menyelenggarakan 'free and fair elections' [didefinisikan oleh ilmuwan politik Robert Dahl sebagai pemilu yang 'pemaksaan tak terjadi secara komparatif'. Pemaksaan melibatkan tekanan pada suatu pihak agar bertindak secara tak sukarela dengan menggunakan ancaman, termasuk intimidasi menggunakan kekerasan terhadap pihak tersebut. Hal ini terkait dengan serangkaian tindakan paksa yang melanggar kehendak bebas individu agar menimbulkan respons yang dikehendaki. Tindakan ini termasuk pemerasan, gertakan penyanderaan, atau bahkan penyiksaan dan kekerasan seksual. Free and fair elections menyangkut kebebasan politik dan proses yang adil menjelang pemungutan suara, penghitungan yang adil terhadap pemilih yang memenuhi syarat, yang memberikan suaranya (termasuk aspek-aspek seperti kecurangan pemilu atau eksploitasi para pemilih), dan penerimaan hasil pemilu oleh semua pihak. Boleh jadi, sebuah pemilu sebagian memenuhi standar internasional free and fair elections, atau mungkin memenuhi beberapa standar namun tak memenuhi standar lainnya], bahwa pemilu tersebut harus terbuka bagi banyak pihak, dan bahwa pihak yang menang harus dapat berpartisipasi membentuk pemerintahan yang mampu memenuhi mandatnya. Pemerintah juga harus bersedia melepaskan kekuasaannya, jika hasil pemilu berikutnya, mengharuskan demikian. Namun, dalam visi pihak oposisi, terdapat batasan yang ketat: ketika pihak tersebut berkuasa, tak diperbolehkan mengubah ketentuan dasar konstitusi dalam upaya merebut kekuasaan ekstra-konstitusional atau menghentikan pemilu baru.

Diskripsi yang lebih luas mengenai perlunya oposisi dalam sistem demokrasi berasumsi bahwa tiada sistem pemerintahan yang sempurna, walau demokrasinya berfungsi dengan baik. Karena 'pemerintahan selalu berubah', upaya 'reinventing government' tak semata sesuatu yang diidam-idamkan, namun dalam banyak pandangan, memang perlu dilakukan. Kritik yang konstruktif dan oposisi, menjadi bagian penting dalam demokrasi, baik dalam hal perlunya mekanisme yang memungkinkan oposisi terus mengakses posisi kepemimpinan, maupun dalam makna yang lebih radikal.
Oposisi sebagai pernyataan simpel ketidaksepakatan dengan para pemimpin dalam suatu sistem politik merupakan fenomena lama. Dulu, oposisi umumnya diungkapkan melalui gerakan menggulingkan atau menjatuhkan pemerintah dan, tentu saja, tak diakui sebagai pilihan politik yang sah oleh para penguasa. Kini, oposisi sebagai pilihan yang dapat diterima oleh sistem politik, dalam banyak hal merupakan fenomena yang relatif baru dalam sejarah dunia. Hal ini terutama diidentikkan dengan munculnya ide-ide demokrasi modern.

Oposisi demokratis modern mengimplikasikan sejumlah asumsi dasar. Secara umum, terdapat asumsi konsensus di antara seluruh sistem mengenai konstruksi fundamental sistem politik tersebut. Jika konsensus tersebut tiada, diasumsikan bahwa oposisi yang sah takkan mengarah pada upaya kekerasan dan militer untuk meruntuhkan sistem yang ada, dan bahwa setiap oposisi yang berkuasa takkan mengubah sistem sehingga tak dapat dipulihkan melalui cara-cara bukan-kekerasan. Oposisi yang sah mungkin bersifat radikal, liberal, atau konservatif, yang berupaya melakukan transformasi sistem, pengembangan sistem, atau pemeliharaan sistem dalam jangka panjang, namun mereka harus melakukannya dalam kerangka pengakuan hak-hak individu dan kelompok, serta kendali penuh rakyat dalam sistem politik.

