RUU KUHAP merupakan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia yang bertujuan merevisi dan memperbarui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang telah ada sejak tahun 1981. RUU ini bertujuan memodernisasi kerangka hukum yang mengatur penyelidikan, penuntutan, dan persidangan pidana agar lebih mencerminkan realitas sosial saat ini dan sejalan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan dan akan mulai berlaku pada tahun 2026.
Salah satu tujuan utama RUU KUHAP ialah menciptakan sistem peradilan pidana berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam proses pidana. RUU ini memperkenalkan beberapa perubahan penting, semisal menekankan pendekatan keadilan restoratif, yang berfokus pada perbaikan kerugian dan rekonsiliasi para pihak daripada hanya menghukum pelaku. RUU ini juga merevisi persyaratan yang memungkinkan pihak berwenang melakukan penangkapan dan penahanan, dengan mensyaratkan setidaknya dua alat bukti sebelum tindakan tersebut dapat diambil. Namun, ketentuan ini dikritik karena kurang jelasnya kualitas dan relevansi alat bukti.
RUU KUHAP juga mendefinisikan ulang peran advokat hukum dan membatasi bantuan hukum cuma-cuma hanya kepada advokat berlisensi, yang menimbulkan kekhawatiran karena undang-undang yang ada memperbolehkan badan lain seperti lembaga bantuan hukum dan paralegal untuk memberikan dukungan tersebut. Lebih jauh, rancangan undang-undang tersebut memperkenalkan standar pembuktian ganda: "alat bukti yang jelas dan meyakinkan" untuk menghukum seseorang dan "alat bukti yang cukup" untuk tindakan prosedural seperti penangkapan dan dakwaan. Namun, definisi yang samar tentang "alat bukti yang cukup" yang hanya berdasarkan kuantitas alat bukti daripada kualitasnya telah menjadi pokok perdebatan.
Aspek penting lain dari rancangan undang-undang tersebut adalah pengakuan hak-hak korban, mendefinisikan korban secara luas untuk mencakup mereka yang menderita kerugian fisik, psikologis, atau ekonomi akibat tindakan pidana, dan memberi mereka hak-hak khusus selama proses pidana.
Meskipun ada reformasi ini, RUU KUHAP telah menuai kritik karena berpotensi melemahkan upaya antikorupsi dengan mencabut kewenangan penyidikan dari lembaga tertentu dan memberlakukan persyaratan penahanan yang lebih ketat, yang dikhawatirkan sebagian pihak dapat menghambat penegakan hukum yang efektif. Kritikus juga berpendapat bahwa rancangan undang-undang tersebut dikembangkan terlalu tergesa-gesa dan tanpa koordinasi yang memadai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, sehingga menimbulkan inkonsistensi antara hukum pidana substantif dan prosedural.
RUU KUHAP di Indonesia menimbulkan pro dan kontra yang mencerminkan perdebatan kompleks tentang dampaknya terhadap sistem peradilan pidana. Di sisi positif, para pendukungnya berpendapat bahwa RUU ini memperkenalkan reformasi penting yang bertujuan membuat proses peradilan pidana menjadi lebih efektif dan efisien. Misalnya, RUU ini mengatur mekanisme plea bargaining (bentuk negosiasi antara penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukumnya, yang bertujuan mencapai kesepakatan tentang hukuman yang akan dijatuhkan jika terdakwa mengakui kesalahannya) yang dapat membantu penyelesaian perkara lebih cepat dan mengurangi penumpukan kasus di pengadilan, sehingga meringankan beban sistem peradilan. RUU ini juga memuat elemen progresif seperti pemasangan CCTV di tempat penahanan, peningkatan hak kelompok rentan, penguatan peran advokat pembela, perbaikan kondisi tahanan, serta ketentuan baru mengenai keadilan restoratif, yang kesemuanya berpotensi meningkatkan keadilan dan transparansi dalam proses pidana.
