Waw, sebuah pencapaian yang luar biasa! Konten video "Vivivavi" tentang "Hilirisasi" berhasil melanggar segala hukum matematika dan logika dengan mendapatkan jumlah like yang lebih banyak daripada jumlah viewer sebenarnya. Sungguh, puncak kesuksesan digital—siapa sih yang butuh keterlibatan sungguhan kalau memang bisa beli tepuk-tangan? Memang menarik melihat bagaimana keajaiban buzzer upahan mengubah penonton yang gaib jadi penggemar antusias. Mengapa repot-repot dengan hal-hal seperti minat asli atau konten bermakna kalau kita bisa sekadar membesar-besarkan angka dan memunculkan ilusi popularitas? Lagian, di era media sosial, persepsi itu realitas—walau realitas itu cuma setipis tombol "like" siluman.
Kita hanya bisa mengagumi efisiensinya: ada klik di sini, ada jempol bayaran di sana, dan sim salabim! Sensasi viral instan tanpa beban real viewer. Bagaikan bertepuk tangan bagi sebuah pertunjukan yang tak pernah ditonton atau bersorak untuk pertandingan yang tak pernah terjadi.
So, mari kita beri tepuk tangan untuk "Vivivavi"—konten yang mengajarkan kita bahwa di dunia digital, bukan tentang siapa yang menonton, tapi siapa yang sukses, tapi boong!
Dalam keseharian kita, cara kita menghadapi beragam situasi acapkali menentukan kualitas hubungan, pengambilan keputusan, dan overall well-being kita. Pada inti permasalahan ini, terdapat perbedaan penting antara dua konsep yang tampak serupa: reaksi dan respons. Kendati keduanya merupakan cara kita bertindak terhadap kejadian atau rangsangan dari luar, keduanya berbeda secara berarti dalam sifat, waktu, dan dampaknya. Memahami perbedaan antara bereaksi secara impulsif dan merespons dengan penuh pertimbangan dapat memberdayakan kita dalam menghadapi tantangan dengan lebih efektif, berkomunikasi dengan lebih jelas, dan membangun interaksi yang lebih sehat.
Reaksi merupakan tanggapan yang langsung, otomatis, dan selalu emosional terhadap sebuah keadaan atau rangsangan. Reaksi biasanya terjadi tanpa banyak berpikir atau pertimbangan. Reaksi biasanya didorong oleh naluri, kebiasaan, atau emosi, dan terjadi hampir sekonyong-konyong usai sebuah kejadian. Contoh, jika seseorang menghinamu, jika dirimu langsung berteriak marah, itu reaksi.
Reaksi biasanya bersifat spontan, otomatis, dan didorong oleh emosi atau insting. Reaksi terjadi tanpa banyak pemikiran atau refleksi, dipicu oleh rangsangan yang membutuhkan tindakan cepat. Contoh lagi, merasa marah dan membentak seseorang yang mengkritik adalah sebuah reaksi. Reaksi seringkali impulsif dan kadang dapat menimbulkan kesalahpahaman atau konflik karena mungkin tak mempertimbangkan konteks atau konsekuensi secara menyeluruh.
Sebaliknya, respons adalah balasan yang lebih bijak dan disengaja terhadap suatu keadaan. Respons melibatkan jeda, mempertimbangkan situasi, dan memilih cara terbaik untuk bertindak atau berbicara. Respons dipandu oleh penalaran, pengendalian diri, dan kesadaran akan kemungkinan konsekuensinya. Misalnya, jika seseorang menghinamu dan dirimu meluangkan waktu sejenak menenangkan diri sebelum membalas dengan tenang dan penuh hormat, itu sebuah respons.
Respons melibatkan proses yang disengaja dan penuh pertimbangan. Respons membutuhkan jeda untuk menilai situasi, mengelola emosi, dan memilih tindakan yang sesuai dengan nilai dan tujuan pribadi. Dengan merespons, komunikasi, pemecahan masalah, dan pengaturan emosi menjadi lebih baik. Daripada langsung bereaksi terhadap kritik, seseorang yang merespons akan mengambil waktu untuk memahami masukan tersebut, mempertimbangkan kebenarannya, dan menjawab dengan tenang. Pendekatan yang penuh kesadaran ini mendorong rasa hormat, empati, dan dialog yang konstruktif.