Pragmatisme tentang 'democracy is a way of life' yang dipandang sebagai sesuatu yang masih terlalu prematur, telah kita bicarakan pada sesi sebelumnya, dan di episode selanjutnya, akan kita bincangkan tentang demokrasi, dan juga oposisi, dalam perspektif Islam, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Michael Huspek (Ed.), Oppositional Discourses and Democracies, 2010, Routledge
- John L. Esposito and John O. Voll, Islam and Democracy, 1996, Oxford University Press

Sabtu, 23 Maret 2024

Ramadan Mubarak (10)

"Seorang turis Indonesia sedang mengunjungi kawan lamanya yang bekerja di Wina dan membawanya ke Währinger Ostfriedhof. Tatkala sedang berjalan di pekuburan, ia mendengar Simfoni Ketiga diputar mundur. Setelah usai, Simfoni Kedua mulai dimainkan, juga mundur, dan kemudian Simfoni Pertama. Akan tetapi, ia tak dapat mendengarkan dengan baik An die Freude atau Ode to Joy-nya Schiller.
'Apaan tuh?' tanyanya pada sang rekan.
'Oh don't worry-lah, biasa, itu Beethoven,' jawab sang teman, 'doi lagi menggubah ulang simfoninya.'”

"Ketika sampai pada banyak persoalan tentang fakta, absolutisme model lama masih mengalahkan relativisme model baru," ucap Yasmin seraya memperhatikan bentangan karpet merah diiringi simfoni Marche en rondeau-nya Charpentier.
"Namun, kata Julian Baggini, jika menyangkut nilai-nilai, relativisme punya lebih banyak penganut sejati. Mengangkat tangan adalah respons yang dapat dimengerti jika kita yakin bahwa penilaian moral melibatkan fakta tentang benar dan salahnya suatu tindakan. Fakta ditetapkan melalui bukti dan observasi. Tiada fakta yang tak sesuai dengan kebenaran. Jalan menuju kebenaran bukanlah dengan mencari pandangan netral yang mustahil dan membawa kita keluar dari jaringan kepercayaan tertentu. Kekuasaan tak berbicara pada kebenaran; kebenaran semestinya bicara pada kekuasaan. Baggini menambahkan bahwa agar menjadi lebih cerdik, kita hendaknya menyadari betapa kurangnya pengetahuan kita. Bagi moralitas yang lebih baik, kita memerlukan ilmu yang lebih baik, ia perlu dipahami secara holistik.

Pada tahun 1908, A. O. Lovejoy mengambil esai William James tahun 1898 tentang 'Philosophical Conceptions and Practical Results' menandai pengukuhan pragmatisme sebagai doktrin yang lengkap.
Terma pragmatisme, pragmatik, dan pragmatis, umumnya digunakan untuk menunjukkan komitmen terhadap keberhasilan dalam urusan praktis, guna 'menuntaskan sesuatu'. Menurut Robert B. Talisse dan Scott F. Aikin, para pragmatis tak didorong oleh prinsip, melainkan oleh kehendak mencapai tujuan mereka. Oleh sebab itu, kaum pragmatis tak begitu tertarik pada abstraksi, idealisasi, hingar-bingarnya argumen, atau teori apa pun; mereka tak punya waktu melakukannya lantaran terpaku pada beban-beban praktis. Karenanya, seorang pragmatis adalah seorang bargainer, negosiator, pelaku, bukan seorang pencari kebenaran, orang yang kepo, atau pemikir. Maka, kita dapat mengatakan bahwa pragmatisme merupakan kebalikan dari filosofi.
Teori filosofiskah pragmatisme itu? Gak juga sih. Sulit menunjuk pada satu klaim filosofis yang dianut oleh seluruh penganut pragmatis. Ia juga tak terikat pada lingkungan budaya atau sejarah tertentu. Pragmatisme dalam hal yang menjadi perhatian kita, merupakan sebutan bagi sesuatu yang berbeda dengan filosofi, kata Talisse dan Aikin. Apakah pragmatisme merupakan aliran filsafat yang diorganisasikan berdasarkan satu doktrin sehingga kita dapat mengatakan bahwa, misalnya, Stoicisme itu sebuah haluan? Kagak. Kendati terdapat persamaan doktrinal dan saluran pengaruh di antara seluruh filsuf pragmatis, perbedaan di antara mereka membuat sulit melihatnya sebagai sebuah haluan.

