Pejabat di Indonesia kerap menyatakan bahwa "fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat." Benarkah demikian? Frasa "fundamental ekonomi Indonesia kuat" mengacu pada keyakinan bahwa indikator ekonomi utama negara—semisal pertumbuhan ekonomi, inflasi, cadangan devisa, dan neraca perdagangan—berada dalam kondisi baik dan memberikan landasan yang kokoh bagi stabilitas dan ketahanan ekonomi. Indonesia telah mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil, biasanya di atas 5% per tahun. Misalnya, pertumbuhan tercatat sebesar 5,05% pada tahun 2023 dan 4,95% pada Q3 tahun 2024.
Inflasi tetap stabil dan dalam kisaran target yang ditetapkan oleh pemerintah dan bank sentral. Misalnya, inflasi berada pada angka 3,05% pada Maret 2024, yang mencerminkan stabilitas harga.
Cadangan devisa Indonesia cukup besar, berkisar antara USD 140-150 miliar. Hal ini memberikan penyangga terhadap guncangan eksternal dan memperkuat posisi keuangan negara.
Benarkah? Dapatkah kita mempercayai data tersebut, atau haruskah kita menerimanya dengan skeptis? Bagaimanapun, tampaknya lembaga data di Indonesia punya bakat khusus mendefinisikan ulang statistik agar tampak lebih sesuai bagi pemerintah—terutama bagi Presiden. Seolah-olah mereka percaya bahwa sedikit matematika kreatif dapat mengubah fondasi yang goyah menjadi gedung pencakar langit yang kokoh!
Meskipun indikator-indikator ini menunjukkan fundamental yang kuat, tantangan tetap ada, semisal fluktuasi mata uang, ketergantungan pada ekspor komoditas, dan ketidakpastian ekonomi global (misalnya, ketegangan geopolitik atau permintaan yang melambat). Namun, para pembuat kebijakan sering menekankan "fundamental yang kuat" ini guna meyakinkan para investor dan masyarakat bahwa ekonomi Indonesia tangguh dan mampu menghadapi guncangan eksternal.
Beberapa faktor berpotensi membuat fundamental ekonomi Indonesia ambruk, yang berujung pada kemerosotan. Konflik geopolitik yang sedang berlangsung dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar global, yang mempengaruhi arus perdagangan dan investasi. Misalnya, ketegangan antara negara-negara ekonomi utama dapat mengganggu rantai pasokan dan menyebabkan peningkatan biaya bagi bisnis. Inflasi yang tinggi dan terus-menerus di negara-negara ekonomi utama dapat menyebabkan kebijakan moneter yang lebih ketat, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mengurangi permintaan ekspor Indonesia.
Faktor geopolitik dapat mempengaruhi fundamental ekonomi Indonesia secara berarti. Konflik yang sedang berlangsung, semisal perang Rusia-Ukraina, dapat menyebabkan gangguan di pasar global, terutama yang mempengaruhi harga komoditas. Indonesia, sebagai importir minyak dan gas yang cukup penting, mungkin menghadapi peningkatan biaya, yang mempengaruhi inflasi dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Ketegangan di kawasan Asia-Pasifik, termasuk perselisihan di Laut Cina Selatan, dapat memunculkan ketidakpastian yang mempengaruhi rute perdagangan dan kepercayaan investor. Hal ini dapat menyebabkan pelarian modal atau berkurangnya investasi langsung asing (FDI) di Indonesia.
Sanksi ekonomi yang dijatuhkan pada negara-negara dapat menyebabkan pergeseran dinamika perdagangan. Misalnya, sanksi terhadap Rusia telah mempengaruhi harga energi global, yang pada gilirannya memengaruhi biaya impor dan tingkat inflasi Indonesia.
Perubahan dalam perjanjian atau tarif perdagangan internasional dapat mengubah daya saing ekspor Indonesia. Jika mitra dagang utama mengenakan tarif atau hambatan, hal itu dapat berdampak negatif pada sektor-sektor yang digerakkan oleh ekspor Indonesia.