Kemampuan untuk merespons daripada bereaksi merupakan keterampilan yang dapat dikembangkan melalui kesadaran diri dan latihan. Hal ini melibatkan mengenali pemicu emosi, melatih kesabaran, dan merenungkan dampak dari tindakan yang diambil. Baik dalam konteks pribadi maupun profesional, menguasai perbedaan ini dapat menghasilkan hubungan yang lebih sehat, pengambilan keputusan yang lebih baik, dan ketahanan yang lebih kuat dalam menghadapi tantangan.
Perbedaan utama antara reaksi dan respons terletak pada tingkat kesadaran dan kontrol yang terlibat. Reaksi biasanya langsung dan otomatis, kerap didorong oleh emosi atau naluri tanpa pemikiran sadar. Reaksi terjadi dengan cepat sebagai respons terhadap stimulus dan biasanya impulsif. Karena reaksi bersifat spontan, reaksi dapat tak memperhitungkan konteks penuh atau kemungkinan konsekuensinya, yang terkadang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau konflik.
Sebaliknya, respons adalah tindakan yang disengaja dan penuh pertimbangan. Respons melibatkan jeda untuk menilai situasi, mengelola emosi, dan memilih tindakan yang sejalan dengan nilai dan tujuan pribadi. Respons lebih terkendali dan disengaja, memungkinkan komunikasi yang lebih jelas dan hasil yang lebih konstruktif. Respons yang penuh pertimbangan membantu menumbuhkan empati, rasa hormat, dan pemecahan masalah yang efektif.
So, kendati reaksi cepat dan emosional, respons terukur dan beralasan. Mengembangkan kemampuan untuk merespons daripada bereaksi dapat meningkatkan hubungan, pengambilan keputusan, dan ketahanan emosional.
Reaksi terjadi lantaran merupakan tanggapan spontan dan otomatis terhadap sebuah rangsangan, yang sering dipicu oleh emosi kuat, insting, atau kebiasaan yang telah tertanam dalam diri seseorang. Manakala seseorang merasa terancam, terkejut, atau emosional, otak dan tubuhnya bereaksi dengan cepat tanpa banyak pertimbangan sadar. Inilah mekanisme bertahan hidup yang memungkinkan seseorang bertindak cepat dalam situasi yang mungkin membutuhkan tindakan segera, seperti saat menghadapi bahaya atau konflik. Namun, karena reaksi berlangsung sangat cepat dan instingtif, seringkali reaksi ini tak mempertimbangkan konteks yang lebih luas atau konsekuensi jangka panjang.
Sebaliknya, respons dilakukan karena melibatkan pemikiran sadar, refleksi, dan pengendalian diri. Saat seseorang memilih merespons, ia mengambil waktu sejenak untuk berhenti, menilai situasi, mengelola emosinya, dan memutuskan tindakan yang paling tepat berdasarkan nilai dan tujuannya. Respons biasanya lebih terukur dan penuh pertimbangan, dengan tujuan menghasilkan hasil yang konstruktif dan komunikasi yang lebih baik. Seseorang merespons, bukan bereaksi, ketika ingin memastikan tindakannya sesuai dengan niatnya serta menjaga hubungan yang sehat atau menyelesaikan konflik secara efektif.
Perbedaan utama antara respons dan reaksi dalam situasi sehari-hari melibatkan tingkat pemikiran, waktu, pengendalian emosi, dan dampak pada hasil.
Reaksi biasanya langsung dan otomatis, terjadi hampir seketika setelah pemicu terjadi tanpa pikiran atau pertimbangan sadar. Reaksi bersifat naluriah dan didorong oleh emosi, seringkali berfungsi sebagai pelepasan ketidaknyamanan jangka pendek atau mekanisme pertahanan diri. Sebaliknya, respons lebih lambat dan lebih disengaja. Respons melibatkan jeda, memikirkan situasi, dan membuat pilihan sadar tentang tindakan terbaik.