Para filsuf yang menganut terma pragmatisme, tak setuju dengan persoalan filosofis yang sentral dan substantif. Mereka juga berbeda pendapat tentang apa itu pragmatisme. Ada yang mengatakan bahwa pragmatisme adalah tesis tentang makna, acuan, komunikasi, atau bahasa itu sendiri. Yang lain menyatakan bahwa pragmatisme merupakan usulan epistemologis, penjelasan tentang ilmu, keyakinan, pembenaran, penyelidikan, atau kebenaran. Beberapa orang berpendapat bahwa ia adalah perspektif metafisik, pandangan tentang realitas, alam, apa yang ada, apa yang harus kita katakan ada, atau apa yang harus kita katakan tentang apa yang menurut sains ada. Yang lain lagi menolak bahwa pragmatisme itu penjelasan filosofis tentang sesuatu yang khusus. Di antara para filsuf tersebut, ada yang mengatakan pragmatisme ialah metode dalam berfilosofi. Yang lain menyatakan bahwa ia merupakan sikap yang mungkin diambil seseorang terhadap masalah-masalah filosofis tradisional. Menurut sebagian orang, pragmatisme itu sikap yang diambil seseorang terhadap filosofi itu sendiri. Beberapa orang berpendapat bahwa pragmatisme adalah sejenis terapi intelektual, penangkal terhadap dorongan manusia yang terobsesi pada pertanyaan-pertanyaan tradisional tentang filosofi.
Mengingat semua ini, Talisse dan Aikin mufakat dengan Richard Rorty, yang mengamati bahwa pragmatisme ialah ‘sebuah kata yang samar-samar, ambigu, dan terlalu berlebihan’.

Mengetahui itu, hubungan antara yang mengetahui dan sebuah kebenaran. Pertanyaan tentang kebenaran berimplikasi pada pertanyaan tentang hakikat ilmu. Mengejar pandangan yang jernih tentang kebenaran bukan sekadar alat menuntut ilmu. Kebenaran itu sendiri secara intrinsik menarik dan patut dijelaskan. Keyakinan kita merupakan hal-hal yang kita pandang benar. Kebenaran merupakan terma kesuksesan. Maknanya, disaat kita berkeyakinan yang benar, kita telah melakukan sesuatu dengan benar, dan dikala kita berkeyakinan yang keliru, kita telah melenceng dari tujuan. Pemikiran yang mengatur lebih lanjut mengenai kebenaran ialah bahwa kebenaran tak hanya tak boleh saling bertentangan, melainkan pula seyogyanya bersatu dalam cara yang koheren. Kebenaran, sebagai sesuatu yang baik, tak dapat dipahami kecuali kebenaran itu diintegrasikan dalam hidup kita.
Pragmatisme merupakan jenis empirisme—pandangan bahwa segala ilmu bersumber dari pengalaman; selain itu, semua pragmatisme mendukung beberapa gaya naturalisme—pandangan bahwa dunia yang dikaji oleh sains empiris merupakan satu-satunya dunia yang ada. Pragmatisme juga berkaitan dengan tindakan. Kaum pragmatis berkepentingan menjadikan tindakan lebih berhasil. Kata Ingglisy 'pragmatic' telah ada sejak tahun 1500-an, sebuah kata yang dipinjam dari bahasa Perancis dan akhirnya berasal dari bahasa Yunani melalui bahasa Latin. Kata Yunani pragma, yang bermakna bisnis, perbuatan, atau tindakan, merupakan kata benda yang berasal dari kata kerja prassein, yang bermakna melakukan.

