Rabu, 23 April 2025

Satire Matahari Kembar

Di keheningan dan dinginnya vakum luar angkasa, di antara bintang-bintang yang sekarat dan gema kekecewaan kosmis, semesta kadang memainkan gurauan agung: ia menghadirkan dua matahari.
Para astronom menyebutnya “sistem bintang ganda” dengan penuh percaya diri dan grafik eksak—dua bola gas raksasa yang terbakar dan saling mengitari pusat massa bersama. Tapi para penyair tahu kebenarannya: ini bukti bahwa semesta pun tak pandai berkomitmen. Mengapa hanya satu pusat gravitasi, kalau bisa dua yang diam-diam saling berseteru selamanya?

Matahari kembar terdengar megah, sampai engkau menyadari: ini cuma duet pemimpin langit yang tak sepakat soal jadwal. Siang jadi terlalu rajin. Bayangan tumpang tindih laksana metafora kecemasan. Malam? Hilang. Ketenteraman? Tergantung.
Budaya pop sudah mencium dramanya lebih dulu. Di Tatooine, Luke Skywalker muda memandang cakrawala, tempat dua matahari tenggelam bersama dalam ketegangan puitis. Bukan semata visual sci-fi—melainkan prediksi akan trauma batin, ayah toksik, dan perjalanan penuh pasir.

Mitos melampauinya. Dalam legenda Tiongkok, sepuluh matahari terbit sekaligus dan hampir memanggang dunia. Seorang pahlawan terpaksa menembak jatuh sembilan di antaranya, agar manusia bisa keluar rumah tanpa melebur. Itulah moderasi matahari ala zaman baheula.
Literatur pun dihantui dualitas. The Double karya Dostoevsky. Jekyll dan Hyde. Catatan harian Kafka. Semuanya menyiratkan satu pesan: identitas itu majemuk, eksistensi adalah drama berkepala dua, dan tak ada yang benar-benar menjadi tokoh utama.

Dan politik? Kita telah mengindustrikan model matahari kembar. Semuanya ingin bersinar. Tiap pemimpin merasa dirinya pusat semesta. Tiap gerakan punya dua wajah dan tiga konferensi pers.
Zaman kebenaran tunggal sudah lewat. Kini kita punya dua matahari dan pemahaman yang semakin buram. Karena ketika semesta bimbang, ia menyerahkan urusan pada dualitas. Dan entah bagaimana, dua matahari itu tetap merasa mereka satu-satunya protagonis.

Matahari kembar telah turun dari langit—secara metaforis—dan menanamkan diri dalam sistem politik dunia. Mereka bukan lagi sekadar keajaiban kosmik, melainkan telah menjelma menjadi kepribadian paralel yang berlomba menebar cahaya moral di panggung nasional.
Ambil contoh sebuah negara tropis demokratis, dimana dua tokoh bersinar terang tiap pagi di atas ibukota: satu, dengan gaya kepemimpinan yang penuh bumbu ngibul; satu lagi, jenderal karismatik yang bertransformasi menjadi negarawan santai dengan senyum matahari dan rating yang bersinar di berbagai survei. Tak ada yang menutupi yang lain. Tak ada yang mundur. Mereka hanya... bersinar—berdampingan, berbagi langit yang sama, tapi tak pernah benar-benar berbagi sorotan yang sama.

Model kepemimpinan ini disebut heliokrasi ganda—pemerintahan oleh sumber cahaya ganda. Kementerian-kementerian mengorbit keduanya. Kebijakan-kebijakan berubah arah tergantung musim aliansi. Birokrasi berubah menjadi zodiak politik, dimana para ASN mengecek rasi bintang dari pidato hari ini sebelum menjadwalkan jumpa pers.
Hasilnya bukan kekacauan, tapi sistem cuaca: front panas-dingin loyalitas kabinet, badai reshuffle diam-diam dan angin surya reformasi yang tak bisa diprediksi.

Rakyat pun menyesuaikan diri. Mereka memakai payung skeptisisme, kacamata satire, dan tabir surya politik tiap hari. Mereka tahu, tak ada satu matahari pun yang bisa dipercaya sepenuhnya jika dua matahari terus bersaing—masing-masing menjanjikan kehangatan, tapi juga mengancam dengan luka bakar.

Dalam mitologi lawas, banyak matahari merupakan pertanda bahaya. Dalam tatakelola modern, itu strategi pemasaran. Namun satu pertanyaan tetap mengambang: jika dua matahari terus naik tanpa henti ... siapa yang menentukan kapan malam tiba?