Reaksi biasanya emosional dan impulsif, seringkali dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu atau pemicu bawah sadar. Reaksi dapat meningkatkan konflik atau menimbulkan konsekuensi negatif karena lebih mengutamakan kelegaan emosional langsung daripada hasil jangka panjang. Di sisi lain, respons bersifat rasional dan terkendali. Respon melibatkan analisis situasi, mempertimbangkan kemungkinan hasil, dan memilih kata atau tindakan yang sejalan dengan nilai dan tujuanmu.
Reaksi kerapkali berujung pada penyesalan atau masalah lebih lanjut, karena reaksi tersebut mungkin bersifat agresif, defensif, atau kontraproduktif dalam jangka panjang. Respons berorientasi pada solusi dan konstruktif, yang bertujuan memperbaiki situasi atau menyelesaikan konflik dengan bijak dan efektif.
Maka, jika seseorang menghinamu dan engkau langsung marah, itu reaksi. Jika dikau berhenti sejenak, pertimbangkan perasaan dan konteksmu, lalu jawab dengan tenang atau memilih untuk tidak terlibat, itu respons.
Dikau dapat berlatih menanggapi dengan lebih bijak dalam situasi sehari-hari dengan menerapkan sejumlah strategi praktis yang membantumu berhenti sejenak, merenung, dan memilih tindakan dengan sengaja alih-alih bereaksi secara impulsif.
Saat engkau menyadari dirimu merasa terpicu atau tersulut, berhentilah sejenak dan fokuslah pada napasmu. Satu tarikan napas mendalam dapat memberimu ruang menenangkan reaksi awalmu dan memungkinkan pikiranmu memproses situasi dengan lebih jelas. Latihan kesadaran rutin, semisal meditasi, jalan santai, atau pemindaian tubuh, dapat meningkatkan kesadaranmu terhadap pikiran dan emosimu. Kesadaran ini membantumu mengenali kapan dirimu akan bereaksi dan memungkinkanmu memilih respons yang lebih bijak. Sebelum membalas dalam percakapan, luangkan waktu sejenak merenungkan apa yang ingin engkau ucapkan dan dampak potensialnya. Ini membantu memastikan responsmu selaras dengan niat dan nilai-nilaimu. Perhatikan situasi atau topik yang cenderung memicu reaksi keras dalam dirimu. Dengan menyadari pemicumu, engkau dapat mempersiapkan diri untuk merespons dengan lebih bijak saat pemicu itu muncul. Alih-alih langsung membela posisimu, ajukan pertanyaan klarifikasi dan dengarkan dengan saksama perspektif orang lain. Ini tak hanya menunjukkan rasa hormat tetapi juga memberimu lebih banyak informasi untuk membentuk respons yang konstruktif. Buatlah jurnal untuk merenungkan situasi saat dirimu bereaksi secara impulsif. Analisislah apa yang memicu reaksimu dan pertimbangkan cara alternatif yang dapat engkau lakukan untuk merespons. Latihan ini membangun kesadaran diri dan membantumu agar berkembang seiring waktu. Berlatihlah merespons dalam skenario yang menantang dengan teman atau terapis. Bermain peran dapat membantumu membangun kepercayaan diri dan mengembangkan strategi yang lebih baik untuk menangani situasi kehidupan nyata dengan penuh pertimbangan. Pelajari dan gunakan teknik manajemen stres semisal pernapasan dalam, relaksasi otot progresif, atau visualisasi. Menurunkan tingkat stres dapat mempermudahmu berhenti sejenak dan merespons dengan penuh pertimbangan, walau di bawah tekanan. Mulailah harimu dengan menetapkan niat tentang bagaimana engkau hendak menangani interaksi yang sulit. Mengingatkan diri sendiri tentang tujuanmu dapat membuatmu tetap fokus merespons dengan penuh pertimbangan sepanjang hari. Jika engkau merasa kewalahan, menjauhlah dari situasi tersebut sejenak. Istirahat sejenak dapat membantumu mendapatkan kembali ketenangan dan menghadapi situasi tersebut dengan pikiran yang lebih jernih. Dengan terus-menerus mempraktikkan teknik-teknik ini, dirimu dapat beralih dari bereaksi secara impulsif menjadi merespons dengan penuh pertimbangan, yang mengarah pada komunikasi yang lebih baik, hubungan yang lebih kuat, dan peningkatan kesejahteraan emosional.