Charles Peirce, seorang polimat Amerika, merupakan orang pertama yang mengidentifikasi pragmatisme. Pragmatisme dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1870-an. Asal usulnya sering dikaitkan dengan filsuf Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey. Yang terakhir disebut, berpandangan bahwa pragmatisme mengharuskan ‘democracy is a way of life’. 'Cara hidup' seperti apa demokrasi itu?
Demokrasi Deweyan melewati karakterisasi sebagai berikut: Demokrasi Deweyan bersifat substantif karena menolak segala upaya memisahkan politik dan etika. Dewey berpendapat bahwa tatanan politik demokratis pada dasarnya tatanan moral, dan lebih jauh lagi, partisipasi demokratis merupakan unsur penting dari ‘cara hidup yang benar-benar manusiawi’. Dewey menolak gagasan bahwa partisipasi hanya terdiri dari pemungutan suara dan petisi demi kepentingan seseorang. Dengan demikian, Dewey berpendapat bahwa partisipasi demokratis pada dasarnya bersifat komunikatif, terdiri dari kesediaan warga negara turut-serta dalam aktivitas yang dengannya mereka dapat ‘meyakinkan dan diyakinkan dengan alasan’ dan menyadari ‘nilai-nilai yang dihargai bersama’. Dewey berpendapat bahwa proses komunikatif seperti itu, tak seperti bentuk perfeksionisme lainnya, yang berpendapat bahwa proyek pembentukan disposisi warga negara adalah tugas negara saja, perfeksionisme Dewey, seperti konsepsinya tentang demokrasi, lebih dalam; maknanya, dalam pandangan Deweyan, proyek perfeksionis merupakan kewajiban seluruh cara pergaulan manusia. Dewey berpendapat bahwa ‘Perjuangan bagi demokrasi harus dipertahankan di berbagai bidang seperti halnya aspek budaya: politik, ekonomi, internasional, pendidikan, sains dan seni, serta agama’. Ia melihat tugas demokrasi adalah ‘menjadikan politik, industri, pendidikan, dan kebudayaan kita secara umum sebagai pelayan dan perwujudan cita-cita demokrasi yang terus berkembang’. Karenanya, bagi Dewey, seluruh asosiasi sosial harus ditujukan pada realisasi visi khasnya tentang kemajuan umat manusia. Aspirasi ini ditemukan di seluruh korpus Dewey; dalam tulisannya mengenai politik, pendidikan, psikologi, agama, budaya, dan seni, kita diberitahu bahwa pertumbuhan merupakan puncak tujuan dan akhir yang tepat.

Lantas, tahukah kita apa gunanya manusia bertumbuh? Mengingat kondisi pengetahuan moral kita, belum ada seorang pun yang tahu konsep mana yang benar tentang pertumbuhan manusia. Talisse dan Aikin berpendapat bahwa negara yang memaksakan konsepsi yang keliru atau cacat mengenai pertumbuhan manusia kepada warganya, akan menimbulkan kerugian moral yang gawat bagi mereka. Proyek melembagakan ‘democracy is a way of life’ dengan merancang seluruh lembaga perkumpulan manusia sehingga dapat mendorong pertumbuhan merupakan hal yang terlalu prematur.
Pragmatisme memandang bahasa dan pemikiran sebagai alat memprediksi, memecahkan masalah, dan bertindak, bukan menggambarkan, mewakili, atau mencerminkan fakta. Penganut pragmatis berpendapat bahwa sebagian besar topik filosofis—seperti hakikat ilmu, bahasa, konsep, makna, keyakinan, dan sains—sebaiknya semata dilihat dari segi kegunaan praktis dan keberhasilannya. Pragmatisme tak melihat perbedaan mendasar antara dalil praktis dan teoritis, maupun perbedaan ontologis antara fakta dan nilai. Etika pragmatis secara umum bersifat humanis karena tak melihat ujian akhir moralitas melebihi apa yang penting bagi kita sebagai manusia.