Tindakan oleh bank sentral di negara-negara ekonomi utama, khususnya kenaikan suku bunga Federal Reserve AS, dapat menyebabkan peningkatan biaya pinjaman secara global. Situasi ini dapat mengakibatkan arus keluar modal dari pasar berkembang seperti Indonesia, yang menyebabkan depresiasi mata uang dan ketidakstabilan ekonomi.
Ketidakpastian geopolitik dapat menyebabkan volatilitas (kecenderungan mudah berubah) di pasar keuangan, yang mempengaruhi harga saham dan sentimen investor. Penurunan kepercayaan pasar dapat menyebabkan berkurangnya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
Sebagai pengimpor minyak, fluktuasi harga minyak global akibat ketegangan geopolitik dapat berdampak langsung pada tingkat inflasi di Indonesia. Kenaikan harga energi dapat meningkatkan biaya transportasi dan produksi, yang mempengaruhi harga konsumen dan kesehatan ekonomi secara keseluruhan.
Peristiwa geopolitik juga dapat mempengaruhi harga komoditas utama lainnya semisal logam dan produk pertanian, yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Ketegangan geopolitik dapat menyebabkan keresahan sosial atau ketidakstabilan politik di Indonesia jika kondisi ekonomi memburuk (misalnya, kenaikan harga). Ketidakstabilan ini dapat semakin menghalangi investasi dan mengganggu kegiatan ekonomi.
Jadi, faktor geopolitik memainkan peran penting dalam membentuk lanskap ekonomi Indonesia. Pemerintah harus tetap waspada dan tanggap terhadap tekanan eksternal ini untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Penguatan dolar AS (USD) dapat berdampak sangat penting terhadap perekonomian Indonesia. Tatkala USD menguat, nilai rupiah Indonesia (IDR) biasanya melemah terhadapnya. Hal ini mengakibatkan biaya yang lebih tinggi terhadap barang impor, yang dihargakan dalam USD. Indonesia sangat bergantung pada impor komoditas penting semisal minyak, mesin, dan barang konsumsi. Akibatnya, impor yang lebih mahal dapat menyebabkan inflasi karena bisnis membebankan biaya ini kepada konsumen.
Kenaikan harga impor karena dolar yang lebih kuat dapat berkontribusi terhadap inflasi keseluruhan di Indonesia. Harga makanan dan bahan baku impor yang lebih tinggi, dapat membebani anggaran rumah tangga dan mengurangi daya beli konsumen, yang berpotensi menyebabkan penurunan konsumsi domestik.
Dolar yang lebih kuat membuat ekspor Indonesia lebih mahal bagi pembeli asing, yang berpotensi mengurangi permintaan barang Indonesia di pasar internasional. Hal ini dapat berdampak negatif pada neraca perdagangan, karena ekspor menurun sementara biaya impor meningkat, yang menyebabkan defisit transaksi berjalan semakin memburuk.
Banyak perusahaan dan pemerintah Indonesia punya utang luar negeri dalam mata uang USD. Saat dolar menguat, biaya untuk membayar utang ini meningkat dalam mata uang IDR, sehingga memberikan tekanan keuangan tambahan pada peminjam dan dapat menyebabkan risiko gagal bayar yang lebih tinggi. Penguatan USD dapat mempengaruhi dinamika investasi asing. Investor dapat mencari pengembalian yang lebih tinggi dalam aset berdenominasi dolar daripada berinvestasi di pasar negara berkembang seperti Indonesia, yang menyebabkan arus keluar modal. Hal ini dapat semakin mendepresiasi rupiah dan meningkatkan volatilitas ekonomi. Sektor-sektor tertentu, terutama yang bergantung pada bahan baku impor (semisal manufaktur dan otomotif), dapat mengalami peningkatan biaya produksi karena dolar yang lebih kuat. Sebaliknya, sektor-sektor yang mengekspor komoditas, dapat memperoleh keuntungan dari peningkatan daya saing karena harga yang lebih rendah di pasar luar negeri.