Akan tetapi, hal-hal yang telah dikemukakan tadi, sangat berbeda dengan kasus video-video konten Mas Wapres. Mari kita coba perhatikan. Video "Giliran Kita" oleh Mas Wapres yang jumlah dislike-nya lebih banyak daripada like-nya, sesungguhnya bisa disebut sebagai bentuk respon masyarakat, bukan sekadar reaksi. Jumlah dislike yang tinggi dibandingkan like dan banyaknya komentar menunjukkan bahwa audiens tak sekadar bereaksi secara impulsif, melainkan pula turut secara kritis dengan konten tersebut. Hal ini menunjukkan adanya evaluasi atau respons sadar dari viewer yang menyatakan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan terhadap pesan atau pembawa pesan.
Tanggapan negatif masyarakat terkait dengan keraguan atas kredibilitas sang Wapres dalam topik bonus demografi, terutama mengingat sebelumnya ia pernah mengakui bahwa ia tak suka membaca dan dipandang kurang persiapan intelektual. Hal ini memicu tanggapan yang bijak dimana para viewer mempertanyakan originalitas dan keseriusan video tersebut alih-alih sekadar bereaksi secara emosional. Banyak pengamat menafsirkan video tersebut sebagai upaya membangun citra politik yang menyasar kaum muda, yang berujung pada respons strategis dari para viewer. Ketidaksukaan publik dapat dilihat sebagai kritik terhadap motif politik yang dipersepsikan, bukan sekadar luapan emosi.
Komentar dan diskusi seputar video tersebut menekankan tuntutan akan tindakan dan solusi nyata, bukan sekadar retorika, yang mencerminkan tanggapan masyarakat yang matang dan berfokus pada isu. Ketidaksukaan yang tak proporsional tersebut mencerminkan "konflik nilai" yang lebih luas antara harapan publik terhadap kepemimpinan yang autentik dan persepsi akan kedangkalan pesan politik. Respons ini menandakan tantangan terhadap legitimasi dan kredibilitas politik sang Wapres.
Dominasi dislike dibanding like pada video "Giliran Kita" oleh Mas Wapres merupakan sebuah respons—sebuah keterlibatan kritis dan bernilai dari publik yang mengekspresikan skeptisisme, kekecewaan, serta tuntutan akan keaslian dan kepemimpinan nyata, bukan sekadar reaksi impulsif.
Konflik nilai adalah pertentangan atau perbedaan yang muncul antara individu atau kelompok lantaran adanya perbedaan dalam sistem nilai, kepercayaan, prinsip, atau norma yang mereka anut. Konflik ini terjadi manakala nilai-nilai yang diyakini atau dipandang penting oleh satu pihak bertentangan dengan nilai-nilai pihak lain, sehingga menimbulkan ketegangan, perselisihan, atau pertentangan dalam hubungan sosial.
Menurut beberapa ahli, konflik nilai merupakan bagian alami dari kehidupan sosial yang muncul karena perbedaan kepercayaan, sikap, kebutuhan, dan tujuan antara individu atau kelompok. Konflik ini bisa terjadi dalam berbagai konteks, baik dalam organisasi, masyarakat, maupun antarbudaya, dan sering berkaitan dengan perebutan status, kekuasaan, atau sumber daya yang terbatas
Secara sederhana, konflik nilai muncul dikala ada ketidaksesuaian antara apa yang dianggap benar, baik, atau penting oleh pihak-pihak yang berbeda, sehingga menimbulkan perselisihan yang dapat bersifat terbuka maupun tersembunyi. Konflik nilai ini tak selalu negatif; jika dikelola dengan baik, konflik nilai dapat menjadi sumber kreativitas, perubahan, dan pemahaman yang lebih dalam antar pihak yang berbeda.
Di Indonesia, situasi yang melibatkan tuntutan para pensiunan jenderal untuk mengganti Wakil Presiden jelas mencerminkan konflik nilai. Konflik ini muncul dari keyakinan dan prinsip yang sangat berbeda mengenai legalitas, legitimasi, tatakelola, dan etika politik.