Namun demikian, RUU KUHAP juga menghadapi kritik yang amat berarti. Kelompok masyarakat sipil dan ahli hukum memperingatkan bahwa rancangan ini dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum karena kurangnya perlindungan yang memadai terhadap penangkapan sewenang-wenang, kekerasan polisi, dan penahanan yang salah—masalah yang masih sering terjadi di sistem peradilan pidana Indonesia. Kritik juga diarahkan pada proses penyusunan RUU yang dianggap kurang transparan dan minim partisipasi publik, sehingga menimbulkan keraguan atas legitimasi dan inklusivitas reformasi tersebut. Ada kekhawatiran bahwa beberapa ketentuan dapat mengancam kebebasan pers, misalnya dengan mewajibkan izin dari ketua pengadilan untuk menyiarkan persidangan, yang berpotensi mengurangi transparansi dan pengawasan publik.
Selain itu, beberapa pihak berpendapat bahwa RUU ini belum mampu mengatasi masalah mendasar dalam sistem saat ini, semisal akuntabilitas peradilan dan perlindungan hak warga selama proses penyidikan dan penahanan. Regulasi yang kurang jelas mengenai sidang elektronik atau daring serta pedoman yang tak memadai tentang kondisi penahanan, juga menjadi sorotan. Para aktivis hak asasi manusia memperingatkan bahwa jika disahkan tanpa revisi substansial, KUHAP baru ini justru berisiko memperburuk pelanggaran HAM yang sudah ada, bukan memperbaikinya. Mereka mendesak agar DPR menunda pengesahan, memperbaiki RUU melalui konsultasi yang lebih luas dengan berbagai pemangku kepentingan, dan memastikan bahwa undang-undang tersebut menjunjung tinggi proses hukum yang adil serta standar hak asasi manusia.
Kritik utama terhadap RUU KUHAP berpusat pada ketidakmampuannya dalam melindungi hak asasi manusia secara memadai dan memastikan pengawasan peradilan yang efektif. Salah satu masalah paling serius ialah bahwa rancangan tersebut tak memerlukan otorisasi peradilan sebelumnya untuk penangkapan, yang merupakan perlindungan penting terhadap penahanan sewenang-wenang. Sebaliknya, penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah pengadilan kecuali dalam keadaan yang tidak jelas dan dapat ditafsirkan secara luas, sehingga meningkatkan risiko penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, rancangan tersebut memungkinkan penangkapan tanpa batas waktu yang jelas dalam kondisi tertentu, yang selanjutnya membuka pintu bagi penegakan hukum yang sewenang-wenang.
Para kritikus juga menyoroti bahwa rancangan tersebut tidak memiliki standar yang jelas dan objektif bagi tindakan pemaksaan seperti penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Rancangan tersebut memperluas alasan penahanan dari tiga menjadi sembilan, termasuk alasan yang tak jelas semisal memberikan informasi palsu atau menghalangi penyelidikan, yang dapat disalahgunakan untuk menahan tersangka secara tidak adil, misalnya, hanya karena menjalankan hak mereka untuk mendapatkan penasihat hukum. Rancangan tersebut tidak cukup mengatur penggunaan bukti atau mengklarifikasi standar pembuktian, yang merusak keadilan dalam proses peradilan.
Kekhawatiran utama lainnya ialah regulasi yang tak memadai mengenai mekanisme pengawasan peradilan. Rancangan undang-undang tersebut membatasi peninjauan kembali peradilan terutama pada proses praperadilan, sehingga korban dan tersangka tidak memiliki sarana yang efektif untuk menentang penundaan yang tidak wajar atau tindakan melawan hukum oleh penyidik. Mekanisme pengaduan internal dalam badan penyidik lemah dan tidak menjamin tindak lanjut yang tepat waktu atau bermakna.
Pencantuman ketentuan dari peraturan internal kepolisian ke dalam rancangan undang-undang tersebut, yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, berisiko melegitimasi praktik penyidikan yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Rancangan undang-undang tersebut juga gagal menjamin pelaksanaan hak yang efektif oleh tersangka, saksi, dan korban, dan tidak menetapkan sanksi atas pelanggaran hak-hak tersebut selama proses hukum.