Meningkatnya suku bunga dapat menghambat belanja konsumen dan investasi. Jika biaya pinjaman meningkat secara signifikan, hal itu dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas ekonomi di dalam negeri. Kurangnya konsistensi regulasi atau perubahan kebijakan yang tiba-tiba dapat menghalangi investasi asing. Investor mencari stabilitas dan prediktabilitas, dan persepsi risiko apa pun dapat menyebabkan pelarian modal atau berkurangnya arus masuk.
Perekonomian Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas. Fluktuasi harga komoditas global dapat berdampak signifikan terhadap pendapatan dan stabilitas ekonomi. Penurunan harga yang tajam dapat menyebabkan pendapatan ekspor yang lebih rendah dan defisit transaksi berjalan yang semakin melebar. Indonesia rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi, yang dapat mengganggu kegiatan ekonomi dan infrastruktur, yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang amat berarti.
Infrastruktur yang tak memadai dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan biaya bagi bisnis dan membatasi akses ke pasar. Investasi berkelanjutan dalam infrastruktur sangat penting dalam mempertahankan pertumbuhan. Investasi yang tak memadai dalam pendidikan dan pengembangan keterampilan dapat menyebabkan tenaga kerja tak cukup siap menghadapi tuntutan ekonomi modern, yang mempengaruhi produktivitas dan inovasi.
Meskipun fundamental ekonomi Indonesia saat ini dipandang kuat, risiko ini menyoroti perlunya tindakan proaktif agar mengurangi potensi kerentanan. Mengatasi tantangan ini melalui kerangka kebijakan yang baik dan investasi strategis akan sangat penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2025, Indonesia diperkirakan lesu dan belum mampu menggenjot perekonomian karena beberapa faktor utama yang mempengaruhi daya beli masyarakat.
Jumlah pemudik Lebaran tahun ini diprediksi hanya sekitar 146,48 juta orang, turun 24% dibanding tahun lalu yang mencapai sekitar 193,6 juta pemudik. Penurunan ini tak lazim karena jumlah pemudik biasanya bertambah setiap tahunnya.
Peredaran uang saat Lebaran diperkirakan hanya sekitar Rp137,975 triliun, turun dari Rp157,3 triliun pada tahun sebelumnya. Hal ini mencerminkan melemahnya aktivitas ekonomi pada masa Lebaran.
Kondisi ekonomi yang tidak stabil dan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor menyebabkan daya beli konsumen menurun. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) juga menunjukkan penurunan yang mengisyaratkan belanja konsumen lebih defensif.
Lembaga riset seperti CORE mencatat adanya anomali konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran, dengan tren deflasi yang mengindikasikan turunnya konsumsi masyarakat. Hal ini berdampak pada keputusan rumah tangga menunda atau membatalkan rencana bepergian. Kondisi tersebut menunjukkan daya beli masyarakat sangat rendah sehingga turut menyebabkan lesunya perekonomian pada hari raya Idul Fitri 2025. Daya beli masyarakat cenderung defensif pada Lebaran 2025 karena beberapa faktor yang saling terkait. Banyak keluarga menghadapi peningkatan pengeluaran untuk kebutuhan pokok seperti makanan, bahan bakar, dan transportasi. Tekanan keuangan ini memaksa individu memprioritaskan kebutuhan pokok daripada pengeluaran liburan, yang menyebabkan penurunan yang amat berarti dalam rencana perjalanan untuk Lebaran.
Indonesia mengalami deflasi terburuk dalam lebih dari dua dekade, dengan tingkat deflasi tercatat sebesar 0,09% tahun-ke-tahun pada Februari 2025. Kondisi ekonomi yang tak biasa ini menunjukkan permintaan konsumen yang lemah, yang selanjutnya mengurangi kepercayaan diri dalam berbelanja. Survei menunjukkan bahwa banyak konsumen menganggap peluang kerja terbatas, yang menyebabkan pendekatan hati-hati terhadap pengeluaran.