Demokrasi sebagaimana yang kita kenal, merupakan sebuah upaya yang menginspirasi, namun selalu bermasalah, sebuah perjuangan yang sulit dan berkelanjutan tanpa hasil yang jelas, kata John Medearis. Ketika Anthony Trollope menulis Phineas Finn—novel politik Inggris tahun 1860-an, bercerita tentang reformasi pemungutan suara, pemungutan suara rahasia, wilayah kecurangan, dan hak penyewa Irlandia, serta kisah cinta Finn dengan wanita kaya, yang akan menjamin masa depan finansialnya—banyak masalah demokrasi berpusat pada pewaris radikal Chartisme yang menantang dominasi politik kelas borju dan kelas atas. Upaya-upaya ini cukup mengancam sehingga mendorong kaum Liberal dan Konservatif bersaing keras mendapatkan dukungan kelas pekerja.
Jika ambisi demokrasi merupakan pengelolaan lembaga-lembaga dan kekuatan-kekuatan yang membentuk kehidupan kita secara kolektif dan egaliter, setiap keadaan tersebut, mengandung elemen yang berlawanan, yaitu hilangnya kendali atau ketidakmampuan melaksanakannya. Bila mengatakan bahwa tiada kekuatan demokratisasi mungkin merupakan hal yang keliru. Berbagai gerakan, politisi, dan masyarakat umum telah berusaha mendapatkan kembali kendali demokratis terhadap keuangan, dan masyarakat dengan gelisah menetapkan batasan terhadap raksasa militer. Namun, demokrasi sepertinya merupakan perjuangan berkelanjutan melawan fenomena seperti ini, bukan kemenangan atas fenomena tersebut. Tak ada alasan untuk merasa kecewa, menarik-diri, atau melakukan penghematan dalam menghadapi permasalahan demokrasi ini. Jalur demokrasi, menurut pandangan ini, hanyalah upaya oposisi yang terus-menerus, tanpa harapan akan kemenangan yang transenden.
Visi politik seperti ini, yang menekankan perjuangan terus-menerus merebut kembali kekuatan-kekuatan sosial yang tak terkendali, dimana pun kita menemukannya—yang menekankan pada oposisi, konflik, dan ketegangan—mungkin bagi sebagian orang, seperti karakter Trollope, Jane Bunce, sebagai sebuah janji bahwa demokrasi takkan pernah menawarkan lebih dari 'roti kering dan ujaran tak pantas.' Di Phineas Finn, suami Bunce, seorang pekerja harian, anggota serikat pekerja, dan reformis, bertahan hidup dengan makanan di penjara selama seminggu usai ditangkap selama protes di luar Parlemen untuk pemungutan suara rahasia. Pengalaman ini juga merupakan inti dari perjuangan demokrasi.

Tindakan demokratis, kata Medearis, merupakan respons terus-menerus terhadap perang yang, tampaknya, tak dapat dijinakkan, birokrasi yang buruk, sistem kasta rasial, dan pasar yang tak terkendali. Hal ini masih terus berlangsung dengan tak nyaman bersama dengan institusi dan kekuatan yang tak dapat diandalkan, yang menolak dan membuat demokrasi berada dalam kondisi yang genting. Struktur dan kekuatan sosial semacam ini dianggap terasing. Hal-hal tersebut sangat menutupi kapasitas masyarakat agar bertindak, dan pada saat yang sama, memberikan sarana bagi sebagian orang, menindas yang lain. Pada saat yang sama, yang terpenting, kekuatan-kekuatan dan institusi-institusi ini, bukanlah kekuatan-kekuatan dan institusi-institusi eksternal, yang berhadapan dengan banyak orang dari luar, namun merupakan produk sampingan dari beragam aktivitas kolektif orang-orang tersebut. Mereka, dalam bahasa ilmu sosial tertentu, direproduksi melalui aktivitas-aktivitas ini. Karena aksi demokrasi terus-menerus berjuang mempertahankan kontrol egaliter atas dunia sosial yang terus-menerus direproduksi oleh aktivitas kita bersama—sebab institusi dan kekuatan yang terasing merupakan tantangan yang terus-menerus dan lebih lanjut diperbarui—demokrasi selalu bersifat oposisional.
Kata ‘oposisi’ digunakan sehari-hari untuk menjelaskan berbagai perkembangan; namun banyak maknanya yang belum dikaitkan secara sistematis dengan perbedaan di antara sistem politik dunia, kata Jean Blondel. Sementara itu, banyak analisis di berbagai negara yang mengkaji sifat oposisi politik dalam setiap kasus tertentu. Oposisi merupakan sebuah konsep yang ‘berketergantungan’. Maknanya, karakter oposisi terikat dengan karakter pemerintah. Dengan demikian, gagasan tentang oposisi bersifat parasit terhadap gagasan tentang pemerintahan, tentang aturan, tentang otoritas: tentu saja, keberadaan negara merupakan syarat yang diperlukan bagi keberadaan oposisi dan memang dapat ditambahkan bahwa pembedaan harus dibuat, antara negara-negara kuat dan lemah, antara negara-negara yang bisa dan negara-negara yang tidak bisa sepenuhnya melaksanakan keputusannya. Oleh karenanya, seseorang mungkin berhak menarik kesimpulan bahwa satu-satunya cara mengetahui karakter oposisi yang sebenarnya adalah dengan menilik terlebih dahulu pemerintahan, aturan, otoritas, atau negara.