Inti dari konflik inilah nilai integritas konstitusional dan supremasi hukum. Para pensiunan jenderal menekankan kepatuhan ketat terhadap prosedur hukum dan ketentuan konstitusional, khususnya yang menyangkut legitimasi pengangkatan politik. Mereka memandang putusan Mahkamah Konstitusi sebagai pelanggaran norma hukum, yang mengancam landasan pemerintahan yang sah. Bagi mereka, menegakkan konstitusi adalah hal yang terpenting dan tak dapat ditawar.
Di sisi lain, para elit politik saat ini dan para pendukungnya mungkin lebih mengutamakan pragmatisme dan keberlanjutan politik, dengan berfokus pada stabilitas, aliansi politik, dan pemerintahan praktis daripada formalisme hukum yang ketat. Perbedaan dalam mengutamakan prinsip hukum versus kemanfaatan politik ini menimbulkan ketegangan.
Lebih jauh, ada konflik nilai mengenai independensi politik dan antikorupsi. Para pensiunan jenderal menyatakan keprihatinan tentang pengaruh lingkaran mantan Presiden Mulyono dalam pemerintahan saat ini, yang mereka pandang merusak pemerintahan yang bersih dan pembaruan politik. Hal ini mencerminkan bentrokan antara nilai transparansi dan akuntabilitas politik versus realitas jaringan politik yang mengakar. Konflik ini bukan hanya tentang kepribadian, tetapi juga tentang visi yang saling bersaing tentang bagaimana pemerintah seharusnya berfungsi: satu visi didasarkan pada standar hukum dan etika yang ketat, dan visi lainnya lebih fleksibel, yang mungkin mengakomodasi realitas politik.
Tuntutan para pensiunan jenderal untuk penggantian Wakil Presiden menyoroti konflik nilai yang mendalam antara legalitas konstitusional dan pragmatisme politik, serta antara tuntutan bagi pemerintahan yang bersih dan struktur kekuasaan politik yang ada.
Keprihatinan para pensiunan jenderal ini semakin diperkuat oleh konten video Mas Wapres berikutnya tentang Hilirisasi. Video ini dapat dianalisis melalui sudut pandang perbedaan antara reaksi dan respons. Jumlah like yang tak proporsional bila dibanding dengan jumlah viewer, terutama ketika digelembungkan secara artifisial oleh para buzzer, menunjukkan adanya reaksi alih-alih keterlibatan yang tulus dan penuh perhatian. Reaksi semacam ini seringkali otomatis, didorong oleh insentif eksternal (semisal upah) alih-alih keputusan yang sadar dan berdasarkan informasi untuk mendukung atau terlibat dengan konten. Keterlibatan ini merupakan tingkat permukaan yang tak mencerminkan pemahaman yang mendalam atau pertimbangan yang berarti terhadap pesan tersebut.
Respons melibatkan olah-pikir yang disengaja, menimbang konten, dan mempertimbangkan implikasinya sebelum terlibat. Respons mencerminkan proses kognitif dan emosional internal dimana individu secara sadar memutuskan cara bereaksi, selalu mempertimbangkan dampak dan nilai jangka panjang. Dalam kasus ini, penggunaan buzzer berbayar untuk menghasilkan like melewati proses ini, yang menunjukkan tiadanya respons yang tulus dan penuh perhatian.
Menurut teori keterlibatan media sosial, reaksi semisal suka, komentar, atau emoji merupakan bentuk keterlibatan, tetapi bisa asli atau dimanipulasi. Manakala keterlibatan didorong secara artifisial, akan menjadi bentuk reaksi impulsif, bukan respons sejati yang mencerminkan sentimen audiens atau interaksi yang bijak.
Seperti yang dijelaskan dalam perspektif psikologis sebelumnya, reaksi sering didorong oleh bias bawah sadar atau rangsangan eksternal dan terjadi dengan cepat tanpa refleksi. Namun, respons lebih lambat dan melibatkan pengaturan emosi dan pikiran secara sadar.