Konsumsi rumah tangga menjelang Idul Fitri sangat rendah. Lonjakan penjualan eceran yang diharapkan terjadi selama Ramadan tak terjadi tahun ini, dengan tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah rata-rata historis. Penurunan aktivitas konsumen berdampak pada berbagai sektor, termasuk ritel dan transportasi, yang biasanya mengalami peningkatan permintaan selama Idul Fitri. Bisnis menyesuaikan strategi mereka tetapi kemungkinan sulit untuk pulih dari berkurangnya pengeluaran.
Melemahnya kelas menengah, yang secara tradisional mendorong pertumbuhan ekonomi, berkontribusi terhadap penurunan konsumsi agregat secara keseluruhan. Disaat pendapatan yang dapat dibelanjakan menyusut, keluarga mengurangi pengeluaran diskresioner selama musim perayaan
Kombinasi dari meningkatnya biaya hidup, tekanan deflasi, menurunnya kepercayaan konsumen, dan tantangan sosial ekonomi menyebabkan perilaku pembelian defensif di antara masyarakat selama Lebaran 2025.
Anomali yang terjadi selama Lebaran 2025 menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia belum cukup kokoh. Laporan menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsumsi rumah tangga yang sangat berarti jelang Idulfitri, dengan banyak rumah tangga, terutama dari kelas menengah dan bawah, mengurangi pengeluaran mereka karena tekanan ekonomi. Center of Reform on Economics (CORE) menyoroti bahwa tiada tren peningkatan pengeluaran yang terlihat pada Ramadan dan Idulfitri tahun ini, yang tak lazim dalam periode ini.
Indonesia mengalami deflasi pada awal tahun 2025, yang tak biasa terjadi pada periode menjelang Idulfitri, ketika permintaan konsumen biasanya meningkat. Tingkat deflasi yang tercatat adalah 0,09% secara tahunan dan 0,48% secara bulanan pada bulan Februari 2025. Deflasi tersebut mengindikasikan lemahnya permintaan konsumen dan dapat menjadi sinyal masalah ekonomi yang mendasarinya.
Maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor berpengaruh negatif terhadap pendapatan yang dapat dibelanjakan, sehingga menyebabkan rumah tangga bersikap hati-hati dalam berbelanja. Banyak keluarga yang merasa tertekan secara finansial, yang selanjutnya memperburuk penurunan konsumsi.
Aktivitas ekonomi secara keseluruhan selama periode perayaan ini diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, dengan proyeksi yang menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dapat menurun sebagai akibat dari melemahnya keyakinan konsumen dan pengeluaran. Penurunan jumlah pemudik selama Idulfitri juga mencerminkan berkurangnya pendapatan yang dapat dibelanjakan untuk 'pengeluaran diskresioner' (uang yang dibelanjakan untuk barang dan aktivitas yang tidak penting, semisal hiburan, makan di luar, atau perjalanan, yang dapat seseorang pilih untuk dibelanjakan atau tak dibelanjakan setelah memenuhi kebutuhan dasar dan pengeluaran penting seseorang).
Tekanan ekonomi seperti penurunan pendapatan rumah tangga dan tren deflasi, perubahan perilaku konsumen, serta pengaruh eksternal dapat disebutkan sebagai faktor utama penyebab anomali konsumsi pada Lebaran 2025 di Indonesia. Situasi ekonomi tersebut telah menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berarti di sektor manufaktur, yang berdampak langsung pada pendapatan rumah tangga kelas menengah ke bawah. Hal ini mengakibatkan daya beli menurun dan pendekatan pengeluaran yang lebih hati-hati selama musim perayaan.
Indonesia mengalami deflasi pada awal tahun 2025, dengan laju deflasi yang tercatat sebesar -0,09% secara tahunan dan -0,48% secara bulanan pada bulan Februari. Tren yang tidak biasa ini menunjukkan permintaan konsumen yang lemah, karena biasanya, harga-harga naik menjelang Ramadhan karena peningkatan konsumsi.