Oposisi politik sangat bervariasi dalam kekuatan dan karakter, tak semata berada di tengah, melainkan terhadap rezim otoriter dan liberal. Dalam pemerintahan otoriter, pemerintah bisa bersikap brutal atau agak represif dan pada yang disebut terakhir, membiarkan beberapa kelompok dan bahkan partai menyatakan perbedaan pendapat (yang terbatas), hanya untuk melakukan aksi pembangkangan jika pertentangan tersebut melampaui batas yang dipandang 'dapat diterima'. Tingkat penindasan yang berbeda-beda dapat mengakibatkan sebagian besar oposisi dipaksa bersembunyi dan oposisi yang ditoleransi sebagian besar diwakili oleh kelompok-kelompok yang lemah. Di sisi lain, dalam politik liberal, institusi dan perpecahan sosial berdampak besar pada karakter oposisi: pada satu sisi, oposisi dapat mencerminkan keberadaan kelompok komunal, dimana partai hanya sekedar ‘epifenomena’ [efek sekunder]; di sisi lain, bila tak ada atau hampir tiada perpecahan komunal, dan perpecahan sosial bersifat lintas sektoral atau lemah, partai-partai cenderung kuat dan setidaknya beberapa kelompok penting cenderung bekerja sama dengan partai-partai tersebut.
Kekuatan oposisi bergantung pada kekompakannya. Dalam rezim otoriter, kekompakan cenderung rendah, kecuali dalam jangka waktu yang pendek, sebab manakala oposisi bersatu, rezim tersebut terancam runtuh. Lantaran oposisi cenderung tak kohesif, pembentukan oposisi, kemungkinan besar akan menimbulkan masalah besar dalam pembentukan institusi jika dan ketika sistem politik berpaling jauh dari otoritarianisme. Dalam politik liberal, oposisi politik cenderung bersifat kohesif bila hanya ada satu pusat pengambilan keputusan dan manakala institusi mendominasi sistem politik, bukan perpecahan sosial. Tak mengherankan jika pihak oposisi mendapat pengakuan penuh dalam situasi seperti ini, dan mereka dipandang berstatus yang hampir setara dengan pemerintah, yang dapat mereka tantang, dan bahkan, gantikan.
Kita teruskan lagi perbincangan kita pada episode berikutnya, bi 'idznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Robert B. Talisse & Scott F. Aikin, Pragmatism: A Guide for the Perplexed, 2008, Continuum International
- John Medearis, Why Democracy is Oppositional, 2015, Harvard University Press
- Jean Blondel, Political Opposition in the Contemporary World, Government and Opposition Journal, 1997, Vol. 3, Iss. 4, John Wiley and Sons