"Like" yang berlebihan pada video, yang kemungkinan besar didorong oleh para buzzer, menggambarkan reaksi alih-alih respons. Keterlibatan ini dangkal dan langsung, yang dimotivasi oleh faktor eksternal, tanpa pertimbangan yang matang dan disengaja, yang menjadi ciri respons yang sebenarnya. Perbedaan ini menyoroti bagaimana metrik media sosial terkadang dapat keliru menggambarkan opini atau keterlibatan publik yang sebenarnya, yang mencerminkan perilaku reaktif alih-alih respons yang penuh perhatian.
Konflik nilai secara signifikan mempengaruhi cara orang bereaksi dan cara mereka merespons dalam situasi interpersonal atau sosial. Ketika terjadi benturan nilai-nilai—yang berarti perbedaan dalam keyakinan, prinsip, atau tujuan yang dianut secara mendalam—dapat memicu reaksi emosional yang kuat karena nilai-nilai merupakan inti dari identitas dan pandangan dunia seseorang.
Dalam hal reaksi, konflik nilai sering memicu respons langsung, emosional, dan terkadang defensif atau agresif. Karena nilai-nilai terkait erat dengan rasa diri dan penilaian moral seseorang, menghadapi nilai-nilai yang berlawanan dapat terasa mengancam atau tidak valid, yang mengarah pada reaksi cepat dan naluriah seperti kemarahan, frustrasi, atau penarikan diri. Reaksi-reaksi ini cenderung otomatis dan kurang terkendali, yang mencerminkan intensitas emosional konflik.
Di sisi lain, respons terhadap konflik nilai melibatkan proses yang lebih disengaja dan penuh pertimbangan. Seseorang yang menyadari perbedaan nilai dan berhasil mengatur emosinya dapat berhenti sejenak untuk memahami perspektif pihak lain, mengevaluasi situasi, dan memilih cara yang konstruktif agar terlibat. Respons yang penuh pertimbangan ini dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan mendorong dialog, bahkan ketika nilai-nilai fundamental berbeda. Namun, respons semacam itu membutuhkan kesadaran diri, empati, dan keterampilan komunikasi, yang tak selalu mudah diterapkan saat terjadi konflik.
Apa yang terjadi pada konten video Mas Wapres merupakan sinyal awal adanya konflik nilai antara masyarakat dan seorang pejabat publik. Tanda-tanda awal yang menunjukkan adanya konflik nilai antara masyarakat dan pejabat pemerintah acapkali terwujud dalam bentuk persepsi adanya konflik kepentingan dan ketidakpercayaan. Salah satu gejala awal yang umum terjadi ialah ketika masyarakat mulai curiga bahwa pejabat lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan umum, yang berujung pada kekhawatiran akan terjadinya korupsi, nepotisme, atau penyalahgunaan wewenang. Kecurigaan ini dapat muncul dari perilaku yang tampak, seperti pejabat yang menerima hadiah atau gratifikasi, memegang jabatan rangkap secara bersamaan, atau mengambil keputusan yang terkesan berat sebelah atau tidak adil.
Tanda awal lainnya ialah munculnya ketidaksepakatan dan pertikaian atas kebijakan atau keputusan, terutama ketika kebijakan tersebut sepertinya mengabaikan atau bertentangan dengan nilai, kebutuhan, atau harapan masyarakat. Ketidaksepakatan tersebut kerap berasal dari perbedaan dalam bagaimana nilai diprioritaskan atau ditafsirkan oleh pejabat versus masyarakat. Misalnya, ketika kebijakan publik dikembangkan dengan cara teknokratis atau elitis tanpa keterlibatan publik yang memadai, dapat memperburuk konflik nilai dan menyebabkan ketegangan sosial.
Konflik nilai dapat secara signifikan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah dengan memicu polarisasi politik dan ketegangan sosial. Ketika nilai-nilai yang dianut pejabat pemerintah sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dianut publik, selalu menimbulkan persepsi bahwa pemerintah tak peduli atau bertindak melawan kepentingan rakyat. Persepsi ini merusak kepercayaan, karena warga merasa bahwa keyakinan dan kebutuhan inti mereka diabaikan atau dipinggirkan. Contoh, polarisasi politik yang disebabkan oleh ideologi atau kepentingan yang saling bertentangan dapat mempersulit masyarakat untuk mencapai konsensus, sehingga meningkatkan konflik sosial dan mengurangi kepercayaan terhadap lembaga pemerintah.