Ada sinyal kuat bahwa rumah tangga kelas menengah dan bawah tengah mengekang pengeluaran mereka. Lonjakan belanja untuk kebutuhan Ramadan dan Idulfitri tahun ini tak terjadi, yang mencerminkan perubahan signifikan dalam perilaku konsumen. Indeks penjualan riil (IPR) menunjukkan penurunan sekitar 0,5% dari tahun ke tahun, terutama didorong oleh penurunan penjualan pada kategori makanan dan minuman. Kurangnya aktivitas konsumen ini semakin memperburuk perlambatan ekonomi.
Kendati terdapat beberapa tekanan deflasi, harga barang-barang penting seperti makanan telah mengalami kenaikan sejak akhir tahun 2023, yang semakin membebani anggaran rumah tangga dan membatasi pengeluaran diskresioner selama musim liburan. Faktor-faktor ini secara kolektif menggambarkan lanskap ekonomi yang mengkhawatirkan menjelang Lebaran 2025, yang menyoroti kerentanan dalam ekonomi Indonesia dan tantangan yang dihadapi oleh konsumen.
Anomali konsumsi yang terjadi pada Lebaran 2025 sesungguhnya dapat ditelusuri kembali ke berbagai kebijakan dan tindakan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya. Keputusan-keputusan di masa lalu dapat berkontribusi terhadap situasi ekonomi saat ini. Pemerintahan sebelumnya mungkin belum cukup mendiversifikasi ekonomi, sehingga menyebabkan ketergantungan yang berlebihan pada sektor-sektor tertentu, semisal manufaktur dan komoditas. Kurangnya diversifikasi ini dapat membuat ekonomi lebih rentan terhadap guncangan, seperti penurunan ekonomi global atau fluktuasi harga komoditas.
Kebijakan yang terkait dengan hak dan perlindungan tenaga kerja dapat mempengaruhi stabilitas ketenagakerjaan. Jika pemerintahan sebelumnya tak secara efektif menangani masalah pasar tenaga kerja, seperti keamanan kerja dan upah yang adil, hal ini dapat menyebabkan tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih tinggi selama penurunan ekonomi, yang berkontribusi pada penurunan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. UU Cipta Kerja (Omnibus Law) sesungguhnya dapat dipandang sebagai salah satu faktor kebijakan pasar tenaga kerja yang dapat turut menyumbang anomali yang terjadi selama Lebaran 2025. UU Cipta Kerja yang disahkan pada tahun 2020 bertujuan menyederhanakan regulasi, menarik investasi, dan menciptakan lapangan kerja di Indonesia. Namun, penerapannya menuai beragam reaksi dan implikasi bagi pasar tenaga kerja. Salah satu kritik utama terhadap UU Cipta Kerja ialah UU ini berpotensi merusak keamanan kerja bagi para pekerja. Dengan mempermudah perusahaan merekrut dan memecat karyawan, UU ini dapat berkontribusi pada tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terutama selama krisis ekonomi. Hal ini berimplikasi langsung pada pendapatan rumah tangga dan pengeluaran konsumen. UU ini memungkinkan pengaturan upah yang lebih fleksibel dan mengurangi perlindungan upah minimum di sektor-sektor tertentu. Meskipun dimaksudkan menarik investasi asing, UU ini dapat menyebabkan pendapatan pekerja menjadi lebih rendah, yang berdampak pada daya beli dan kemampuan mereka untuk berbelanja selama masa perayaan seperti Lebaran. UU Cipta Kerja dianggap mengurangi perlindungan bagi pekerja, yang dapat menyebabkan situasi ketenagakerjaan yang lebih tak menentu. Seiring berkurangnya jaminan kerja, pekerja akan lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka, menabung lebih banyak untuk mengantisipasi potensi kehilangan pekerjaan.
Ketidakpastian seputar keamanan kerja dan stabilitas pendapatan dapat menyebabkan penurunan keyakinan konsumen. Tatkala rumah tangga merasa tak aman tentang masa depan keuangan mereka, mereka cenderung takkan membelanjakan uang untuk barang-barang yang tak penting selama musim perayaan seperti Lebaran. Stabilitas ekonomi secara keseluruhan dipengaruhi oleh kondisi pasar tenaga kerja. Pengangguran atau setengah pengangguran yang tinggi dapat menyebabkan berkurangnya permintaan agregat, yang mengakibatkan tingkat konsumsi yang lebih rendah selama periode-periode penting.