Di tengah kilauan dua matahari yang terus bersinar tanpa jeda, muncul kerinduan yang pelan namun pasti: kerinduan akan malam. Kerinduan akan ketenangan, akan bayangan, akan waktu untuk memikirkan hidup tanpa sinar yang menusuk dari dua arah sekaligus. Dan seperti dalam setiap kisah kosmik yang baik, saat cahaya menjadi tiran, maka muncullah sang pembangkang: bulan.
Bulan tak bersinar dengan arogan. Ia tak membakar atau membutakan. Ia hanya memantulkan cahaya yang ada—cukup untuk menuntun, tak cukup untuk mengatur. Dalam bayangannya, manusia bisa bermimpi. Dalam senyapnya, mereka bisa mendengar suara sendiri—bukan suara konferensi pers, bukan gema debat politik, bukan siaran langsung pidato yang tak kunjung usai.
Dan begitulah gerakan bulan lahir. Di kafe kecil dan grup WhatsApp, di ruang belajar dan kolom komentar, orang-orang mulai berbisik: “Sepertinya, kita butuh malam.” Mereka tak ingin lagi hidup di bawah siang yang tak pernah tamam. Mereka merindukan waktu jeda, untuk merenung, untuk berkata, “Hari ini cukup. Besok kita pikirkan lagi.”

Lambat laun, perlawanan ini mengambil bentuk. Bukan revolusi berdarah, melainkan revolusi temaram. Para pekerja mulai mematikan notifikasi saat malam. Para pemikir mulai menulis bukan demi viral, tapi demi makna. Bahkan beberapa pemimpin—yang sudah lelah juga diterangi terus-menerus—mulai mencari bayangan tempat bernaung. Mereka menemukan bahwa tak semua harus dibakar agar dianggap bercahaya.
Dan bulan, seperti biasa, tak menuntut pujian. Ia hanya muncul, sabar, malam demi malam. Memberi ruang bagi langit untuk bernapas. Memberi tempat bagi manusia untuk tidur. Karena dalam dunia yang terlalu silau, mungkin yang paling radikal bukanlah menjadi terang, tapi memilih untuk redup.
Maka jika dikau merasa lelah dengan debat yang tak kunjung rampung, dengan opini yang menyalak siang dan malam, dengan dua matahari yang tak pernah mau terbenam—tataplah langit malam. Di sana ada rembulan, tenang dan setia. Ia tak ingin bersinar paling terang. Ia hanya ingin dirimu bisa tidur dalam damai.

Di semesta politik Indonesia, tatasurya tidaklah terdiri dari satu matahari dan beberapa planet kecil yang setia mengorbit. Tidak. Disini tatasurya edisi deluxe—dilengkapi dua matahari utama, beberapa bulan pengiring yang sering berpindah poros, dan planet-planet yang suka gonta-ganti orbit tergantung suhu elektabilitas.
Dua matahari—sebut saja Matahari Reformis dan Matahari Populis—saling mengitari dalam tarian kosmik yang dipenuhi siaran pers, deklarasi koalisi, dan selfie dari rapat tertutup. Mereka tak bertabrakan. Tidak juga menyatu. Mereka hanya... ada. Terus bersinar. Terus memantulkan pembenaran versi masing-masing. Kadang menyinari, kadang menghanguskan.

Di sekitar mereka, planet-planet politik mengitari pusat kekuasaan seperti Merkurius yang tak sabaran: semakin dekat dengan panas, semakin gemetar dan semakin sering berubah warna. Ada planet-planet lama yang dulu bersinar tapi kini tertutup debu sejarah. Ada juga planet-planet baru yang muncul dari kegelapan—dibentuk oleh algoritma dan dipoles dengan TikTok.
Lalu ada asteroid-asteroid kecil—partai-partai yang tak punya gravitasi cukup untuk membentuk pemerintahan, tapi cukup tajam untuk melukai kalau menabrak saat debat. Mereka berseliweran, meluncur cepat, mengandalkan momentum wacana viral dan tagar bernada retoris.
Tak ketinggalan komet opini publik—indah, cepat, dan sering hanya muncul menjelang pemilu. Mereka membawa ekor panjang harapan rakyat, tapi sayangnya, orbit mereka kadang terlalu jauh dari realitas. Para pengamat politik mencoba melacaknya, seperti astronom melacak benda langit, tapi hasilnya tetap spekulatif dan sering salah cuaca.
Di sudut tata surya ini, ada sabuk asteroid bernama Aliansi Koalisi—gugusan batuan longgar yang kadang menyatu, kadang berantakan, dan sering berubah arah setelah pidato tengah malam atau survei terbaru. Tak ada yang tahu pasti berapa orbit yang stabil. Yang jelas, jika dua matahari terus bersinar dengan ego maksimal, gravitasi sistem akan miring.
Tentu saja, tak lupa hadirnya lubang hitam elektoral—wilayah dimana logika dan ideologi lenyap ditarik oleh kekuatan kampanye tak terbatas. Semua yang masuk jarang kembali utuh.