Lebih jauh, proses penyusunannya sendiri dipertanyakan lantaran kurangnya transparansi dan partisipasi publik yang bermakna, sehingga menimbulkan keraguan tentang legitimasi dan inklusivitas perbaikan tersebut. Kelompok masyarakat sipil memperingatkan bahwa jika disahkan dalam bentuknya saat ini, RUU KUHAP dapat memperparah masalah yang ada dalam sistem peradilan pidana Indonesia, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, alih-alih menyelesaikannya. Perubahan dalam rancangan KUHAP baru secara umum bertujuan meningkatkan perlindungan hak asasi manusia dengan menanamkan prinsip proses hukum yang adil, memperkuat bantuan hukum, melindungi korban, dan mencegah penyalahgunaan selama penyidikan. Namun, efektivitas perbaikan ini sangat bergantung pada bagaimana undang-undang tersebut diimplementasikan dan apakah revisi lebih lanjut dapat mengatasi kekurangan serta kekhawatiran yang ada.
Terdapat kritik yang menyatakan bahwa rancangan ini masih memiliki kekurangan dan potensi risiko terhadap hak asasi manusia. Kekhawatiran tersebut meliputi standar bukti dan perlindungan prosedural yang belum jelas, risiko penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta mekanisme pengawasan yudisial dan akuntabilitas yang belum memadai. Beberapa aktivis dan akademisi memperingatkan bahwa tanpa revisi yang cermat dan partisipasi publik yang lebih luas, KUHAP baru mungkin tak sepenuhnya mampu mencegah pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini terjadi di bawah sistem lama.
Rancangan ini tak menyediakan mekanisme atau forum yang memadai bagi korban, tersangka, atau masyarakat untuk mengajukan keberatan atau pengaduan atas tindakan aparat penegak hukum yang tidak sah atau berlebihan. Lembaga praperadilan yang ada saat ini, yang merupakan satu-satunya badan yudisial yang mengawasi sebagian aspek penyidikan, dipertanyakan karena bersifat pasif, kapasitasnya terbatas, dan kurang efektif dalam melindungi hak individu pada tahap awal proses pidana.
Ketiadaan lembaga pengawas independen dan kredibel yang didedikasikan untuk memantau seluruh proses peradilan pidana—termasuk penyidik, penuntut umum, dan hakim—menimbulkan kekhawatiran tentang akuntabilitas dan transparansi. Mekanisme pengawasan internal di dalam lembaga penegak hukum juga dipandang lemah dan tak cukup untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Rancangan KUHAP baru dalam memastikan keadilan bagi semua berfokus pada beberapa kekurangan penting. Para pengkritik berpendapat bahwa rancangan tersebut keliru memahami dan keliru menerapkan konsep keadilan restoratif dengan menyamakan keadilan restoratif terutama dengan mekanisme diversifikasi, yang diperlakukan sebagai cara untuk menghentikan perkara di luar pengadilan, bukan sebagai pendekatan komprehensif yang menyeimbangkan pemulihan korban dengan pertanggungjawaban pelaku. Hal ini menyebabkan ketentuan bermasalah yang memberikan kewenangan luas kepada penyidik polisi untuk menangguhkan penuntutan selama penyidikan tanpa pengawasan yang memadai, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi, potensi penyalahgunaan, dan intimidasi terhadap korban agar menyelesaikan perkara secara informal.
Selain itu, rancangan ini tak mampu menetapkan mekanisme akuntabilitas yang jelas bagi aparat penegak hukum yang mengabaikan atau menangani laporan kejahatan dan pengaduan korban secara tidak tepat—masalah yang sangat krusial terutama dalam kasus kekerasan seksual. Meskipun rancangan ini mengakui hak-hak korban, tidak ada penjelasan yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan hak-hak tersebut terpenuhi, sehingga berisiko terjadinya saling lempar tanggung jawab tanpa penegakan yang efektif.
Pemulihan atau restitusi bagi korban juga diatur secara tak memadai. Rancangan ini memuat ketentuan yang dapat membuat korban tidak memperoleh kompensasi yang layak jika pelaku tak memiliki aset yang cukup, sehingga melemahkan tujuan pemulihan kerugian korban. Hak-hak kelompok rentan memang diakui, tetapi rancangan ini tidak menyediakan mekanisme operasional yang jelas atau penanggung jawab yang spesifik agar hak-hak tersebut dapat diwujudkan secara nyata.