Jadi, UU Cipta Kerja memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan pasar tenaga kerja yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi dan perilaku konsumen. Ketentuannya mengenai keamanan kerja dan fleksibilitas upah telah berkontribusi terhadap anomali yang terlihat selama Lebaran 2025 dengan mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan keyakinan konsumen. Mengatasi tantangan ini akan memerlukan pertimbangan yang cermat terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang akan datang.
Keputusan mengenai belanja publik dan investasi dalam infrastruktur dan program sosial dapat berefek jangka panjang pada pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintahan sebelumnya tak memprioritaskan investasi di bidang-bidang penting semisal pendidikan, perawatan kesehatan, dan infrastruktur, hal ini dapat menghambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan kepercayaan konsumen. Pengelolaan laju inflasi oleh pemerintahan sebelumnya juga dapat berperan. Jika inflasi tak dikendalikan secara memadai, inflasi dapat menyebabkan kenaikan harga barang-barang penting, yang selanjutnya membebani anggaran rumah tangga dan membatasi pendapatan yang dapat dibelanjakan.
Efektivitas jaring pengaman sosial yang ditetapkan oleh pemerintahan sebelumnya dapat mempengaruhi seberapa baik rumah tangga mengatasi tantangan ekonomi. Jika program bantuan sosial kekurangan dana atau dirancang dengan buruk, keluarga akan lebih kesulitan selama masa ekonomi sulit, yang memengaruhi kemampuan mereka untuk berbelanja selama musim perayaan seperti Idul Fitri.
Sementara program jaring pengaman sosial di bawah pemerintahan sebelumnya bertujuan mengatasi masalah ekonomi yang mendesak, pelaksanaannya dipandang oleh sebagian orang bermotif politik. Efektivitas inisiatif ini dalam benar-benar meningkatkan kesejahteraan penduduk masih menjadi topik perdebatan. Untuk pemerintahan mendatang, penting agar memastikan bahwa jaring pengaman sosial menjadi bagian dari strategi ekonomi yang lebih luas dan lebih berkelanjutan, bukan sekadar alat untuk keuntungan politik.
Program jaring pengaman sosial, semisal Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, telah dilaksanakan sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan yang lebih luas. Para kritikus berpendapat bahwa program-program ini secara strategis digunakan untuk meningkatkan dukungan politik, terutama menjelang pemilihan umum. Waktu dan promosi inisiatif ini kerapkali bertepatan dengan siklus pemilihan umum, yang mengarah pada persepsi bahwa inisiatif ini lebih bertujuan untuk mendapatkan suara daripada mengatasi masalah sistemik.
Efektivitas dan jangkauan program ini terkadang dipertanyakan. Meskipun bertujuan memberikan bantuan kepada keluarga berpenghasilan rendah, ada laporan tentang inefisiensi, korupsi, dan salah urus. Masalah-masalah seperti ini dapat merusak kepercayaan publik dan menimbulkan skeptisisme terhadap niat pemerintah.
Meskipun program-program tersebut mungkin telah memberikan bantuan jangka pendek, masih ada pertanyaan tentang keberlanjutan jangka panjangnya dan dampaknya terhadap pengurangan kemiskinan. Para kritikus berpendapat bahwa tanpa disertai reformasi struktural di bidang-bidang seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan ketenagakerjaan, jaring pengaman ini takkan mungkin mengarah pada peningkatan yang berarti dalam standar hidup.
Kendati tantangan ekonomi saat ini dipengaruhi oleh interaksi faktor yang kompleks, termasuk kondisi ekonomi global dan perkembangan terkini, jelas bahwa keputusan yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya telah memberikan dampak negatif yang bertahan lama pada ketahanan ekonomi Indonesia. Mengatasi masalah mendasar ini akan sangat penting dalam meningkatkan kepercayaan konsumen dan meningkatkan stabilitas ekonomi secara keseluruhan di masa mendatang.