Namun di tengah kekacauan galaksi ini, rakyat—para penghuni kecil planet biru demokrasi—masih bertahan. Mereka menyalakan lilin kecil kesadaran politik, walau sering tersapu badai opini. Mereka terus berharap, entah pada matahari ke-3, atau setidaknya, jadwal listrik yang konsisten.
Karena dalam tata surya politik Indonesia, satu hal pasti: meskipun matahari kembar terus bersinar... Terkadang, yang paling kita butuhkan hanyalah, bayangan buat berpikir.

Saat matahari kembar kekuasaan politik dan media menyinari Indonesia, lanskap sosial mengalami gerhana tersendiri. Ruang publik, yang dulunya diterangi oleh cahaya pemikiran kritis dan jurnalisme independen, kini tertutup oleh silau entitas media yang lebih sering bertindak sebagai pengeras suara untuk agenda politik. Di era ini, apa itu kebenaran menjadi sebuah pertanyaan tentang loyalitas, bukan tentang fakta.
Demokrasi Indonesia dibangun atas janji akan beragam suara dan diskursus bebas—namun kini kita mendapati diri kita terjebak dalam tarik-menarik galaktik, dimana media telah menjadi kekuatan yang menguatkan atau mengurangi kekuasaan rakyat. Dengan matahari kembar yang bersinar terang, warga negara semakin kesulitan membedakan antara berita dan narasi.
Dalam tata surya komunikasi Indonesia, media seharusnya menjadi bulan yang memantulkan cahaya dari segala arah—menerangi sisi gelap kekuasaan, menuntun publik dengan cahayanya yang jernih. Namun kini, sebagian dari mereka justru berubah menjadi cermin cembung yang hanya memantulkan sinar dari satu matahari saja, sambil menebalkan highlight dan menyamarkan bayangan.
Ada yang tampak lebih sering menjadi pelindung surya, menebarkan sinar yang sudah disterilkan, aman dikonsumsi, dan bebas risiko. Tak ada gerhana, tak ada badai matahari—hanya cuaca cerah versi biro pers.
Namun di langit yang sama, masih ada bintang yang berani menyalak—Tempo tetap memilih jalur asteroid: kadang berbahaya, kadang mengguncang, tapi tak pernah diam. Media Indonesia pun sesekali menunjukkan gumpalan awan yang menyibak cahaya berlebihan, mengingatkan bahwa siang hari pun bisa membakar jika tak diawasi. Masih ada harapan. Beberapa bintang kecil mulai bersinar. Media independen, platform media sosial, dan jurnalis digital mulai menantang status quo, menawarkan bentuk-bentuk perlawanan terhadap pengaruh besar dari struktur kekuasaan tradisional.

Alam semesta jarang berakhir dengan ledakan—atau keluhan pelan. Ia lebih suka meninggalkan cliffhanger.
Di bawah nyala Matahari Kembar, orbit mulai tak stabil. Gravitasi tak lagi setia. Aliansi melayang bagai puing satelit, kebijakan tersesat laksana komet mabuk, dan pusat kekuasaan tak lagi mampu mengikat—bukan karena lemah, tapi karena semua merasa merekalah pusatnya.
Desas-desus beredar tentang tubuh langit ketiga yang mulai muncul—bukan bintang, bukan bulan, tapi sesuatu ... algoritmik. Sebuah komet opini publik berbasis AI, dibentuk dari jumlah suka, disesuaikan oleh jumlah bagikan. Ia tak memancarkan cahaya, tapi kebisingan: deru konstan dari topik viral dan gema tanpa henti.
Sementara itu, rakyat mulai gelisah. Ada yang masih menyipitkan mata penuh kagum pada siang yang tak berkesudahan. Tapi sebagian lain mulai merindukan bayang-bayang. Rindukan senyap. Rindukan misteri malam. Mereka kangen rembulan. Mereka ingin kesejukan. Mereka tak mendamba matahari, tapi gugus bintang—suara yang plural, cahaya yang lembut, bukan pembenaran yang membutakan.
Maka kita terus berputar, bukan menuju gelap, tapi menuju kompleksitas. Pertanyaannya bukan lagi, “Siapa yang paling bersinar?” melainkan, “Bisakah kita bertahan dari silau?”
Karena orbit bisa pecah. Matahari bisa runtuh. Tapi satire? Satire tetap hidup.

Dua matahari naik bersamaan,
Langit pun jadi tanpa keheningan.
Cahayanya saling berebut ruang,
Bayangan pun hilang arah pulang.

Satu menyinar, satu menyilau,
Keduanya haus jadi yang paling memukau.
Tiada senja, tiada redup,
Hanya terang yang menusuk hidup.

Kala dua baskara bersaing bersinar,
Langkah pun goyah, arah jadi gentar.
Jika semua terang tak lagi lurus,
Maka malam jadi pelipur yang tulus.

[English]