Singkatnya, kritik utama menekankan bahwa rancangan KUHAP baru tidak cukup menjamin keadilan bagi semua karena salah tafsir terhadap keadilan restoratif, kurangnya transparansi dan akuntabilitas, kegagalan melindungi korban dan kelompok rentan secara konkret, pengaturan restitusi yang tidak memadai, serta risiko mengurangi keadilan prosedural akibat reformasi yang terburu-buru dan tanggung jawab yang tidak jelas. Masalah-masalah ini menimbulkan keraguan serius tentang kemampuan rancangan tersebut untuk mewujudkan keadilan yang adil dan efektif dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Jika rancangan KUHAP baru disahkan apa adanya, dapat berdampak negatif terhadap iklim bisnis dan investasi di Indonesia dengan meningkatkan ketidakpastian hukum dan melemahkan perlindungan hak-hak yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Kelompok masyarakat sipil dan para ahli hukum memperingatkan bahwa rancangan tersebut memberikan kewenangan yang lebih luas kepada aparat penegak hukum tanpa pengawasan yang memadai, yang berpotensi menyebabkan penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Situasi seperti ini menciptakan lingkungan hukum yang tak dapat diprediksi, sehingga menghalangi investor yang mengutamakan kepastian hukum dan transparansi sebelum menanamkan modal.
Sebagai contoh, laporan-laporan menunjukkan bagaimana tindakan hukum yang tak terkendali dan penyalahgunaan oleh polisi—semisal pemaksaan atau pemerasan—sudah pernah menghambat kreativitas dan kemajuan ekonomi dalam beberapa kasus. Ketika pelaku usaha atau individu takut terhadap penegakan hukum yang sewenang-wenang atau tak adanya perlindungan hukum yang jelas, mereka cenderung enggan berinovasi atau berinvestasi, yang pada akhirnya memperlambat perkembangan ekonomi. Selain itu, perlindungan hukum yang lemah dapat memicu korupsi dan perilaku mencari rente, yang semakin mengurangi kepercayaan investor.
Prospek ekonomi Indonesia pada tahun 2025 menghadapi tantangan semisal ketegangan perdagangan global dan fragmentasi kebijakan domestik, sehingga kerangka hukum yang stabil dan transparan menjadi sangat penting untuk menarik dan mempertahankan investasi. Jika revisi KUHAP tak bisa mengatasi masalah tatakelola dan supremasi hukum secara memadai, berisiko memperburuk kekhawatiran yang sudah ada terkait iklim investasi di Indonesia.
Rancangan KUHAP baru menimbulkan kekhawatiran dapat berdampak negatif terhadap investasi asing di Indonesia. Para pengkritik berpendapat bahwa beberapa ketentuan dalam rancangan ini dipandang kurang mendukung kebebasan berekspresi serta standar lingkungan, sosial, dan tatakelola (expression and environmental, social, and governance, ESG) yang menjadi prioritas banyak investor asing dalam kriteria investasi mereka. Persepsi ini dapat membuat perusahaan asing yang sangat mengutamakan hak asasi manusia dan tanggungjawab korporasi menjadi enggan berinvestasi di Indonesia. Selain itu, beberapa pemerintah asing, semisal Amerika Serikat, memandang aspek-aspek tertentu dari KUHAP baru sebagai potensi ancaman terhadap perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara mereka yang tinggal atau bekerja di Indonesia, yang semakin mempersulit hubungan investasi.
Lebih jauh, KUHAP baru juga memuat ketentuan yang dapat mengkriminalisasi badan usaha itu sendiri, bukan hanya individu, yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha. Risiko semacam ini dapat membuat investor lebih berhati-hati karena khawatir akan kemungkinan terkena tindakan hukum atau penegakan hukum yang tak terduga.
Meskipun Indonesia terus mengejar target investasi yang ambisius dan melakukan reformasi untuk mempermudah masuknya bisnis serta memperbaiki iklim investasi, kekhawatiran terkait dampak KUHAP baru terhadap kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia berpotensi melemahkan kepercayaan investor. Mengingat investasi asing langsung (FDI) sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, persepsi bahwa lingkungan hukum tak stabil atau membatasi dapat memperlambat masuknya modal asing.
Jika rancangan KUHAP baru disahkan tanpa mengatasi kekhawatiran tersebut, dapat menimbulkan risiko hukum dan reputasi yang mendorong investor asing enggan berinvestasi, sehingga mempengaruhi kemampuan Indonesia dalam menarik dan mempertahankan investasi asing yang krusial bagi pembangunan ekonominya.