Terlebih lagi, jika tindakan pemerintah dianggap menguntungkan kelompok tertentu atau melibatkan praktik tidak etis seperti korupsi atau kurangnya transparansi, ketidakpercayaan publik semakin dalam. Erosi kepercayaan ini menghambat kerjasama antara warga negara dan pemerintah, sehingga mempersulit penerapan kebijakan secara efektif dan memperlambat pembangunan. Penurunan kepercayaan juga dapat menyebabkan apatisme publik, dimana masyarakat tak lagi terlibat dalam proses politik semisal pemilihan umum, sehingga melemahkan partisipasi demokrasi dan legitimasi pemerintahan.
Jadi, kesenjangan antara jumlah like dan jumlah penonton sebenarnya pada video oleh Tuan Wapres—sesungguhnya dapat dimaknai sebagai bentuk konflik nilai antara masyarakat Indonesia dan sang Wapres.
Konflik ini muncul karena nilai-nilai yang dianut masyarakat menekankan otentisitas, transparansi, dan keterlibatan yang tulus, sementara penggelembungan like yang dibuat-buat melalui buzzer bayaran atau cara lain bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Keadan seperti ini memunculkan persepsi bahwa pemerintah atau wakilnya lebih mengutamakan pengelolaan citra atau keuntungan politik ketimbang komunikasi dan akuntabilitas yang jujur. Bentrokan ini mencerminkan ketegangan sosial yang lebih dalam dimana masyarakat menuntut ketulusan dan partisipasi yang bermakna, tetapi sebaliknya mengalami apa yang terasa seperti manipulasi atau kedangkalan.
Dari perspektif konstruksi sosial, sebagaimana dibahas dalam teori analisis wacana seperti yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Teun A. Van Dijk, pengetahuan dan realitas sosial dibangun melalui komunikasi dan makna bersama. Tatkala masyarakat menganggap bahwa narasi resmi atau penggambaran media dibangun secara artifisial semisal dengan menggelembungkan like tanpa jumlah penonton yang sebenarnya, akan menantang legitimasi narasi tersebut dan menimbulkan disonansi kognitif. Ketidaksesuaian ini memicu skeptisisme dan ketidakpercayaan, yang merupakan ciri khas konflik nilai.
Selain itu, konflik tersebut diperparah oleh keberagaman persepsi dalam masyarakat, yang dibentuk oleh latarbelakang pendidikan, kepentingan politik, dan konteks sosial yang berbeda. Beberapa kelompok mungkin menerima atau mendukung pesan resminya, sementara yang lain menolaknya karena dianggap tak autentik atau manipulatif. Fragmentasi ini menggarisbawahi konflik nilai, karena interpretasi yang berbeda tentang apa yang merupakan kejujuran, legitimasi, dan layanan publik saling berbenturan.
Singkatnya, fenomena jumlah like yang tak proporsional versus jumlah penonton pada video sang Wapres melambangkan konflik nilai antara tuntutan publik akan keterlibatan yang tulus dan persepsi bahwa strategi komunikasi pemerintah dibuat-buat. Konflik ini mencerminkan masalah kepercayaan, transparansi, dan legitimasi sosial yang lebih luas dalam hubungan antara masyarakat Indonesia dan para pemimpinnya.
Sebagai penutup, yuk kita senandungkan tembangnya Bread, Aubrey—tembang ini amat melankolis dan menyentuh, sering dimaknai sebagai refleksi atas cinta platonis, cinta yang hanya hidup dalam angan dan kenangan, bukan dalam kenyataan. Kita mulai dari,
But who’s to blame?
[Tapi siapa yang harus disalahkan?]
For a love that wouldn’t bloom
[Untuk cinta yang takkan mekar]
For the hearts that never played in tune.
[Untuk hati yang tak pernah dimainkan selaras.]
Like a lovely melody that everyone can sing,
[Bagai melodi indah, yang setiap orang bisa nyanyikan,]
Take away the words that rhyme it doesn’t mean a thing.
[Singkirkan kata-kata yang rimanya itu tak bermakna sesuatu.]