RUU KUHAP baru berpotensi memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap iklim bisnis di Indonesia dengan meningkatkan ketidakpastian hukum dan melemahkan perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Menurut koalisi masyarakat sipil dan para ahli hukum, rancangan ini memberikan kewenangan diskresioner yang luas kepada polisi dan jaksa tanpa pengawasan yang memadai, yang dapat menyebabkan penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, dan korupsi. Kondisi seperti ini menciptakan lingkungan hukum yang tak dapat diprediksi, sehingga menghalangi investor domestik maupun asing yang mengutamakan kepastian hukum dan transparansi.
RUU KUHAP baru mempengaruhi kepastian hukum bagi dunia usaha di Indonesia dalam beberapa aspek penting. Pertama, rancangan ini memperkenalkan ketentuan yang lebih jelas mengenai tanggungjawab pidana korporasi, yaitu menempatkan perusahaan bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh eksekutif, karyawan, atau pihak lain yang bertindak atas nama perusahaan. Perkembangan ini sejalan dengan standar internasional dan meningkatkan kejelasan hukum dengan secara eksplisit mendefinisikan kapan dan bagaimana perusahaan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait cakupan tanggung jawab dan potensi peningkatan risiko hukum bagi perusahaan, terutama jika penegakan hukumnya tidak konsisten.
Kedua, KUHAP baru mengakomodasi konsep “living law” (hukum adat) bersamaan dengan hukum formal yang tertulis, yang dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai norma hukum mana yang berlaku dalam kasus tertentu. Meskipun hal ini bertujuan mencerminkan keberagaman budaya hukum di Indonesia dan mendorong pluralisme hukum, hal ini akan mempersulit prediktabilitas hukum bagi pelaku usaha yang kurang familiar dengan praktik adat setempat.
Ketiga, KUHAP baru menggantikan KUHAP lama yang masih menggunakan kode pidana era kolonial dengan kerangka hukum yang lebih modern dan disesuaikan dengan realitas sosial dan ekonomi kontemporer. Modernisasi ini diharapkan dapat memperbaiki lingkungan hukum secara keseluruhan, tetapi masa transisi hingga penerapan penuh pada tahun 2026 mungkin menimbulkan ketidakpastian sementara saat pelaku usaha dan praktisi hukum menyesuaikan diri dengan aturan baru.
Terakhir, ketentuan dalam rancangan mengenai sanksi bagi korporasi—termasuk denda, pencabutan izin, penghentian kegiatan usaha, hingga likuidasi—memperkenalkan potensi hukuman yang penting, yang harus dikelola dengan hati-hati oleh perusahaan. Kejelasan mengenai sanksi ini dapat meningkatkan kepastian hukum dengan menetapkan konsekuensi secara spesifik, tetapi tingkat keparahan dan variasi hukuman juga dapat menambah beban kepatuhan dan risiko hukum.
Kasus-kasus tindakan hukum sewenang-wenang, seperti intimidasi terhadap seniman atau pelaku usaha atas dugaan pelanggaran, telah menunjukkan bagaimana penegakan hukum yang tak terkendali dapat menghambat kreativitas dan kemajuan ekonomi. Hal ini merusak kepercayaan investor dan menghambat inovasi, yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, perlindungan hukum yang lemah dapat mendorong korupsi dan perilaku mencari rente, yang semakin mengurangi minat investasi.
Mengingat tantangan ekonomi Indonesia pada tahun 2025, termasuk ketegangan perdagangan global dan fragmentasi kebijakan domestik, kerangka hukum yang stabil dan transparan sangat penting untuk menarik dan mempertahankan investasi. Jika revisi KUHAP tak mampu mengatasi masalah tatakelola dan hak asasi manusia secara memadai, akan memperburuk iklim investasi dengan memunculkan risiko bisnis dan ketidakpastian hukum.
Singkatnya, pengesahan rancangan KUHAP tanpa perbaikan substansial dapat merugikan lingkungan bisnis di Indonesia dengan meningkatkan risiko hukum, memungkinkan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum, dan mengurangi kepercayaan investor, sehingga menghambat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.